Tag Archives: Cendana

‘Kisah Di Belakang Issue’ Menjelang Peristiwa 15 Januari 1974

DALAM edisi hanya beberapa hari menjelang pecahnya Peristiwa 15 Januari 1974, yakni terbitan kedua sebelum dibreidel, Mingguan Mahasiswa Indonesia menurunkan sebuah berita ulasan di halaman pertama, “Kisah Di Belakang Issue”, dihiasi gambar Mayor Jenderal Ali Moertopo. Dalam berita itu Jenderal Soemitro menyebut adanya issue pergantian kepemimpinan nasional mulai 1 April 1974 dan upaya adu domba antara dirinya dengan beberapa jenderal dalam kekuasaan kala itu.  Headline pada edisi yang sama berjudul ‘Api Bagi Penjual Bangsa’, dengan sub-judul ‘Dulu Haji Peking, Sekarang Haji Tokyo’. Lalu ada berita tentang tirakatan mahasiswa Yogya, ‘Tuhan Limpahkan Nistamu’. Sementara itu di kolom pojok Corat Coret dengan penjaga gawang Kontrolir, tertulis dalam empat baris, “Teka-teki awal tahun: Asap sudah mengebul. Tapi mana apinya?! Cari di eselon atas.”

ALI MOERTOPO DALAM 'KISAH DI BALIK ISSUE'. "Bahwa meskipun yang lebih menonjol dari peristiwa tersebut adalah rivalitas Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo, sebenarnya yang terjadi adalah bahwa pertarungan kekuasaan kala itu adalah persaingan segi banyak. Diikuti oleh banyak kelompok dalam kekuasaan dengan kepentingan, tujuan dan taktik yang berbeda-beda." (repro MI)
ALI MOERTOPO DALAM ‘KISAH DI BALIK ISSUE’. “Bahwa meskipun yang lebih menonjol dari peristiwa tersebut adalah rivalitas Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo, sebenarnya yang terjadi adalah bahwa pertarungan kekuasaan kala itu adalah persaingan segi banyak. Diikuti oleh banyak kelompok dalam kekuasaan dengan kepentingan, tujuan dan taktik yang berbeda-beda.” (repro MI)

            Sebenarnya, bila diukur dan dibaca dengan kacamata kebebasan seperti yang kini dinikmati pers, seluruh tulisan dan ulasan di atas, berkategori biasa-biasa saja. Tapi untuk kurun 40 tahun lampau itu, berita, sentilan dan ulasan semacam ini tak disenangi penguasa. Ketidaksenangan seperti itulah yang mungkin antara lain menjadi salah satu pemicu pembreidelan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Kopkamtib) maupun pencabutan Surat Izin Terbit media generasi muda itu oleh Departemen Penerangan. Formulasinya saat itu, melakukan penghasutan hingga penerbitannya yang terakhir dan mencampuri urusan politik tingkat tinggi.

            Berita ulasan itu, selengkapnya adalah sebagai berikut.

            TERASA datang begitu mendadak, tanpa angin tanpa hujan. Ibarat ‘curve’ dengan garis yang sedang menanjak, pernyataan Jenderal Soemitro di tanggal 2 Januari 1974 bagaikan membentuk garis patah, tiba-tiba. Dan terlepas dari ada atau tidaknya spekulasi yang melalui pernyataannya yang dramatis itu coba untuk dihapuskan, kejadian itu sendiri telah melahirkan spekulasi-spekulasi baru. “Kemarin kita semua dikejutkan dengan berita berisi ucapan-ucapan yang keras bernada peringatan tajam dari Wapangab/Wapangkopkamtib Jenderal Soemitro. Disertai dengan foto menunjukkan gaya dan wajah keberangan. Cucu-cucu pada bertanya kenapa justru Mayor Jenderal Ali Moertopo yang ada di sampingnya, wajahnya kelihatan senyum-senyum saja?,” demikian misalnya tertulis dalam Pojok Harian Muslim ‘Abadi’ (5/1).

            Memang sangat mengejutkan. Dengan sendirinya orang bisa bertanya-tanya, ada apa sesungguhnya telah terjadi? Namun mereka yang cukup cermat, semestinya telah dapat membaca ‘perkembangan’ ini beberapa hari sebelumnya. Aspri Presiden, Ali Moertopo, yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang kerap ‘bertuah’ itu, setelah sekian lama boleh dikata berdiam diri saja, di penghujung tahun lalu tiba-tiba memberikan isyaratnya. Lewat wawancara persnya ia antara lain melontarkan semacam ramalan bahwa aksi-aksi mahasiswa sudah mereda di tahun 1974.

Kebetulan atau tidak, kemudian memang dapat disaksikan bahwa usaha-usaha untuk meredakan aksi-aksi mahasiswa di sekitar akhir tahun 1973, sesungguhnya sedang berjalan! Contoh yang terbuka adalah apa yang dialami Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (Baca MI 392, Minggu 1 Januari 1974). Postdam Hutasoit dan kawan-kawan yang kesemuanya adalah fungsionaris DMUI, menuduh kegatan-kegiatan Ketua DMUI Hariman Siregar sebagai pengkhianatan, manipulasi, dan mereka menyatakan tidak percaya lagi kepemimpinan Hariman. Suasana perpecahan masih meliputi UI waktu ini, namun agaknya dukungan terbesar tetap kepada Hariman Siregar.

Tak hanya sampai kepada ramalan meredanya aksi-aksi mahasiswa di tahun 1974, Ali Moertopo pun bicara lebih jauh. Jika dalam koran-koran yang berbahasa Indonesia, ia hanya membatasi diri dengan gejolak-gejolak sosial yang ditimbulkan oleh aksi-aksi mahasiswa, maka lewat koran ibukota berbahasa Inggeris The New Standard ia menyinggung masalah pimpinan nasional. Dan yang menarik, itu adalah edisi tanggal 31 Desember 1973. ”Janganlah ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan mengganti kepemimpinan nasional –national leadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Fikiran-fikiran demikian adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah berhasil.” Seraya itu ia memberikan contoh dari sejarah. “Runtuhnya banyak kerajaan-kerajaan dalam sejarah kita sendiri adalah disebabkan oleh kepemimpinan yang goyah dan dengan selalu mengingat pelajaran dari sejarah itu, tidak ada pilihan lain daripada memperkuat kepemimpinan nasional kita.”

Ke alamat siapa peringatan itu ditujukan Ali Moertopo, tentu saja tidak dikemukakan. Tapi yang jelas, posisi Jenderal Ali Moertopo di sini adalah sebagai pihak yang memberi peringatan.

Menarik pula untuk dicatat bahwa koran berbahasa Inggeris tersebut pada hari yang sama memuat juga sebuah berita “Pak Harto makes minor reshuffle” –Pak Harto akan melakukan reshuffle kecil. Dengan memuat gambar Laksamana Soedomo, berita itu ‘meramalkan’ bahwa Presiden Soeharto akan menjalankan tour of duty kecil di dalam eselon militer tertinggi. Laksamana Soedomo yang kini menjabat sebagai Wakil Panglima Kopkamtib akan diberi kedudukan yang lebih penting dari jabatannya sekarang. Jabatan apakah itu, hanya bisa direka-reka, karena berita itu sendiri tidak mengungkapkan lebih jauh. Namun, kiranya semua orang gampang mengetahui bahwa jabatan yang lebih penting daripada Wapangkopkamtib di lingkungan Hankamnas bisa dihitung dengan jari.

Pertemuan Terpisah. Maka datanglah pernyataan yang sangat mendadak itu dari Jenderal Soemitro, beda beberapa hari saja. Tapi bagi mereka yang mengikuti dapat mengetahui bahwa isi pernyataan tersebut adalah sama dengan peringatan Ali Moertopo dalam The New Standard. Hanya saja pernyataan Soemitro lebih terbuka, disertai dengan latar belakang ada issue pergantian pimpinan nasional mulai 1 April 1974 (Baca MI 392 pekan lalu) yang diramu dan diperkembangkan dari sadapan waktu yang lalu. Seraya itu disebut-sebutnya ada usaha adu domba antara dirinya dengan Ali Moertopo, antara dirinya dengan Sutopo Joewono dan antara Soetopo Joewono dengan Ali Moertopo. Seperti Ali Moertopo, Jenderal Soemitro pun menyitir pengalaman sejarah. “Yang ingin, tidak dikasih. Yang dipersiapkan gagal. Yang merasa akan jadi, bubar.”

Tidak boleh tidak kesan yang timbul adalah bahwa pernyataan itu bermata dua. Yakni, sebagai peringatan bagi penyebar issue tersebut dan sekaligus sebagai suatu bantahan bahwa tidak benar akan ada pergantian pimpinan nasional mulai 1 April.

Pernyataan Jenderal Soemitro ini disampaikan kepada pers tatkala Sang Jenderal baru saja bertemu dengan Presiden Soeharto bersama Mayor Jenderal Ali Moertopo dan Letnan Jenderal Soetopo Joewono, di ‘Istana’ Cendana selama kurang lebih 1 jam. Tapi beberapa hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 31 Desember 1973, Senin pagi, ada pertemuan lebih luas yang diikuti oleh ketiga jenderal tersebut beserta Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo, Menteri Sekertaris Negara  Sudharmono, Aspri Presiden Soedjono Hoemardani dan Aspri Presiden Tjokropranolo.

Dua pertemuan –di Istana Merdeka lalu ‘Istana’ Cendana– itu nampaknya memang dimaksudkan agar diketahui oleh masyarakat, sebagaimana hal itu kemudian diungkapkan oleh pers. Namun apa yang dibicarakan tidak diperincikan, melainkan hanya digambarkan samar-samar dengan kesan ‘penting’. Tetapi suatu hal menarik, yang nyaris tak terbetik beritanya ialah bahwa mendahului pertemuan antara Aspri-aspri dan Kopkamtib dengan Presiden, ada pertemuan terpisah antara Presiden dengan Aspri-aspri dan para teknokrat pemerintah. Salah satu koran ibukota Kompas akhir pekan lalu, sebenarnya pernah menyinggung sedikit adanya pertemuan tersebut tanpa menyebut waktunya yang pasti dan di mana berlangsungnya. Seraya itu diberikan komentar “Bukan rahasia lagi sampai beberapa waktu yang lalu ada juga ketakserasian antara para menteri teknokrat dan sementara Aspri.”

Dalam ‘pergunjingan’ politik di ibukota, banyak disebutkan bahwa pertemuan antara teknokrat, Aspri-aspri dengan Presiden Soeharto itu berlangsung tidak di Jakarta dan waktunya adalah kurang lebih sebelum akhir tahun. Konon, dalam pertemuan ini dari kalangan para teknokrat hadir para tokoh Bappenas, Rahmat Saleh dari Bank Indonesia dan Barli Halim dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing.

Hikayat Daoed Jusuf. Syahdan pula, dalam pertemuan dengan para teknokrat dan kelompok Aspri tersebut –seperti halnya dalam pertemuan Presiden dengan Aspri dan Kopkamtib– Presiden Soeharto telah bertindak seakan-akan ‘moderator’ untuk menyatukan pandangan-pandangan antara satu dengan yang lainnya. Bersamaan dengan itu, konon Presiden menggariskan pula beberapa kebijaksanaan, antara lain tentang akan diadakannya semacam badan yang mirip Dewan Stabilisasi Ekonomi di bidang politik. Agaknya atas dasar penggarisan itulah maka Mayor Jenderal Ali Moertopo mengutarakan dalam The New Standard bahwa Presiden Soeharto berniat untuk membentuk suatu dewan Stabilisasi Sosial Politik dan juga akan mengadakan pertemuan rutin sekali seminggu dengan dewan ini sebagaimana halnya dilakukannya dengan Dewan Stabilisasi Ekonomi.

Adalah pula dalam pertemuan dengan teknokrat dan Aspri itu, kabarnya Presiden menegaskan kembali tentang hak prerogatifnya untuk menggunakan Aspri (Asisten Pribadi). Dan yang terpenting dari rangkaian ini, ialah bahwa urusan pembinaan sosial politik tetap akan dipercayakan kepada Aspri bidang politik Mayor Jenderal Ali Moertopo.

Apakah dalam pertemuan itu juga diperbincangkan soal reshuffle eselon tertinggi di bidang Hankamnas, sebagaimana diberitakan The New Standard, tidak diketahui dengan pasti. Tapi pemuatan berita yang sebenarnya sangat peka itu tentulah bukan tanpa ada dasarnya. Dalam berita reshuffle tersebut disebutkan pula tentang ‘a qualified young man’ –seorang muda yang berkualitas– akan dimasukkan dalam kabinet. Siapakah orangnya? Dalam bursa politik disebut-sebut nama Dr Daoed Joesoef, seorang ekonom yang dikatakan brilian dan kini bekerja pada Yayasan Proklamasi, sebuah lembaga studi di lingkungan Golkar.

Sejauh mana ramalan-ramalan itu akan terbukti, proses perkembangan selanjutnyalah  yang akan menentukan.Yang jelas, pernyataan Jenderal Soemitro yang mengagetkan itu dalam dirinya telah melahirkan suatu teka-teki. Apakah pernyataan itu adalah akhir dari sebuah lakon –yang diangan-angankan atau sengaja diciptakan oleh sementara pihak– ataukah ia baru merupakan akhir dari suatu permulaan suatu proses yang sedang dan masih terus akan berjalan? Sebab, sementara itu, terjadinya gejolak-gejolak dalam masyarakat agaknya adalah suatu objektivitas yang berdiri sendiri, yang menuntut adanya perubahan-perubahan. Dalam hal ini, perubahan berupa perbaikan-perbaikan dalam kehidupan bernegara, tidak perlu harus berarti pergantian pimpinan nasional. Pernyataan akhir tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) agaknya mencerminkan objektivitas tersebut. Sambil menyatakan tetap mempercayai kepemimpinan Presiden Soeharto –meskipun katanya ada fenomena di masyarakat yang menyatakan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Soeharto– HMI meminta Presiden mengadakan penyegaran di kalangan pembantu-pembantunya.

TAK lebih dari sepekan setelah ulasan mingguan generasi muda itu, pecah peristiwa yang oleh penguasa diberi akronim Malari. Ada beberapa hal yang ditunjukkan oleh Peristiwa 15 Januari 1974. Bahwa meskipun yang lebih menonjol dari peristiwa tersebut adalah rivalitas Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo, sebenarnya yang terjadi adalah bahwa pertarungan kekuasaan kala itu adalah persaingan segi banyak. Diikuti oleh banyak kelompok dalam kekuasaan dengan kepentingan, tujuan dan taktik yang berbeda-beda. Jenderal Soeharto sendiri –yang kala itu sesungguhnya memiliki dukungan yang sudah lebih melemah di kalangan militer maupun teknokrat dibanding tahun-tahun sebelumnya– adalah satu faktor. Kaum teknokrat, Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan, adalah salah satu faktor lainnya, di samping keikutsertaan para jenderal seperti Laksamana Soedomo dan sejumlah jenderal yang lain sebagai faktor dalam permainan kekuasaan.

Peristiwa 15 Januari 1974 menjadi blessing indisguise bagi Jenderal Soeharto. Pasca peristiwa ia masih bertahan dalam kekuasaan negara selama 24 tahun lagi ke depan.

Setelah peristiwa, aksi-aksi mahasiswa berhasil dipaksa mereda. Diganti dengan berbagai tindakan represi ke dalam kampus untuk mencegah kelompok mahasiswa kembali menjadi faktor. Tapi tak urung, mahasiswa bisa terkonsolidasi kembali. Muncul Angkatan 1978, dengan Buku Putih, yang dengan lebih terbuka meminta Jenderal Soeharto turun dari kekuasaan. Tapi masih butuh waktu 20 tahun lagi sebelum Soeharto lengser dari kekuasaannya.

Laksamana Soedomo menjadi Pangkopkamtib. Pada masa-masa berikutnya dalam masa kekuasaan Soeharto, ia masuk kabinet sebagai Menteri Tenaga Kerja lalu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Ali Moertopo masuk kabinet sebagai Menteri Penerangan menggantikan Mashuri SH.

Dan adapun Dr Daoed Joesoef memang akhirnya masuk ke kabinet Soeharto sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam posisi itu ia berada dalam peran dilematis, antara tugas-tugas represif terhadap kampus yang diinginkan kalangan militer dalam kekuasaan atau upaya-upaya mempertahankan keberadaan student government meskipun dalam porsi ‘minimal’ di kampus-kampus. Kelompok militer dalam kekuasaan Jenderal Soeharto menginginkan total tak ada lagi student government. Daoed Jusuf mencoba ‘jalan tengah’ dengan melahirkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kegiatan Kemahasiswa). Dan atas pilihannya itu, mau tak mau ia dimusuhi banyak orang, tak henti-hentinya ia harus menerima terpaan badai kecaman…… Hanya sedikit yang mencoba memahami bahwa apa yang dilakukannya itu mungkin adalah pilihan the bad among the worst. (socio-politica.com)

Kisah Korupsi Para Jenderal (3)

Bukan kekebalan yang kebetulan. ‘Naas’ penindakan yang menimpa Jenderal Polisi Siswadji di paruh kedua tahun 1970-an itu bisa diterangkan dari beberapa arah pandang. Semestinya, sebagai jenderal lapis kedua di angkatannya, ia ikut memiliki ‘kekebalan’ tradisional para jenderal. Tetapi, ia telah melanggar suatu pakem penting di tubuh angkatan bersenjata kala itu, yang didominasi Angkatan Darat, yakni jangan ‘menggerogoti’ keuangan internal. Kalau ingin makanan ekstra di luar takaran, hendaknya jangan mengais di lumbung sendiri. Apalagi, saat itu lumbung anggaran Kepolisian sedang mengalami keterbatasan. Secara tradisional anggaran angkatan-angkatan di luar Angkatan Darat memang selalu lebih kecil dari pemegang hegemoni.

SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. “Di sisi lain, pada waktu yang sama, tak kurang dari Istana Presiden Soekarno sendiri yang menjadi pelopor pesta tari lenso di malam hari. Pesta yang dihadiri selain para menteri, juga dihadiri oleh para pengusaha dan dimeriahkan perempuan selebrities yang serba rupawan dan gemerlap”. “Di masa kekuasaan Jenderal Soeharto, konsep dwifungsi yang sebenarnya ideal untuk proses transisi bila dijalankan dengan baik dan benar oleh ABRI, justru menjadi jalan baru bagi tentara untuk tetap bertahan dalam posisi-posisi kekuasaan sekaligus payung pelindung bagi ekses kekuasaan yang terjadi”. (foto dokumentasi/download kaskus).

Maka, sebaiknya kreatif menciptakan rezeki melalui keleluasaan dalam wewenang yang dimiliki terhadap masyarakat –sekecil apapun wewenang itu. Asalkan, tidak mengganggu ladang angkatan lain, khususnya ladang angkatan darat, apalagi ladang milik para dewa dalam kekuasaan. Untuk yang disebut terakhir, yakni para dewa, kepolisian harus ekstra tutup mata. Hal lain yang membuat Siswadji naas dan terkena bala, karena ia melakukan korupsinya di masa Jenderal Muhammad Jusuf menjadi Menteri Hankam/Panglima ABRI –yang sangat antusias membangun citra ABRI yang manunggal dan tidak ingin ‘menyakiti’ hati rakyat.

Kepolisian Indonesia, sejak awal kemerdekaan didisain sebagai polisi profesional, sejak terbentuk di bulan September 1945. Di samping itu, berbeda dengan sejumlah besar negara lain, Kepolisian Indonesia pun dirancang sebagai polisi nasional dalam Negara Kesatuan RI, bukan polisi wilayah yang berada di bawah otoritas pemerintah daerah yang artinya dengan sendirinya juga berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Polisi Indonesia diletakkan langsung di bawah pimpinan pemerintah pusat cq Presiden. Konsep polisi nasional ini dikukuhkan 1 Juli 1946, yang hingga kini selalu dirayakan sebagai Hari Kepolisian atau Hari Bhayangkara. Ini diharapkan memperkuat profesionalitas Continue reading Kisah Korupsi Para Jenderal (3)

Soal Polisi, Sepanjang Menyangkut SBY, Harapan Itu Akan Sia-sia

SEMENTARA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –hingga sejauh ini– masih memilih ‘sikap untuk tidak bersikap’, ketegangan antara KPK dengan Polri mengalami eskalasi menuju tingkat yang lebih berbahaya. Tetapi sepanjang menyangkut langgam kepemimpinan tidak solutif dan tidak punya karakater problem solverdari jenderal staf ini, fenomena ‘sikap untuk tidak bersikap’ bukanlah sesuatu yang mengherankan betul. Dengan getir Harian Kompas (6 Agustus 2012) menyelipkan catatan saat memberitakan insiden KPK-Polri, “Dalam situasi seperti itu, semestinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyokong KPK agar bisa bekerja maksimal”. Namun, “harapan ini tampaknya sia-sia meskipun publik tetap menagih komitmen dan janji politiknya untuk memberantas korupsi”.

TOPI JENDERAL POLISI. “Untuk memperbaiki Polri, apapun caranya, semestinya kita bisa menoleh kepada Presiden Republik Indonesia, Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi bisakah itu? Mungkin tidak, karena sekali lagi, ……. sepanjang menyangkut SBY, harapan itu akan sia-sia…..”. (foto justisianews)

Setidaknya ada dua pemberitaan yang bisa menunjukkan terjadinya eskalasi ke arah berbahaya dalam benturan KPK-Polri itu.

Mingguan Berita Tempo terbaru, pekan ini, menurunkan sebuah laporan tentang pertemuan konsolidasi Pimpinan Polri dengan sejumlah Perwira Tinggi Polri (6 Agustus) untuk menghadapi ‘serangan’ KPK. Mengutip sumbernya yang ikut dalam pertemuan tertutup tersebut, Tempo mencatat serangkaian ucapan Kapolri Jenderal Timur Pradopo, yang oleh media terkemuka itu disebut sebagai orasi. “Hukum tanpa etika, namanya preman”, ujarnya. “Menggeledah tempat orang seenaknya dan menangkap orang seenaknya itu namanya garong”. Dikaitkan dengan peristiwa aktual yang sedang terjadi antara KPK dan Polri, yaitu penggeledahan KPK di Mabes Korlantas Polri, tak boleh tidak, tentulah dianggap bahwa sasaran kalimat itu adalah KPK. Beberapa media lalu mendefinitifkan bahwa Kapolri menuding KPK sebagai garong. Apalagi, dalam kesempatan yang sama, Jenderal Timur Pradopo, juga mengatakan Undang-undang Tindak Pidana yang menjadi landasan kerja KPK adalah “aturan extraordinary, tetapi belum memiliki hukum acara”.

Tempo.co sementara itu memberitakan, dalam menghadapi ‘pertarungan’ dengan KPK, seorang perwira tinggi Polri menyebutkan telah dilakukan sejumlah ‘operasi gelap’. Di antaranya, penyadapan komunikasi pimpinan Komisi Continue reading Soal Polisi, Sepanjang Menyangkut SBY, Harapan Itu Akan Sia-sia

Kebenaran tentang Sosok Jenderal Polisi Hoegeng dan Baharuddin Lopa

TAKKAN ada yang bisa membantah bahwa di tengah bayang-bayang gelap penegakan hukum di Indonesia, beberapa dekade terakhir, ada dua sosok ideal yang pernah tampil, yakni Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dan Baharuddin Lopa SH. Kedua tokoh tersebut pernah menduduki puncak tertinggi dua lembaga penegakan hukum. Jenderal Hugeng menjadi Kapolri 1968-1971, sementara Baharuddin Lopa menjadi Jaksa Agung selama 27 hari, 6 Juni sampai hari meninggalnya di Riyadh 3 Juli 2001.

Seakan ‘mewakili’ rasa hampa dan kerinduan publik akan kehadiran sosok penegak hukum yang tangguh di tengah kepengapan dan kegelapan penegakan hukum, muncul tulisan “Rindu pada Sosok Hoegeng dan Lopa” di Harian Kompas 12 September 2011 (Indah Surya Wardhani/Litbang Kompas). Tulisan ini bagus, kecuali bahwa ia mengandung kekurangan dalam akurasi pada beberapa bagian yang justru esensial terkait kebenaran peristiwa.

Dalam tulisan itu disebutkan Hoegeng dikenal tak mempan disuap dan sering menggulung pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Integritasnya teruji saat menangani tiga kasus ‘istimewa’: penembakan Rene Coenraad, pemerkosaan Sum Kuning, dan korupsi Robby Cahyadi. “Sedemikian kuat dedikasi polisi mengungkap kasus sensitif itu, hingga eksesnya membuat Hoegeng kehilangan jabatan”.

Memang Hoegeng tak mempan disuap. Tapi berbeda dengan yang digambarkan lanjut dalam tulisan tersebut, pada peristiwa sebenarnya, Hoegeng yang diidolakan masyarakat kala itu, justru sebenarnya tak berhasil menangani dengan baik kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam “Peristiwa 6 Oktober 1970” maupun Kasus Sum Kuning. Dalam kedua kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik.

PERISTIWA 6 OKTOBER 1970.  “Dalam kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik”. Karikatur Deandy Sudiana 1970.

Dalam Peristiwa 6 Oktober 1970, polisi salah menyeret terdakwa pembunuh. Bripda Djani Maman Surjaman dijadikan kambing hitam, diadili dan dihukum penjara. Ahli forensik dan ballistik memastikan Rene tertembak dengan senjata laras pendek, sedangkan Djani memegang senjata laras panjang Karl Gustav saat bertugas melerai pengeroyokan Rene oleh Taruna Akabri Kepolisian yang akan segera lulus sebagai Angkatan 1970. Ketika peristiwa terjadi, yang diketahui membawa pistol (senjata laras pendek) hanyalah para Taruna. Para Taruna yang terlibat –beberapa adalah putera perwira tinggi polisi– tak berhasil diajukan ke mahkamah militer di masa Hoegeng. Belakangan, pasca Hoegeng, dari September 1973 hingga awal 1974, barulah 8 Taruna Akabri Kepolisian diadili. Tapi dalam peradilan itu, 8 Taruna (Nugroho Djajusman dan kawan-kawan) yang sudah menjadi perwira muda polisi, mendapat hukuman yang ringan-ringan dan dianggap hanya terlibat perkelahian.

Sementara dalam kasus pemerkosaan gadis penjual telur Sum Kuning –di sebuah mobil di Ngampilan, Yogya, 21 September 1970– oleh 4 orang pemuda, polisi menunjukkan penyimpangan. Polisi tidak berani karena para pemuda itu adalah anak-anak perwira militer, salah satunya putera pahlawan revolusi di daerah itu, dan lainnya dari kalangan bangsawan. Polisi malah menangkap Sum Kuning yang berusia 16 tahun itu, dituduh memberikan laporan palsu dan anggota Gerwani/PKI. Polisi lalu menciptakan skenario bahwa tak terjadi perkosaan, melainkan hubungan sex suka sama suka dengan penjual bakso bernama Trimo. Karena sorotan pers, skenario dirubah lagi. Sembilan pemuda preman ditangkapi sebagai pelaku, padahal menurut Sum Kuning ia disergap dan diperkosa oleh 4 orang di lantai mobil. Tapi kata polisi, perkosaan dilakukan bukan di mobil tapi di sebuah rumah kontrakan di Klaten. Pers berhasil mematahkan skenario baru itu. Seberapa hebat para preman itu, sampai bisa punya mobil untuk melakukan penculikan dan perkosaan. Toh, sembilan pemuda itu tetap dipaksakan untuk diadili. Sampai berlalunya Kapolri Hoegeng, pelaku sebenarnya tak pernah berhasil diseret ke pengadilan dan kebenarannya terkubur hingga kini.

Namun, dalam kasus penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan AU Halim Perdana Kusumah oleh Robby Cahyadi, Jenderal Hoegeng memang betul-betul menunjukkan integritas, lengkap dengan keberanian yang prima. Meskipun di belakang kasus itu nama Cendana disebut-sebutkan, Hoegeng tetap bertindak. Tampaknya kasus inilah yang membuat Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri, meskipun tidak dilakukan langsung. Ia diperangkap untuk terlibat proyek pabrik helm dan karenanya menjadi bulan-bulanan serangan karena pada waktu yang bersamaan ia menetapkan kewajiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor.

Penyampaian ini, tentu tak bermaksud mengecilkan ketokohan Hoegeng, tetapi bagaimanapun kita tetap harus menyampaikan duduk perkara sebenarnya. Lebih dari sekali Harian Kompas menurunkan tulisan keliru mengenai Peristiwa 6 Oktober 1970 maupun Kasus Sum Kuning dalam konteks ketokohan Hoegeng. Tapi terlepas dari itu, yang terpenting untuk kita pahami adalah sebuah pelajaran dari realita bahwa bahkan polisi sebaik Hoegeng pun terpaksa bertekuk lutut di hadapan dan di dalam suatu kekuasaan yang otoriter dan kotor. (Baca juga Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter, sociopolitica.wordpress.com, 27 Juni 2009).

SEPERTI halnya Hoegeng, Baharuddin Lopa pun tak bisa diragukan integritasnya. Lopa telah menunjukkan integritas dan keberaniannya selaku penegak hukum, terutama sewaktu menjadi Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan dan sebelumnya di Kalimantan Timur. Namun ketika di’kandang’kan sebagai Dirjen Pemasyarakatan ia seakan kehilangan gairah dan tak banyak yang bisa dilakukannya menghadapi berbagai penyakit kronis di lingkungan itu. Begitu pula sebenarnya, saat Lopa diangkat Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Hukum/HAM. Apalagi wewenang Menteri Hukum/HAM kala itu tak lagi powerful sebagaimana masa-masa sebelumnya saat masih bernama Menteri Kehakiman. Suatu waktu, Jaksa Agung Marzuki Darusman bertemu Menteri Hukum/HAM Baharuddin Lopa, dan meminta bantuan mencari jalan keluar terhadap situasi terkait sikap hakim dalam menangani perkara-perkara korupsi. Saat itu, ada beberapa Pengadilan Negeri yang dianggap sebagai kuburan bagi kasus-kasus korupsi. Lopa mengakui keterbatasannnya. Tetapi sepanjang yang masih terkait dengan wewenangnya, ia pernah bertindak drastis, mengirim Bob Hasan ke LP Nusa Kambangan.

Sewaktu menjadi Jaksa Agung, praktis Lopa belum sempat berbuat apa-apa. Hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jaksa Agung Marzuki Darusman SH. Kasus Arifin Panigoro-Bahana maupun kasus penyimpangan dana yayasan-yayasan Soeharto seperti dituliskan Kompas, bukan ditangani Lopa, tetapi ditangani di masa Jaksa Agung sebelumnya. Tapi memang ada satu kasus yang mempertalikan masa Marzuki Darusman dan masa Baharuddin Lopa, yakni kasus Syamsul Nursalim. Di masa Marzuki Darusman, berdasarkan permintaan dan jaminan pengacara Adnan Buyung Nasution, keterangan dokter pribadi Syamsul dari Jepang maupun dokter pembanding yang ditunjuk Kejaksaan Agung, permohonan Syamsul Nursalim untuk berobat di luar negeri dikabulkan. Marzuki yang berlatar belakang aktivis HAM, juga menghadapi dilema aspek kemanusiaan. Memperhitungkan kemungkinan Syamsul bisa saja tak kembali ke Indonesia, untuk berjaga-jaga Jaksa Agung memerintahkan pencekalan isteri Syamsul, Cicih Nursalim. Tak banyak diketahui orang, justru di masa Lopa pencekalan dihapuskan, yang segera digunakan Cicih menyusul suaminya ke luar negeri. Ketika Lopa mengeluarkan serangkaian pernyataan keras tentang  Syamsu Nursalim, termasuk penjeblosan ke tahanan, ia ini malah tidak mau pulang lagi ke Indonesia. Apalagi, isterinya yang menjadi semacam ‘sandera’ sudah dilepaskan cekalnya.

Namun, bagaimanapun, Lopa adalah tokoh yang patut dijadikan model penegak hukum yang bisa diandalkan. Sayangnya, dalam 27 hari ia tak mendapat kesempatan dariNya untuk membuktikan diri sebagai Jaksa Agung yang diharapkan. Pun tak sempat memenuhi ‘syarat’ khusus pengangkatannya sebagai Jaksa Agung dari Presiden Abdurrahman Wahid, menangkap beberapa tokoh dengan tuduhan korupsi: Akbar Tandjung, Taufiq Kiemas, Arifin Panigoro dan Fuad Bawazier, yang tak bersedia dilakukan Marzuki Darusman tanpa bukti kuat.

Pada Wilayah Abu-abu Penegakan Hukum

“TENTU pengungkapan-pengungkapan yang tercipta dalam interaksi para anggota Komisi III DPR dengan Komjen Susno Duadji, tak boleh dibiarkan untuk tidak ditindak-lanjuti”. “Pengungkapan dan penyelidikan lanjut akan membuka peluang bagi kita semua untuk meninggalkan wilayah abu-abu dalam penegakan hukum dalam konteks situasi kualitatif”. Semoga suatu ketika  dalam konteks sebab-akibat penegakan hukum yang benar, “bisa dicapai kehidupan baru dan peradaban baru, yang belum pernah berhasil dicapai bangsa ini sebelumnya”.

CATATAN ini semula sebenarnya dimaksudkan sekedar sebagai sajian intermezzo akhir pekan, namun kekuatan aktualita sebagai ekor dengar pendapat Komisi III DPR dengan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji agaknya melimpah juga hingga hari penutup pekan. Sebagai pembuka, untuk mewakili nuansa intermezzo di sini dikutip narasi pengantar serial ‘Star Trek’ – The Next Generation yang digemari oleh puluhan bahkan ratusan juta penonton televisi di dunia. “Space, the final frontier. These are the voyages of starship Enterprise. It’s continuing voyages to explore strange new worlds, to seek out new life and new civilizations, to boldly go where no one has gone before!”.

Pemberantasan korupsi –yang mencakup pemberantasan mafia hukum, mafia perpajakan dan berbagai kejahatan keuangan lainnya– dan penegakan hukum secara menyeluruh di Indonesia, adalah bagaikan penjelajahan panjang di ruang angkasa menuju final frontier untuk mencapai hukum berdasarkan kebenaran bisa mencapai keadilan sedekat-dekatnya. Bukankah paham bahwa dari ‘kebenaran datang keadilan’ bersumber pada trancendent ethics atau etika keilahian yang datang dariNya nun di atas sana? Akan tetapi jangankan mencapai ruang angkasa terdepan, kita ibaratnya masih jungkir balik di wilayah abu-abu permukaan bumi sambil menghirup udara dari lapisan terendah atmosfir bumi yang sudah sangat terpolusi ini. Dan mungkin saja akan tetap seperti itu, entah untuk seberapa lama lagi.

NAMUN, wilayah abu-abu penegakan hukum –tempat bertemunya idealisme yang putih dengan hasrat hitam– bukanlah wilayah tanpa cerita menarik. Konon, untuk menangkap maling diperlukan bantuan maling. Maka polisi banyak menggunakan maling atau mantan-mantan maling sebagai informan. Untuk membongkar jaringan teroris, intelejen harus ‘bergaul’ di dalam dan mengenal dunia para pelaku teror. Sebelum tahun 1965, tentara yang anti komunis, banyak menyusupkan anggotanya ke tubuh PKI dan organisasi-organisasi kiri lainnya. Pada waktu yang sama, PKI juga menyusupkan dan atau setidaknya membina sejumlah perwira tentara agar berpikiran komunis. Jenderal Ali Moertopo pernah dicurigai sebagai ‘komunis’ belakang layar, karena ia ‘memelihara’ di lingkungannya, banyak orang yang dikenal sebagai ex komunis atau dicurigai komunis, sebagaimana ia juga ‘memelihara’ banyak tokoh Islam radikal. Tentu saja, susup menyusup begini ada juga bahayanya. Maling atau rampok yang menjadi informan polisi, banyak yang tetap jadi maling dan justru aman karena ‘kenal’ polisi. Polisi yang terlalu banyak bergaul dengan para maling bisa juga justru ikut menjadi maling atau setidaknya memanfaatkan para maling untuk keuntungannya sendiri. Banyak perwira tentara yang dulu disusupkan ke PKI, ternyata jadi PKI betulan. Perwira tentara yang berhasil dibina PKI sebelum tahun 1965, banyak yang kemudian setelah tahun 1965 berperan ‘menunjuk-nunjuk’ tokoh PKI yang terselubung sekalipun, sehingga bisa ditangkapi dan ‘dibantai’. Bahkan beberapa dari perwira tentara yang terbina PKI ini menjadi pelaku penangkapan dan penganjur pembantaian atas pengikut-pengikut PKI sambil menyelamatkan diri dengan menampilkan jasa.

Salah satu nama yang muncul dalam temu pendapat Susno Duadji dengan Komisi III DPR, Sjahril Djohan, barangkali termasuk di dalam wilayah abu-abu ini. Ia putera seorang diplomat dan pernah mendapat tugas khusus yang formal di Departemen Luar Negeri. Dikabarkan, ia banyak juga jasanya. Jaksa Agung Marzuki Darusman yang seorang putera diplomat, mengenal Sjahril Djohan dalam konteks tersebut. Marzuki Darusman yang mungkin merasa tak bisa sepenuhnya mengandalkan orang dalam Kejaksaan Agung yang belum begitu dikenalnya, memerlukan menggunakan orang luar seperti Sjahril dalam konteks yang positif. Sjahril diangkat menjadi tim ahli di Kejaksaan Agung bersama beberapa orang lain seperti Ary Suta, Prof Priatna Abdurrasjid SH dan lain-lain. Sjahril pernah dimintai bantuannya melakukan lobbi kepada Ketua Pengadilan Tinggi, untuk mengoreksi hukuman yang nyaman bagi Bob Hasan pengusaha yang dekat dengan Soeharto yang dijatuhkan di tingkat Pengadilan Negeri. Di tingkat banding, Bob Hasan dijatuhi hukuman lebih berat. Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa kemudian bahkan me-Nusakambangan-kan Bob.

Kehadiran Sjahril Djohan di Kejaksaan Agung, diterima secara beragam. Konon, ia punya banyak teman lama di sana, yakni antara lain ex Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta) yang berkarir jaksa. Tapi di lain pihak, banyak juga jaksa yang tak senang. Mingguan Tabloid Adil pernah memberitakan kehadiran Sjahril Djohan di Kejaksaan Agung sebagai pengatur perkara. Adapun Marzuki Darusman –yang sejauh ini tercatat sebagai Jaksa Agung yang secara kuantitatif amat banyak menyeret tersangka korupsi ke ruang pemeriksaan dan sel tahanan Kejagung– ia merasa tak bisa dipengaruhi oleh Sjahril Djohan, meskipun ia itu teman lama. Sebagaimana, Marzuki juga tak bisa dipengaruhi oleh kolega-kolega politiknya di Golkar yang memintanya untuk menghentikan proses terhadap Ginandjar Kartasasmita. Sejumlah teman lama di masa perjuangan mahasiswa juga pernah menemui Marzuki untuk menyelamatkan seorang teman dari masa perjuangan yang sama dalam kasus BLBI. Tidak dikabulkan. Beberapa politisi lintas partai pun pernah menyatakan kejengkelannya di belakang ketika Marzuki tidak mengabulkan permohonan mereka untuk menyelamatkan sejumlah terdakwa korupsi. Di antara anggota DPR lintas partai ini, ada yang saat ini namanya disebut-sebut sebagai penerima travel chegue ratusan juta dalam kasus Miranda Goeltom. Bahwa Marzuki tak selalu menggunakan aparat Kejaksaan Agung, juga terlihat saat ia ingin mengecek langsung apakah betul mantan Presiden Soeharto sakit atau tidak. Ia memanfaatkan jasa seorang teman lamanya yang bisa mempersuasi agar mantan Wakil Presiden Sudharmono SH meng-arrange kunjungan ke Cendana. Dan pada suatu malam Marzuki Darusman bisa menengok Soeharto di Cendana. Setelah melihat sendiri keadaan Soeharto, Marzuki Darusman tiba pada kesimpulan bahwa sakitnya Soeharto itu tidak pada tingkat yang cukup untuk dijadikan alasan kuat menghentikan proses terhadap mantan penguasa Indonesia ini. Sehingga, penuntutan dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung.

Sjahril Djohan juga disebut sangat dekat dengan Susno Duadji. Susno membantah. Seorang jenderal polisi bintang tiga lainnya, Komjen Makbul Padmanegara, mengakui Sjahril Djohan sebagai kenalan, tetapi tidak dalam konteks pengaturan perkara. Tapi kalau memang kedekatan itu ada, meminjam pengacara Susno, Henry Yosodiningrat, “so what” sepanjang tidak dalam hubungan yang berbau penyalahgunaan kekuasaan. Soal Sjahril bisa saja menyalahgunakan, itu soal lain. Sjahril Djohan juga diberitakan punya surat pengangkatan sebagai anggota fungsional di Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri. Kehadiran orang sipil di Polri sebenarnya bukan hal baru, di sana ada orang-orang sipil yang menjadi staf atau penasehat ahli. Belakangan ini dalam polemik dan sorotan mengenai Polri, muncul digaris depan nama-nama seperti Dr Bahtiar Aly, Dr Chairul Huda dan Dr Kastorius Sinaga, yang membela Polri mati-matian. Seorang perwira tinggi di Markas Besar Polri, dan seorang teman lama Sjahril bernama Harry Hupudio mengungkap bahwa Sjahril pernah membantu Polri di masa Kapolri Dai Bahtiar  masih menjadi Kabareskrim dalam upaya ekstradisi Hendra Rahardja terhukum kasus BLBI Bank BHS yang kabur ke Australia, hanya saja yang bersangkutan keburu meninggal dunia. Jadi, sejauh ini ada dua versi yang sangat berbeda mengenai Sjahrial Djohan. Salah satu versi bisa salah, sementara yang lain benar. Hitam dan Putih. Atau bisa juga kedua versi sama benarnya, hitam dan putih yang merubah warna menjadi abu-abu, dalam artian Sjahrial Djohan melakukan kegiatan ‘sambil menyelam minum air’. Sebuah pepatah Belanda mengatakan ‘kesempatan menciptakan maling’.

TENTU pengungkapan-pengungkapan yang tercipta dalam interaksi para anggota Komisi III DPR dengan Komjen Susno Duadji, tak boleh dibiarkan untuk tidak ditindak-lanjuti. Menyangkut Sjahril Djohan, ia pernah ada dalam posisi resmi dan sah sejak di Kopkamtib lalu Departemen Luar Negeri, tapi kini ada dalam sorotan, sehingga merupakan pertanyaan, sejak kapan ia berubah wujud? Pengungkapan dan penyelidikan lanjut akan membuka peluang bagi kita semua untuk meninggalkan wilayah abu-abu dalam penegakan hukum dalam konteks situasi kualitatif. Semoga suatu ketika  dalam konteks sebab-akibat penegakan hukum yang benar, “bisa dicapai kehidupan baru dan peradaban baru, yang belum pernah berhasil dicapai bangsa ini sebelumnya”. Soal metode yang dijalankan dalam suasana abu-abu, barangkali soal lain, asal para pengguna metode itu jangan tergelincir menjadi hitam. Jangan sampai polisi justru menjadi criminal in uniform karena larut dalam metode. Harus juga bersikap adil dan tak mudah menggeneralisasi bahwa semua kenalan Sjahril Djohan –bila ia nanti terbukti melakukan praktek makelar kasus seperti apa yang dituduhkan– apakah ia jaksa, polisi atau hakim, atau teman lama, dengan sendirinya ada dalam hubungan berkonotasi hitam. Dan karena ia misalnya juga adalah kakak penyanyi populer masa lampau, Ernie Djohan dengan lagu terkenal ‘Teluk Bayur’, jangan sampai sang adik jadi bulan-bulan infotainment.

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (3)

“Dan pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto, pusat kemakmuran beralih pada konglomerasi maupun ‘kerajaan’ bisnis keluarga yang ditopang perilaku korupsi-kolusi-nepotisme. Salah satu ledakan besar akibat perilaku korupsi-kolusi-nepotisme itu terjadi melalui skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di akhir masa kekuasaan Soeharto yang penyelesaiannya menjadi pekerjaan rumah berkepanjangan hampir sepanjang masa reformasi”.

Kelompok Kaya Baru dan Para Cukong

KELOMPOK kaya baru ini mempunyai sejumlah simbol status. Salah satu simbol adalah rumah mentereng –kebanyakan dibuat bertingkat– yang dibangun di atas tanah yang luas di wilayah kota yang bergengsi seperti di Menteng, Kebayoran Baru dan Pondok Indah. Selain itu, tak henti-hentinya dibuka wilayah pemukiman baru yang elite dari waktu ke waktu. Setiap kota besar lainnya di luar Jakarta, juga senantiasa punya daerah-daerah pemukiman elite. Bertumbuhnya Jakarta menjadi metropolitan, yang segera ditiru gayanya oleh kota-kota besar lainnya, bagaimanapun telah memicu meningkatnya hasrat konsumerisme yang tidak produktif. Sikap konsumtif itu berinteraksi, saling mempengaruhi secara timbal balik dengan hasrat korupsi yang dilakukan sebagai jalan pintas untuk memperoleh kemewahan hidup melebihi lapisan masyarakat lain pada umumnya. Hasrat konsumtif memicu hasrat berkorupsi, lalu keberhasilan memperoleh tambahan kekayaan melalui korupsi itu bekerja kembali untuk makin meningkatkan konsumerisme.

Selain memiliki rumah mewah, simbol status lainnya adalah memiliki mobil-mobil mewah. Setiap keluarga sebaiknya memiliki lebih dari satu, biasanya 3 sampai 4 mobil sekaligus. Simbol lainnya adalah pesta-pesta perkawinan keluarga yang luar biasa semarak lengkap dengan upacara adat yang agung dan berbiaya mahal. Pastilah untuk melayani hasrat bermobil mewah, maka seorang cina muda bernama Robby Cahyadi –nama kelahirannya Sie Cia Ie–  muncul menjadi bintang penyelundup mobil mewah. Tidak tanggung-tanggung, mobil mewah ini diselundupkan melalui Halim Perdana Kusumah yang ada dalam kawasan Angkatan Udara Republik Indonesia. Desas-desus yang tercipta menyebutkan keterlibatan nama-nama yang dekat dengan Cendana. Desas-desus ini menjadi kuat dan diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat, karena Kapolri Hugeng Iman Santoso yang menindak tegas penyelundupan itu belakangan dicopot dari jabatannya, tapi resminya disebut akan memasuki masa persiapan pensiun. Ia diganti oleh Jenderal M. Hasan. Dalam proses peradilan atas diri Robby Cahyadi, nama-nama kalangan atas lenyap dan tinggallah Robby sendiri dan beberapa pejabat kelas menengah bawah seperti Abu Kiswo dan Heru dari Direktorat Bea Cukai yang akhirnya harus menerima hukuman dan meringkuk dalam penjara.

Bersamaan dengan meningkatnya konsumerisme dan korupsi, rasa keadilan masyarakat makin tersayat dan menimbulkan kerak luka dalam sanubari rakyat banyak. Timbun menimbun dari waktu ke waktu dan menciptakan apa yang disadari waktu itu sebagai jurang sosial yang makin menganga, menunggu waktu untuk meletup. Suatu keadaan yang masih berlanjut hingga kini tanpa adanya kemampuan dari mereka yang naik ke dalam kekuasaan untuk memperbaikinya.

Siapa-siapa saja yang berhasil menjadi anggota kelompok kaya baru di Indonesia ?

Pembangunan ekonomi yang selangkah demi selangkah mengalami kemajuan berarti, membuka banyak peluang. Mereka yang berhasil menangkap peluang, menjadi kelompok kaya baru. Banyak di antaranya yang berhasil memperolehnya dengan memeras keringat dan otak melalui jalan-jalan yang wajar. Namun masih lebih banyak lagi yang berhasil memperoleh peluang semata-mata karena kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan –dan atau memang ada di pusat kekuasaan itu sendiri. Mereka yang disebut terakhir ini, masih tetap merupakan pola hingga tahun 2009.

Pusat kemakmuran yang termasyhur, di awal masa kekuasaan Soeharto, jelas adalah Pertamina di urutan pertama. Di bawahnya barulah perusahaan-perusahaan milik negara lainnya. Keberadaan BUL (Badan Urusan Logistik) yang kemudian berubah jadi BULOG juga menonjol dan termasuk sebagai lembaga yang banyak memberi kesempatan dan rezeki kepada beberapa pihak. Dan pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto, pusat kemakmuran beralih pada konglomerasi maupun ‘kerajaan’ bisnis keluarga yang ditopang perilaku korupsi-kolusi-nepotisme. Salah satu ledakan besar akibat perilaku korupsi-kolusi-nepotisme itu terjadi melalui skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di akhir masa kekuasaan Soeharto yang penyelesaiannya menjadi pekerjaan rumah berkepanjangan hampir sepanjang masa reformasi. Di masa pasca Soeharto, jalan pintas untuk kemakmuran pribadi mendadak berwujud sebagai korupsi berjamaah di berbagai penjuru tanah air, selain melibatkan pelaku tradisional dari kalangan birokrasi, juga melibatkan kalangan legislatif di pusat maupun di daerah. Sejumlah anggota DPR-RI menjadi tersangka di KPK. Perilaku korupsi dan nepotisme pun merasuk ke dunia politik terutama di tubuh partai-partai politik, sementara praktek mafia hukum belum kunjung usai. Terkait perilaku kalangan kekuasaan,  apa yang terjadi dengan bailout Bank Century mengingatkan pada pola BLBI.

Di Pertamina pada masa-masa awal kekuasaan Soeharto, selain Ibnu Sutowo dan keluarganya, terdapat sederetan nama termasyhur yang kemudian tercatat sebagai elite keuangan Indonesia. Nama-nama itu antara lain, Haji Thaher, Kolonel Sjarnubi Said dan Brigjen Pattiasina, serta sederetan nama dalam jumlah besar namun tidak terlalu populer sehingga dapat disebut ‘beruntung’ karena tidak menjadi sorotan pers. Terselip pula nama seorang cina yang banyak berdomisili di Singapura, Tong Djoe, yang mewakili banyak kepentingan Ibnu Sutowo di luar negeri.

Bagaimana mudahnya pemegang otoritas di Pertamina memperoleh uang, bisa ditunjukkan dengan suatu ‘rahasia umum’ tentang betapa berharganya tanda tangan otoritas perusahaan minyak itu. Newsweek 16 Juni 1969 mengutip pengakuan seorang pejabat perusahaan minyak Amerika Serikat yang mengungkap berbagai pungutan dan suap yang harus dikeluarkan untuk mendapat persetujuan. “Kami tahu bahwa kami harus membayar dua kali lipat untuk segala sesuatu, tetapi potensi keuntungannya cukup memadai”, ujar sang pengusaha. Hanya untuk memperoleh ‘hak guna usaha’ sumber minyak lepas pantai (offshore lease), para pengusaha asing pada umumnya bersedia membayar ‘harga’ tanda tangan (bonus signature) yang berkisar antara US$ 100,000 sampai US$ 7,000,000. Perusahaan yang memperoleh hak guna usaha itu mendapat 40 persen dari hasil produksinya untuk menutupi ongkos-ongkos dan kemudian harus menyerahkan 2/3 dari 60 persen sisanya kepada Pertamina. Selanjutnya seluruh perlengkapan bergerak menjadi milik Pertamina dan disewakan kembali kepada produsen yang bersangkutan. Bersamaan dengan berita Newsweek itu, Harian Operasi yang terbit di Jakarta, pada penerbitan 14 Juni 1969, memberitakan satu contoh lain yang berlevel lebih bawah, berupa pembelian 21 kapal tanker oleh Pertamina senilai US$ 242,720,000. dengan pembayaran jangka 10 tahun yang memakai borg (jaminan) 6 tanker Pertamina. Harga itu menurut Harian Operasi tidak wajar dan di atas standar. “Kontrak pembelian semula akan disetujui oleh Menteri Perhubungan Drs Frans Seda sendiri. Tetapi entah karena apa, Frans Seda akhirnya menyerahkan pada bawahannya, tanpa meneliti tentang cocok tidaknya harga dan layak tidaknya borg yang diminta”.

Pertamina pun banyak mencetak ‘bintang’ baru, berhasil menciptakan sederetan pengusaha nasional baru. Kedekatan dengan pejabat-pejabat penentu di Pertamina merupakan berkah bagi banyak orang, termasuk dari kalangan kaum muda. Salah satu diantara bintang ‘succes story’ adalah Ir Siswono Judohusodo mantan aktivis GMNI Ali Surachman sewaktu masih kuliah di ITB –dan pernah berseberangan dengan Angkatan 1966 dalam Peristiwa Penyerbuan Gedung KAMI Konsulat Bandung dan Peristiwa 19 Agustus 1966 yang menewaskan mahasiswa Universitas Parahyangan Julius Usman. Siswono akhirnya menjadi satu konglomerat muda dengan kemampuannya menangkap dan memfaedahkan kesempatan-kesempatan yang diberikan Ibnu Sutowo untuk membangun kerajaan bisnisnya group Bangun Tjipta Sarana. Hanya saja, tatkala Ibnu Sutowo goncang dan Pertamina yang nyaris bangkrut ‘dibersihkan’ pada tahun 1975, sisa tagihan Siswono dalam jumlah besar yang belum terbayar Pertamina ikut mengalami pemangkasan. Waktu itu, ada asumsi bahwa seluruh harga-harga Pertamina di’mark-up’ dalam jumlah besar tertentu, maka wajar bila para penagih tidak akan dibayar penuh lagi.

Tokoh-tokoh muda lain yang sempat terbantu oleh Ibnu Sutowo adalah Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi dan kawan-kawan dari HMI. Proposal mereka disetujui, dan berdirilah industri kawat las di bawah nama group Kramayudha. Pada masa jaya Ibnu Sutowo memimpin Pertamina, memang ada begitu banyak orang yang kebagian rezeki, baik dari kalangan tentara maupun dari kalangan politik. Termasuk beberapa kalangan pers. Namun tercatat pula sejumlah pers yang gigih membongkar korupsi dan penyalahgunaan di Pertamina, di antaranya adalah Harian Indonesia Raya di Jakarta yang dipimpin oleh tokoh pers kawakan Mochtar Lubis dan Mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung. Dan tentu saja, ada kritik gigih dari kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di berbagai kota, termasuk Bandung.

BUL atau BULOG yang dipimpin oleh Mayjen Achmad Tirtosudiro, juga menjadi salah satu pemberi berkah dan rezeki kepada berbagai pihak, kalangan tentara maupun pengusaha. Pengusaha paling termasyhur dalam hubungan BUL adalah seorang pengusaha keturunan cina Teguh Sutantyo Direktur Utama Mantrust di Bandung. PT Mantrust ini adalah produsen beras Tekad. Selain itu, group Mantrust bergerak di bidang pengolahan bahan makanan lainnya seperti ikan kaleng, corned beef, biskuit, pengolahan jamur dan nasi goreng kaleng, Perusahaan yang dipimpin Teguh Sutantyo ini pernah menghebohkan dengan skandal pengiriman makanan kaleng yang busuk isinya untuk Pasukan Perdamaian PBB dari Indonesia di Kongo, Afrika, yang dikenal sebagai Pasukan Garuda. Menurut Harian Indonesia Raya (3 September 1969) dan Mingguan Mahasiswa Indonesia (7 September 1969), kejadian ini hanyalah salah satu skandal yang pernah dilakukan oleh Teguh Sutantyo dengan oknum-oknum yang dikenal dekat dengan Istana. Skandal kedua yang menghebohkan, terkait dengan pengadaan beras sintetis Tekad. Beras Tekad ini, selain harganya ternyata lebih tinggi dari beras biasa, pembangunan pabriknya juga bermasalah, yakni dalam pengadaan mesin-mesinnya.

Pada bulan Agustus 1969, tersiar kabar dalam pers Jepang tentang ditangkapnya dua orang yang terlibat manipulasi ekspor. Kedua orang itu adalah Namio Kida –seorang Jepang kelahiran Indonesia– dan Santoso Sutantyo yang disebut pers Jepang sebagai ‘an Indonesian businessman of Chinese’, dari perusahaan Mexim, Tokyo. Koran Jepang terkemuka ‘Asahi Shimbun’ memberitakan bahwa Kida dan Sutantyo telah merencanakan mengeruk keuntungan dengan menggunakan transaksi-transaksi bantuan ekonomi Jepang kepada Indonesia. Pada bulan Mei 1967 mereka membentuk perusahaan Mexim Corporation Limited dan berkantor di Rosei Building, Nigashi Arabu, Miniati-Ku, Tokyo. Kemudian mereka menandatangani perjanjian dengan perusahaan Djaya di Jakarta yang presiden direkturnya bernama Dharma Surya, untuk mengekspor plant seharga 900 juta yen bagi pembangunan pabrik beras sintetis di Bandung. Tetapi sebetulnya yang diekspor hanyalah mesin-mesin penggiling tepung, mesin-mesin pengering dan mesin-mesin conveyor seharga 640 juta yen. Lalu mereka membuat laporan mengenai impor-ekspor tersebut kepada pemerintah Jepang dan Indonesia yang mencantumkan nilai 900 juta yen. Dan sesuai dengan peraturan bantuan ekonomi Jepang bahwa dalam hal pelaksanaan bantuannya Jepang akan membayar kepada pengusaha-pengusaha yang mengekspor barangnya ke Indonesia, maka Mexim menerima 900 juta yen. Dengan demikian menurut Asahi Shimbun, Kida dan Sutantyo telah memasukkan transaksi dan mengantongi keuntungan tidak sah sebesar 260 juta yen. Diungkap pula bahwa uang keuntungan itu ditukar dalam bentuk cek dengan pecahan nilai antara 200 ribu sampai 300 ribu yen di berbagai bank di Tokyo dan sebanyak sepuluh kali dibawa ke Hongkong untuk ditukar dalam bentuk US$ lalu dimasukkan ke Indonesia. Berita itu menyebut PT Mantrust di Bandung sebagai dalang di balik komplotan ini.

Menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia permintaan penyelesaian perkara dan pembebasan sementara bagi para pelaku pernah diusahakan oleh Jenderal Soedjono Hoemardani kepada Menteri Keuangan Jepang Fukuda. Soedjono Hoemardani ini disebutkan sebagai sangat dekat dengan Istana, yang kemudian dikenal sebagai salah satu Aspri Presiden Soeharto. Soedjono Hoemardani ini kelak menjadi salah satu tokoh sasaran kritik para mahasiswa Jakarta maunpun Bandung dalam suatu gelombang anti Jepang di Indonesia dan mendapat julukan ‘dukun’ Jepang di Indonesia bersama Ali Moertopo.

Untuk pembuatan beras Tekad, PT Mantrust sebenarnya memperoleh alokasi devisa sebesar US$ 2,5 juta dari pemerintah melalui Bank Indonesia dan juga mendapat Rp 150 juta dari BUL yang dipimpin Mayjen Ahmad Tirtosudiro. “Ini semua bisa diperoleh berkat hubungannya yang mesra dengan sejumlah pejabat penting seperti Ketua BUL Mayjen Achmad Tirtosudiro dan Mayjen Surjo” tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia 14 September 1969. US$ 2,5 juta tersebut diambilkan dari kredit Jepang yang di-BE-kan. Sebagai ilustrasi berapa kira-kira nilai rupiah waktu itu dapat disebutkan bahwa harga sebuah mobil sedan Corolla adalah Rp 1,9 juta. Belakangan terungkap pula bahwa uang muka yang Rp 150 juta tersebut secara diam-diam telah bertambah mencapai jumlah Rp 1100 juta. Di luar itu PT Mantrust dalam rangka beras Tekad telah memperoleh pula bantuan BUL sebanyak 4800 ton terigu seharga Rp 97 juta. Walaupun, menurut rencana semula beras Tekad hanya terdiri dari bahan-bahan ketela, kacang dan jagung, tanpa terigu. PT Mantrust pada bulan September 1969 baru mampu memasok 7500 ton Tekad seharga Rp 180 juta. Dengan demikian Mantrust malah masih berhutang sebesar Rp 1.017 juta kepada BUL. Sungguh suatu fasilitas yang luar biasa, pembayaran jauh di depan, dalam jumlah yang besar lagi. Sungguh suatu usaha yang betul-betul nyaman. Namun nyatanya, pada akhirnya proyek beras Tekad itu gagal karena rasa dan kualitasnya yang rendah dan tidak diterima masyarakat.

Tentang hubungannya dengan PT Mantrust Mayjen Achmad Tirto dalam wawancara dengan Rum Aly dari Mingguan Mahasiswa Indonesia di bulan Februari 1970 menjelaskan beberapa hal. “Kalau nama saya dihubung-hubungkan dengan Mantrust, soalnya adalah memang dulu saya termasuk salah satu sponsor dari pemerintah untuk mendirikan pabrik beras Tekad. Kemudian pabrik itu didirikanlah. Lalu kemudian karena perkembangan harga beras, produksi beras meningkat sekarang. Beras Tekad produksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan” (Pada kesempatan lain ia pernah mengakui bahwa beras Tekad gagal karena kebetulan produksi beras meningkat kembali, dan beras Tekad itu sendiri memang tidak begitu diterima dan disukai masyarakat). Itu adalah suatu keadaan yang patut disayangkan, ujar Achmad Tirto dengan nada pembelaan, “Dan akan merugikan produsen yang memproduksi beras tersebut. Sekarang ia mempunyai kemampuan yang lebih kecil di dalam pengembalian kreditnya”. Jadi itulah sebabnya, “nama saya seringkali dihubung-hubungkan dengan Mantrust”. Yang mendirikan pabrik beras Tekad adalah Mantrust, “kami yang ditugaskan mengadakan pengontrakan pembelian beras Tekad dan yang mensponsori proyek beras Tekad”.

Tapi menurut Mahasiswa Indonesia sepanjang yang dapat diketahui, hubungan antara Mantrust dengan Achmad Tirto telah ada sejak Achmad Tirto masih bertugas di CIAD (Corps Intendant Angkatan Darat, semacam Dinas Perbekalan AD). Pada waktu itu Mantrust berhasil menjadi suplier berbagai jenis makanan kaleng, seperti nasi goreng, biskuit mari dan lain-lain. Seringkali makanan-makanan kaleng itu membusuk ketika tiba di tujuannya, karena kualitasnya yang rendah. Malahan pernah sejumlah besar makanan kaleng terpaksa dipulangkan. Selain itu, Mayjen Achmad Tirtosudiro sendiri pernah mengakui kepada delegasi KAMI Bandung di tahun 1967 bahwa ia memang mempunyai hubungan pribadi dengan Mantrust. Bahwa pihak Mantrust merasa rugi karena penghentian produksi Tekad, keterangannya harus diragukan karena Direktur Mantrust pada pidato upacara pembukaan pabrik Tekad di Bandung mengatakan sendiri bahwa sewaktu-waktu produksi bisa dialihkan untuk membuat bahan-bahan makanan lain seperti bakmi, makaroni dan spaghetti.

Terhadap pertanyaan kenapa dalam penetapan Mantrust itu tidak ada tender terbuka sebelumnya, Achmad Tirto menjawab “Begini,… jadi sewaktu didalam permulaan rencana pelaksanaan untuk mengisi kebutuhan pangan, dicari yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakannya”. Siapa saja yang waktu itu sanggup, ujar Tirto, itu bagi bank sebetulnya terbuka kesempatan untuk melakukannya juga (Maksudnya, siapa pun bisa juga mengajukan permohonan kredit ke bank). “Itulah sebabnya tidak diadakan tender karena kita dihadapkan kepada kecepatan mengatasi masalah pangan. Justru waktu itu yang sanggup adalah Mantrust. Dan sebetulnya, kalau soal pabriknya semuanya selesai hanya sekarang produksinya yang agak terhenti karena pemesanan dari pemerintah dibatasi. Menurut Mahasiswa Indonesia sama sekali tidak pernah diumumkan akan dibukanya suatu proyek beras sintetis. Tiba-tiba saja dilakukan penunjukan terhadap Mantrust, sehingga adalah tidak mungkin bagi perusahaan-perusahaan lain untuk ikut serta seperti yang digambarkan Achmad Tirto.

Sepanjang yang dapat dicatat, hingga tahun-tahun terakhir ini, berbagai skandal terkait dengan Bulog masih senantiasa terjadi.

Berlanjut ke Bagian 4

Kini, Kisah Tiga Jenderal: Jejak Rekam Masa Lampau (4)

Salah satu kisah di balik berita, menggambarkan adanya hubungan yang kurang nyaman antara Prabowo Subianto dengan Jenderal Wiranto ….

KARENA menjadi menantu tokoh tertinggi dalam kekuasaan di Indonesia, kuat anggapan subjektif di masyarakat bahwa karir militer Prabowo Subianto cepat menjulang karenanya. Sebagai menantu Presiden, meski barangkali justru merepotkan kesatuannya dalam segi pengamanan, toh beberapa kali Prabowo pergi bertugas ke daerah berbahaya, seperti Timor Timur dan Irian Jaya (kini dinamai Papua). Penugasannya di daerah-daerah ‘berbahaya’ ini juga menjadi sumber berkembangnya berbagai cerita ‘spektakuler’, seperti misalnya tentang suatu ‘kecelakaan’ yang menimpanya di Timtim. Sedang di Irian Jaya, muncul kisah kegemilangannya menyelesaikan dan menumpas pelaku penyanderaan oleh kelompok bersenjata terhadap perwira TNI. Karena menantu Soeharto, Prabowo memang menjadi fokus perhatian dan juga rumor politik.

Setidaknya, Prabowo Subianto dalam usia relatif muda sudah memangku beberapa jabatan komando yang penting, yakni sebagai Danjen Kopassus dan kemudian Panglima Kostrad. Dan kala itu, tampaknya tinggal soal waktu saja ia berturut-turut akan menjadi KSAD dan selanjutnya Panglima ABRI.

Perkembangan karir Susilo Bambang Yudhoyono di masa kekuasaan Soeharto tidak banyak menjadi perhatian publik, untuk tidak mengatakannya nyaris tak terdengar untuk beberapa lama. Perhatian bahkan lebih banyak tertuju kepada Jenderal Sarwo Edhie sang mertua, yang dari waktu ke waktu mengalami banyak tekanan untuk makin menepikan posisi dan peranannya dalam rezim Soeharto. Bukan hanya oleh Soeharto, tetapi juga oleh banyak jenderal lain yang sebenarnya justru tak terlalu besar peranannya dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965. Satu dan lain sebab, sikapnya yang kritis, terutama terhadap perilaku korup dan manipulatif dari sejumlah jenderal, membuatnya memiliki daftar musuh yang selalu bertambah. Selain itu, bisa dianalisa bahwa ada kekuatiran tertentu dari Soeharto sendiri terhadap popularitas Jenderal Sarwo Edhie –sebagaimana juga halnya terhadap Jenderal HR Dharsono–  terutama di kalangan generasi muda dan kaum intelektual.

Nama Susilo Bambang Yudhoyono baru mulai menjadi perhatian ketika ia menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya terutama dalam kaitan Peristiwa 27 Juli 1997. Kemudian, kendati menjabat sebagai Kasospol ABRI, namanya tak banyak terkait dan atau dikaitkan dalam aneka peristiwa sospol pada tahun ‘pergolakan’ pasca lengsernya Soeharto. Sesudah itu, ia tercatat menjadi menteri kabinet Presiden Abdurrahman, semula Menteri Pertambangan dan Energi lalu Menko Polkam. Berbeda dengan Prabowo, adik kelasnya, Susilo Bambang Yudhoyono lebih tercitrakan sebagai perwira staf daripada perwira komando.

Selain pernah bersama selama beberapa tahun sebagai taruna Akabri, Susilo Bambang Yudhoyono dan adik kelasnya, Prabowo Subianto, praktis tak pernah ada dalam persinggungan peristiwa, apalagi dalam konotasi berseberangan, sampai dengan saat mereka memasuki proses pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2009. Perbenturan peristiwa justru lebih mewarnai hubungan Prabowo Subianto dengan Jenderal Wiranto yang jauh lebih senior dari kedua tokoh tersebut.

Sebenarnya, memang cukup banyak jenderal lebih senior yang tidak nyaman, untuk tidak mengatakannya was-was, terhadap meluncur pesatnya karir putera Soemitro Djojohadikoesoemo ini. Agaknya, sukar dihindari kesan bahwa sewaktu-waktu Prabowo akan menyalib beberapa perwira tinggi senior yang sedang ‘menunggu’ giliran ke atas. Padahal, menoleh ke belakang, Prabowo Subianto sebenarnya nyaris tidak bisa diterima masuk Akabri karena sampai tahun 1970, bahkan sampai sesudahnya, sikap alergi di tubuh ABRI terhadap ex PSI masih cukup kuat. Bagaimanapun Soemitro Djojohadikoesoemo, ayahandanya, adalah seorang tokoh PSI yang di mata sejumlah perwira teras ABRI punya ‘dosa’ karena pernah ikut dalam jalinan pemberontakan PRRI tahun 1957-1958 sehingga harus hidup di luar negeri  sebagai ‘pelarian’ politik hampir sepuluh tahun lamanya. Selain itu, sepulangnya ke Indonesia, Prabowo turut dalam aktivitas kelompok gerakan pembangunan yang selain dikonotasikan titisan PSI juga dianggap banyak bersentuhan dengan perwira-perwira Siliwangi yang mulai ‘diamat-amati’ oleh inner circle kekuasaan Soeharto. Padahal dalam kenyataan, anggapan itu tidaklah sepenuhnya benar.

Salah satu kisah di balik berita, menggambarkan adanya hubungan yang kurang nyaman antara Prabowo Subianto dengan Jenderal Wiranto, terutama tatkala yang disebut belakangan ini ada dalam posisi sebagai Panglima ABRI pada periode ‘terakhir’ Presiden Soeharto menjelang Mei 1998. Sebelum itu, jabatan Panglima ABRI sudah sejak lama dipisah dengan jabatan Menteri Hankam, dan Jenderal M. Jusuf adalah yang terakhir memegang jabatan rangkap tersebut, menyusul gejala ‘kecemasan’ Presiden Soeharto bahwa mereka yang merangkap kedua jabatan itu bisa menjadi terlalu kuat. Menurut catatan, saat merangkap jabatan itu, Jenderal Jusuf telah menjadi begitu populer –meskipun sebenarnya popularitas itu lebih bertumpu kepada beberapa kelebihan pribadi sang jenderal sendiri– bahkan sempat santer disebut-sebut sebagai calon Wakil Presiden berikutnya setelah Adam Malik, dan pada periode berikutnya lagi bisa menjadi Presiden. Presiden Soeharto sempat setuju M. Jusuf menjadi calon Wakil Presiden. Namun, sejumlah ‘tokoh’ inner circle yang mencium adanya rencana M. Jusuf, bahwa begitu menjadi Wakil Presiden, akan membersihkan mereka yang banyak terlibat pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan kelompok dan pribadi, mendadak bangkit untuk menghadang. Dan mereka berhasil ‘meyakinkan’ Soeharto tentang risiko bila M. Jusuf sempat menjadi Wakil Presiden dan bukan tak mungkin akan lanjut meluncur ke posisi yang lebih tinggi.

Tercatat adanya beberapa ‘benturan’ yang pernah terjadi antara Jenderal Wiranto dengan Prabowo Subianto. Meminjam pemaparan Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan dalam buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Penerbit Buku Kompas, Maret 2009), Prabowo Subianto pernah membentur pengajuan Mayjen Suwisma sebagai Danjen Kopassus oleh Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi) dan telah disetujui Pangab Jenderal Wiranto. Prabowo menyampaikan penolakannya, langsung kepada Presiden Soeharto, sang mertua, dengan alasan Suwisma beragama Hindu (Bali) sedangkan mayoritas anggota Kopassus beragama Islam. Soeharto menyetujui keberatan itu dan sebagai hasil akhirnya Mayjen Muchdi PR lah yang diangkat menjadi Danjen Kopassus. Dalam jabatan itu kemudian, seperti diketahui, Muchdi PR mendapat tuduhan melakukan penculikan dan penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis gerakan kritis, namun lolos di MA. Prabowo dan Wiranto juga digambarkan berada dalam suatu situasi rivalitas dalam gerakan karir ke atas. Sebagai menantu penguasa tertinggi rezim, banyak yang memperkirakan Prabowo adalah salah satu calon putera mahkota. Meskipun, sementara itu ada gambaran bahwa Siti Hardianti Rukmana, puteri sulung Soeharto lah yang ada dalam urutan pertama sebagai ‘pewaris’ kekuasaan. Sehingga, ada juga gambaran tentang terjadinya rivalitas internal Cendana, antara Prabowo dengan Siti Hardianti, yang sama-sama memiliki barisan pengikut yang kuat di lingkaran istana.

Dengan kuatnya perkiraan bahwa Prabowo adalah putera mahkota, maka pada hari-hari genting Jakarta pertengahan Mei yang ditandai dengan makin meningkatnya demonstrasi mahasiswa, yang menimbulkan spekulasi akan ada semacam pengalihan kekuasaan atau yang semacamnya, sejumlah tokoh politik mengarus ke Markas Kostrad tempat Prabowo sehari-hari berada. Meningkatnya kegiatan pertemuan di Markas Kostrad ini kelak menjadi salah satu point yang dianggap penting dalam laporan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) setelah pecahnya tragedi Mei 1998.

Berlanjut ke Bagian 5

Sejarah Persahabatan Korupsi dan Birokrasi (4)

Pada saat kekuasaan Soeharto bertambah kokoh sebelum dan sesudah pemilihan umum tahun 1971 birokrasi negara dimasuki oleh kalangan tentara dan tentara menjadi sangat dominan di dalamnya. Tentara atau tepatnya para perwira Angkatan Darat kala itu dianggap sebagai barisan yang lebih cakap dan mampu dibanding kalangan sipil untuk mengelola pemerintahan, meskipun kelak terbukti bahwa adalah tidak benar kualitas para tentara lebih unggul. Masalahnya adalah bahwa setelah jatuhnya Soekarno, memang sebagai institusi, Angkatan Darat lah yang tersisa sebagai kekuatan yang paling terorganisir. Sementara itu institusi-institusi sipil semua ada dalam keadaan berantakan. Apalagi partai-partai politik yang seluruhnya adalah sisa dan warisan struktur politik lama telah merosot kredibilitasnya dan pada waktu yang bersamaan belum tumbuh satu institusi sipil baru yang terorganisir. Bahkan kalangan cendikiawan maupun mahasiswa generasi 1966 gagal menumbuhkan diri sebagai institusi yang bisa diharapkan. Apalagi pertarungan kekuasaan telah melahirkan ambisi baru di kalangan tentara untuk menjadi pemegang tunggal dari kendali kekuasaan negara, sehingga sengaja atau ‘tidak sengaja’ kekuatan lain yang  mandiri dan berpotensi harus dipatahkan.

Korupsi dan segala penyimpangan yang bertujuan akhir mengumpulkan dana untuk membiayai kekuasaan jelas tidak mudah terhindarkan. Selain itu ada lagi satu fenomena yang disebut pada sekitar tahun 70-an sebagai ‘mental Indonesia’ telah ikut menyuburkan dan memberi peluang bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan secara berkelanjutan. Sekaligus juga menghambat keberhasilan pemberantasan korupsi itu sendiri. Apa yang disebut ‘mental Indonesia’ itu didominasi oleh emosi dan kepekaan perasaan yang ‘dingin’, yang mengalahkan logika atau pemikiran yang pragmatis. Beberapa pengutaraan kaum cendekiawan di tahun 70-an menyatakan bahwa ‘mental Indonesia’ yang sinkretis itu menjadi dasar adat istiadat dan perilaku masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak terbiasa untuk menyampaikan sikap secara tegas, dikuasai oleh ketidakjelasan pemikiran dan ucapan yang memudahkan kompromi. Kemudahan berkompromi memang mampu mempertahankan harmoni dalam masyarakat, namun dalam menjawab tuntutan kemajuan dalam dunia modern, merupakan hambatan. Pemecahan yang terbaik tidak bisa dicapai dengan pemikiran yang tidak jelas. Masalah pemberantasan korupsi juga menghadapi kendala dari ketidakjelasan pemikiran. Cendekiawan dari Bandung M. Purbo Hadiwidjojo menulis “Kita beramai-ramai membicarakan tentang korupsi, kita semua mengutuknya. Tetapi kalau sampai kepada pemberian suatu batasan, maka mulailah semua itu menjadi kabur. Menerima komisi untuk diri sendiri dari pembelian untuk pemerintah, membungakan uang bukan uang milik sendiri, mendirikan perusahaan dengan uang orang lain tetapi untungnya untuk sendiri, dan sebagainya, kalau perlu tidak kita golongkan kepada tindak korupsi” (Mahasiswa Indonesia, Januari 1971). Pengajar dari ITB itu menulis lebih jauh “Sikap tidak ‘zakelijk’ merupakan ekor dari sikap kita yang tidak modern. Bukan peraturan yang kita pakai, sebab yang selalu kita gunakan ialah ‘kebijaksanaan’. Meskipun ada peraturan, kalau yang bersalah ternyata saudara sendiri, maka peraturan itu seakan-akan tidak ada, atau tidak berlaku. Untuk melindungi diri, kita menggunakan istilah seperti ‘cara Indonesia’, cara ‘ketimuran’, dan sebagainya”.

Namun di atas segalanya, pengetahuan berlatar belakang sejarah tentang betapa mengakarnya korupsi dalam ‘kultur’ Nusantara dari masa ke masa –yang menunjukkan bahwa perilaku korupsi itu adalah suatu permasalahan berat dan kompleks karena melekat sebagai kecenderungan dalam kekuasaan– berguna untuk mendorong perkuatan komitmen masyarakat untuk melawan korupsi dan menagih kemauan politik para penyelenggara negara untuk membasmi korupsi dan segala penyimpangan kekuasaan. Maka peranan-peranan kritis di tengah masyarakat menjadi kebutuhan.

 

Memang ‘syaitan’ senang berbisik di mana pun juga

 

PADA tahun 1970-an korupsi yang paling disorot memang adalah di seputar Pertamina dan Bulog, tetapi sebenarnya korupsi merata dan meluas di berbagai instansi dan perusahaan negara lainnya. Satu dan lain hal, suburnya korupsi itu, antara lain karena ‘mentalitas Indonesia’ itu dan hal-hal yang diutarakan Purbo seperti pendefinisian yang kabur, sikap tidak zakelijk, kebijaksanaan, cara Indonesia dan cara penyelesaian ketimuran. Korupsi terjadi di Departemen Agama. Kolusi terjalin antara pejabat Departemen Pendidikan & Kebudayaan dengan pengusaha swasta dalam kasus CV Haruman. Permainan seorang pejabat Departemen Perhubungan dalam pengadaan kebutuhan perusahaan Kereta Api adalah contoh lainnya. Masih ada pula sorotan-sorotan mengenai penyelewengan di Direktorat Bea dan Cukai, di Direktorat Pajak, Imigrasi, PN-PN Perkebunan, Telkom, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta aneka penyelewengan dan gaya hidup tidak wajar di kalangan gubernur dan bupati. Di Telkom, salah satu pejabatnya mendepositokan uang perusahaan atas nama pribadi sebesar Rp.250 juta (suatu jumlah yang besar untuk ukuran saat itu) dan menikmati sendiri bunganya. Beberapa nama yang masuk dalam sorotan pers dan mahasiswa kala itu tercatat antara lain Mayor Jenderal Surjo, Brigjen Sentot Iskandar Dinata, Padang Sudirdjo, dan beberapa nama lain. Terekam pula nama Robby Cahyadi yang melakukan penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma yang dikabarkan melibatkan nama Cendana. Panglima Kepolisian Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang bertindak tegas terhadap penyelundupan itu, belakangan malah lebih dulu tergeser dari jabatannya kendati tidak dalam bentuk kaitan langsung. Begitu pula Kolonel Niklani yang tercopot dari jabatan di Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN).

Waktu itu, aparat-aparat penegak hukum boleh dikatakan tidak berdaya. Jaksa Agung Sugih Arto dan terutama Jaksa Agung Muda Ali Said yang banyak diharapkan orang, ternyata cukup mengecewakan dalam pemberantasan korupsi. Tidak ada pelaku korupsi besar yang pernah ditindak di tengah maraknya dugaan korupsi yang dilontarkan masyarakat. Belakangan setelah menjadi Jaksa Agung keberhasilan Ali Said yang tersohor sebagai mantan oditur penuntut dalam peradilan Mahmilub atas diri mantan pejabat tertinggi masa Soekarno, Waperdam (Wakil Perdana Menteri) I Soebandrio, datar-datar saja dan lebih banyak tercatat dalam penanganan kasus-kasus penyelundupan oleh warga negara keturunan India. Itu pun, saat itu, senantiasa dibayang-bayangi isu miring bahwa para pejabat Kejaksaan Agung bisa disuap oleh para penyelundup untuk menutup perkara.

TERLIHAT, betapa korupsi bisa terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang musykil sekali pun. Bila memakai ukuran budi pekerti yang awam dan sederhana, semestinya korupsi tidak bisa terjadi di Departemen Agama dan Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Departemen Agama adalah tempat mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan sumber moralitas manusia, yakni agama. Sedang Departemen P&K adalah pusat pengaturan tentang pengajaran dan pendidikan, darimana sumber cahaya teladan budi pekerti dan pencerdasan bangsa berasal. Tetapi rupanya ‘syaitan’ memang senang berbisik di mana pun juga.

Pengungkapan yang paling menarik perhatian tentang Departemen Agama dengan segala penyelewengan di dalam tubuhnya dan di dalam pelaksanaan tugasnya dilakukan oleh Muhammad Bazor dalam sebuah buku berjudul ‘Departemen Agama?’ pada tahun 1970. Pembeberan ketidakberesan Departemen Agama dari waktu ke waktu memang cukup banyak mengisi halaman pemberitaan pers Indonesia. Seorang tokoh Muhammadyah H. AR Fachruddin pernah menulis dalam ‘Suara Muhammadyah’ April 1969, bahwa adanya koreksi Muhammadyah terhadap Departemen Agama adalah karena Muhammadyah melihat ada hal-hal negatif di Departemen Agama. Semacam kritik objektif semata karena fakta, meski sukar juga menepis adanya latar belakang faktor rivalitas persaingan antara Muhammadiyah yang ada ‘di luar’ dengan unsur NU yang secara tradisional selalu ‘menguasai’ Departemen Agama.  Penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum pejabat Departemen Agama menurut Fachruddin adalah berupa penyuapan, penerbitan ijazah dan beslit palsu dan sebagainya. Sedang Muhammad Bazor dalam bukunya menyebutkan korupsi di Departemen Agama itu sangat menyolok mata. “Sungguh pun korupsi merupakan gejala umum di Indonesia, namun korupsi di bidang agama adalah paling mengecewakan dan mencemarkan nama agama”. Bagaimana umat beragama bisa percaya lagi bila pemuka-pemukanya sendiri telah menjalankan korupsi? Beberapa contoh disebutkan, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Contoh-contoh tergolong korupsi kecil berupa penggelapan uang nikah dan kas mesjid oleh para modin, dan kepala KUA (Kantor Urusan Agama) yang menyelewengkan uang Panitia Amil Zakat untuk berdagang. Penyelewengan menengah antara lain adalah pengangkatan Rektor fiktif untuk IAIN (Institut Agama Islam Negeri, kini UIN) Bogor padahal di sana tak ada IAIN, serta membayar gaji dosen-dosen IAIN yang tidak memberikan kuliah apapun. Pada bulan Pebruari 1969  terjadi skandal Al Ichlas, yang merupakan kasus ‘tertipu’nya dan ‘penelantaran’ 865 jemaah haji oleh yayasan tersebut, yang terkait dengan salah urus, saling jegal dan perpecahan dalam Mukersa (Musyawarah Kerja Sama) Haji. Lembaga bernama Mukersa Haji yang dipimpin H. Notosutardjo ini adalah gabungan sejumlah yayasan penyelenggara haji yang tumbuh bagai jamur saat itu tatkala pemerintah memberi kesempatan kepada swasta untuk menjadi penyelenggara haji. Adapun para jemah Al Ichlas yang terlantar akhirnya bisa diberangkatkan jika bisa membayar tambahan Rp.125.000. Mereka diberangkatkan dengan pesawat terbang ICA (Indonesia Angkasa Civil Airtransport) milik suatu yayasan kepunyaan tokoh NU Subchan Zaenuri Erfan. Diberitakan pula adanya bantuan Brigjen Sofjar sebesar US$ 30,000 untuk mengatasi kasus tersebut. Lainnya penyimpangan  pimpinan Dinas Pendidikan Agama yang memotong gaji guru-guru agama, panitia ujian yang memeras calon-calon guru agama dengan menuntut ribuan rupiah, yang kesemuanya sempat di beritakan pers pada bulan Juni hingga Agustus 1969.

Berlanjut ke Bagian 5