Kisah Presiden SBY dan Soegeng Sarjadi: Mempermainkan Tuhan, Mempermainkan Rakyat

PULANG dari Rio de Janeiro, Brasil, wartawan Kompas J. Osdar –yang ikut rombongan Presiden RI menghadiri KTT G-20 di Los Cabos, Mexico– membawa oleh-oleh berupa cerita tentang Soegeng Sarjadi dan Susilo Bambang Yudhoyono. Cukup menarik. Karena yang satu, Soegeng Sarjadi, punya pengalaman sebagai aktivis gerakan kritis mahasiswa terhadap establishment, tapi tanpa pengalaman sebagai presiden. Sementara yang satu lagi, Susilo Bambang Yudhoyono, punya pengalaman sebagai Presiden, tapi tanpa pengalaman sebagai aktivis. Soegeng dengan demikian cukup berpengalaman mengeritik (dan sebaliknya), sedangkan SBY sangat berpengalaman jadi sasaran kritik.

KARIKATUR PIDATO SOEKARNO “DJAS MERAH”. “Sebaliknya, mahasiswa dan kesatuan-kesatuan aksi anti Soekarno, menganggap pidato 17 Agustus Soekarno yang berjudul ‘Djangan sekali-kali meninggalkan sejarah’ yang disingkat sebagai ‘Djas Merah’ justru telah menjadi pemicu konflik horizontal di masyarakat. Isi pidatonya itu mengandung hasutan-hasutan bagi massa pendukungnya untuk melawan mereka yang dianggapnya mau menjatuhkan dirinya dari kekuasaan”. (Karikatur  T. Sutanto, MI 1966)

Ketika Presiden SBY menyelenggarakan konperensi pers di Rio dengan para wartawan Indonesia, Soegeng yang adalah pendiri (pemilik) Soegeng Sarjadi Syndicate, menjadi penanya kedua. Soegeng mengajukan pertanyaan yang lebih tepat disebut sebagai pernyataan yang nyaman. Kita kutip pemaparan Osdar mengenai kiprah Soegeng. Pemberitaan tentang SBY saat ini, menurut Soegeng masih banyak masuk dalam kolom passiva alias negatif, sedangkan di kolom aktiva masih kurang. Padahal dari pengalamannya mengikuti terbang selama 90 jam lebih bersama SBY, banyak hal yang harus diberitakan dalam kolom aktiva, alias banyak yang membanggakan. Setelah pulang ke Indonesia, ia berjanji “akan menulis tentang SBY lebih positif sehingga neraca lebih seimbang”. Kita terjemahkan secara ringkas: Panas 8 tahun hapus oleh hujan 90 jam.

Penyampaian Soegeng Sarjadi bisa bagaikan jembatan bagi SBY untuk menyeberangi sungai kecil komunikasi. Meskipun jembatan ‘dadakan’ itu ibaratnya masih terbuat dari bambu, tetapi dalam kadar tertentu per saat ini semestinya memadai, karena selama ini salah satu kesulitan SBY sebagai presiden adalah masalah komunikasi politik dengan publik. Maka Presiden pun menyatakan terima kasih. Andaikan, misalnya, Julian Aldrian Pasha, yang menyampaikan pernyataan seperti dilakukan Soegeng, nilai capaian komunikasinya akan lebih dekat ke nol. Soegeng sejauh ini masih dianggap luar lingkaran, jadi masih bisa diterima ‘kesaksian’nya meski baru berdasarkan pengamatan yang berusia hanya 90 jam. Orang mungkin belum apriori terhadap dirinya dibanding terhadap Julian dalam posisi jurubicara kepresidenan. Kecuali, suatu waktu, diketahui Soegeng, hired for that.

Sayangnya, komunikasi yang disampaikan SBY sendiri justru jauh dari perfect, baik penafsirannya mengenai pujian para pemimpin negara lain yang ditemuinya di forum G-20 tentang Indonesia, maupun dalam konteks daftar negara gagal. Tetapi sebelum mengulas mengenai komunikasi yang disampaikan SBY untuk kedua topik masalah tersebut, mungkin menarik untuk terlebih dulu menelusur catatan mengenai tokoh bernama Soegeng Sarjadi.

AKTIVIS tahun 1966 bernama Soegeng Sarjadi ini adalah seorang tokoh yang ‘unik’. Ia dikenal mahir beretorika dan seorang orator ulung yang mampu memikat massa mahasiswa, terutama di kampus Universitas Padjadjaran saat ia menjadi Ketua Dewan Mahasiswa. Ketika menjadi sangat populer di awal pergerakan 1966, ia didaulat oleh organisasi ekstra kampus HMI sebagai ‘kader’, meski ia lebih berpenampilan ‘sekuler’ dan ‘gaul’ daripada ‘santri’. Mahasiswa publisistik ini pernah sangat menggemparkan, tatkala ia merobek-robek gambar Presiden Soekarno 18 Agustus 1966 di halaman markas KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung. Tentang peristiwa ini, kita meminjam pemaparan buku Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966 (Rum Aly, Penerbit Kata Hasta, 2006). Sewaktu tampil berorasi di panggung di depan massa, 18 Agustus pagi itu, Soegeng Sarjadi mengeluarkan gulungan kertas dari balik jaketnya. Sambil mengembangkan kertas itu ia bertanya kepada massa, “Saudara-saudara, ini gambar siapa?”. Dijawab, “Gambar Soekarno!!”. Mendapat sambutan yang luar biasa, Soegeng menambah dosis orasinya, “Inilah saudara-saudara, otak Lubang Buaya, arsitek Gestapu! Apakah saudara-saudara setuju kalau gambar orang yang sudah menyengsarakan rakyat ini kita turunkan dan kita hancurkan?!”. Begitu mendapat tempik sorak “Setuju!!”, Soegeng segera menyobek-nyobek gambar Soekarno itu lalu mencampakkannya ke tanah. Lalu ia menambah dosis orasinya dalam suntikan terakhirnya, “Semua gambar Soekarno, di kantor-kantor, di rumah-rumah, di perusahaan-perusahaan negara atau swasta, agar diturunkan!”.

Dampak ‘suntikan’ Soegeng itu –yang sebenarnya bermula dari kisikan tokoh 1966 lainnya, Mansur Tuakia, yang menyodorkan gambar Soekarno itu– luar biasa dan berhasil menggerakkan massa menjelajahi seantero Bandung memasuki kantor-kantor mana pun untuk menjalankan apa yang dianjurkan Soegeng. Sehari sesudah itu, massa Barisan Soekarno bergerak melakukan aksi kekerasan di seluruh penjuru Bandung, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa 19 Agustus 1966. Seorang mahasiswa Universitas Parahyangan, bernama Julius Usman, anggota Resimen Mahasiswa tewas ditembak di depan kampus Jalan Merdeka oleh anggota PGT Angkatan Udara yang mendampingi massa Barisan Soekarno. Massa PNI Ali Surachman yang menjadi pendukung utama Barisan Soekarno menjadikan peristiwa penyobekan dan penurunan gambar-gambar Bung Karno sebagai alasan mereka bergerak melakukan pembalasan. Sebaliknya, mahasiswa dan kesatuan-kesatuan aksi anti Soekarno, menganggap pidato 17 Agustus Soekarno yang berjudul “Djangan sekali-kali meninggalkan sejarah” yang disingkat sebagai “Djas Merah” lah justru telah menjadi pemicu konflik horizontal di masyarakat. Isi pidatonya itu mengandung hasutan-hasutan bagi massa pendukungnya untuk melawan mereka yang dianggapnya mau menjatuhkan dirinya dari kekuasaan.

Ketika beberapa puluh tahun kemudian, Soegeng Sarjadi bergabung ke PDI yang untuk sebagian adalah turunan PNI sebagai ‘pemuja’ Soekarno, cukup banyak yang tercengang oleh aksi lintas pagarnya itu. Tetapi secara menyeluruh, Soegeng Sarjadi memang mahir meniti kehidupan politik di Indonesia ini. Di masa Soeharto ia sempat menjadi anggota DPR mewakili mahasiswa di tahun-tahun awal, dan berhasil pula menjadi pengusaha sukses (industri kawat las, hotel, memiliki gedung tinggi dan sebagainya) bersama sejumlah bekas aktivis 1966, antara lain karena kedekatan dengan petinggi-petinggi Pertamina. Dalam masa peralihan berakhirnya kekuasaan Soeharto ia juga tercatat dalam medan kiprah. Katakanlah, ia adalah salah satu dari contoh berhasil sosok the man for all seasons. Mestinya, dalam penyusunan kabinetnya yang lalu, SBY mengangkatnya sebagai salah satu menteri. Sayang, SBY kurang jeli atau mungkin ‘telat’ kenal. Siapa tahu bisa membantu memperbaiki kolom aktiva dengan sejumlah ‘good point‘.

SEBENARNYA, keberadaan Indonesia pada urutan ke-63 dalam daftar negara dengan Indicator of Instability 2012 yang dibuat oleh lembaga The Fund for Peace dan Majalah Foreign Policy dari AS, belumlah dengan sendirinya berarti telah masuk dalam kategori negara gagal. Tahun 2007 malah berada dalam urutan ke-60, dan juga belum masuk kategori negara gagal seperti Somalia, Sudan atau Zimbabwe misalnya. Namun memang bisa dianggap negara lemah, karena mulai mendekati beberapa kriteria yang bisa membuatnya menjadi negara gagal. Maka, reaksi Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Rio de Janeiro 21 Juni lalu, sebenarnya berlebih-lebihan. Ternyata, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tak kalah berlebihan dari menterinya itu.

Kita kembali mengutip cerita oleh-oleh wartawan Kompas. “Selama di Los Cabos atau Rio de Janeiro, apakah kita mendengar dari para pemimpin negara-negara lain yang mengatakan kepada Indonesia, hai kamu ini negara gagal, pulang saja, urusin negaramu itu. Apa ada suara seperti itu?”, demikian ucapan SBY yang dikutip wartawan Kompas. “Jangan hanya karena satu atau dua titik, lalu disimpulkan negara kita gagal. Saya pikir ini berlebihan. Kalau berlebihan, itu mempermainkan kebenaran, itu mempermainkan Tuhan. Begitulah dan terima kasih pak Soegeng”.

Tentu saja, dalam pergaulan diplomasi antar negara, selama masih tak memiliki permusuhan, apalagi masih memiliki kepentingan dengan negara tertentu, tak mungkin ada pemimpin negara yang mencela negara atau pemimpin negara lain. Maka, harus arif menempatkan dan menafsirkan pujian basa-basi dalam konteks diplomasi kepada diri kita. Mungkin saja ada kebenarannya, tetapi itu bukanlah kebenaran sesungguhnya dan menyeluruh. Bila kita begitu saja menelan semua pujian diplomasi, dan memperlakukannya sebagai kebenaran objektif, kita membohongi diri sendiri, dan sekaligus membohongi seisi negara kita. Lebih baik mempercayai penilaian-penilaian akademis.

Dalam pada itu, ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa “mempermainkan kebenaran, itu mempermainkan Tuhan” adalah sebuah silogisma menurut logika klasik. Silogisma dalam logika klasik, menurut buku-buku pengantar ilmu filsafat, disusun berdasarkan unsur-unsur sederhana. Dalam logika yang lebih baru atau modern, penyimpulan lebih ditekankan kepada dan semata-mata berdasarkan aksioma-aksioma. Maka, mempermainkan kebenaran secara filosofis tidak serta merta berarti mempermainkan Tuhan. Kebenaran bagi manusia di bumi memang senantiasa bersandar kepada kebenaran Illahi, dan bisa saja manusia mencoba mempermainkannya, untuk membodohi manusia lainnya, tetapi Tuhan sendiri tak pernah bisa dipermainkan manusia. Lebih bisa dipastikan bahwa, mempermainkan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh banyak kalangan kekuasaan di dunia –kekuasaan negara, kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan agama– tak lain adalah berarti mempermainkan manusia yang ada dalam kekuasaannya, yakni anggota masyarakat yang bernama rakyat, konstituen, massa pengikut atau umat yang percaya.

(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s