PAN: Terkungkung di Bawah Bayang-bayang Amien Rais (1)

Demokrasi tampaknya adalah sejumlah kesempatan.Tapi kesempatan itu tergantung juga pada apa yang telah kita lakukan untuk diri sendiri”, Robert A Dahl, Penulis Amerika.

Syamsir Alam*

            DENGAN gagah berani, PAN (Partai Amanat Nasional) menjelang akhir tahun 2011 lalu menampilkan seorang calon Presiden untuk bersaing di arena Pemilihan Presiden 2014. Rapat kerja nasional Partai Amanat Nasional pada 10-11 Desember tahun lalu di Jakarta menjagokan Ketua Umum mereka, Hatta Rajasa, sebagai calon presiden mendatang. Inilah kali kedua PAN mencalonkan kadernya untuk menjadi orang nomor satu di republik ini, setelah Amien Rais yang gagal mewujudkannya pada Pemilu 1999 yang lalu. Menurut sejumlah sumber survei mengenai bursa Calon Presiden (Capres), nama Hatta Rajasa, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II, dan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jauh di bawah nama-nama pesaing-pesaingnya dari partai lain. Selain itu, PAN juga tidak memiliki modal perolehan suara yang cukup sebagai bekal untuk mendukung ketua umumnya itu.

HATTA RAJASA. “Kalau begitu, dukungan dari Partai Demokrat adalah satu-satunya peluang bagi Hatta untuk ikut dalam kompetisi memperebutkan posisi menjadi orang nomor satu di republik ini. Daripada partai lain yang menang, bukankah lebih baik sang besan saja yang didukung?” (Foto Antara).

Satu-satunya peluang Hatta, adalah dengan tertutupnya kemungkinan SBY, idola partai Demokrat, untuk maju lagi pada Pemilu 2014 mendatang. Dengan demikian, peluang partai-partai lain yang menjadi saingan langsung partai berkuasa ini (PDI-P dan Golkar) menjadi sangat terbuka untuk memenangkan pemilu tersebut. Selain itu, sekarang ini reputasi Partai Demokrat sedang terpuruk, yang menurut laporan berbagai survei, akibat ulah dari kadernya yang tidak menunjukkan prestasi yang baik, dan malah dengan terlibatnya banyak nama kader Partai Demokrat dalam kasus korupsi yang semakin berlarut-larut tidak tuntas, memperburuk reputasi partai yang sedang berkuasa ini. Kalau begitu, dukungan dari Partai Demokrat adalah satu-satunya peluang bagi Hatta untuk ikut dalam kompetisi memperebutkan posisi menjadi orang nomor satu di republik ini. Daripada partai lain yang menang, bukankah lebih baik sang besan saja yang didukung?

Partai, buah dari reformasi yang semula nampaksangat menjanjikan

Partai yang lahir dalam euforia reformasi yang digagas oleh Amien Rais, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, untuk perubahan, awalnya diterima banyak pihak dengan sangat bersemangat. Bahkan, untuk terwujudnya “Indonesia Baru”, PAN pernah melontarkan gagasan wacana dialog bentuk negara federasi sebagai jawaban atas ancaman disintegrasi. Titik sentral dialog adalah keadilan dalam mengelola sumber daya sehingga rakyat seluruh Indonesia dapat benar-benar merasakan sebagai warga bangsa.

Hanya saja, dengan meninggalkan basis Muhammadiyah (Islam moderat) menjadi partai terbuka, pada Pemilu 1999 PAN hanya mampu meraih sebesar 7,2 persen suara (7,6 juta) dengan 34  kursi. Setelah itu, pada pemilu 2004 turun menjadi 6,4 persen suara (7,3 juta) dengan 53 kursi, dan berlanjut pada Pemilu 2009 turun lagi menjadi 6 persen suara (6,3 juta) dengan 46 kursi. Berarti banyak anggota Muhammadiyah yang tidak mendukungnya. Dengan fakta penurunan perolehn suara itu, partai yang dikenal pengamat sebagai partai kelompok “Islam Modernis” dengan pencitraan sekaligus sebagai nasionalis ini, mengalami penggerogotan infra struktur di kota-kota besar (Kompas, 25 Oktober 2011).

Dengan asas “Akhlak Politik Berlandaskan Agama yang Membawa Rahmat bagi Sekalian Alam” (AD Bab II, Pasal 3 [2]), PAN didirikan pada tanggal 23 Agustus 1998 berdasarkan pengesahan Depkeh HAM No. M-20.UM.06.08 tgl. 27 Agustus 2003. Kelahiran partai ini dibidani oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA), salah satu organ gerakan reformasi pada era pemerintahan Orde Baru, PPSK Muhamadiyah, dan Kelompok Tebet. Dideklarasikan oleh 50 tokoh nasional yang waktu itu sangat berpengaruh, di antaranya adalah Prof. Dr. H. Amien Rais, Goenawan Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal Basri MA, A.M. Fatwa, Zoemrotin, dan Alvin Lie Ling Piao.

Sebelumnya, pada Tanwir Muhammadiyah di Semarang (5-7 Juli 1998) yang dihadiri oleh seluruh jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta utusan dari tingkat Wilayah (provinsi), mayoritas peserta dalam sidang komisi menginginkan agar warga Muhammadiyah membangun partai baru. Namun dalam keputusan resmi dinyatakan, bahwa Muhammadiyah tidak akan pernah berubah menjadi parpol, juga tidak akan membidani lahirnya sebuah parpol. Tetapi warga Muhammadiyah diberi keleluasaan untuk terlibat dalam parpol sesuai dengan minat dan potensinya.

Ketika Amien Rais menghadiri pertemuan MARA di hotel Borobudur (22 Juli 1998) yang membahas situasi politik terahir ini, dari hasil diskusi dan evaluasi kinerja MARA –yang dihadiri juga oleh Goenawan Mohammad, Fikri Djoefri, Dawam Raharjo, Ratna Sarumpaet, Zumrotin dan Ismid Hadad– disimpulkan kepakatan perlunya MARA memersiapkan pembentukan partai, di samping fungsinya semula sebagai gerakan moral. Kemudian, dibentuklah tim kecil yang diharapkan akan membidani lahirnya sebuah parpol tersebut. Pada pertemuan di Bogor (5-6 Agustus 1998) disepakati pembentukan Partai Amanat Bangsa (PAB), yang kemudian berubah nama menjadi Partai Amanat Nasional (PAN). Dengan tujuan menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material dan spiritual, partai ini bercita-cita menjadi partai yang berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. Juga, menganut prinsip non-sektarian dan non-diskriminatif.

Dengan meninggalkan kesan partai Islam dengan motor penggerak dari tokoh-tokoh kader Muhammadiyah, semula PAN berhasil menarik tokoh-tokoh intelektual kota usia muda sebagai kader yang dapat diandalkan menjadi daya tarik pendukungnya. Pada Pemilu 2004, PAN mencalonkan pasangan Amien Rais dan Siswono Judohusodo sebagai calon presiden untuk dipilih secara langsung. Walaupun pasangan ini meraih hampir 15% suara nasional, namun kalah dalam putaran pertama yang akhirnya dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK).

Dari pengalaman Pemilu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, nampak fenomena yang menarik. Partai-partai politik Islam, atau yang bernuansa Islam, tidak sejalan sikap politiknya dengan ormas-ormas Islam. PAN, misalnya, tidak sejalan sikap politiknya dengan ormas Muhammadiyah yang pernah membidani berdirinya partai itu. PAN dengan bimbingan Amien Rais secara resmi berkoalisi dengan SBY-Boediono, tetapi Muhammadiyah yang diwakili oleh Din Syamsudin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, secara terang-terangan mendukung Jusuf Kalla-Wiranto.

Juga, mengikuti jejak PAN, pada 16 Desember 2006 para kader muda Muhammadiyah ikut mendirikan partai dengan azas Islam, Partai Matahari Bangsa (PMB), yang walaupun ikut dalam Pemilu 2009, namun tidak lolos ke DPR (http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Matahari_Bangsa). Ternyata PB Muhammadiyah yang konsisten untuk tidak ikut terlibat dalam politik praktis benar-benar dapat dipercaya, warga Muhammadiyah diberi keleluasaan untuk terlibat dalam parpol sesuai dengan minat dan potensinya.

Berlanjut ke bagian 2

*Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, namun tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s