PAN: Terkungkung di Bawah Bayang-bayang Amien Rais (2)

Amien Rais sebagai kekuatan sekaligus kelemahan

NAMA Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944) mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Amien Rais yang ikut mendeklarasikan PAN, dan menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005, ternyata salah menilai momentum untuk menghantarkannya ke jabatan presiden.

HATTA RAJASA-AMIEN RAIS. “Amien Rais bukanlah tokoh populis yang mempunyai massa pendukung fanatik yang loyal, walaupun banyak yang kagum akan pemikirannya yang menginsiprasi mengenai reformasi untuk memperbaiki kondisi Indonesia yang terpuruk di akhir era Orde Baru. Nama besar Amien Rais tidak cukup kuat untuk mengangkat popularitas PAN, bahkan sekarang malah menjadi hambatan, sehingga nampak adanya usaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sosok Amien Rais”. (Foto Antara).

Dengan perolehan suara partainya, PAN, yang tak sampai 10 persen dalam pemilu 1999, Amien Rais mampu bermain cantik untuk berhasil menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, dengan jabatannya sebagai Ketua MPR periode 1999-2004 yang sangat strategis waktu itu sebagai penentu pimpinan baru Era Reformasi (http://id.wikipedia.org), harapannya menjadi presiden tertutup sudah. Ia berhasil menghantarkan dua rekannya dari trio tokoh kelompok Ciganjur (Gus Dur dan Megawati) menjadi presiden. Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai “King Maker“, julukan yang merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001.

Juga terjadi kesalahan perhitungan oleh Amien Rais ketika memilih Siswono Judohusodo sebagai pendampingnya, saat maju sebagai calon presiden untuk dipilih secara langsung pada Pemilu 2009. Pasangan ini tersisih dalam putaran pertama. Ironisnya, Amien Rais dikalahkan oleh SBY, sang pendatang baru dalam dunia politik, namun dengan penampilan yang penuh pesona, berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Banyak orang menyebut Amien Rais sebagai pemikir yang baik, bukan sebagai politisi yang penuh siasat. Sebagai cendekiawan, Amien Rais berdiri paling depan, aktif di beberapa organisasi berpengaruh, seperti Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). Tak heran bila dijuluki sebagai Lokomotif Reformasi. Namun, dengan membuat PAN sebagai partai dengan platform nasionalis terbuka yang meninggalkan basis Muhammadiyah, Amien Rais berpikir terlalu maju ke depan, sehingga ditinggalkan pendukung tradisional Muhammadiyah. Memang, kenyataannya partai politik berbasis Islam sudah tidak laku laku dijual, tetapi dari aspek citra, PAN tidak mungkin dilepaskan dari Muhammadiyah yang untuk beberapa lama menjadi citra Islam modern.

Selain itu, Amien Rais bukanlah tokoh populis yang mempunyai massa pendukung fanatik yang loyal, walaupun banyak yang kagum akan pemikirannya yang menginsiprasi mengenai reformasi untuk memperbaiki kondisi Indonesia yang terpuruk di akhir era Orde Baru. Nama besar Amien Rais tidak cukup kuat untuk mengangkat popularitas PAN, bahkan sekarang malah menjadi hambatan, sehingga nampak adanya usaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sosok Amien Rais (Kompas, 2 Oktober 2011).

Inilah beban bagi PAN, dengan sosok Amien Rais sebagi figur yang dominan yang dianggap sebagai partai kelompok Islam kota yang elit, tapi tidak didukung ormasnya, sulit menjadi partai kelas atas dengan massa pendukung yang berjumlah besar. Selain tidak mendapat dukungan penuh dari warga Muhammadiyah, bahkan belum tentu  mendapat limpahan suara dari massa pendukung PMB, partai saudaranya yang sama-sama dibentuk oleh kader Muhammadiyah, karena berbeda dalam visi perjuangannya yang mengacu pada Islam. Bagaimanapun pendukung Muhammadiyah lebih cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis. Sedangkan untuk menggarap kelompok nasionalis, sudah banyak partai kuat yang mengisi jalur tersebut. Di jalur Islam kota usia muda sudah ada pula PKS yang lebih dulu mengisinya. Satu-satunya, cara adalah mencoba peruntungan untuk merebut suara kelompok Islam tradisional berbasis NU sisa dari yang sudah memilih antara PKB, PPP, Golkar, PDIP atau Partai Demokrat.

Peluang Hatta lebih besar sebagai Cawapres

Sepanjang 2011 yang lalu, sejumlah lembaga survei merilis hasil survei elektabilitas sejumlah figur yang banyak dibicarakan menjadi bakal calon presiden (capres). Berdasarkan survei elektabilitas parpol yang diadakan jaringan Suara Indonesia (JSI), persentase perolehan suara PAN bila pemilu legislatif digelar Oktober 2011 berada pada posisi 4 dengan perolehan 4,2 persen suara. Di atasnya ada Partai Demoktrat (18,2%), Golkar (15,1%), dan PDI-P (12,6%). Sedangkan menurut survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), perolehan suara PAN bila pemilu legislatif digelar Mei 2011 akan berada di posisi 8 dengan peroleh 2,4 persen suara.

Menurut Lembaga Survei Institute for Strategic and Public Policy Research (Inspire) yang melakukan survei April 2011, elektabilitas Hatta Rajasa adalah sebesar 3,6 persen, berbeda dengan versi LSI yang melakukan survei pada September 2011 adalah  3-10 persen, atau versi Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang melakukan survei pada Oktober 2011 sebesar 2,8 persen, dan versi JSI yang melakukan survei pada Oktober 2011 sebesar 1,6 persen. Dilihat dari tren elektabilitas PAN berdasarkan tiga pemilu sebelumnya, dan survei elektabilitas Hatta sendiri, banyak pengamat menilai lebih tepat ketua umum DPP PAN ini diusung menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres), daripada menjadi capres.

Selain PAN berasal dari partai politik kelas menengah, sosok Hatta sebagai calon presiden tidak muncul dari aspirasi publik yang mendambakan seorang pemimpin yang dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat membuat perubahan nasib dari keterpurukan sekarang ini. Hatta dilihat sebagai bagian dari penguasa sekarang ini yang tidak berbuat banyak mengadakan perubahan nasib. Juga tidak mungkin Hatta diusung menjadi capres oleh partai besar, seperti Golkar dan PDI-P yang pasti sudah punya calon sendiri. Satu-satunya kemungkinan bila PAN melakukan koalisi dengan Demokrat, yang sejauh ini tidak punya calon sendiri yang kuat.

Untuk mewujudkan perolehan suara dua digit dalam Pemilu 2014 nanti, PAN juga berusaha membidik basis NU Jawa Timur. Sekjen DPP PAN Taufik Kurniawan bersama rombongan DPP PAN dan DPW PAN Jawa Timur melakukan pertemuan intensif dengan para ulama dan pimpinan pondok pesantren (ponpes). Pada saat melakukan pertemuan dengan para ulama di Ponpes Bustanul Ulum Pekauman, Grujugan, Bondowoso, pimpinan KH Ahmad Baidowi, secara berulang-ulang Taufik meminta dukungan dari para ulama tersebut kepada PAN pada Pemilu 2014 nanti (Seputar Indonesia, 29 April 2012).

Jadi, dalam politik semuanya mungkin. Partai yang seharusnya berbasis massa Muhammdiyah ini juga mau menggarap massa NU yang tradisional. Menurut Paul A Djupe dalam bukunya Religious Brand Loyalty and Political Loyalty (Journal for the Scientific Study of Religion, volume 39, issue 1, pages 78–89, March 2000) pengertian loyalitas partai adalah kelanjutan dari identifikasi psikologis dan meningkatnya kedekatan sosial yang muncul dari keterlibatan dengan sebuah partai politik. Djupe mengemukakan tiga elemen pembangun perilaku loyal, yaitu: (1) Elemen ikatan psikologis (psychological ties),yangmerupakan keadaan sikap dan perilaku loyal pada objek loyalitas yang diterapkan sepanjang kehidupan manusia, (2) Hubungan ikatan sosial (social ties)berfokus pada afiliasi individu dengan objek loyalitas akan menimbulkan usaha-usaha untuk memperkuat jaringan sosial yang membentuk momentum afiliasi yang lebih kuat dan sulit untuk diubah-ubah, dan (3) Elemen keadaan sosial (social circumstances) di mana dapat diketahui peningkatan dan penurunan kondisi loyalitas partai karena dipengaruhi fenomena atau kejadian-kejadian sosial.

Dalam konteks loyalitas partai tersebut, dengan terungkapnya skandal partai politik dapat menurunkan loyalitas terhadap partai politik dari partisan yang kurang loyal. Mobilitas geografis dapat menyebabkan hilangnya loyalitas karena individu bisa terlepas dari jaringan ikatan sosial partai politik. Selain itu, media massa juga dapat menunjukkan kondisi loyalitas partai misalnya dengan adanya pemberitaan televisi yang gencar tentang skandal suatu partai politik akan menciptakan peluang bagi individu untuk membentuk pilihan-pilihan politik lain. Djupe juga menjelaskan bahwa orang yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, dapat menunjukkan loyalitas yang cenderung bertahan lama.

Itulah sebenarnya tantangan PAN, seperti partai lain pada umumnya di Indonesia sekarang ini. Kurang berusaha menanam loyalitas, tetapi berusaha merebut hasil panen yang tumbuh secara alami dengan berbagai cara yang mudah. Partai politik hanya berkunjung pada saat menjelang pemilu, datang dengan segala janji muluk untuk dilupakan segera setelah hajatnya lepas.

*Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, namun tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s