“DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu”.
Tagihan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. BILA pemberantasan korupsi disebutkan sebagai hutang moral kepada rakyat, tentu saja surat tagihan terbesar harus dialamatkan kepada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang kini sedang berkuasa. Terutama, karena dalam beberapa tahun pertama masa kekuasaannya SBY amat banyak memanfaatkan retorika pemberantasan korupsi dalam politik pencitraannya. SBY juga sangat diuntungkan oleh kehadiran KPK, sebuah lembaga baru pemberantasan korupsi dengan sederet wewenang ekstra.
Beberapa ‘jurubicara’ politik SBY dari Partai Demokrat seringkali mendengung-dengungkan bahwa SBY lah Presiden yang misalnya paling banyak menandatangani surat izin pemeriksaan atas sejumlah pejabat –seperti gubernur dan bupati– yang menjadi tersangka perkara korupsi. Tetapi bersamaan dengan itu, terdapat tak sedikit keluhan dari kalangan instansi penegakan hukum, tentang kelambanan birokrasi kepresidenan dalam menangani proses surat izin tersebut. Sementara itu, berdasarkan catatan yang ada maupun data dalam pemberitaan pers, terlihat bahwa intensitas rata-rata penanganan perkara korupsi besar masa kepresidenan SBY yang sudah berlangsung 6 tahun, masih kalah oleh masa kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya berlangsung dua tahun lebih. Namun secara menyeluruh kuantitas penanganan di masa SBY yang berdurasi 6 tahun tentu saja lebih besar. Di masa Abdurrahman Wahid penanganan perkara korupsi yang berdurasi dua tahun lebih, sepenuhnya dilakukan Kejaksaan Agung. Sedang di masa Susilo Bambang Yudhoyono peranan pemberantasan korupsi dilakukan terutama oleh KPK dan hanya sedikit oleh Kejaksaan Agung maupun Polri.
Penanganan korupsi di tingkat pengadilan pada masa Abdurrahman Wahid sangat terkendala dan merupakan fakta mencengangkan betapa sejumlah pengadilan justru menjadi kuburan bagi perkara-perkara korupsi. Sinergi KPK dengan Pengadilan Tipikor di masa SBY, dalam pada itu, menghasilkan penuntasan perkara korupsi yang lebih baik, walau angka rata-rata vonnis yang dijatuhkan pun hanyalah kurang lebih 2,5 tahun. Namun sebaliknya, sangat menonjol betapa pemerintahan SBY sangat royal dengan pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Dengan segala remisi, pada umumnya para narapidana korupsi hanya menjalani setengah masa hukuman. Belum dihitung, berbagai cuti rekayasa, dengan berbagai alasan, entah berobat atau apa. Dengan demikian para koruptor sepertinya mendekam di penjara dalam tempo singkat saja yang ibaratnya hanya seumur jagung. Besan Presiden SBY, Aulia Pohan, termasuk salah seorang narapidana korupsi yang menikmati masa sesingkat tanam jagung oleh akumulasi berbagai remisi.
Presiden SBY belum lama ini juga menciptakan satu preseden –sehingga menjadi topik perdebatan di masyarakat dan kalangan penegakan hukum– berupa pemberian grasi kepada terpidana kasus korupsi, bekas Bupati Kutai Kertanegara Syaukani, dengan alasan kemanusiaan, karena menurut dokter, yang bersangkutan menderita sakit permanen. Ini meniru alasan almarhum Presiden Soeharto yang bisa lolos dari proses peradilan karena alasan sakit permanen. Kalau suatu ketika Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menyembuhkan penyakit yang oleh sejumlah dokter berani disimpulkan sebagai sakit permanen –sementara para ulama meyakini bahwa semua penyakit bisa disembuhkan bila Allah menghendaki– tentu saja Syaukani akan digugurkan grasinya. Semoga Allah juga bermurah hati memulihkan ingatan orang-orang yang mendadak hilang ingatan tatkala terungkap keterlibatannya dalam perbuatan korupsi dan suap menyuap.
Meski harus diakui bahwa citra positif pemerintahan SBY dalam pemberantasan korupsi sangat terangkat oleh sepak terjang KPK, terutama di masa lembaga itu ditangani oleh Antasari Azhar dan kawan-kawan, adalah pula di masa itu KPK justru mengalami hantaman dan penganiayaan dahsyat. Mungkin hanya suatu kebetulan, tetapi awal masa hantaman dan penganiayaan terhadap KPK, hampir bertepatan waktu dengan penanganan kasus Aulia Pohan dan kawan-kawan serta mulai disebut-sebutnya kasus Bank Century. Kedua kasus ini sangat dihubungkan dengan kalangan kekuasaan negara. Kasus Aulia Pohan dikaitkan, karena ia adalah besan Presiden. Sedang kasus Bank Century dianalisis terkait erat dengan effort penggalian dana untuk kepentingan biaya pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden. Dalam versi rumours di bawah permukaan, istana sangat kecewa dan marah terhadap sikap tak tahu diri Antasari Azhar dan kawan-kawan yang ‘berani-berani’nya menindaki Aulia Pohan. Tetapi pada permukaan, SBY menjaga sikap untuk tidak mencampuri apalagi intervensi dalam kasus perkara korupsi Aulia Pohan, sehingga tak terlihat adanya suatu situasi tarik menarik sehebat yang kemudian terjadi dalam kasus Bank Century.
Dalam satu analisa dan versi yang ekstrim, kasus Bank Century tergambarkan sebagai suatu kejahatan terhadap keuangan negara yang terkait dengan kepentingan politik dari kelompok tertentu dalam kekuasaan negara. Dan yang dimaksud dengan kelompok tertentu di sini, adalah mereka yang sedang ikut memperjuangkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden untuk kedua kali dan kali ini berpasangan dengan Dr Budiono sebagai Wakil Presiden. Momentum ketika Bank Century sedang mengalami krisis likuiditas karena manipulasi internal, dimanfaatkan oleh sejumlah petinggi Bank Indonesia dan otoritas keuangan untuk memberi bank tersebut posisi berpotensi memberi dampak sistemik yang membahayakan dunia perbankan Indonesia dan karenanya tak boleh tidak harus diselamatkan dengan mekanisme bail-out.
Entah sekedar suatu kebetulan, tetapi sungguh menarik bahwa Dr Budiono –yang kemudian diproyeksi sebagai calon Wakil Presiden– sudah lebih dulu diposisikan sebagai Gubenur Bank Indonesia setelah melepaskan jabatan penting sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagai Gubernur Bank Indonesia, Dr Budiono menjadi kunci lahirnya kebijakan bail-out untuk Bank Century. Ada analisa bahwa sebenarnya dampak sistemik yang digambarkan adalah terlalu dibesar-besarkan secara artifisial, sekedar sebagai alasan bisa mengeluarkan dana talangan. Setelah dana talangan keluar –nyatanya kemudian mencapai 6,7 triliun rupiah– sebagian akan dialihkan sebagai dana politik yang diyakini bisa berangsur-angsur ‘dikembalikan’ dalam jangka waktu tertentu, yang sangat dimungkinkan bila kendali kekuasaan negara tetap ada di tangan. Bank Century sendiri akan diambil-alih dan disehatkan kembali melalui suatu program penyelamatan yang telah dirancang. Dan sangat diyakini bahwa penyehatan kembali itu bisa berhasil terkait dengan tingkat kemampuan teknis yang sudah disiapkan, selain bahwa kerusakan internal bank tersebut sudah terkalkulasi baik dan memang tidak separah yang digambarkan. Analoginya, bisul digambarkan sebagai tumor ganas.
Suka atau tidak, karena analisa dan versi ekstrim seperti itu telah menjadi bahan pembicaraan khalayak pada level tertentu, tentu saja harus ada jawaban berupa penuntasan penyelidikan dan penyidikan serta proses hukum lanjut terhadap kasus Bank Century. KPK yang tadinya mulai mempersoalkan keanehan di Bank Century dan telah menggerakan Badan Pemeriksa Keuangan melakukan semacam audit investigasi yang menghasilkan penemuan sejumlah indikator ketidakberesan, kini dipertanyakan. Mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla tatkala bertemu dengan Ketua Umum Golkar Ir Aburizal Bakrie dan sejumlah tokoh Golkar lainnya di hari kedua lebaran kemarin ini, mempertanyakan tenggelamnya kasus itu setelah KPK mengatakan sejauh ini tidak menemukan bukti adanya aspek korupsi dalam kasus tersebut. Terlepas dari ada tidaknya yang mempertanyakan, memang merupakan kenyataan bahwa pasca mengalami gempuran, KPK mendadak berubah bagai macan yang sudah tanggal seluruh gigi dan taringnya serta tumpul cakarnya. Betapa tidak, mantan ketuanya, Antasari Azhar masih mendekam dalam penjara menunggu kasasi dalam suatu kasus pembunuhan Drs Nasruddin Zulkarnain yang kebenarannya hingga kini masih menjadi kontroversi, sementara dua wakil ketuanya, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, masih terkatung-katung proses hukumnya karena tuduhan menerima suap Anggoro-Anggodo.
Setelah terbentur-bentur, kini KPK sekedar main pinggir dengan menangani kasus-kasus yang tidak begitu ‘membahayakan’ diri, yakni memilih tersangka-sangka yang tidak punya hubungan langsung dengan titik sentral kekuasaan. Pilihan cenderung beralih kepada tersangka-tersangka yang secara politik berseberangan dengan pusat kekuasaan, seperti Panda Nababan dan kawan-kawan atau Paskah Suzetta yang sudah mantan menteri seperti halnya Bachtiar Chamsyah. Pada waktu yang sama, tokoh Partai Demokrat Allen Marbun belum ditindaklanjuti kasusnya. Dan yang paling menimbulkan pertanyaan, tentu saja adalah mengendapnya kasus Bank Century. Tampaknya para pimpinan KPK selain sudah tak bergigi dan tumpul cakarnya juga sekaligus mirip macan yang dipegang ekornya.
Keraguan terhadap angka 60 persen. DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu. Konon, bersumber pada seorang mantan tokoh intelejen militer, yang tentu saja kebenarannya masih harus diusut dan ditelusuri lanjut, karena masih menyerupai pantulan bola liar, angka kemenangan yang sebenarnya hanyalah sekitar 21-22 persen.
Berlanjut ke Bagian 4.