SEMPAT bersikap seakan meremehkan kepulangan Habib Rizieq Shihab ke tanah air, para petinggi rezim berkuasa saat ini terkesan bagai tersengat kejutan keluarbiasaan sambutan massa yang terjadi. Tiba di Jakarta bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2020, Habib Rizieq disambut dan dielu-elukan ratusan ribu massa –ada yang mengecilkan dengan skala ribuan saja, ada yang menyebut skala jutaan– sejak dari Bandara Soekarno-Hatta hingga Petamburan Jakarta Pusat.
Lalu, tiba-tiba saja pemimpin Front Pembela Islam ini, Habib Rizieq Shihab, menjadi satu faktor penting dalam kancah sosial politik. Penting sebagai teman bersinergi dalam pergerakan kritis maupun gerakan oposisi terhadap rezim kekuasaan. Atau, sebaliknya menjadi momen untuk menunjukkan jasa kepada rezim, tampil dengan gagah berani ke “garis depan” menghadapi Habib Rizieq dan barisan FPI-nya. Entah dengan kata-kata keras yang terkesan mengancam, operasi penurunan baliho Imam Besar FPI itu, sampai kepada show of force iring-iringan pasukan operasi khusus TNI di Petamburan.
Pada sisi anti klimaks, dua Kapolda dan dua Kapolres dilepas dari posisinya karena dianggap tak mampu mencegah terjadinya kerumunan massa berskala besar –yang dianggap pelanggaran protokol Covid-19 dalam kaitan pembatasan sosial berskala besar. Tak ketinggalan penindakan dan penahanan pradjurit dan bintara TNI yang ikut mengelu-elukan kedatangan Habib Rizieq. Sayangnya, mungkin berbeda dengan yang diharapkan, tindakan-tindakan pro-aktif kontra itu untuk sebagian besar justru lebih banyak memberi efek bumerang, meningkatkan “rating” Habib Rizieq dan FPI sebagai faktor. Continue reading One Moment in Time Dalam Politik Indonesia: Habib Rizieq dan FPI (1)→
KETIKA tekanan internasional semakin kuat terhadap pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan aksi-aksi terorisme, polisi menangkap Habib Rizieq, pemimpin FPI, dan menjeratnya dengan dakwaan provokator sejumlah aksi kekerasan dan perusakan. Sehari setelah pengubahan status Habib Rizieq dari tahanan polisi menjadi tahanan rumah, pada 6 Nopember 2002 pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan. Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk membantu Irak melawan para agresornya.
Namun, karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain, kehadiran FPI sering dikritik berbagai pihak, dan meresahkan masyarakat. Habib Rizieq menyatakan bahwa FPI merupakan gerakan lugas dan tanpa kompromi sebagai cermin dari ketegaran prinsip dan sikap. Menurut Habib Rizieq kekerasan yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan dalam sistem penegakan hukum, dan menegaskan bahwa FPI akan mundur hanya bila hukum sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak menyatakan FPI anarkis dan kekerasan yang dilakukannya merupakan cermin kebengisan hati dan kekasaran sikap.
Tuntutan pembubaran
Karena aksi-aksi kekerasan itu meresahkan masyarakat, termasuk dari golongan Islam sendiri, beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui kelompok surat elektronik yang tergabung dalam forum wanita-muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI, dan ajakan bergabung dalam aksi tersebut. Menurut mereka walaupun FPI membawa nama agama Islam, pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islami, bahkan tidak jarang menjurus ke vandalisme. Sedangkan menurut Pengurus FPI, tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang atau tidak memahami Prosedur Standar FPI.
YENNY WAHID VERSUS FPI. “Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut”. (Foto download dakta.com)
Pada bulan Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur, yang hadir di sana sebagai pembicara, sempat menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah jenderal. Perdebatan antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan presiden ini turun dari forum diskusi.
Pada bulan Juni 2006 Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto untuk menindak ormas-ormas anarkis secepatnya. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa wacana, dan belum dipastikan kapan pelaksanaannya. Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1985 tentang ormas yang belum dicabut, pendirian ormas di Indonesia harus berdasarkan Pancasila, sedangkan FPI berdasarkan syariat Islam, dan tidak mau mengakui dasar lainnya. Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak anarkis dan meresahkan ini agar konflik horizontal tidak meluas.
Masih pada bulan Juni 2006, tanggal 20, dalam acara diskusi “FPI, FBR, versus LSM Komprador” Habib Rizieq menyatakan, bahwa rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta. FPI sendiri menyatakan bahwa bila mereka dibubarkan karena tidak berdasarkan Pancasila, maka organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga harus dibubarkan. Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Dalam jumpa pers, SBY mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan, dan menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut telah mencoreng nama Indonesia, baik di dalam dan di luar negeri.
Ketua Komando Laskar Islam, Munarman, mengoreksi pemberitaan media dan menyatakan bahwa penyerangan terhadap AKBB dilakukan oleh Komando Laskar Islam, dan bukan oleh FPI. Sehari sebelumnya Polisi menemui Habib Rizieq di markas FPI, Petamburan Jakarta, namun tidak melakukan penangkapan, karena ketua FPI tersebut berjanji akan menyerahkan anggotanya yang bertanggung jawab pada insiden Monas, dan polisi mengidentifikasi lima anggota FPI yang diduga terlibat dalam penyerangan di Lapangan Monas itu. Setelah tidak ada yang menyerahkan diri, pada 4 Juni 2008 sejumlah 1.500 anggota polisi dikerahkan ke Markas FPI di Jalan Petamburan III, Tanahabang, Jakarta Pusat dan menangkap 57 orang untuk diselidiki, di antara yang dijadikan tersangka adalah Ketua Umum FPI Habib Rizieq. Sedangkan, Munarman, Ketua Laskar Islam, yang telah melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui, ditetapkan sebagai DPO Polisi (Daftar Pencarian Orang).
Pers memberitakan, bahwa pemerintah sendiri akan melakukan pengkajian terhadap keberadaan FPI berdasar UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan seperti yang dinyatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Widodo Adi Sutjipto. Dikatakan, bahwa pembinaan terhadap ormas yang ada di masyarakat itu penting, agar berjalan sesuai dengan UU yang berlaku. Pembinaan dapat berupa teguran, peringatan, dan tindakan tegas yakni pembubaran. Namun, hingga saat ini pemerintah ‘sulit’ untuk membubarkan FPI secara resmi, “karena keberadaan FPI tidak berlandaskan hukum” ungkap Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata waktu itu.
Mengapa FPI menjadi begitu berkuasa?
Dari bocoran Wikileaks mengenai sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait dengan Indonesia, dipaparkan mengenai hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Selain mengungkapkan FPI yang katanya dijadikan ‘attack dog’ Polri, bocoran Wikileaks juga menyebutkan mengenai mantan Kapolri yang waktu itu menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn) Sutanto, sebagai tokoh yang pernah mendanai FPI (http://id.berita.yahoo.com/ bocoran-wikileaks-donatur-fpi-telah-menciptakan-monster-144638934.html). Dan dalam telegram terbaru di akhir 2006 yang kemudian dibocorkan oleh Wikileaks, disebutkan bahwa Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut.
Disebutkan bahwa para donatur FPI itu telah “menciptakan monster” yang sekarang menjadi independen dan tidak merasa terikat kepada para donatur mereka sebelumnya. “Walaupun siapa saja yang memiliki uang dapat menyewa FPI untuk kepentingan politik, namun tidak ada seorang pun di luar FPI bisa mengontrol Habib Rizieq yang kini menjadi bos bagi dirinya sendiri,” ungkap bocoran telegram rahasia tersebut.
Lebih dahsyat lagi, sekitar Maret 2011 yang lalu, muncul isu kudeta Dewan Revolusi Islam (DRI) yang dideklarasikan Forum Umat Islam (FUI), seperti yang dirilis Al Jazeera, stasiun televisi yang bermarkas di Timur Tengah. Dari posting yang diunduh dari situs jejaring sosial Multiply pada 4 Maret 2011 dalam susunan kabinet DRI ada nama Habib Rizieq bersama dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Abu Jibril dan mantan KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. Dalam pernyataannya pada wartawan yang menghubunginya melalui telepon (29/3/2011), Sekjen FUI Muhammad Al-Khattath mengakui pihaknya yang mendeklarasikan DRI dengan tujuan untuk mengisi kevakuman kekuasaan negara, bila terjadi revolusi. Namun, Habib Rizieq yang disebutkan sebagai kepala negara DRI tersebut mengaku tidak tahu-menahu soal kabinet DRI yang diberitakan itu. Begitu pula dengan nama-nama lainnya, semua ikut membantah (Sabili, Januari 2012/25 Safar 1433). Ternyata isu kudeta, yang konon dikomandani para jenderal itu hanya pepesan kosong belaka. Namun, yang menarik nama Habib Rizieq ternyata sudah mencuat ke atas permukaan dataran elitis politik di Indonesia.
Banyak pengamat politik yang curiga, bahwa isu kudeta tersebut hanya pengalihan isu karena pemerintah sedang terpojok oleh berbagai kasus korupsi yang menjerat lingkaran kekuasaan. Namun, ada juga yang mengatakan hal itu sebagai gejala kegagalan pemerintah menciptakan stabilitas nasional. Pantas bila Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak berani menyentuh FPI, ormas Islam radikal yang semakin berani menentukan sikapnya sebagai oposan pemerintah untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.
Berita terbaru yang masih terkait konteks ‘penegakan hukum Islam’ ini, FPI bersama sejumlah barisan militan Islam lainnya, Kamis 21 Januari 2012, menyerbu dan merusak Departemen Dalam Negeri, karena menuding Menteri Gamawan Fauzi memerintahkan pencabutan perda miras (peraturan daerah larangan minuman keras) di daerah-daerah. Apakah FPI akan ditindaki dan ‘dibubarkan’ karenanya? Sembilan dari sepuluh kemungkinan, pemerintah gentar melakukannya. Bila toh kali ini ada keberanian pemerintah menindaki FPI, setelah pusat pengaturan pemerintahan dalam negeri diserbu dan dirusak, itu adalah peristiwa luar biasa.
-Ditulis untuk sociopolitica oleh: Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
“Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, dan kemudian disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Yang menciptakan martir lain, yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decision makers per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini”.
KESIMPULAN terpenting dari TGPF mengenai kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah bahwa kerusuhan terjadi karena disengaja. Kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Menurut TGPF, terdapat sejumlah ‘mata rantai yang hilang’ (missinglink), yaitu hilang atau sukarnya diperoleh bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elite dengan arus massa. Namun, terdapat indikasi yang kuat adanya hubungan semacam itu, terutama di Solo dan sebagian wilayah Jakarta.
Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan, bahwa banyak sekali pihak yang ‘bermain’ untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, dari terjadinya kerusuhan. Lebih jauh disimpulkan bahwa semua pihak yang terlibat bermain pada semua tingkat. Kesimpulan TGPF ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan semua pihak, mulai dari preman lokal, hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI pada kerusuhan tersebut. Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja untuk ‘menumpangi’ kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan apa-apa. Dalam konteks inilah, ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cepat bertindak’ untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggungjawab untuk itu.
Setelah berjalannya waktu hingga 12 tahun lamanya, tabir asap yang menutupi peristiwa dan peran dalam kerusuhan Mei 1998 masih belum ‘terkuak’ secara formal. Apa sebenarnya yang terjadi dalam rangka pergulatan kekuasaan, masih selalu ditutup-tutupi. Ketua Kontras Munir, yang mencoba mengungkit dan mengungkap peranan busuk sejumlah kalangan kekuasaan, khususnya dalam rangkaian penculikan sejumlah aktivis menjelang peristiwa dan kemudian mengenai peran-peran dalam peristiwa, mati dibunuh. Siapa dalang pembunuhan Munir itu sendiri tetap ‘dibuat’ gelap, sehingga terjadi kegelapan ganda.
Dari berkas testimoni para jenderal dan sejumlah perwira lainnya yang dimintai keterangan oleh TGPF, terlihat betapa para jenderal itu cenderung memberi keterangan yang berbelit-belit kepada pewawancara TGPF. Beberapa di antaranya ‘berlagak pilon’, sementara yang lainnya menyampaikan penjelasan-penjelasan normatif yang tak berguna untuk memperjelas persoalan. Bahasa dan kalimat para jenderal itu juga seringkali kurang jelas, tidak fix, entah sengaja entah tidak. Terlihat pula ada situasi saling ‘melemparkan’ tanggungjawab, padahal nyata-nyata secara formal tanggungjawab keamanan itu ada di tangannya. Sayang pula, umumnya para pemeriksa TGPF terkesan kurang berhasil ‘mengejar’ para jenderal itu dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, entah karena kekurangan data atau entah apa. Dan yang paling sulit, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sebagai puncak komando kala itu, justru tidak bersedia, tegasnya tidak mau memberi keterangan kepada TGPF.
Para jenderal dan perwira yang dimintai keterangan oleh TGPF, antara lain adalah Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin yang saat peristiwa terjadi menjabat selaku Panglima Kodam Jaya yang bertanggungjawab atas keamanan ibukota. Sebelum Mei 1998 ia dianggap punya kedekatan dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto. Setelah itu, khususnya pada saat peristiwa berlangsung terlihat bahwa ia ‘beralih’ menjadi lebih dekat dengan Pangab Jenderal Wiranto. Sementara per saat itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto diposisikan ‘berseberangan’ kepentingan dengan Jenderal Wiranto. Letnan Jenderal Prabowo, yang saat peristiwa adalah Panglima Kostrad, juga diperiksa TGPF. Jenderal lain yang ikut diperiksa TGPF adalah Mayjen Zacky Makarim, Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI), yang juga dikenal punya kedekatan khusus dengan Letjen Prabowo Subianto. Berturut-turut yang ikut diperiksa TGPF adalah, Gubernur DKI Letjen Sutiyoso, Kastaf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Komandan Korps Marinir Mayjen Marinir Suharto, KSAD Jenderal Subagyo HS, Drs Fahmi Idris, serta sejumlah perwira menengah dari Kodam Jaya maupun Polda Metro Jaya.
TGPF memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Namun baik pemerintahan Presiden BJ Habibie maupun pemerintahan-pemerintahan Presiden sesudahnya, tak pernah memperlihatkan kesungguhan untuk menuntaskan peristiwa. Sejumlah nama yang justru disorot, belakangan malahan masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan maupun dalam kekuasaan politik. Terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti sempat disidangkan dengan terdakwa sejumlah perwira bawahan dan bintara, tanpa menyentuh para penanggungjawab yang ada pada tingkat lebih tinggi.
Mereka yang disorot namun tak pernah tuntas dalam proses pertanggungjawaban, terutama adalah Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Bekas Panglima Kostrad ini memang sempat diajukan ke Dewan Kehormatan Perwira, dan setelah itu ia diberi penugasan ‘samping’ untuk akhirnya pensiun dini dan sempat hidup di luar Indonesia untuk beberapa tahun. Ia terjun ke dalam kancah politik dan mendirikan PartaiGerindra menyongsong Pemilihan Umum 2009. Sempat tampil sebagai calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputeri dalam Pemilihan Presiden yang lalu, namun dikalahkan SBY-Budiono dalam satu putaran. Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsudin yang juga menjadi fokus sorotan, hanya ‘terparkir’ sejenak sebelum berturut-turut menjabat sebagai Sekjen Departemen Pertahanan kemudian Wakil Menteri Pertahanan dalam Kabinet terbaru Presiden SBY.
Mayjen Zacky Makarim terkena ‘pukulan’ lebih telak, keluar gelanggang meninggalkan karir militernya setelah peristiwa Mei 1998. Sebagai Kepala BIA Zacky mengaku sudah memberi early warning ke berbagai pihak. Misalnya kepada Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin. “Saya sudah bilang khusus kepada Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya agar mewaspadai aksi-aksi yang turun ke jalan akan menuju ke Istana Presiden, Merdeka Utara, dan Merdeka Selatan dan simbol kenegaraan lainnya”. Zacky Makarim mengaku memberi early warning pada 11 Mei kepada semua pihak yang berwewenang, agar mencegah jangan sampai ada korban jatuh dan menjadi martir, seraya menyebut tanggal-tanggal yang perlu diwaspadai yakni 14, 16, 18 dan 20 Mei 1998 akan terjadi tindakan-tindakan destruktif. “Hindari adanya martir, karena akan dicerca rakyat”, ujar Zacky yang mengaku mengira martirnya jatuh di Yogya, tapi ternyata di Universitas Trisakti dan terjadi lebih cepat, 12 Mei 1998. “Saya tidak tahu bahwa tanggal 14 Mei 1998 akan dijadikan bancaan habis”.
Apakah bahan-bahan informasi BIA memang lemah dan menyebabkan perkiraan-perkiraannya pun dengan sendirinya meleset sehingga serba tertinggal sekian langkah? Atau, ada pihak di dalam tubuh kekuasaan sendiri yang sengaja ‘mewujudkan’ apa yang justru dikuatirkan dan diperingatkan BIA dan mempercepat, sehingga segala sesuatunya terjadi bagai bola liar di luar perkiraan? Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, dan kemudian disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Yang menciptakan martir, lain. Dan yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis, lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decisionmaker per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini.
Awal Oktober 1965 enam jenderal dan satu perwira pertama jadi tumbal, tercipta alasan bagi penumpasan PKI. Tahun 1966, Arief Rahman Hakim gugur sebagai martir bersama wartawan mahasiswa Zainal Zakse, membuat mahasiswa marah, dan bola salju lalu menggelinding ke arah Presiden Soekarno. Tahun 1998 giliran empat mahasiswa Trisakti jadi tumbal, Jenderal Soeharto terpaksa turun. Akan adakah peristiwa-peristiwa baru dengan tumbal-tumbal baru?
“…….. meski dua proses peradilan dalam kaitan Peristiwa 6 Oktober 1970 ini telah menentukan Djani sebagai ‘pembunuh’ Rene, pada hakekatnya tetap tertinggal satu misteri tak terjawab: Siapa sebenarnya pembunuh Rene Louis Coenraad ? Mahasiswa meyakini, pembunuh itu terselip di antara para Taruna 1970 itu yang ada di Jalan Ganesha 6 Oktober 1970. Dan ini adalah noda yang melekat pada Angkatan 1970 yang belum terselesaikan, akan senantiasa tercatat sebagai kejahatan yang belum terungkap hingga kini”.
Dari 8 terdakwa, dalam requsitor oditur, hanya dua orang yang tampaknya cukup ‘tersangkut’ dengan Rene, yakni Terdakwa I Letnan (Inspektur) II Nugroho Djajusman dan Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad. Terdakwa I Nugroho Djajusman mengakui berpakaian PDL (Pakaian Dinas Lapangan) saat peristiwa, tapi tidak disebut berpistol atau tidak. Dari atas truk, katanya, Nugroho melihat Rene lalu teringat akan tantangan yang diucapkan Rene di lapangan sepakbola “Siapa jagoan Akabri?”. Karena itulah, Nugroho turun dari truk dan mengejar Rene yang sedang lari. Seraya mengejar, Nugroho memukul Rene tapi menurut pengakuannya, “tidak kena”. Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad, ketika berada di atas truk mengaku melihat Rene memukul seorang taruna yang berbadan kecil. Karena perkelahian tidak seimbang, terdakwa turun untuk memisah tapi malah katanya dipukul oleh Rene, namun tidak kena. Ia lalu mengejar Rene. Ketika jaraknya tinggal sejangkauan tangan, Dodo memukul Rene tapi meleset, malah petnya jatuh. Pengakuan kedua terdakwa ini tidak diperkuat oleh kesaksian manapun. Tak ada kesaksian yang pernah menyatakan melihat Rene justru aktif memukul taruna. Pengakuan Terdakwa II Dodo Mikdad yang diungkapkan oleh oditur ini merupakan ‘pengakuan baru’ bagi Mahkamah, setelah terdakwa ini sebelumnya menolak hasil pemeriksaan pendahuluan yang ditandatanganinya sendiri. Dalam pemeriksaan pendahuluan ia mengakui menghampiri Rene, tetapi sebelum tiba Rene sudah lari, lalu berdua dengan taruna lainnya ia mengejar Rene. Keterangan seperti yang disampaikan Dodo Mikdad ini sebenarnya diperlukan dalam persidangan dengan terdakwa Djani Maman Surjaman di tahun 1970.
Enam terdakwa lain berada dalam gambaran samar dan tidak jelas pada pengutaraan requisitor oditur. Terdakwa III Sianturi Simatupang memukul punggung seorang pengendara sepeda berpakaian baju bermotif kembang-kembang. Siapa yang dipukul tidak diketahui dan tidak juga dibuat jelas oleh oditur. Dalam peristiwa itu ada seorang pengendara sepeda yang dipukul, tapi orang itu adalah Bambang Pranggono seorang mahasiswa ITB yang berjaket abu-abu biru, bukan baju kembang-kembang, dan kena pukulan koppel rim tiga kali. Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk, berpakaian preman bersenjata revolver colt kaliber 38, memberi pengakuan mengacungkan senjata kepada Rene. Rene dipukul dari belakang oleh para taruna, lari, kemudian dikejar. Terdakwa mendengar teriakan-teriakan bahwa mahasiswa melempar batu. Saksi kemudian mengejar mahasiswa dan berteriak “Mahasiswa bajingan, mahasiswa apa!”.
Hanya sekian yang diungkapkan oleh oditur mengenai keterlibatan Terdakwa IV. Oditur tidak mengungkap bahwa senjata yang dipegang Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk pernah diletuskan. Padahal senjata yang dipegang Bahar Muluk itu dipinjamnya dari seorang taruna lain dan ketika dikembalikan pelurunya kurang satu. Apakah Khaerul Bahar Muluk yang menembak ke arah asrama Ganesha 15 ? Saksi Gushaji memberikan gambaran bahwa yang menembak ke Ganesha 15 adalah seorang laki-laki bercelana putih dan berbaju putih (bukan kemeja). Ini tidak sesuai dengan keadaan tampilan Khaerul Bahar Muluk. Pertanyaannya, di mana lalu peluru dari senjata yang dipegang Bahar Muluk ditembakkan ? Terdakwa V Sugeng Widianto sementara itu dilukiskan oditur turun dari truk membuka koppel rim yang dipakainya. Di jalan Ganesha ia melihat anggota P2U dipapah. Ia menjadi marah dan memukul dengan koppel rim. Siapa yang dipukulnya, tidak dijelaskan oditur. Ia mengakui memakai koppel rim putih, sehingga menolak mengakui koppel rim hitam yang dijadikan barang bukti, sebagai miliknya.
Saksi Ir Asdaryanto dalam kesaksian (14 Nopember 1973) menyatakan bahwa pemukulan terhadap Rene dilakukan dengan koppel rim hitam dan juga koppel rim putih. Hal ini tidak disinggung oditur. Mengenai koppel rim putih, disanggah habis-habisan keberadaannya oleh pembela dengan alasan koppel rim putih dalam Akabri hanya dipakai pada seragam kebesaran. Terdakwa VI Letnan II Ahmad Arony Gumay digambarkan “turun dari bus nomor 2, melihat HD tergeletak, mendengar tembakan-tembakan gencar, segerombolan taruna mengejar mahasiswa. Ada yang mendatanginya, lalu disepak karena dongkol”. Terdakwa VII Letnan II Riyadi turun dari truk karena didorong loyalitas dan memukul seseorang. Orang yang dipukul itu kena lengan kirinya. Terdakwa VIII Letnan II Nugroho Ostenrik (putera jenderal polisi Ostenrik) turun dari mikrobus memukul punggung seseorang dan kemudian melakukan pengejaran. Pengejaran ini dihentikan ketika mendengar tembakan peringatan. Siapa yang menjadi korban pemukulan oleh ketiga terdakwa ini, tidak pernah diperjelas oleh oditur.
Setelah uraian yang sangat sumir mengenai keterlibatan masing-masing terdakwa, mulailah oditur mempreteli sendiri satu persatu tuduhan-tuduhannya yang disampaikan pada awal persidangan yang sudah berlangsung tiga bulan ini. Tuduhan primer yang bersandar pada pasal 170 ayat 1 angka 3 KUHP, jo pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP, dibatalkan oleh oditur. Tuduhan ini menurut oditur, mengandung beberapa unsur yaitu unsur ‘kekerasan’, ‘bersama-sama’, ‘di muka umum’ dan ‘ada orang mati’. Dalam pembahasannya oditur menyimpulkan unsur kekerasan, bersama-sama, dimuka umum terpenuhi. “Ada yang mati atau tidak ? Tak ada yang menyebutkan bahwa matinya si korban oleh pukulan. Tak ada seorang terdakwapun mengaku telah menembak si korban dan tak ada saksi melihat tertuduh menembak si korban”.
Matinya Rene, menurut oditur, bukan akibat langsung dari kekerasan dimana antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang segera dan langsung. Oditur mengemukakan bahwa perbuatan Terdakwa I Nugroho Djajusman dan Terdakwa II Dodo Mikdad, dua-duanya memukul Rene tapi tidak kena, berada di luar batas jangkauan yang menyebabkan matinya Rene Louis Coenraad. Diungkapkan bahwa Djani Maman Surjaman dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Kepolisian (tingkat banding) sebagai orang yang menyebabkan matinya Rene. Maka, secara hukum, matinya Rene Louis Coenraad bukan dan tidak merupakan akibat dari kekerasan terdakwa Letnan II Polisi Nugroho Djajusman dan Letnan I Polisi Dodo Mikdad serta 6 terdakwa lainnya. “Dengan tidak dipenuhinya unsur-unsur tuduhan primer ini maka tuduhan primer batal”.
Tuduhan subsider bagi 8 terdakwa eks Taruna, berdasarkan pasal 170 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP jo pasal 2 KUHPT. “Ditinjau unsur demi unsur daripada tuduhan subsider, tiap-tiap unsur dipenuhi, tetapi apabila semua unsur digabung menjadi satu, ada satu syarat tidak dipenuhi, yaitu syarat itu hanya berlaku bagi peserta yang secara pribadi menimbulkan luka tersebut. Padahal dari sidang mahkamah ini tidak dapat diungkapkan siapa yang secara pribadi menimbulkan luka tersebut. Jadi tuduhan subsider tak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum”. Ketidaktelitian dan ketidaksungguhan pengusutan peristiwa dan penyidikan betul-betul dimanfaatkan oditur untuk ‘membela’ para terdakwanya. Tuduhan alternatif berdasarkan pasal 358 KUHP juga dipatahkan sendiri oleh oditur. Dalam pasal 358 harus dipenuhi unsur ‘penyerangan’, ‘perkelahian’, ‘ada yang luka berat’, ‘ada yang mati’, ‘ada yang turut serta dalam penyerangan itu’. “Adakah yang mati?”. Ada, Rene, tapi menurut oditur lagi, berdasarkan keputusan Mahkamah Kepolisian, kesalahan itu adalah tanggungjawab Djani Maman Surjani.
Oditur menganggap kelakuan baik para terdakwa dalam persidangan, posisi sebagai perwira remaja yang perlu bimbingan, adalah hal-hal meringankan. Kecuali, Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad yang pernah mengalami penurunan pangkat karena pelanggaran dan Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk yang terlibat dalam penganiayaan tahanan Kepolisian Metro Jaya bernama Martawibawa hingga meninggal. Pada saat pengadilan Mahmil di Bandung itu, Bahar Muluk berstatus terpidana dengan hukuman penjara 3 tahun potong masa tahanan oleh Mahkamah Militer Jakarta Banten pada bulan Juli 1973. Dan mungkin karena statusnya itu, Bahar Muluk merupakan terdakwa yang terkesan paling minim memperoleh ‘proteksi’ dalam proses persidangan –berbeda dengan rekannya yang lain, khususnya mereka yang adalah putera para jenderal. Bahkan, dalam kisah di balik berita, Bahar Muluk sebenarnya nyaris saja dikorbankan seperti halnya Djani Maman Surjaman. Terhadap para perwira muda itu, Oditur mengajukan tuntutan-tuntutan hukuman dengan hitungan bulan dalam masa percobaan. Vonis majelis hakim sama ringannya. Terselamatkanlah para perwira masa depan Polri itu.
Kelak di kemudian hari, perwira polisi Angkatan 1970 ini, memang banyak yang berhasil menjadi petinggi Polri. Dua di antaranya sempat menjadi Kapolri, yakni Jenderal Rusdihardjo dan Jenderal Bimantoro. Pernah terjadi bahwa jabatan Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) Metro Jaya tiga kali berturut-turut digilir hanya oleh Angkatan 1970 ini, diantaranya Jenderal Hamami Nata yang menjadi Kapolda Metro bertepatan dengan Peristiwa Mei 1998. Kemudian, Jenderal Nugroho Djajusman yang menjadi Kapolda Jawa Tengah sebelum menjadi Kapolda Metro Jaya. Dan Jenderal Muljono, yang juga pernah menjadi Kapolda DI Yogyakarta dan sempat ‘menangani’ kasus pembunuhan wartawan Udin alias Syarifuddin yang menyita perhatian pers dan publik secara nasional karena dianggap banyaknya hal yang ditutup-tutupi.
Namun pada sisi lain, meski dua proses peradilan dalam kaitan Peristiwa 6 Oktober 1970 ini telah menentukan Djani sebagai ‘pembunuh’ Rene, pada hakekatnya tetap tertinggal satu misteri tak terjawab: Siapa sebenarnya pembunuh Rene Louis Coenraad ? Mahasiswa meyakini, pembunuh itu terselip di antara para Taruna 1970 itu yang ada di Jalan Ganesha, 6 Oktober 1970. Dan ini adalah noda yang melekat pada Angkatan 1970 yang belum terselesaikan, akan senantiasa tercatat sebagai kejahatan yang belum terungkap hingga kini.