Tag Archives: Zainal Zakse

Satu Nusa Satu Bangsa (Beda ‘Bahasa’) Bersama Preman (2)

PREMANISME sama dibutuhkannya oleh kalangan kekuasaan, seperti halnya korupsi, yang juga merupakan kebutuhan dalam konteks mengumpulkan dana untuk biaya politik. Kaum preman dibutuhkan oleh kalangan kekuasaan yang macchiavellis sebagai tangan gelap. Baik sebagai orang perorang, kelompok kecil maupun dalam bentuk kerumunan massal. Profesi preman juga terbuka bagi oknum militer, selain terbuka untuk kalangan umum yang sulit mengambil peran sosial dalam medan kehidupan lainnya. Penggunaan preman misalnya, terjadi dalam skenario konspirasi dalam kasus Antasari Azhar. Dalam kasus ini, institusi formal bekerja sejajar dengan institusi informal. Begitu pula, tatkala penguasa ingin membendung gerakan kritis mahasiswa 1998-2000, yang melahirkan Peristiwa Semanggi I dan II, institusi informal semacam Pam Swakarsa dibiarkan bekerja paralel dengan tujuan penguasa. Dari Pam Swakarsa ini kemudian lahir sejumlah ormas yang kemudian dikenal sebagai pelaku berbagai peristiwa anarkis hingga kini. Mirip ‘Kavaleri Bornu’ dari Sudan abad 16-17, pasukan berkuda yang memiliki kekuatan pembasmi dan mampu menjelajah seluruh penjuru gurun Afrika Utara untuk membasmi berdasarkan pesanan para raja penguasa. Preman sejati.

KAVALERI BORNU. “Dari Pam Swakarsa ini kemudian lahir sejumlah ormas yang kemudian dikenal sebagai pelaku berbagai peristiwa anarkis hingga kini. Mirip ‘Kavaleri Bornu’ dari Sudan abad 16-17, pasukan berkuda yang memiliki kekuatan pembasmi dan mampu menjelajah seluruh penjuru gurun Afrika Utara untuk membasmi berdasarkan pesanan para raja penguasa. Preman sejati”. Gambar repro.

Dalam insiden Sodong dan Mesuji, pengusaha-pengusaha perkebunan sawit, mengerahkan centeng dengan penamaan Pam Swakarsa. Kelompok inilah yang terlibat dalam peristiwa gorok-menggorok dengan massa sekitar perkebunan, yang marah. Di berbagai daerah, seperti di Makassar dan Jakarta misalnya, Polri seringkali ‘menggunakan’ atau setidaknya ‘membiarkan’ sekelompok anggota masyarakat untuk melakukan aksi anarki kontra anarki untuk meredam aksi mahasiswa. Berkali-kali, massa mahasiswa berhasil dipukul balik ke kampusnya oleh barisan massa dari kalangan masyarakat, bukan oleh satuan polisi. Bila ditelusuri, ditemukan bahwa tokoh-tokoh preman berperan dalam memprovokasi dan menggerakkan massa kontra itu.

Perlu dicermati, apakah dalam menghadapi massa mahasiswa, buruh dan kelompok masyarakat lainnya yang melakukan unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, khususnya pada hari-hari mendatang ini, penguasa juga akan menggunakan pemeran-pemeran belakang layar dengan pola premanisme? Continue reading Satu Nusa Satu Bangsa (Beda ‘Bahasa’) Bersama Preman (2)

Menemui Kematian Karena Kekerasan (1)

“Ibarat buah apel, tatkala masih hijau sulit memetiknya dari pohon. Namun bila ia sudah ranum, akan jatuh sendiri ke tanah. Demikian pula kaum muda, kematiannya datang karena kekerasan, sedangkan bagi mereka yang tua, maut datang karena kematangan”. Demikian salah satu kalimat dalam pidato Cicero (106-43 SM). Dua puluh tahun kemudian, dalam usia 63 tahun, tatkala duduk tenang di atas tandu di tepi pantai ‘menanti’ suruhan Marcus Antonius –yang telah memerintahkan untuk membunuh Cicero– datang dan memisahkan kepala dari tubuhnya dengan satu tebasan pedang. Sebenarnya beberapa saat sebelumnya ia telah naik kapal dan berniat meninggalkan negerinya. Tapi ia berubah pikiran, membatalkan pelariannya, turun ke pantai menjemput kematiannya. Ini terjadi setahun setelah Cicero membacakan Philippica, sebuah pidatonya yang menyerang penguasa Roma yang baru, Marcus Antonius, pengganti Julius Caesar.

Aksi mahasiswa tahun 1966 menumbangkan rezim Soekarno (Repro FACE)

Dalam perjuangan mahasiswa tahun 1966 menumbangkan rezim Soekarno, sejumlah anak muda menemui kematiannya karena kekerasan. Beberapa nama tercatat, Arief Rahman Hakim, Zainal Zakse dan Julius Usman. Dan pada aksi-aksi mahasiswa 1998, menjelang tumbangnya Soeharto, kembali beberapa anak muda tumbang dan menemui kematian, dalam tragedi Trisakti dan Semanggi. Dan pada setiap peristiwa, selalu terjadi bahwa pembunuhnya adalah ‘invisible hand’, Lalu, orang yang disangka sebagai pembunuh (atau yang memerintahkan pembunuhan) seringkali lebih keras daripada siapapun dalam melaknat ‘pembunuh terselubung’ itu. Sehingga, selamatlah dia. Sementara itu, pembunuh yang sebenarnya senantiasa dilindungi oleh penguasa –siapa pun dia sang penguasa itu. Selain kematian, diantara dua kurun waktu berakhirnya dua tokoh kekuasaan itu, tercatat sejumlah tragedi yang menimpa para mahasiswa yang merupakan representasi kaum muda. Dua tokoh kekuasaan itu sendiri, pada akhirnya jatuh karena ‘kematangan’nya, ketika ia berkuasa dalam rentang waktu yang hampir tak masuk akal lagi karena begitu lamanya.

A DAY AFTER YOUR ORDER, GENERAL !

 

Ketika para penguasa makin mendewakan senjata dan kekuatan, dan menularkannya kepada para calon perwira muda, jatuh korban di kalangan mahasiswa, Rene Louis Coenraad, dalam insiden Peristiwa 6 Oktober 1970 di depan kampus ITB. Sejumlah Taruna Akabri Kepolisian mengeroyok Rene usai kekalahan mereka dalam pertandingan sepakbola beberapa saat sebelumnya. Rene tertembak hingga tewas. Ironisnya, ini terjadi hanya sehari setelah Presiden Soeharto pada perayaan hari ABRI 5 Oktober menyerukan kepada para prajurit untuk tidak menyakiti hati rakyat. Seorang bintara dituduh sebagai pembunuhnya. Tapi bagi para mahasiswa ada keyakinan yang tertanam bahwa pembunuh sebenarnya ada di antara para calon perwira Angkatan 1970 itu, dan sang bintara hanyalah korban pengkambinghitaman untuk menyelamatkan ‘perwira masa depan’ itu. Untuk kesekian kalinya, kembali pembunuh yang sebenarnya dilindungi oleh kekuasaan. Peristiwa ini menjadi Luka Pertama dalam hubungan mahasiswa dengan tentara Orde Baru dan menjadi awal berakhirnya partnership ABRI-Mahasiswa yang pada tahun 1966 berhasil menumbangkan rezim Soekarno yang pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya makin menjelma sebagai seorang diktator. Tetapi Jenderal Soeharto, penguasa baru yang menggantikan sang diktator, hanya dalam beberapa tahun saja ternyata telah berubah menjadi bagaikan Marcus Antonius yang tak senang terhadap kritik. Tatkala Soeharto menunjukkan ketidaksenangannya pada kritik, justru para mahasiswa generasi baru yang berangsur-angsur muncul menggantikan generasi perjuangan 1966, tampil menjadi pengeritik-pengeritik awal bagi Soeharto.

Di tangan Soeharto, Orde Baru yang lahir untuk memperbaharui dan mereformasi kekuasaan yang tidak demokratis dari rezim Orde Lama Soekarno, perlahan namun teratur telah menjelma menjadi kekuasaan yang sama buruknya dengan yang digantikannya, anti demokrasi dan anti kemanusiaan. Hanya saja, berbeda dengan Soekarno, kekuasaan baru ‘lebih berhasil’ dalam mengembangkan kemajuan ekonomi. Akan tetapi, bagi para mahasiswa, apalah artinya kemajuan ekonomi tanpa keadilan. Nyatanya memang, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, korupsi pun bertumbuh menjadi monster pelahap kekayaan negara.

SAMSON DAN DELILAH

Pada awalnya, orang masih berharap Soeharto mampu memberantas korupsi. Mulai dari mahasiswa seperti Amien Rais di tahun 1967 –mahasiswa sosial politik Gadjah Mada, Yogya– hingga sejumlah gerakan mahasiswa awal tahun 1970-an seperti ‘Bandung Bergerak’ dan ‘Gerakan Akal Sehat’ dari Bandung serta Arief Budiman –mahasiswa psikologi Universitas Indonesia– dan kawan-kawan dari Jakarta, senantiasa mengingatkan Soeharto terhadap gejala korupsi yang bisa membahayakan bangsa. Tapi seperti kata Publius Syrus, memang ada orang yang beruntung banyak menerima ‘nasehat’ namun sayangnya amat-amat sedikit memanfaatkannya. Dalam hal korupsi, itulah Jenderal Soeharto. Menurut penggambaran wartawan dan karikaturis muda dari Yogya, Julius Pour, di tahun 1968 pemerintahan Soeharto ibarat Samson dalam mitologi Yunani yang rambutnya adalah persemayaman sumber kekuatannya, digunting oleh Delilah sang kekasih –yang merupakan pengibaratan dan personifikasi korupsi. Rezim Soeharto bukannya tidak mencoba menunjukkan dari waktu ke waktu upaya yang ‘seolah-olah’ untuk memberantas korupsi. Tapi rezimnya agaknya sudah ada dalam suatu stadium ‘tertentu’ karena cengkeraman virus korupsi. Sehingga, ‘obat-obat’ yang diberikan tidaklah pernah menyembuhkan korupsi. Memang ada juga obat yang lebih buruk dari penyakitnya sendiri. Itulah yang diberikan oleh rezim.

Bersama tentara, Soeharto telah bergerak ke posisi  diktator otoriter –dengan segala perilaku korup yang memang merupakan kecenderungan kekuasaan. Maka, mahasiswa bergerak mendekati kelompok-kelompok populis yang tertindas. Hingga pada satu titik, kekuasaan digulingkan, setelah sang tertindas muncul sebagai ‘pendongkel’ yang babak belur berlumuran darah ‘pengorbanan’.

*Karikatur oleh Deandy Sudiana dan Julius Pour, repro Mingguan Mahasiswa Indonesia.

Berlanjut ke Bagian 2

Tabir Asap Kerusuhan Mei 1998 (3)

“Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, dan kemudian disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Yang menciptakan martir lain, yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decision makers per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini”.

KESIMPULAN terpenting dari TGPF mengenai kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah bahwa kerusuhan terjadi karena disengaja. Kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Menurut TGPF, terdapat sejumlah ‘mata rantai yang hilang’ (missing link), yaitu hilang atau sukarnya diperoleh bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elite dengan arus massa. Namun, terdapat indikasi yang kuat adanya hubungan semacam itu, terutama di Solo dan sebagian wilayah Jakarta.

Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan, bahwa banyak sekali pihak yang ‘bermain’ untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, dari terjadinya kerusuhan. Lebih jauh disimpulkan  bahwa semua pihak yang terlibat bermain pada semua tingkat. Kesimpulan TGPF ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan semua pihak, mulai dari preman lokal, hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI pada kerusuhan tersebut. Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja untuk ‘menumpangi’ kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan apa-apa. Dalam konteks inilah, ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cepat bertindak’ untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggungjawab untuk itu.

Setelah berjalannya waktu hingga 12 tahun lamanya, tabir asap yang menutupi peristiwa dan peran dalam kerusuhan Mei 1998 masih belum ‘terkuak’ secara formal. Apa sebenarnya yang terjadi dalam rangka pergulatan kekuasaan, masih selalu ditutup-tutupi. Ketua Kontras Munir, yang mencoba mengungkit dan mengungkap peranan busuk sejumlah kalangan kekuasaan, khususnya dalam rangkaian penculikan sejumlah aktivis menjelang peristiwa dan kemudian mengenai peran-peran dalam peristiwa, mati dibunuh. Siapa dalang pembunuhan Munir itu sendiri tetap ‘dibuat’ gelap, sehingga terjadi kegelapan ganda.

Dari berkas testimoni para jenderal dan sejumlah perwira lainnya yang dimintai keterangan oleh TGPF, terlihat betapa para jenderal itu cenderung memberi keterangan yang berbelit-belit kepada pewawancara TGPF. Beberapa di antaranya ‘berlagak pilon’, sementara yang lainnya menyampaikan penjelasan-penjelasan normatif yang tak berguna untuk memperjelas persoalan. Bahasa dan kalimat para jenderal itu juga seringkali kurang jelas, tidak fix, entah sengaja entah tidak. Terlihat pula ada situasi saling ‘melemparkan’ tanggungjawab, padahal nyata-nyata secara formal tanggungjawab keamanan itu ada di tangannya. Sayang pula, umumnya para pemeriksa TGPF terkesan kurang berhasil ‘mengejar’ para jenderal itu dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, entah karena kekurangan data atau entah apa. Dan yang paling sulit, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sebagai puncak komando kala itu, justru tidak bersedia, tegasnya tidak mau memberi keterangan kepada TGPF.

Para jenderal dan perwira yang dimintai keterangan oleh TGPF, antara lain adalah Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin yang saat peristiwa terjadi menjabat selaku Panglima Kodam Jaya yang bertanggungjawab atas keamanan ibukota. Sebelum Mei 1998 ia dianggap punya kedekatan dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto. Setelah itu, khususnya pada saat peristiwa berlangsung terlihat bahwa ia ‘beralih’ menjadi lebih dekat dengan Pangab Jenderal Wiranto. Sementara per saat itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto diposisikan ‘berseberangan’ kepentingan dengan Jenderal Wiranto. Letnan Jenderal Prabowo, yang saat peristiwa adalah Panglima Kostrad, juga diperiksa TGPF. Jenderal lain yang ikut diperiksa TGPF adalah Mayjen Zacky Makarim, Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI), yang juga dikenal punya kedekatan khusus dengan Letjen Prabowo Subianto. Berturut-turut yang ikut diperiksa TGPF adalah, Gubernur DKI Letjen Sutiyoso, Kastaf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Komandan Korps Marinir Mayjen Marinir Suharto, KSAD Jenderal Subagyo HS, Drs Fahmi Idris, serta sejumlah perwira menengah dari Kodam Jaya maupun Polda Metro Jaya.

TGPF memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Namun baik pemerintahan Presiden BJ Habibie maupun pemerintahan-pemerintahan Presiden sesudahnya, tak pernah memperlihatkan kesungguhan untuk menuntaskan peristiwa. Sejumlah nama yang justru disorot, belakangan malahan masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan maupun dalam kekuasaan politik. Terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti sempat disidangkan dengan terdakwa sejumlah perwira bawahan dan bintara, tanpa menyentuh para penanggungjawab yang ada pada tingkat lebih tinggi.

Mereka yang disorot namun tak pernah tuntas dalam proses pertanggungjawaban, terutama adalah Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Bekas Panglima Kostrad ini memang sempat diajukan ke Dewan Kehormatan Perwira, dan setelah itu ia diberi penugasan ‘samping’ untuk akhirnya pensiun dini dan sempat hidup di luar Indonesia untuk beberapa tahun. Ia terjun ke dalam kancah politik dan mendirikan Partai Gerindra menyongsong Pemilihan Umum 2009. Sempat tampil sebagai calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputeri dalam Pemilihan Presiden yang lalu, namun dikalahkan SBY-Budiono dalam satu putaran. Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsudin yang juga menjadi fokus sorotan, hanya ‘terparkir’ sejenak sebelum berturut-turut menjabat sebagai Sekjen Departemen Pertahanan kemudian Wakil Menteri Pertahanan dalam Kabinet terbaru Presiden SBY.

Mayjen Zacky Makarim terkena ‘pukulan’ lebih telak, keluar gelanggang meninggalkan karir militernya setelah peristiwa Mei 1998. Sebagai Kepala BIA Zacky mengaku sudah memberi early warning ke berbagai pihak. Misalnya kepada Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin. “Saya sudah bilang khusus kepada Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya agar mewaspadai aksi-aksi yang turun ke jalan akan menuju ke Istana Presiden, Merdeka Utara, dan Merdeka Selatan dan simbol kenegaraan lainnya”. Zacky Makarim mengaku memberi early warning pada 11 Mei kepada semua pihak yang berwewenang, agar mencegah jangan sampai ada korban jatuh dan menjadi martir, seraya menyebut tanggal-tanggal yang perlu diwaspadai yakni 14, 16, 18 dan 20 Mei 1998 akan terjadi tindakan-tindakan destruktif. “Hindari adanya martir, karena akan dicerca rakyat”, ujar Zacky yang mengaku mengira martirnya jatuh di Yogya, tapi ternyata di Universitas Trisakti dan terjadi lebih cepat, 12 Mei 1998. “Saya tidak tahu bahwa tanggal 14 Mei 1998 akan dijadikan bancaan habis”.

Apakah bahan-bahan informasi BIA memang lemah dan menyebabkan perkiraan-perkiraannya pun dengan sendirinya meleset sehingga serba tertinggal sekian langkah? Atau, ada pihak di dalam tubuh kekuasaan sendiri yang sengaja ‘mewujudkan’ apa yang justru dikuatirkan dan diperingatkan BIA dan mempercepat, sehingga segala sesuatunya terjadi bagai bola liar di luar perkiraan? Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, dan kemudian disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Yang menciptakan martir, lain. Dan yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis, lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decision maker per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini.

Awal Oktober 1965 enam jenderal dan satu perwira pertama jadi tumbal, tercipta alasan bagi penumpasan PKI. Tahun 1966, Arief Rahman Hakim gugur sebagai martir bersama wartawan mahasiswa Zainal Zakse, membuat mahasiswa marah, dan bola salju lalu menggelinding ke arah Presiden Soekarno. Tahun 1998 giliran empat mahasiswa Trisakti jadi tumbal, Jenderal Soeharto terpaksa turun. Akan adakah peristiwa-peristiwa baru dengan tumbal-tumbal baru?