PREMANISME sama dibutuhkannya oleh kalangan kekuasaan, seperti halnya korupsi, yang juga merupakan kebutuhan dalam konteks mengumpulkan dana untuk biaya politik. Kaum preman dibutuhkan oleh kalangan kekuasaan yang macchiavellis sebagai tangan gelap. Baik sebagai orang perorang, kelompok kecil maupun dalam bentuk kerumunan massal. Profesi preman juga terbuka bagi oknum militer, selain terbuka untuk kalangan umum yang sulit mengambil peran sosial dalam medan kehidupan lainnya. Penggunaan preman misalnya, terjadi dalam skenario konspirasi dalam kasus Antasari Azhar. Dalam kasus ini, institusi formal bekerja sejajar dengan institusi informal. Begitu pula, tatkala penguasa ingin membendung gerakan kritis mahasiswa 1998-2000, yang melahirkan Peristiwa Semanggi I dan II, institusi informal semacam Pam Swakarsa dibiarkan bekerja paralel dengan tujuan penguasa. Dari Pam Swakarsa ini kemudian lahir sejumlah ormas yang kemudian dikenal sebagai pelaku berbagai peristiwa anarkis hingga kini. Mirip ‘Kavaleri Bornu’ dari Sudan abad 16-17, pasukan berkuda yang memiliki kekuatan pembasmi dan mampu menjelajah seluruh penjuru gurun Afrika Utara untuk membasmi berdasarkan pesanan para raja penguasa. Preman sejati.

Dalam insiden Sodong dan Mesuji, pengusaha-pengusaha perkebunan sawit, mengerahkan centeng dengan penamaan Pam Swakarsa. Kelompok inilah yang terlibat dalam peristiwa gorok-menggorok dengan massa sekitar perkebunan, yang marah. Di berbagai daerah, seperti di Makassar dan Jakarta misalnya, Polri seringkali ‘menggunakan’ atau setidaknya ‘membiarkan’ sekelompok anggota masyarakat untuk melakukan aksi anarki kontra anarki untuk meredam aksi mahasiswa. Berkali-kali, massa mahasiswa berhasil dipukul balik ke kampusnya oleh barisan massa dari kalangan masyarakat, bukan oleh satuan polisi. Bila ditelusuri, ditemukan bahwa tokoh-tokoh preman berperan dalam memprovokasi dan menggerakkan massa kontra itu.
Perlu dicermati, apakah dalam menghadapi massa mahasiswa, buruh dan kelompok masyarakat lainnya yang melakukan unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, khususnya pada hari-hari mendatang ini, penguasa juga akan menggunakan pemeran-pemeran belakang layar dengan pola premanisme?
Sejauh yang terungkap kini, pemerintah telah dan akan menggunakan satuan-satuan militer –khususnya dari Kodam Jaya– untuk menghadapi mahasiswa dan peserta unjuk rasa lainnya. Meskipun, perundang-undangan yang ada saat ini tak membolehkan penggunaan militer di luar kepentingan membela negara terhadap serangan militer dari luar. Ini akan menjadi awal dari kembalinya pola represif, mengulang perilaku rezim terdahulu, khususnya rezim Jenderal Soeharto yang militeristik. Secara historis, satuan-satuan Kodam Jaya ini berpengalaman dalam menghadapi mahasiswa dengan cara keras. Pada tahun 1966, saat mahasiswa mengepung istana, seorang mahasiswa UI, Arief Rahman Hakim, tewas ditembak oleh anggota satuan dari Kodam Jaya. Tapi yang di’kambing-hitam’kan kala itu adalah pasukan pengawal Presiden Soekarno, Tjakrabirawa, yang sebenarnya berada di ring-dalam pengamanan Istana. Begitu pula dalam suatu insiden lain, tusukan bayonet dan pukulan yang menimpa wartawan Harian KAMI, Zainal Zakse, yang akhirnya membawa kematian, pelakunya adalah dari satuan Kodam Jaya yang kala itu panglimanya adalah Jenderal Amirmahmud –yang bisa sekaligus memiliki kedekatan khusus, baik dengan Presiden Soekarno maupun Jenderal Soeharto. Tusukan bayonet menembus organ tubuh penting di dalam tubuh Zakse dan hantaman popor bedil menghancurkan tulang belakangnya. (Lebih jauh mengenai kedua korban ini, baca tulisan-tulisan di blog ini dengan menggunakan tag Arief Rahman Hakim dan atau Zakse, sociopolitica).
Barangkali, penggunaan pola premanisme, dalam barisan ala Pam Swakarsa, di samping menggunakan satuan tentara untuk menghadapi unjuk rasa anti kenaikan BBM, hanya soal waktu. Menurut pengalaman empiris, para penguasa yang otoriter (terbuka atau tidak) memiliki kecenderungan untuk menggunakan kedua kekuatan itu sekaligus. Presiden Soekarno yang mencoba bertahan di kursi kekuasaannya, selain mencoba menggunakan unsur militer (waktu itu Angkatan Udara, Resimen Pelopor Kepolisian di bawah Anton Soedjarwo, KKO-AL di bawah Letnan Jenderal KKO Hartono) juga membentuk Barisan Soekarno. Massa Barisan Soekarno melakukan penyerangan terhadap mahasiswa, antara lain Markas KAMI Jalan Lembong, dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 di Bandung. Peristiwa itu menewaskan mahasiswa Universitas Parahyangan, Julius Usman, anggota Mahawarman. Saat itu Julius sedang berjaga-jaga di Kampus Unpar Jalan Merdeka, yang terletak pada siku Jalan Lembong, dan tiba-tiba ditembak. Sepanjang yang bisa dicatat, pelakunya adalah anggota PGT (Pasukan Gerak Tjepat) Angkatan Udara. Sejumlah anggota PGT kala itu terlihat mengawal massa perusuh Barisan Soekarno. Selain PGT, tercatat keterlibatan sejumlah perwira dari Kodim Garnisun Bandung, Mayor Oking cs yang belakangan disuruh tangkap oleh Mayjen HR Dharsono.
Di masa Soeharto preman digunakan oleh kekuatan politik sebagai kelompok serbaguna. Sementara itu kalangan kaya baru yang bertumbuh pesat, terbiasa menggunakan kaum preman untuk berbagai kepentingannya, termasuk untuk membunuh orang lain. Perusahaan-perusahaan properti dan perusahaan besar lainnya, terbiasa untuk tidak mengatakannya selalu menggunakan jasa preman dalam pembebasan lahan. Beberapa perumahan mewah yang kita ‘kenal’ selama ini, terutama di Jakarta, didirikan di atas simbah darah (dalam artian sebenarnya) dan airmata rakyat yang dibebaskan tanahnya dengan kekerasan, dengan harga yang ditetapkan sepihak.
ADALAH menjadi fenomena menarik bahwa sejumlah tokoh organisasi yang dikenal sebagai pelaku praktek premanisme dalam kehidupan sehari-hari, kelak di masa ‘reformasi’ berhasil diputihkan dan beberapa di antaranya menduduki kursi parlemen dan atau menjadi unsur kelas atas dalam dewan pimpinan pusat partai-partai terkemuka saat ini. Beberapa di antaranya kelihatannya berhasil ‘menampilkan’ diri seakan idealis bahkan santun. Sementara itu, sejumlah tokoh partai pendukung kekuasaan incumbent malah makin tidak santun, bahkan ada yang mengambil peran membina kalangan preman dan atau organisasi premanisme, khususnya dalam pengerahan massa untuk counter attack terhadap aksi-aksi anti pemerintah. Mereka antara lain mengorganisir unjuk rasa tandingan di depan Gedung KPK, mengerahkan massa brutal melawan berbagai unjuk rasa anti penguasa di bundaran HI, atau mengganggu unjuk rasa ‘Indonesia tanpa FPI’. Lebih jauh, masih perlu diungkap, benarkah sudah berkali-kali terjadi pembunuhan politik terhadap lawan-lawan politik, atau bentuk eliminasi lainnya terhadap para pengganggu ketenangan kekuasaan kelompok atau perorangan? Apakah misalnya ‘whistleblower’ Komjen Susno Duadji atau mantan Ketua KPK Antasari Azhar termasuk korban ‘eliminasi’?
Di daerah, keadaan tak kalah parahnya, sejumlah pejabat yang terlibat perkara korupsi, bisa mengerahkan massa bayaran –yang diorganisir preman– untuk melakukan unjuk rasa membela. Seorang pejabat yang akan dieksekusi oleh KPK, dijaga rumahnya oleh ‘massa pendukung’ yang siap untuk melawan. Para pihak dalam berbagai sengketa hukum, pun tak segan-segan mengerahkan orang bayaran untuk memenangkan kepentingannya. Pengadilan juga sering dibanjiri massa ‘penekan’ untuk membela terdakwa-terdakwa perkara korupsi, sebagaimana massa juga bisa membanjiri gedung institusi penegak hukum yang menangani kasus pelecehan seksual oleh seorang habib maupun pemuka agama ‘panutan’ mereka.
TENTU masih banyak hal serupa, kisah kegelapan, yang bisa diceritakan. Tapi kalau terlalu mendetail, bisa-bisa kita yang kena eliminasi. Tak terbantahkan bahwa memang kita telah lama bernafas dalam lumpur bersama perilaku premanisme dalam kehidupan sehari-hari. Hidup satu nusa satu bangsa, meskipun beda ‘bahasa’ bersama preman. Sejarah juga telah mencatat, bahwa Nusantara ini pernah memiliki preman yang berhasil menjadi raja, yakni Ken Arok. Selain merampas tahta, Ken Arok juga merampas isteri orang yang ia rampas tahtanya. Seorang jenderal berkuasa di masa Soeharto, meniru Ken Arok, merampas isteri orang dan menjebloskan sang suami ke tahanan dengan tuduhan terlibat PKI. Tapi pada satu momen lain ia tak berani merampas ‘tahta’ Jenderal Soeharto, meski ia sangat diyakini memang berniat menjadi orang nomor satu di republik ini. Dan mungkin, sejarah juga akan mencatat bahwa di Indonesia, kekuasaan bisa dan pernah ditegakkan antara lain dengan topangan kelompok preman. Jangan lupa mencatat, korupsi demi biaya kekuasaan pada hakekatnya pun selalu dilakukan dengan gaya preman. Lihat saja kasus-kasus korupsi terbaru yang sedang ditangani dan diungkapkan belakangan ini.
Mas, kalau gak keberatan, kasih link ke bagian pertamanya dong
Bisa ditemukan dengan membuka archive february. Atau buka: sociopolitica.wordpress.com/2012/02/28/satu-nusa-satu-bangsa-beda-bahasa-bersama-preman-1/