Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (1)

“Secara alami kita terkait dengan demokrasi.Kekebasan bertindak yang tidak disertai dengan kemampuan berpikir yang memadai, hanya akan menciptakan kekacauan ”, John Dewey, Filsuf.

SEKITAR tahun 1993 yang lalu, majalah Aula edisi November menurunkan berita menghebohkan mengenai pengungkapan Habib Hussein bin Abu Bakar al-Habsyi, pendiri pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam) Bangil, Pasuruan, masuk Syiah. Padahal, Habib Hussein dikenal sebagai ulama Sunni yang masyhur di kota Bangil, dan dianggap mumpuni di kalangan para habib. Berita yang dilansir majalah milik Nahdlatul Ulama itu bersumber dari surat rahasia Habib Hussein yang ditujukan kepada seseorang tokoh Syiah di Iran, yang menyatakan selama ini ia membuat kedok menyembunyikan ke-Syiah-annya (bertakiyah) sebagai strategi dakwah (Syiahali, Ahad, 27 Februari 2011).

DUABELAS IMAM SYIAH. “Dalam tradisi Nahdliyin juga dikenal membaca shalawat diba’ yang biasanya dibaca pada setiap malam Jumat. Pada shalawat tersebut disebutkan seluruh imam Syiah yang dua belas. Masyarakat Nahdliyin juga sangat menghormati ahlul bait, bahkan terkadang agak berlebihan”. Orang Nahdatul Ulama, Jawa pada umumnya, tidak berani mengadakan hajat menikahkan anak, atau berpesta, pada hari Asyura (10 Muharram), yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya Hussain bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW dan iman Syiah ketiga. Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid (alm), menyebut gejala itu sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah.  (gambar download googlesearch)

Sejak itu, penganut Syiah tidak segan-segan lagi melakukan aktivitas dan pengajian Islam aliran (mazhab) Syiah secara terbuka. Pesantren YAPI memang dikenal sebagai yayasan yang tertua milik kelompok Syiah, dibanding yayasan-yayasan Syiah lainnya. Terungkapnya surat rahasia itu membuat masyarakat Bangil pun berbelok arah, banyak para asatidz dan santri kemudian keluar dari pesantren YAPI tersebut. Itulah awal dari perselisihan antara kelompok Sunni dan Syiah di Bangil dan sekitarnya. Tahun 2007, sekelompok masyarakat melakukan demo besar setelah shalat Jum’at menolak paham Syiah. Dan, berujung dengan penyerangan tiba-tiba pondok pesantren Alma’hadul Islam YAPI di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, YAPI Bangil oleh ratusan orang yang mengklaim dari kelompok ASWAJA (Ahlussunnah Waljamaah) beberapa waktu lalu (15/2/2011), yang mengakibatkan empat santri terluka di bagian kepala. Masalah ini berlanjut dengan penyerangan kelompok Syiah di Kecamatan Omben, Sampang, Madura (29/12/211).

Bertaqiyyah untuk menebar benih di tempat baru
Takiyah (taqiyyah) yang dilakukan kaum Syiah itu adalah sebagai tindakan menampilkan fakta yang berbeda mengenai urusan agama, baik dengan perkataan maupun perbuatan dengan mengikuti perkataan dan perbuatannya, tujuannya adalah  menjauhkan bahaya untuk menjaga jiwa, harta, dan kehormatan dari pihak lain yang tidak menerima paham Syiah. Pengertian taqiyyah termasuk berdiam diri dari perlawanan atas kebatilan dengan tanpa pengakuan. Dalam kelompok Syiah yang mendapatkan perlakuan represif dari sejak Dinasti Umayyah, Abbasiyyah, hingga pemerintahan Turki Ustmaniyyah, Ja’far As-Shadiq, imam Syiah keenam, menekankan pentingnya penggunaan taqiyyah untuk menjaga eksistensi keyakinan (Islam Digest Republika, 12 Juni 2011).

Menurut Syafiq Basri Assegaff, dalam sebuah tulisannya ‘Menelisik Syiah’, pada sekitar 320 H, Ahmad bin Isa “Al Muhajir” bin Muhammad bin Ali bin Ja’far As-Shadiq, cucu Ja’far As-Shadiq, hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman bagian selatan, untuk menghindari teror penguasa Dinasti Abbasiyyah, khalifah di Irak yang memusuhi kelompok Syiah. Di Hadramaut itu, Al Muhajir mengajarkan tarekat Al-Alawiy (Alawiyyah, Alawiyyin), yang menurut penilaian sebagian sejarahwan ia bermazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang mengatakan sebenarnya ia adalah Syiah, tetapi menutupinya demi keselamatan dari kejaran penguasa. Pada sekitar tahun 1600-an, anak cucu Al Muhajir –yang menyandang gelar sayid, syed, sharif, atau habib– melakukan diaspora (bahasa Latin untuk mengatakan melakukan penyebaran atau penaburan benih) ke sejumlah negara, termasuk Indonesia, dengan melakukan dakwah secara damai dan anti fundamentalis (Kompas, 3 Januari 2012).

Karena itulah, Syiah Imamiyah Dua Belas Imam (Itsna Asyariyah) mempunyai banyak kesamaan dengan mazhab Syafi’i, salah satu mazhab Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah) yang menjadi panutan mayoritas Nahdliyin di Indonesia. Minimal dalam tradisi, mazhab Syafi’i di Indonesia sangat kental dengan tradisi Syiah. Tradisi ziarah kubur, membuat kubah pada kuburan, tradisi tahlilan, peringatan kematian hari ke tiga, ke tujuh atau empat puluh, dan juga tradisi haul yang serupa dengan upacara-upara Syiah, misalnya, tidak dikenal dalam tradisi mazhab Syafi’i di Mesir, justru banyak dilakukan warga Nahdlatul Ulama (NU). Ada beberapa puji-pujian khas Syiah yang sampai sekarang dibaca di pesantren-pesantren dan masjid-masjid, misalnya pujian menjelang shalat subuh: likhamsatun uthfi biha harral waba’ al-khatimah. Al-mushtafa wal murtadha wabnahuma wa Fatimah (Aku memiliki lima “jimat” untuk memadamkan epidemi yang mengancam; mereka adalah al-Musthafa (Nabi Muhammad), al-Murtadla (yakni Ali ibn Abi Talib, menantu dan sepupu Nabi), wabnahuma (kedua putra Ali, yakni Hasan dan Husein), dan Fatimah (isteri Ali). Ada juga wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan ahlul bait (keturunan Nabi Muhammad).

Dalam tradisi Nahdliyin juga dikenal membaca shalawat diba’ yang biasanya dibaca pada setiap malam Jumat. Pada shalawat tersebut disebutkan seluruh imam Syiah yang dua belas. Masyarakat Nahdliyin juga sangat menghormati ahlul bait, bahkan terkadang agak berlebihan. Orang Nahdatul Ulama, Jawa pada umumnya, tidak berani mengadakan hajat menikahkan anak, atau berpesta, pada hari Asyura (10 Muharram), yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya Hussain bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW dan iman Syiah ketiga. Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid (alm), menyebut gejala itu sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah.
Selain itu, tanpa harus menjadi Syiah, tradisi tabuik di Pariaman, Sumatera Barat, atau tabot di Bengkulu, yang mengusung peti jenazah (casket) Husain, sangat kental dengan tradisi Syiah, yaitu perayaan Asyura yang biasa dirayakan oleh pengikut Syiah untuk memperingati terbunuhnya Husain ibn Ali, cucu Nabi Muhammad dalam penghadangan di Karbala pada 10 Muharram 61 H (10 Oktober 680). Tradisi tersebut berjalan begitu saja sebagai bagian dari tradisi keagamaan yang diterima sebagai kebiasaan setempat. Mungkin, tradisi tersebut menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia ada hubungannya dengan pendakwah dari kelompok Syiah. Memang tidak ada data pasti kapan Syiah datang ke Indonesia, meski pun ada yang berspekulasi, seperti M. Yunus Jamil (1968) dan A. Hasymi (1983), yang mengatakan Islam yang datang ke Indonesia pertama adalah Islam Syiah. Bahkan, menurut mereka, Syiah pernah menjadi kekuatan politik tangguh di kepulauan ini (kerajaan Samudera Pasai di Aceh), namun hal tersebut tidak cukup meyakinkan. Meski demikian, yang sulit disangkal adalah dekatnya kultur keislaman Indonesia, terutama Nahdatul Ulama (NU) dengan tradisi Syiah. Bahkan KH. Abdurrahman Wahid pernah menyatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syiah minus imamah, dan Syiah adalah Nahdatul Ulama plus imamah.

Penelitian Prof DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA, pengamat Syiah, untuk disertasinya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, menjelaskan adanya perkembangan Syiah ideologis dari pengkaderan yang cukup intensif di Indonesia. Kaderisasi ini melalui pendidikan (sekolah dan pesantren) yang disiapkan dengan guru-guru terlatih. Ia menemukan, bahwa YAPI mengkhususkan diri sebagai lembaga yang sengaja menyiapkan kader-kader (santri yang diharapkan jadi guru/ustadz atau da’i Syiah Itsna ‘Asyariyah) yang berkualitas, sehingga dapat menyebarkan doktrin Syiah Imamiyah kepada masyarakat luas (http://www.voa-islam.com/news/interview/2012/01/16/17425/ prof-dr-mohammad-baharun-revolusi-iran-itu-bukan-islam/). Namun, menurut Ketua Dewan Syuro IJABI Jalaluddin Rakhmat, sampai saat ini Pesantren YAPI Bangil merupakan Syiah yang non IJABI, walapun tercatat banyak alumni YAPI Bangil yang menjadi tokoh Syiah IJABI. Pada awalnya pesantren YAPI Bangil mendapat dana dari Saudi Arabia, namun ketika kemudian ketahuan mereka adalah Syiah, dananya ditarik.

Berjuang bersama mengatasi keterpurukan umat Islam
Memasuki abad ke-19, dunia Islam benar-benar terpuruk dan cenderung termarjinalkan, karena berada dalam cengkraman penjajahan kekuatan Barat. Mereka melakukan infiltrasi konsep dan praktik asing yang memecah-belah (disintegrate) umat Islam, dan mendukung praktik pemerintahan lokal dengan kekuasaan politik absolut (despotism) yang menguntungkan pihak penjajah tersebut. Umat Islam terjebak pada taklid buta (hanya menurut saja) dan mengalami kejumudan (tertinggal jauh) dalam berbagai bidang, baik pendidikan, sosial politik, maupun budaya. Di tengah kondisi dunia Islam yang benar-benar terbelakang itu, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh menghidupkan kembali gerakan Salafiyah, yang menurut John L. Esposito, guru besar untuk bidang Agama dan Hubungan Internasional pada Universitas Georgetown, Amerika Serikat, dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, adalah Salafiyah modern yang berbeda dengan era klasik Ibnu Taimiyah yang berdasarkan konsep Imam Ahmad bin Hambal.

Jamaluddin al-Afghani, yang bernama asli Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain, adalah seorang pemikir Islam dari kelompok Syiah yang juga aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Ia dilahirkan di desa Asadabad, distrik Konar, Afghanistan, pada 1838, sebagai keluarga bergelar sayid (sayyids) yang memiliki ikatan darah dengan Husain bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW, imam Syiah ketiga. Ada juga pendapat yang mengatakan Al-Afghani adalah seorang Sunni. Dalam pandangan Al-Afghani, distorsi keyakinan Islam yang paling dasar telah membuat umat Islam bersikap pasrah, pasif, dan tunduk pada kekuatan Barat. Agar dunia Islam tak tunduk kepada Barat, ia mencoba menegaskan validitas Islam pada masa modern, dan membuktikan kesesuaiannya dengan akal dan ilmu pengetahuan. Untuk mengembalikan kebanggaan umat Islam akan agama mereka pada bentuk murninya semula, dan mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik Islam, pada tahun 1879 Al-Afghani memulai gerakannya dengan membentuk partai politik dengan nama Hizb al-Wathani (Partai Kebangsaan).
Berlanjut ke Bagian 2

Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang. 

Advertisement

3 thoughts on “Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (1)”

    1. Tidak ada yang “tertentu”, bila itu yang anda maksud. Tulisan-tulisan di blog ini mengacu kepada pikiran dan akal sehat. Terima kasih untuk perhatian anda.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s