Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (2)

SEBELUMNYA, pada tahun 1869 dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Al Azhar, Mesir, seorang mahasiswa, Muhammad Abduh, tertarik dengan ide pembaruan dunia Islam yang digagas oleh Al-Afghani. Sejak itu, Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, lahir di desa Mahallat Nash di kabupaten al-Buhairah, Mesir, pada 1849, banyak belajar dari Al-Afghani, yang kemudian menjadi pendukung utama gerakan Muslim di seluruh dunia untuk melawan stagnasi, kehancuran moral, despotisme politik, dan dominasi asing.

SYIAH MERASA DIDZALIMI….”dalam Syiah terbangun keakraban akibat deraan kesulitan, karena perlakuan represif dari penguasa setempat (Sunni) yang mencurigai mereka sebagai pemberontak, sampai-sampai harus bertakiyah segala. Di tengah kesulitan, muncul harapan perubahan nasib dengan datangnya Imam Mahdi,….”. (gambar download).

Kerjasama tokoh Syiah, Al-Afghani, dengan Sunni, Muhammad Abduh, juga terjadi pada era tahun 1950-an, pemimpin Ikhwanul Muslimin Hasan al-Bana (Sunni) melakukan kerjasama dengan Imam al-Qummi (Syiah). Setelah itu, pada 1954 Nawab Safawi, pemimpin gerakan Fida’iyyin Islam dari Iran, datang ke Kairo. Muhammad Ali al-Dhanawi, dalam bukunya Kubra al-Harakat al-Islamiyyah fil ‘Ash al Hadits, mengutip kata-kata Bernard Lewis, “Walaupun mereka (Fida’iyyin Islam) bermazhab Syiah, mereka percaya pada kesatuan Islam sama besarnya kepercayaan kaum Muslim Mesir yang Sunni. Di antara mereka terjalin komunikasi yang sangat lancar”. Menurut Dr Ishaq Musa al-Husaini dalam al-Ikhwanul Muslimin sejumlah pelajar dari Iran yang sedang belajar di Mesir ketika itu telah bergabung dalam organisasi tersebut. Ia mengungkapkan, di Irak pun banyak pemuka Ikhwanul Muslimin yang bermazhab Syiah (Islam Digest Republika, 12 Juni 2011).

Imam ke-12 sebagai senjata rahasia kebangkitan Syiah
Sebenarnya, dengan perkiraan hanya sekitar 20 persen dari total umat Islam di dunia yang bermazhab Syiah, dengan konsentrasi terbanyak di Iran, dan Irak, sebenarnya tidak perlu ada ketakutan akan pengaruh Syiah ini di Indonesia yang mayoritas Sunni, kecuali kalau menilai kaum Syiah itu memang lebih berkualitas dan militan. Menurut Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan direktur CIA Bob Woodwards dalam sebuah buku berjudul A Plan to Divide and Destroy the Theology, yang membuat Syiah lebih aktif dibanding Muslimin lainnya, faktor terkuatnya adalah adanya sistem kepemimpinan politik berdasarkan agama (marjaiyah), dan ikatan melalui perayaan Asyura. Peringatan syahidnya Husein, cucu Rasulullah SAW, 1400 tahun lalu itu, selalu diperingati oleh kaum Syiah secara meluas sebagai upacara-upacara kesedihan yang mempersatukan (http://www.victorynewsmagazine.com/ConspiracyAgainstJaffariSchoolofThought Revealed.htm).

Selain itu, dalam Syiah terbangun keakraban akibat deraan kesulitan, karena perlakuan represif dari penguasa setempat (Sunni) yang mencurigai mereka sebagai pemberontak, sampai-sampai harus bertakiyah segala. Di tengah  kesulitan, muncul harapan perubahan nasib dengan datangnya Imam Mahdi, seorang “Juru Langsir Sejarah” yang akan menarik mereka dari kubangan kekelaman dan kegetiran yang akut, untuk menuntun mereka memasuki gerbang kejayaan. Walaupun Mahdiisme dikenal pada hampir semua agama besar dan berbagai budaya sebagai juru selamat (Messiah/Elijah/Ratu Adil), namun Syiah meyakini Imam ke-12, yang tiba-tiba menghilang, akan kembali menuntun mereka. Karena itu, menurut Zen Rachmat Sugito, dalam tulisannya Visi Otentik Globalisme Mahdi, kaum Syiah melihat penderitaan yang dialami “para pejalan suci” yang sedang menuju realitas masa mendatang yang lebih baik, adalah sebagai pra kondisi bagi kedatangan Imam Mahdi (Koran Tempo, 22 Januari 2006). Mereka tegar menghadapi segala kesulitan yang dihadapinya, dan kalau perlu harus bertakiyah.

Karena itu, banyak gerakan perebutan kekuasaan negara yang berasal dari kelompok tarekat sufi yang melakukan perlawanan sebagai kelompok tertindas dengan mengandalkan munculnya Imam Mahdi sebagai penyelamat. Salah satu tarekat Syiah yang berkembang di Iran dan sukses mendirikan dinasti Shafawiyah pada tahun 1501, dimulai dari pengajian yang dipimpin oleh Syah Ismail Shafawiyah dalam usaha yang panjang dan intens berupa propaganda agama. Bersamaan dengan melemahnya pendukung Sunni di Iran, tampil Syiah sekte Ismailiyah, yang disebut Syiah Tujuh Imam, karena mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari ‘Ali bin Abi Thalib, dan imam ketujuh ialah Isma’il. Dalam banyak kasus politik, Syiah Ismailiyah, yang juga disebut Shafawiyah, adalah yang dianggap kelompok garis keras yang militan.

Persaingan global yang dipentaskan juga di Indonesia

Pertanyaannya, kenapa belakangan ini Sunni dan Syiah mengalami ketegangan sedemikian rupa di Sampang dan Pasuruan? Gejala ini tentu saja aneh, mengingat kejadian tersebut justru terjadi di kantong-kantong Nahdatul Ulama yang dikenal moderat. Meminjam pendapat Rumadi dalam sebuah tulisannya  berjudul Islam Tanpa Syiah, ada beberapa hal yang bisa digunakan untuk menjelaskan hal tersebut.

Pertama, di dunia Islam, pada tingkat global, terjadi persaingan yang sangat kuat antara Iran (Syiah) dengan Saudi Arabia (Sunni yang Wahabi). Saudi Arabia sebagai “pusat Islam” beserta jaringan-jaringannya mengerahkan segala upaya untuk menangkal perkembangan Syiah di dunia Islam.

Kedua, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang dikenal moderat merupakan wilayah yang mudah dipengaruhi Syiah. Apalagi dengan bukti-bukti kedekatan kultural tersebut, tentu sangat mengkhawatirkan Saudi Arabia. Dalam konteks inilah, kelompok-kelompok Salafi yang sangat dipengaruhi oleh doktrin Wahabisme yang sekarang tumbuh di mana-mana bertemu dengan kepentingan Saudi Arabia. Dalam konteks anti Syiah, keduanya mempunyai kepentingan yang sama, membendung Syiah. Bagi kelompok Sunni-Salafi-Wahabi ini, Syiah dianggap sebagai kelompok yang sudah keluar dari Islam.

Ketiga, menguatnya kelompok intoleran, terutama dari kalangan Sunni-Salafi-Wahabi, yang berpengaruh ke mana-mana, termasuk ke dalam tubuh Nahdatul Ulama. Jika Nahdatul Ulama secara kelembagaan tidak mampu membendung infiltrasi kelompok intoleran, maka beberapa kantong Nahdatul Ulama akan dengan mudah dimanfaatkan sebagai kekuatan “penggebuk” Syiah. Potensi ke arah tersebut bisa saja terjadi jika kalangan Sunni ekstrim dan Syiah ekstrim terus berdebat mengenai akidah yang pasti tidak akan berujung pada titik temu. Sunni-Salafi-Wahabi akan terus menerus mencari-cari kesalahan Syiah, sementara Syiah pun bertahan dengan keyakinannya merasa tidak melakukan kesalahan seperti dituduhkan pada mereka.

Keempat, pelan-pelan, menguatnya pengaruh Saudi Arabia melalui kekuatan Sunni-Salafi-Wahabi ini ditandai dengan terjadinya pergeseran cara masyarakat di sebagian wilayah Indonesia dalam merespon perbedaan. Jika sebelumnya sejumlah masyarakat Indonesia dikenal toleran dengan perbedaan, sekarang sudah mulai terjadi pergeseran ke arah non-toleran yang perlu diwaspadai (www.lenteratimur.com, Senin, 16 Januari 2012).

Selain itu, adanya kecurigaan, mengenai konspirasi Syiah Internasional yang konon dikatakan akhir-akhir ini sedang membangun aliansi strategis Syiah Shafawiyah, aliansi gabungan pemerintah Iran, Suriah, Hizbullah Libanon dan kekuatan Syiah di Irak. Mereka berencana mengembalikan kejayaan Syiah Shafawiyah Fathimiyah di semenanjung Arab dan Afrika, memanfaatkan suhu politik yang panas di beberapa negara Muslim di jazirah Arab dan Afrika (Arab Spring). Pembelotan Syiah al-Hutsiyin di Yaman, kerusuhan makar bertujuan menggulingkan pemerintah Bahrain juga diusung oleh pengikut Syiah, adalah bagian dari konspirasi yang didukung oleh aliansi tersebut. Kejadian-kejadian tersebut ditengarai sebagai operasi proyek Syiah internasional.

Masalahnya, dengan niat Israel untuk menyerang Iran dengan berbagai dalih yang mendapat dukungan pihak Barat, banyak pihak menilai bahwa propaganda yang memecah kekuatan Sunni dan Syiah adalah disponsori oleh poros Amerika yang berkepentingan untuk menguasai minyak di Iran, dimanfaatkan oleh Israel sebagai tameng pelindungnya dari serangan Hamas (Gaza) dan Hisbulah (Lebanon) yang mendapat dukungan dari Iran. Dengan menguras sehabis-habisnya tenaga manusia dan material kelompok Islam, misalnya dalam persengketaan antara Sunni dan Syiah di Irak dan negara Arab lainnya, pihak Barat, terutama Amerika Serikat, menjadikan kawasan Timur Tengah sebagai sumber utama penjualan produk industri senjata mereka. Juga, dengan mendorong kelompok Sunni menyibukkan diri dalam pertikaian dengan Syiah, supaya kedua belah pihak mengabaikan tujuan utama untuk mengusir Yahudi dari Palestina.

Karena itu, sebelum terbukti Syiah berulah di Indonesia, jangan sampai terperangkap propaganda hitam.

Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s