“…….. meski dua proses peradilan dalam kaitan Peristiwa 6 Oktober 1970 ini telah menentukan Djani sebagai ‘pembunuh’ Rene, pada hakekatnya tetap tertinggal satu misteri tak terjawab: Siapa sebenarnya pembunuh Rene Louis Coenraad ? Mahasiswa meyakini, pembunuh itu terselip di antara para Taruna 1970 itu yang ada di Jalan Ganesha 6 Oktober 1970. Dan ini adalah noda yang melekat pada Angkatan 1970 yang belum terselesaikan, akan senantiasa tercatat sebagai kejahatan yang belum terungkap hingga kini”.
Dari 8 terdakwa, dalam requsitor oditur, hanya dua orang yang tampaknya cukup ‘tersangkut’ dengan Rene, yakni Terdakwa I Letnan (Inspektur) II Nugroho Djajusman dan Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad. Terdakwa I Nugroho Djajusman mengakui berpakaian PDL (Pakaian Dinas Lapangan) saat peristiwa, tapi tidak disebut berpistol atau tidak. Dari atas truk, katanya, Nugroho melihat Rene lalu teringat akan tantangan yang diucapkan Rene di lapangan sepakbola “Siapa jagoan Akabri?”. Karena itulah, Nugroho turun dari truk dan mengejar Rene yang sedang lari. Seraya mengejar, Nugroho memukul Rene tapi menurut pengakuannya, “tidak kena”. Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad, ketika berada di atas truk mengaku melihat Rene memukul seorang taruna yang berbadan kecil. Karena perkelahian tidak seimbang, terdakwa turun untuk memisah tapi malah katanya dipukul oleh Rene, namun tidak kena. Ia lalu mengejar Rene. Ketika jaraknya tinggal sejangkauan tangan, Dodo memukul Rene tapi meleset, malah petnya jatuh. Pengakuan kedua terdakwa ini tidak diperkuat oleh kesaksian manapun. Tak ada kesaksian yang pernah menyatakan melihat Rene justru aktif memukul taruna. Pengakuan Terdakwa II Dodo Mikdad yang diungkapkan oleh oditur ini merupakan ‘pengakuan baru’ bagi Mahkamah, setelah terdakwa ini sebelumnya menolak hasil pemeriksaan pendahuluan yang ditandatanganinya sendiri. Dalam pemeriksaan pendahuluan ia mengakui menghampiri Rene, tetapi sebelum tiba Rene sudah lari, lalu berdua dengan taruna lainnya ia mengejar Rene. Keterangan seperti yang disampaikan Dodo Mikdad ini sebenarnya diperlukan dalam persidangan dengan terdakwa Djani Maman Surjaman di tahun 1970.
Enam terdakwa lain berada dalam gambaran samar dan tidak jelas pada pengutaraan requisitor oditur. Terdakwa III Sianturi Simatupang memukul punggung seorang pengendara sepeda berpakaian baju bermotif kembang-kembang. Siapa yang dipukul tidak diketahui dan tidak juga dibuat jelas oleh oditur. Dalam peristiwa itu ada seorang pengendara sepeda yang dipukul, tapi orang itu adalah Bambang Pranggono seorang mahasiswa ITB yang berjaket abu-abu biru, bukan baju kembang-kembang, dan kena pukulan koppel rim tiga kali. Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk, berpakaian preman bersenjata revolver colt kaliber 38, memberi pengakuan mengacungkan senjata kepada Rene. Rene dipukul dari belakang oleh para taruna, lari, kemudian dikejar. Terdakwa mendengar teriakan-teriakan bahwa mahasiswa melempar batu. Saksi kemudian mengejar mahasiswa dan berteriak “Mahasiswa bajingan, mahasiswa apa!”.
Hanya sekian yang diungkapkan oleh oditur mengenai keterlibatan Terdakwa IV. Oditur tidak mengungkap bahwa senjata yang dipegang Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk pernah diletuskan. Padahal senjata yang dipegang Bahar Muluk itu dipinjamnya dari seorang taruna lain dan ketika dikembalikan pelurunya kurang satu. Apakah Khaerul Bahar Muluk yang menembak ke arah asrama Ganesha 15 ? Saksi Gushaji memberikan gambaran bahwa yang menembak ke Ganesha 15 adalah seorang laki-laki bercelana putih dan berbaju putih (bukan kemeja). Ini tidak sesuai dengan keadaan tampilan Khaerul Bahar Muluk. Pertanyaannya, di mana lalu peluru dari senjata yang dipegang Bahar Muluk ditembakkan ? Terdakwa V Sugeng Widianto sementara itu dilukiskan oditur turun dari truk membuka koppel rim yang dipakainya. Di jalan Ganesha ia melihat anggota P2U dipapah. Ia menjadi marah dan memukul dengan koppel rim. Siapa yang dipukulnya, tidak dijelaskan oditur. Ia mengakui memakai koppel rim putih, sehingga menolak mengakui koppel rim hitam yang dijadikan barang bukti, sebagai miliknya.
Saksi Ir Asdaryanto dalam kesaksian (14 Nopember 1973) menyatakan bahwa pemukulan terhadap Rene dilakukan dengan koppel rim hitam dan juga koppel rim putih. Hal ini tidak disinggung oditur. Mengenai koppel rim putih, disanggah habis-habisan keberadaannya oleh pembela dengan alasan koppel rim putih dalam Akabri hanya dipakai pada seragam kebesaran. Terdakwa VI Letnan II Ahmad Arony Gumay digambarkan “turun dari bus nomor 2, melihat HD tergeletak, mendengar tembakan-tembakan gencar, segerombolan taruna mengejar mahasiswa. Ada yang mendatanginya, lalu disepak karena dongkol”. Terdakwa VII Letnan II Riyadi turun dari truk karena didorong loyalitas dan memukul seseorang. Orang yang dipukul itu kena lengan kirinya. Terdakwa VIII Letnan II Nugroho Ostenrik (putera jenderal polisi Ostenrik) turun dari mikrobus memukul punggung seseorang dan kemudian melakukan pengejaran. Pengejaran ini dihentikan ketika mendengar tembakan peringatan. Siapa yang menjadi korban pemukulan oleh ketiga terdakwa ini, tidak pernah diperjelas oleh oditur.
Setelah uraian yang sangat sumir mengenai keterlibatan masing-masing terdakwa, mulailah oditur mempreteli sendiri satu persatu tuduhan-tuduhannya yang disampaikan pada awal persidangan yang sudah berlangsung tiga bulan ini. Tuduhan primer yang bersandar pada pasal 170 ayat 1 angka 3 KUHP, jo pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP, dibatalkan oleh oditur. Tuduhan ini menurut oditur, mengandung beberapa unsur yaitu unsur ‘kekerasan’, ‘bersama-sama’, ‘di muka umum’ dan ‘ada orang mati’. Dalam pembahasannya oditur menyimpulkan unsur kekerasan, bersama-sama, dimuka umum terpenuhi. “Ada yang mati atau tidak ? Tak ada yang menyebutkan bahwa matinya si korban oleh pukulan. Tak ada seorang terdakwapun mengaku telah menembak si korban dan tak ada saksi melihat tertuduh menembak si korban”.
Matinya Rene, menurut oditur, bukan akibat langsung dari kekerasan dimana antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang segera dan langsung. Oditur mengemukakan bahwa perbuatan Terdakwa I Nugroho Djajusman dan Terdakwa II Dodo Mikdad, dua-duanya memukul Rene tapi tidak kena, berada di luar batas jangkauan yang menyebabkan matinya Rene Louis Coenraad. Diungkapkan bahwa Djani Maman Surjaman dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Kepolisian (tingkat banding) sebagai orang yang menyebabkan matinya Rene. Maka, secara hukum, matinya Rene Louis Coenraad bukan dan tidak merupakan akibat dari kekerasan terdakwa Letnan II Polisi Nugroho Djajusman dan Letnan I Polisi Dodo Mikdad serta 6 terdakwa lainnya. “Dengan tidak dipenuhinya unsur-unsur tuduhan primer ini maka tuduhan primer batal”.
Tuduhan subsider bagi 8 terdakwa eks Taruna, berdasarkan pasal 170 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP jo pasal 2 KUHPT. “Ditinjau unsur demi unsur daripada tuduhan subsider, tiap-tiap unsur dipenuhi, tetapi apabila semua unsur digabung menjadi satu, ada satu syarat tidak dipenuhi, yaitu syarat itu hanya berlaku bagi peserta yang secara pribadi menimbulkan luka tersebut. Padahal dari sidang mahkamah ini tidak dapat diungkapkan siapa yang secara pribadi menimbulkan luka tersebut. Jadi tuduhan subsider tak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum”. Ketidaktelitian dan ketidaksungguhan pengusutan peristiwa dan penyidikan betul-betul dimanfaatkan oditur untuk ‘membela’ para terdakwanya. Tuduhan alternatif berdasarkan pasal 358 KUHP juga dipatahkan sendiri oleh oditur. Dalam pasal 358 harus dipenuhi unsur ‘penyerangan’, ‘perkelahian’, ‘ada yang luka berat’, ‘ada yang mati’, ‘ada yang turut serta dalam penyerangan itu’. “Adakah yang mati?”. Ada, Rene, tapi menurut oditur lagi, berdasarkan keputusan Mahkamah Kepolisian, kesalahan itu adalah tanggungjawab Djani Maman Surjani.
Oditur menganggap kelakuan baik para terdakwa dalam persidangan, posisi sebagai perwira remaja yang perlu bimbingan, adalah hal-hal meringankan. Kecuali, Terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad yang pernah mengalami penurunan pangkat karena pelanggaran dan Terdakwa IV Khaerul Bahar Muluk yang terlibat dalam penganiayaan tahanan Kepolisian Metro Jaya bernama Martawibawa hingga meninggal. Pada saat pengadilan Mahmil di Bandung itu, Bahar Muluk berstatus terpidana dengan hukuman penjara 3 tahun potong masa tahanan oleh Mahkamah Militer Jakarta Banten pada bulan Juli 1973. Dan mungkin karena statusnya itu, Bahar Muluk merupakan terdakwa yang terkesan paling minim memperoleh ‘proteksi’ dalam proses persidangan –berbeda dengan rekannya yang lain, khususnya mereka yang adalah putera para jenderal. Bahkan, dalam kisah di balik berita, Bahar Muluk sebenarnya nyaris saja dikorbankan seperti halnya Djani Maman Surjaman. Terhadap para perwira muda itu, Oditur mengajukan tuntutan-tuntutan hukuman dengan hitungan bulan dalam masa percobaan. Vonis majelis hakim sama ringannya. Terselamatkanlah para perwira masa depan Polri itu.
Kelak di kemudian hari, perwira polisi Angkatan 1970 ini, memang banyak yang berhasil menjadi petinggi Polri. Dua di antaranya sempat menjadi Kapolri, yakni Jenderal Rusdihardjo dan Jenderal Bimantoro. Pernah terjadi bahwa jabatan Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) Metro Jaya tiga kali berturut-turut digilir hanya oleh Angkatan 1970 ini, diantaranya Jenderal Hamami Nata yang menjadi Kapolda Metro bertepatan dengan Peristiwa Mei 1998. Kemudian, Jenderal Nugroho Djajusman yang menjadi Kapolda Jawa Tengah sebelum menjadi Kapolda Metro Jaya. Dan Jenderal Muljono, yang juga pernah menjadi Kapolda DI Yogyakarta dan sempat ‘menangani’ kasus pembunuhan wartawan Udin alias Syarifuddin yang menyita perhatian pers dan publik secara nasional karena dianggap banyaknya hal yang ditutup-tutupi.
Namun pada sisi lain, meski dua proses peradilan dalam kaitan Peristiwa 6 Oktober 1970 ini telah menentukan Djani sebagai ‘pembunuh’ Rene, pada hakekatnya tetap tertinggal satu misteri tak terjawab: Siapa sebenarnya pembunuh Rene Louis Coenraad ? Mahasiswa meyakini, pembunuh itu terselip di antara para Taruna 1970 itu yang ada di Jalan Ganesha, 6 Oktober 1970. Dan ini adalah noda yang melekat pada Angkatan 1970 yang belum terselesaikan, akan senantiasa tercatat sebagai kejahatan yang belum terungkap hingga kini.
Berlanjut ke Bagian 4