Keadilan Sosial nan Tak Kunjung Tiba (1)

“Sangat luas dipercaya bahwa hukum di Indonesia adalah komoditi yang lazim diperjual-belikan, yang melahirkan terminologi mafia peradilan, atau meminjam istilah yang digunakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut mafia hukum”. “Tampaknya sang Gubernur memiliki jalan pikiran ala Robin Hood, mengambil dari yang kaya untuk membantu yang miskin”.

BAGAIMANA cara dan di mana bisa melihat tanda-tanda meningkatnya kemakmuran untuk sebagian kecil rakyat Indonesia? Etalase besarnya adalah Jakarta. Dan bagaimana bila ingin melihat telah terciptanya jurang kesenjangan sosial yang makin melebar ? Ada di balik dinding etalase besar yang bernama Jakarta –ibukota negara. Fenomena Jakarta tahun 1960-an dan 1970-an maupun fenomena Jakarta hingga akhir tahun 2009 ini sungguh mampu memperlihatkan itu semua. Setelah masa kekuasaan Soekarno dan rezim Soeharto, masih ada empat lagi presiden ganti berganti naik memegang kendali kekuasaan negara –Baharuddin Jusuf Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri dan Susilo Bambang Yudhoyono– yang telah sama-sama memperlihatkan ketidakberhasilan dalam menghilangkan jurang kesenjangan sosial dan ekonomi selama setengah abad terakhir.

Sebenarnya, fenomena serupa dalam bentuk lebih kecil namun dalam esensi yang sama, juga bisa disaksikan di beberapa kota besar lainnya di Indonesia, seperti Medan, Surabaya dan Makassar. Dan Bandung sebagai ibukota propinsi Jawa Barat yang tepat berada di belakang etalase itu, paling merasakan pengaruh ‘cuaca’ sosial-ekonomi Jakarta. Gaya kesenjangan sosial ala Jakarta merembes dengan cepat ke Bandung. Segala ekses Jakarta, ikut mengalir menuju Bandung, termasuk gaya konsumtif yang memicu korupsi.

Indonesia tahun 2009 adalah negara dengan pendapatan nasional rendah dan sebagian terbesar rakyatnya berpendapatan di bawah US$ 2 per hari. Tetapi pada sisi lain, Indonesia boleh dikatakan senantiasa bisa menempatkan sejumlah tokoh dalam deretan daftar sekian orang terkaya di dunia. Dalam daftar 40 orang terkaya Indonesia pada tahun 2008 yang lalu, tokoh atau keluarga yang menempati urutan kesatu tercatat memiliki kekayaan sekitar US$ 2,800,000.000.00, sedang orang pada urutan ketujuh memiliki kekayaan US$ 1,000,000,000.00. Mereka yang berada pada urutan kedelapan hingga ketigapuluhtujuh masing-masing memiliki kekayaan dalam skala ratusan juta dollar AS.  Sisanya, hingga urutan keempatpuluh, pun masih memiliki angka kekayaan tak jauh di bawah US$ 100,000,000.00. Ini baru sebatas yang namanya muncul di atas permukaan, dan ibarat fenomena gunung es yang hanya memunculkan sepersepuluh bagian d atas permukaan, bagian yang terbenam dan tidak diketahui adalah jauh lebih besar. Sangat mungkin bahwa ada sejumlah orang dengan angka-angka kekayaan lebih tinggi dari 40 nama itu, tetapi menyembunyikan kekayaannya karena berbagai alasan, semisal bahwa sumber kekayaannya itu berasal dari black trading, monopoli terselubung dan atau persekongkolan bisnis, korupsi kekuasaan maupun korupsi politik.

Berkaitan dengan ketidakadilan sosial-ekonomi, terlihat juga betapa dalam dunia hukum selama bertahun-tahun dari satu masa kekuasaan hingga masa kekuasaan lainnya, terjadi kesenjangan laten dalam kesempatan memperoleh keadilan hukum. Penegakan hukum berlangsung keras dan sangat represif terhadap mereka yang berada di kalangan akar rumput, sehingga akan selalu muncul kasus-kasus semacam yang menimpa ibu Minah di Banyumas, pengadilan pencurian semangka di Kediri dan pencurian buah kapuk di Batang. Sebaliknya, seakan sangat lunak tak berdaya terhadap para pelanggar hukum dari kalangan kekuasaan negara, kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi. Lihat, bagaimana sulitnya menyelesaikan masalah Bank Century, sekedar menyebut contoh aktual saat ini. Sangat luas dipercaya bahwa hukum di Indonesia adalah komoditi yang lazim diperjual-belikan, yang melahirkan terminologi mafia peradilan, atau meminjam istilah yang digunakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut mafia hukum.

Fenomena jurang kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar merupakan akibat dari ketidakadilan. Ketidak-adilan hukum adalah akibat ikutan yang mau tak mau merupakan bagian yang terpisahkan. Bagaimana, di mana dan kapankah semua kesenjangan sosial itu berawal dan berakar ? Perlu untuk mengetahui latar belakang dan perkembangan keadaan Indonesia dalam kurun waktu tertentu berdasarkan beberapa catatan dan data, untuk mencoba memahami hubungan-hubungan sebab dan akibat. Berikut ini beberapa flash back untuk mencoba memahami sebagian latar belakang sejarah ketidakadilan sosial di Indonesia sejak 1970-an meskipun harus disadari bahwa keadaan tanpa keadilan sosial itu sudah berusia dalam skala hitungan abad.

Kilas balik ini dimulai dari Jakarta, etalase Indonesia. Di tangan Gubernur Ali Sadikin – seorang Letnan Jenderal marinir yang hingga tahun 1970-an dikenal sebagai Korps Komando disingkat KKO– Jakarta bertumbuh pesat menjadi metropolitan. Pembangunan fisik berlangsung setiap hari mulai dari jalan-jalan yang makin diperlebar, lengkap dengan shelter bus kota, sampai gedung-gedung baru yang mencakar langit. Gang-gang kecil dan becek di perkampungan yang berada di balik-balik gedung baru yang dibangun, oleh Ali Sadikin dirubah menjadi gang-gang beton. Gedung-gedung Sekolah Dasar yang baru pun tak henti-hentinya dibangun di seantero pelosok Jakarta. Sedemikian pesat pembangunan sekolah-sekolah itu sehingga kerap kali pengadaan guru lah yang justru tidak mampu mengimbangi Ali Sadikin yang melaju dengan pembangunan fisik.

Selama beberapa tahun Ali Sadikin yang muncul sebagai pujaan rakyat, berhasil mencatat keberhasilan dalam pembangunan Jakarta, antara lain karena ia memiliki sumber dana yang inkonvensional. Inilah yang paling menimbulkan kontroversi karena yang disebut inkonvensional itu adalah bahwa dana-dana itu diperoleh melalui sejumlah bentuk perjudian yang dilegalisir. Dalam bahasa para politisi partai-partai Islam, Ali Sadikin memerintah dan membangun Jakarta dengan ‘menghalalkan segala cara’.  Keputusan menjadikan judi sebagai sumber pendapatan, diambil Ali Sadikin pada tahun 1967. Setidaknya ada tiga kasino besar yang dibangun dan menjadi pencetak uang bagi para cukongnya dan sekaligus menjadi penyumbang besar bagi kas Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Satu kasino, Copacabana, terletak di pusat hiburan Taman Impian Jaya Ancol. Satu lainnya, yang dibuka lebih awal pada bulan September 1967 adalah Kasino PIX (Petak Sembilan) di kawasan Glodok yang merupakan jantung Pecinan. Kasino ini menyediakan permainan roulette dan baccarat yang dikombinasi permainan judi cina Cap Ji Kie. Dan satu lagi tepat di jantung Ibukota, bersisian dengan Djakarta Theatre di Jalan Muhammad Husni Thamrin, dalam radius tempuh lima menit dari pusat pemerintahan Republik yakni Istana Negara dan gedung-gedung pemerintahan di seputar Monumen Nasional.

Tampaknya Sang Gubernur memiliki jalan pikiran ala Robin Hood, mengambil dari yang kaya untuk membantu yang miskin. Perjudian menjadi salah satu jalan yang mungkin dipakai mengambil dari yang kaya, karena di kalangan etnis keturunan cina yang diasumsikan tempat berakumulasinya uang dalam jumlah besar, kebetulan terdapat kegemaran berjudi yang merupakan bagian dari kultur yang bersifat turun temurun yang terbawa dari cina daratan. Jalan lain, adalah melalui tempat-tempat hiburan malam yang menyediakan perempuan sebagai komoditi seks. Tetapi sang gubernur mulai agak terpeleset saat untuk kalangan masyarakat menengah juga disediakan arena-arena permainan dan perjudian ringan seperti Hailai Ancol, Pacuan Anjing ‘Greyhound’ Senayan dan Pacuan Kuda Pulo Mas. Dan total melakukan kesalahan fatal ketika mengizinkan pula adanya judi mesin Jackpot, yang sering dijuluki ‘si perampok bertangan satu’, yang berhasil menyedot uang masyarakat kalangan menengah Jakarta. Disusul dengan dibukanya judi Hwa-Hwee yang meluas dan bisa diakses oleh seluruh orang sampai lapisan terbawah. Secara keseluruhan itu semua sepenuhnya sudah menjadi satu proses pemiskinan rakyat.

Dalam berbagai penjelasannya yang pada mulanya senantiasa disampaikan dengan amat berhati-hati, Ali Sadikin mengatakan bahwa pemerintah DKI (Daerah Khusus Ibukota) menggantungkan diri kepada sumber pendapatan dari judi adalah untuk sementara sampai pemerintah pusat bisa memberikan bantuan dana yang cukup, seimbang dengan nilai dan posisi Jakarta sebagai penghasil pendapatan nasional secara keseluruhan. Kasino-kasino katanya akan diawasi dengan ketat dan hanya diperuntukkan bagi keturunan cina. Dengan perjudian itu, katanya pemerintah DKI akan memberikan keuntungan untuk kepentingan masyarakat, daripada apa yang terjadi selama ini, yakni keuntungan dari perjudian gelap yang hanya dinikmati segelintir cukong judi. Dan hasil dari pajak perjudian itu akan dipakai untuk rehabilitasi Jakarta. Target pendapatan yang Rp.300 juta setahun, di luar dugaan terlampaui melebihi yang diharapkan semula.

Berlanjut ke Bagian 2.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s