SEMPAT bersikap seakan meremehkan kepulangan Habib Rizieq Shihab ke tanah air, para petinggi rezim berkuasa saat ini terkesan bagai tersengat kejutan keluarbiasaan sambutan massa yang terjadi. Tiba di Jakarta bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2020, Habib Rizieq disambut dan dielu-elukan ratusan ribu massa –ada yang mengecilkan dengan skala ribuan saja, ada yang menyebut skala jutaan– sejak dari Bandara Soekarno-Hatta hingga Petamburan Jakarta Pusat.
Lalu, tiba-tiba saja pemimpin Front Pembela Islam ini, Habib Rizieq Shihab, menjadi satu faktor penting dalam kancah sosial politik. Penting sebagai teman bersinergi dalam pergerakan kritis maupun gerakan oposisi terhadap rezim kekuasaan. Atau, sebaliknya menjadi momen untuk menunjukkan jasa kepada rezim, tampil dengan gagah berani ke “garis depan” menghadapi Habib Rizieq dan barisan FPI-nya. Entah dengan kata-kata keras yang terkesan mengancam, operasi penurunan baliho Imam Besar FPI itu, sampai kepada show of force iring-iringan pasukan operasi khusus TNI di Petamburan.
Pada sisi anti klimaks, dua Kapolda dan dua Kapolres dilepas dari posisinya karena dianggap tak mampu mencegah terjadinya kerumunan massa berskala besar –yang dianggap pelanggaran protokol Covid-19 dalam kaitan pembatasan sosial berskala besar. Tak ketinggalan penindakan dan penahanan pradjurit dan bintara TNI yang ikut mengelu-elukan kedatangan Habib Rizieq. Sayangnya, mungkin berbeda dengan yang diharapkan, tindakan-tindakan pro-aktif kontra itu untuk sebagian besar justru lebih banyak memberi efek bumerang, meningkatkan “rating” Habib Rizieq dan FPI sebagai faktor. Continue reading One Moment in Time Dalam Politik Indonesia: Habib Rizieq dan FPI (1)→
DENGAN berbagai aksi kekerasan yang dilakukannya selama ini, Front Pembela Islam (FPI) telah mengokohkan posisinya sebagai ‘duri dalam daging’ di tubuh bangsa ini. Sekaligus, dengan demikian, meminjam pendapat Ratna Sarumpaet tokoh perempuan aktivis, FPI kini sudah menjadi salah satu public enemy terkemuka di Indonesia. Kamis 18 Juli yang lalu, FPI kembali melakukan sweeping terhadap apa yang mereka anggap sebagai kemaksiatan di tengah masyarakat di Sukorejo Kendal. Tetapi, sekali ini, mereka ‘kena-batu’nya, masyarakat setempat melawan dan menyerang balik konvoi anggota FPI.
EVAKUASI MASSA FPI DI MASJID KAUMAN SUKAREJO, KENDAL. “Benar, bila dikatakan bahwa kini FPI telah menjadi salah satu public enemy. Tetapi setiap kali dikecam melanggar hukum, FPI berargumentasi bahwa kekerasan-kekerasan itu adalah perbuatan oknum. Padahal dalam kenyataan, tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi selalu dilakukan beramai-ramai dan massive, seraya membawa atribut dan bendera organisasi. Mana mungkin kalau aksi itu tidak terstruktur dan tak terencana? Atau apakah memang FPI itu adalah sebuah organisasi oknum massal, bukan sebuah ormas sebagaimana pengertian yang umum maupun menurut definisi undang-undang?” (foto indonesiamedia)
Panik mendapat serangan balik dari massa rakyat, saat melarikan diri ada kendaraan yang digunakan anggota FPI itu berturut-turut menabrak setidaknya dua sepeda motor –satu di antaranya dikendarai sepasang suami isteri. Sang isteri tewas, suaminya luka-luka. Masih ada korban lain yang luka-luka, termasuk seorang polisi yang sedang bertugas. Tiga mobil yang dikendarai anggota FPI dirusak, salah satu di antaranya dibakar. Sebelumnya tatkala mengisi bensin di SPBU, anggota FPI bersikap semena-mena dan tak mau membayar. Adanya serangan balik massa rakyat ini, menjadi dalih para pimpinan FPI bahwa justru merekalah yang menjadi korban kekerasan saat melakukan monitoring damai.
Dalam suatu diskusi TV, Wakil Sekjen FPI mencoba menciptakan opini bahwa dalam peristiwa di Sukorejo Kendal itu mereka berhadapan dengan masyarakat pendukung maksiat. Lebih jauh dari itu, menghadapi kecaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kegiatan sweeping FPI, Ketua Umum FPI Habib Rizieq membalas dengan kata-kata penghinaan kepada sang Presiden. Rizieq mengatakan SBY ternyata bukan seorang negarawan yang cermat dan teliti dalam menyoroti berita, tapi hanya seorang pecundang yang suka menyebar fitnah dan bungkam terhadap maksiat.
”Seorang Presiden muslim yang menyebar fitnah dan membiarkan maksiat, ditambah lagi melindungi Ahmadiyah dan aneka mega skandal korupsi, sangatlah mencederai ajaran Islam,” ujar Rizieq. Ini merupakan ucapan balasan terhadap beberapa penilaian SBY yang mengarah kepada FPI. Presiden berkata (21/7), “Islam tidak identik dengan kekerasan. Islam tidak identik dengan main hakim sendiri. Islam juga tidak identik dengan pengrusakan. Sangat jelas kalau ada elemen melakukan itu dan mengatasnamakan Islam justru memalukan agama Islam.” Dengan tudingan pecundang ini, berarti sudah kesekian kalinya Rizieq mengeluarkan kata-kata menantang terhadap Presiden. Sebelumnya, Rizieq pernah mengancam akan mengobarkan gerakan menggulingkan Presiden SBY dalam konteks kasus Ahmadiyah.
Sebenarnya ada perangkat peraturan yang tadinya bisa digunakan menjerat tindakan dan ucapan penghinaan terhadap Presiden RI. Tapi Mahkamah Konstitusi di masa Mahfud MD sudah menghapus pasal-pasal penghinaan presiden itu dalam suatu judicial review –entah ini suatu jasa entah suatu blunder untuk kebutuhan saat ini. Maka, menjadi lebih sulit kini untuk melakukan penindakan dalam kasus-kasus penghinaan presiden. Apalagi di kala para penegak hukum kita memang kurang kemauan, kurang kemampuan dan tidak punya kreativitas –dalam pengertian positif– mengoptimalkan peraturan-peraturan hukum. Terlepas dari sikap kritis kita terhadap Susilo Bambang Yudhoyono dalam kedudukannya selaku Presiden RI, bagaimanapun juga tak pantas untuk terbiasa melakukan penghinaan-penghinaan kasar yang mengarah kepada pribadi, semacam kata ‘pecundang’ dan sejenisnya. Kita bisa mengkritisi kebijakan-kebijakan maupun kelemahan kepemimpinan Presiden SBY secara objektif, tapi kita tak berhak dan tak pantas menghina dengan kata-kata dan cara-cara tak beradab.
Hingga sejauh ini belum semua kalangan di Indonesia bisa dianggap betul-betul siap untuk menjalankan demokrasi dengan baik dan benar. Kebebasan menyatakan pendapat dan mengeritik misalnya, masih sering disalahartikan sebagai kebebasan mencaci maki orang lain. Hampir semua organisasi politik dan organisasi masyarakat di Indonesia saat ini memiliki jagoan-jagoan caci maki dan insinuasi. Bukannya malah bersungguh-sungguh melakukan pendidikan politik yang bermoral. Rupanya orang-orang tipe seperti ini sengaja dipelihara sebagai pasukan pengganggu di garis depan pertempuran politik kepentingan. Sebagaimana manusia tipe pemburu dana dengan segala cara, pun dipelihara. Bahkan ada organisasi yang secara khusus didisain dari awal dan dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas pengganggu dan provokasi.
FPI adalah sebuah organisasi dengan sejarah khusus. Ia terbentuk sebagai bagian dari Pam Swakarsa di masa transisi pasca lengsernya Jenderal Soeharto dari kekuasaan di tahun 1998. Pam Swakarsa dibentuk pada masa BJ Habibie berjuang mencari legitimasi baru demi kelanjutan kekuasaannya. Jenderal Wiranto tercatat sebagai salah satu tokoh pemrakarsa. Pam Swakarsa didisain sebagai kekuatan untuk melawan gerakan-gerakan mahasiswa kala itu. Massa yang bertugas melakukan counter attack terhadap barisan mahasiswa itu, sempat merenggut nyawa sejumlah mahasiswa melalui rangkaian kekerasan dalam Peristiwa Semanggi. Ketika para jenderal dan operator politik kekuasaan mulai tak sanggup memelihara dan membiayai sejumlah kelompok dalam Pam Swakarsa, kendali operasi juga mulai kendor. Beberapa kelompok mencoba melanjutkan eksistensi dengan mengorganisir diri dan mencari sumber pemberi dana lainnya. Salah satu kelompok yang berhasil eksis, dengan berbagai cara, adalah FPI.
FPI yang kini dipimpin Habib Rizieq itu, memiliki rekam jejak kekerasan yang cukup panjang. Ada Peristiwa Monas, ada peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah. Paling banyak, peristiwa-peristiwa main hakim sendiri, antara lain melalui aksi-aksi sweeping terhadap tempat-tempat hiburan, termasuk tempat-tempat bilyar yang sebenarnya adalah tempat rekreasi biasa. Melakukan razia terhadap toko-toko yang menjual minuman beralkohol, tanpa peduli apakah toko-toko itu punya izin menjual atau tidak. Ada penyerangan dan pengrusakan gedung Kementerian Dalam Negeri, ada pula penyerangan terhadap kegiatan seni. Semuanya, selalu dengan pengatasnamaan agama. Katanya untuk membasmi kemungkaran, namun dilakukan dengan cara-cara yang menurut tokoh Pemuda Ansor Nusron Wahid justru juga mungkar. Terbaru adalah peristiwa Sukorejo di Kendal. Ada pula insiden penyiraman air teh ke sosiolog Thamrin Amal Tamagola oleh tokoh FPI Munarman dalam suatu wawancara live di tvOne bulan lalu.
Pengatasnamaan agama oleh FPI selalu dilakukan tanpa ragu, sehingga menurut Ratna Sarumpaet terkesan seolah hanya merekalah yang beragama. Mereka seakan memonopoli kebenaran Tuhan. Mereka tak hanya mengambilalih fungsi polisi, tetapi juga seakan ingin mengambilalih hak prerogatif Dia yang di atas dalam konteks kebenaran.
Banyak tuntutan dari masyarakat agar FPI dibubarkan saja. Dan tampaknya tuntutan itu akan membesar dari waktu ke waktu. Benar, bila dikatakan bahwa kini FPI telah menjadi salah satu public enemy. Tetapi setiap kali dikecam melanggar hukum, FPI berargumentasi bahwa kekerasan-kekerasan itu adalah perbuatan oknum. Padahal dalam kenyataan, tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi selalu dilakukan beramai-ramai dan massive, seraya membawa atribut dan bendera organisasi. Mana mungkin kalau aksi itu tidak terstruktur dan tak terencana? Atau apakah memang FPI itu adalah sebuah organisasi oknum massal, bukan sebuah ormas sebagaimana pengertian yang umum maupun menurut definisi undang-undang?
Kepolisian diharapkan bisa tegas menindaki FPI maupun organisasi-organisasi dengan perilaku sejenis. Bagi Polri, ini juga merupakan kesempatan untuk membuktikan kepada publik bahwa rumor yang menyebutkan FPI adalah ‘peliharaan’ sejumlah oknum jenderal polisi, dalam suatu ‘symbiose mutualistis’ yang negatif, adalah tidak benar.
Jika Presiden bersungguh-sungguh ingin menangani dan mengakhiri kekerasan-kekerasan ala FPI, ia harus mengingatkan lagi agar Kapolri mengambil tindakan tegas sesuai perintah sebelumnya. ‘Duri dalam daging’ di tubuh bangsa ini, bagaimanapun harus dicabut. Begitu pula organisasi-organisasi dengan pola perilaku sejenis, dengan pengatasnamaan apa pun. Membubarkan organisasi-organisasi yang terbiasa dengan pola kekerasan, apalagi yang mengarah premanisme, bukanlah suatu tindakan represif yang anti demokrasi. Malah, penindakan organisasi anarkistis, justru menyelamatkan dan membersihkan demokrasi. Kalau Kapolri tak sanggup menjalankan perintah tersebut, ganti saja dengan yang lebih berani dan mampu. (socio-politica.com)
KETIKA tekanan internasional semakin kuat terhadap pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan aksi-aksi terorisme, polisi menangkap Habib Rizieq, pemimpin FPI, dan menjeratnya dengan dakwaan provokator sejumlah aksi kekerasan dan perusakan. Sehari setelah pengubahan status Habib Rizieq dari tahanan polisi menjadi tahanan rumah, pada 6 Nopember 2002 pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan. Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk membantu Irak melawan para agresornya.
Namun, karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain, kehadiran FPI sering dikritik berbagai pihak, dan meresahkan masyarakat. Habib Rizieq menyatakan bahwa FPI merupakan gerakan lugas dan tanpa kompromi sebagai cermin dari ketegaran prinsip dan sikap. Menurut Habib Rizieq kekerasan yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan dalam sistem penegakan hukum, dan menegaskan bahwa FPI akan mundur hanya bila hukum sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak menyatakan FPI anarkis dan kekerasan yang dilakukannya merupakan cermin kebengisan hati dan kekasaran sikap.
Tuntutan pembubaran
Karena aksi-aksi kekerasan itu meresahkan masyarakat, termasuk dari golongan Islam sendiri, beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui kelompok surat elektronik yang tergabung dalam forum wanita-muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI, dan ajakan bergabung dalam aksi tersebut. Menurut mereka walaupun FPI membawa nama agama Islam, pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islami, bahkan tidak jarang menjurus ke vandalisme. Sedangkan menurut Pengurus FPI, tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang atau tidak memahami Prosedur Standar FPI.
YENNY WAHID VERSUS FPI. “Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut”. (Foto download dakta.com)
Pada bulan Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur, yang hadir di sana sebagai pembicara, sempat menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah jenderal. Perdebatan antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan presiden ini turun dari forum diskusi.
Pada bulan Juni 2006 Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto untuk menindak ormas-ormas anarkis secepatnya. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa wacana, dan belum dipastikan kapan pelaksanaannya. Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1985 tentang ormas yang belum dicabut, pendirian ormas di Indonesia harus berdasarkan Pancasila, sedangkan FPI berdasarkan syariat Islam, dan tidak mau mengakui dasar lainnya. Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak anarkis dan meresahkan ini agar konflik horizontal tidak meluas.
Masih pada bulan Juni 2006, tanggal 20, dalam acara diskusi “FPI, FBR, versus LSM Komprador” Habib Rizieq menyatakan, bahwa rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta. FPI sendiri menyatakan bahwa bila mereka dibubarkan karena tidak berdasarkan Pancasila, maka organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga harus dibubarkan. Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Dalam jumpa pers, SBY mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan, dan menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut telah mencoreng nama Indonesia, baik di dalam dan di luar negeri.
Ketua Komando Laskar Islam, Munarman, mengoreksi pemberitaan media dan menyatakan bahwa penyerangan terhadap AKBB dilakukan oleh Komando Laskar Islam, dan bukan oleh FPI. Sehari sebelumnya Polisi menemui Habib Rizieq di markas FPI, Petamburan Jakarta, namun tidak melakukan penangkapan, karena ketua FPI tersebut berjanji akan menyerahkan anggotanya yang bertanggung jawab pada insiden Monas, dan polisi mengidentifikasi lima anggota FPI yang diduga terlibat dalam penyerangan di Lapangan Monas itu. Setelah tidak ada yang menyerahkan diri, pada 4 Juni 2008 sejumlah 1.500 anggota polisi dikerahkan ke Markas FPI di Jalan Petamburan III, Tanahabang, Jakarta Pusat dan menangkap 57 orang untuk diselidiki, di antara yang dijadikan tersangka adalah Ketua Umum FPI Habib Rizieq. Sedangkan, Munarman, Ketua Laskar Islam, yang telah melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui, ditetapkan sebagai DPO Polisi (Daftar Pencarian Orang).
Pers memberitakan, bahwa pemerintah sendiri akan melakukan pengkajian terhadap keberadaan FPI berdasar UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan seperti yang dinyatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Widodo Adi Sutjipto. Dikatakan, bahwa pembinaan terhadap ormas yang ada di masyarakat itu penting, agar berjalan sesuai dengan UU yang berlaku. Pembinaan dapat berupa teguran, peringatan, dan tindakan tegas yakni pembubaran. Namun, hingga saat ini pemerintah ‘sulit’ untuk membubarkan FPI secara resmi, “karena keberadaan FPI tidak berlandaskan hukum” ungkap Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata waktu itu.
Mengapa FPI menjadi begitu berkuasa?
Dari bocoran Wikileaks mengenai sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait dengan Indonesia, dipaparkan mengenai hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Selain mengungkapkan FPI yang katanya dijadikan ‘attack dog’ Polri, bocoran Wikileaks juga menyebutkan mengenai mantan Kapolri yang waktu itu menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn) Sutanto, sebagai tokoh yang pernah mendanai FPI (http://id.berita.yahoo.com/ bocoran-wikileaks-donatur-fpi-telah-menciptakan-monster-144638934.html). Dan dalam telegram terbaru di akhir 2006 yang kemudian dibocorkan oleh Wikileaks, disebutkan bahwa Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut.
Disebutkan bahwa para donatur FPI itu telah “menciptakan monster” yang sekarang menjadi independen dan tidak merasa terikat kepada para donatur mereka sebelumnya. “Walaupun siapa saja yang memiliki uang dapat menyewa FPI untuk kepentingan politik, namun tidak ada seorang pun di luar FPI bisa mengontrol Habib Rizieq yang kini menjadi bos bagi dirinya sendiri,” ungkap bocoran telegram rahasia tersebut.
Lebih dahsyat lagi, sekitar Maret 2011 yang lalu, muncul isu kudeta Dewan Revolusi Islam (DRI) yang dideklarasikan Forum Umat Islam (FUI), seperti yang dirilis Al Jazeera, stasiun televisi yang bermarkas di Timur Tengah. Dari posting yang diunduh dari situs jejaring sosial Multiply pada 4 Maret 2011 dalam susunan kabinet DRI ada nama Habib Rizieq bersama dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Abu Jibril dan mantan KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. Dalam pernyataannya pada wartawan yang menghubunginya melalui telepon (29/3/2011), Sekjen FUI Muhammad Al-Khattath mengakui pihaknya yang mendeklarasikan DRI dengan tujuan untuk mengisi kevakuman kekuasaan negara, bila terjadi revolusi. Namun, Habib Rizieq yang disebutkan sebagai kepala negara DRI tersebut mengaku tidak tahu-menahu soal kabinet DRI yang diberitakan itu. Begitu pula dengan nama-nama lainnya, semua ikut membantah (Sabili, Januari 2012/25 Safar 1433). Ternyata isu kudeta, yang konon dikomandani para jenderal itu hanya pepesan kosong belaka. Namun, yang menarik nama Habib Rizieq ternyata sudah mencuat ke atas permukaan dataran elitis politik di Indonesia.
Banyak pengamat politik yang curiga, bahwa isu kudeta tersebut hanya pengalihan isu karena pemerintah sedang terpojok oleh berbagai kasus korupsi yang menjerat lingkaran kekuasaan. Namun, ada juga yang mengatakan hal itu sebagai gejala kegagalan pemerintah menciptakan stabilitas nasional. Pantas bila Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak berani menyentuh FPI, ormas Islam radikal yang semakin berani menentukan sikapnya sebagai oposan pemerintah untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.
Berita terbaru yang masih terkait konteks ‘penegakan hukum Islam’ ini, FPI bersama sejumlah barisan militan Islam lainnya, Kamis 21 Januari 2012, menyerbu dan merusak Departemen Dalam Negeri, karena menuding Menteri Gamawan Fauzi memerintahkan pencabutan perda miras (peraturan daerah larangan minuman keras) di daerah-daerah. Apakah FPI akan ditindaki dan ‘dibubarkan’ karenanya? Sembilan dari sepuluh kemungkinan, pemerintah gentar melakukannya. Bila toh kali ini ada keberanian pemerintah menindaki FPI, setelah pusat pengaturan pemerintahan dalam negeri diserbu dan dirusak, itu adalah peristiwa luar biasa.
-Ditulis untuk sociopolitica oleh: Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
“Manusia hanya mampu memberikan keadilan dan kebenaran yang mendekati kebenaran dan etika keilahian sedekat mungkin, yakni melalui sistem hukum yang disusun melalui kesepakatan bersama. Dengan demikian manusia harus membatasi diri dengan keadilan dan kebenaran berdasarkan dan sesuai dengan sistem hukum yang mereka sepakati bersama, sedekat-dekat nilai keilahian, namun jangan tergelincir bermain-main sebagai wakil atau tangan Tuhan di muka bumi ini”.
PERTANYAAN ini mendasar: Siapa manusia yang berhak menjadi wakil dan tangan Tuhan di dunia? Nabi Muhammad SAW, satu kalipun tak pernah menggambarkan dirinya secara berlebih-lebihan sebagai wakil atau tangan Tuhan di dunia. Dengan penuh kerendahan hati, dalam sebuah shalat berjamaah hanya 18 hari sebelum wafat pada 3 Juni tahun 632, dalam khutbah terakhirnya ia mengatakan “sesungguhnya aku ini adalah Nabimu, pemberi nasehat dan penyeru manusia ke jalan Tuhan dengan izinNya belaka”. Para raja di berbagai benua –Eropa dan Asia maupun Afrika– lebih pongah, karena berani menyebutkan diri sebagai ‘perwujudan’ kekuasaan Tuhan di muka bumi ini. Konsep raja sebagai wakil Tuhan juga dianut di Kesultanan Demak masa awal, pada kurun waktu sembilan wali.
Detik-detik kematian Muhammad SAW digambarkan berlangsung dengan tenang di pangkuan isterinya Siti Aisyah. Senyuman lembut hadir di wajahnya yang berseri-seri dan damai. Namun sepeninggalnya, banyak di antara para pemeluk agamanya kerapkali menampilkan wajah yang tak damai. Sama halnya dengan sejumlah penganut agama yang diajarkan Isa AS –yang dikenal oleh umatnya sebagai Jesus Kristus– tak sedikit dari penganut agama wahyu yang diperkenalkan Muhammad SAW, pun tak mampu berdamai dengan dirinya sendiri dan dengan yang se-iman se-agama, apalagi dengan mereka yang tak se-iman tak se-agama. Bila Nabi Muhammad sekali dalam hidupnya pernah terpaksa melakukan perang jihad melawan kebathilan kaum Quraisy di negerinya sendiri, atas nama Islam dan untuk Islam, sejarah menunjukkan bahwa sebaliknya pada zaman sesudah Nabi banyak perang yang dilakukan atas nama Islam namun sebenarnya tidak selalu untuk Islam. Mulai dari ‘perang’ yang besar –Perang Salib I hingga Perang Salib VIII di abad-abad lampau, pertumpahan darah di Palestina dan Afghanistan pada abad sekarang ini– sampai pertengkaran yang kecil-kecil saja namun berdampak besar pada akhirnya karena melibatkan agama.
Salah satu nasehat Nabi Muhammad yang paling mulia namun tampaknya amat sulit dipahami sebagian terbesar umatnya, adalah nasehat “bila engkau dilempar dengan batu, balaslah olehmu dengan kapas”. Pengikut-pengikut awal Muhammad SAW adalah orang-orang Arab yang berdarah panas. Mereka lebih paham terhadap dogma mata dibalas mata, nyawa dibayar nyawa, yang sesuai dengan budaya kekerasan balas berbalas dalam kehidupan gurun bangsa-bangsa Arab, daripada batu dibalas kapas. Dogma keras seperti itu kerapkali dikaitkan dengan apa yang disebutkan qisas. Sementara itu bagi Muhammad SAW qisas lebih ditujukan sebagai kesediaan yang ikhlas menerima akibat setimpal dengan kesalahan diri sendiri terhadap orang lain. Ini terlihat dalam kisah Nabi dengan seorang lelaki bernama Ukasah Ibn Mukhsin.
Masih dalam penyampaian khutbah terakhirnya, Nabi mengundang barang siapa yang merasa pernah teraniaya olehnya untuk melakukan qisas pada dirinya mendahului qisas di hari kiamat nanti. Ukasah tampil menceritakan bahwa dalam perang Badar ia pernah menghampiri Nabi yang sedang menunggang untanya, untuk mencium paha Nabi. Namun pada saat yang sama Nabi kebetulan mengangkat cambuknya untuk memacu sang unta. Ukasah mengaku cambukan Nabi mengena sisi samping tubuhnya yang kala itu tak berbalut kain. “Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak sengaja, ya Rasul Allah”. Meskipun diprotes para hadirin yang lain, Nabi menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah dari Fatimah puterinya. Setelah cambuk telah diambil, Nabi membuka bajunya dan mempersilahkan Ukasah mengambil qisas dengan mencambuk dirinya. Tapi Ukasah bukannya mencambuk melainkan mencium tubuh Nabi dan berkata, “Siapa pula yang tega mengambil kesempatan qisas pada dirimu ya Rasul”, ujar Ukasah, “aku hanya berharap dapat menyentuh tubuhmu yang mulia dengan tubuhku”.
TUMPAHNYA darah atas nama dan atau pengatasnamaan agama, bukan keadaan yang asing di Indonesia. Selain peristiwa pemberontakan DI-TII yang dilatarbelakangi keinginan membentuk Negara Islam Indonesia, Indonesia juga didera berbagai peristiwa kekerasan atas dasar perbedaan agama, bahkan rangkaian terorisme yang menyalahgunakan nama Islam seperti yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini. Peristiwa berdarah di Koja Tanjung Priok 14 April yang lalu, adalah peristiwa dengan latar depan bernuansa kesalahpahaman agama, namun sebenarnya berlatarbelakang sengketa hak atas tanah makam.
Terkait dengan peristiwa yang disebut terakhir ini, adalah sungguh menarik bahkan amat menakjubkan melihat penampilan Habib Rizieq, pimpinan sebuah organisasi bernama Front Pembela Islam (FPI), ketika menjadi penengah bagi pihak yang berbenturan dalam peristiwa tersebut. Menakjubkan, karena selama ini terkesan organisasi yang dipimpinnya senantiasa bersikap dan berpikiran radikal, menganggap diri benar sendiri dan untuk itu tidak segan-segan melakukan aksi-aksi sepihak yang bernuansa menghakimi sendiri berbagai persoalan, dengan mengatasnamakan Islam. Menempatkan diri seakan-akan sebagai sumber keadilan dan kebenaran di muka bumi Indonesia ini. Mulai dari mengambilalih wewenang polisi melakukan razia-razia di tempat-tempat rekreasi dan hiburan malam, membubarkan apel ‘Aliansi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan’ pada tahun 2008 lalu di Monas dan menyerbu pusat-pusat kegiatan kelompok Ahmadiyah. Tetapi tatkala menjadi penengah dalam sengketa pasca benturan berdarah di Koja Tanjung Priok, Habib Rizieq menjadi bagaikan hujan sehari yang berhasil membasahi bumi yang kering oleh kemarau panjang dan menciptakan kesejukan. Pemimpin FPI tampil bijak dan menjadi pembuka pintu jalan bagi solusi masalah.
Namun, sungguh mengecewakan, bahwa hanya selang belasan hari sesudahnya, pekan lalu sejumlah anggota organisasi itu kembali menunjukkan ‘kebiasaan’ lamanya. Sejumlah anggota FPI menyerbu pertemuan dan pelatihan HAM bagi sejumlah waria –kelompok marginal yang lahir sebagai lelaki namun secara piskologis merasa sebagai perempuan– yang diselenggarakan di Depok bersama Komnas HAM. Massa FPI mengobrak-abrik tempat pertemuan seraya melontarkan caci maki, seperti yang bisa disaksikan di layar televisi, menyebutkan para waria itu sebagai laknat asuhan iblis. Bagaimana bisa sejauh itu mereka menyebut sekelompok manusia lain sebagai asuhan iblis, sesuatu julukan yang tak pernah bisa kita temukan dalam kitab suci Al Quran sekalipun.
Dalam Al Quran –seperti juga dalam injil– kita hanya menemukan penggambaran kehidupan penuh hedonisme di Sodom dan Gomorah, yang selain terisi kebiasaan madat dan minum arak, juga diisi kegiatan seksual menyimpang sesama jenis. Lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Tetapi sebenarnya kehidupan seksual sejenis yang dianggap menyimpang ini, telah berusia ribuan tahun dalam kehidupan manusia. Raja-raja, kaum bangsawan dan orang-orang kaya di Eropah, dan wilayah Timur Tengah yang antara lain terutama dihuni ‘ras’ Arab tercatat memiliki penyimpangan seksual semacam itu. Kaum lelaki yang berkedudukan dan berkuasa itu, kerapkali selain memiliki harem-harem yang terisi kaum perempuan, juga terisi dengan lelaki-lelaki muda rupawan yang dijadikan pemuas seksual melalui perbuatan sodomi. Karena perilaku seksual menyimpang ini lebih terkait kepada masalah psikologis, maka barangkali penyelesaiannya haruslah menurut ilmu psikologi juga. Bukan kekerasan. Kecuali kita mau berbuat ekstrim, melalui genocida untuk membasmi mereka yang ditakdirkan mengalami kelainan psikologis seperti itu. Tapi akankah kita bisa sekejam itu? Apalagi bila kita menyebut diri sebagai umat beragama?
PRETENSI menjadi pengadil yang memegang monopoli kebenaran berdasarkan agama, menjadi salah satu kesulitan utama dalam kehidupan beragama secara baik dan benar. Di seluruh semesta alam ini, hanya Tuhan yang menjadi sumber keadilan dan kebenaran yang ultima. Manusia hanya mampu memberikan keadilan dan kebenaran yang mendekati kebenaran dan etika keilahian sedekat mungkin, yakni melalui sistem hukum yang disusun melalui kesepakatan bersama. Dengan demikian manusia harus membatasi diri dengan keadilan dan kebenaran berdasarkan dan sesuai dengan sistem hukum yang mereka sepakati bersama, sedekat-dekat nilai keilahian, namun jangan tergelincir bermain-main sebagai wakil atau tangan Tuhan di muka bumi ini. Ya Allah yang mahabesar dan mahaadil, ampunilah kami manusia hambaMu ini, bila kami khilaf dan lupa diri ingin mengambil hak dan wewenangMu.