DENGAN berbagai aksi kekerasan yang dilakukannya selama ini, Front Pembela Islam (FPI) telah mengokohkan posisinya sebagai ‘duri dalam daging’ di tubuh bangsa ini. Sekaligus, dengan demikian, meminjam pendapat Ratna Sarumpaet tokoh perempuan aktivis, FPI kini sudah menjadi salah satu public enemy terkemuka di Indonesia. Kamis 18 Juli yang lalu, FPI kembali melakukan sweeping terhadap apa yang mereka anggap sebagai kemaksiatan di tengah masyarakat di Sukorejo Kendal. Tetapi, sekali ini, mereka ‘kena-batu’nya, masyarakat setempat melawan dan menyerang balik konvoi anggota FPI.

Panik mendapat serangan balik dari massa rakyat, saat melarikan diri ada kendaraan yang digunakan anggota FPI itu berturut-turut menabrak setidaknya dua sepeda motor –satu di antaranya dikendarai sepasang suami isteri. Sang isteri tewas, suaminya luka-luka. Masih ada korban lain yang luka-luka, termasuk seorang polisi yang sedang bertugas. Tiga mobil yang dikendarai anggota FPI dirusak, salah satu di antaranya dibakar. Sebelumnya tatkala mengisi bensin di SPBU, anggota FPI bersikap semena-mena dan tak mau membayar. Adanya serangan balik massa rakyat ini, menjadi dalih para pimpinan FPI bahwa justru merekalah yang menjadi korban kekerasan saat melakukan monitoring damai.
Dalam suatu diskusi TV, Wakil Sekjen FPI mencoba menciptakan opini bahwa dalam peristiwa di Sukorejo Kendal itu mereka berhadapan dengan masyarakat pendukung maksiat. Lebih jauh dari itu, menghadapi kecaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kegiatan sweeping FPI, Ketua Umum FPI Habib Rizieq membalas dengan kata-kata penghinaan kepada sang Presiden. Rizieq mengatakan SBY ternyata bukan seorang negarawan yang cermat dan teliti dalam menyoroti berita, tapi hanya seorang pecundang yang suka menyebar fitnah dan bungkam terhadap maksiat.
”Seorang Presiden muslim yang menyebar fitnah dan membiarkan maksiat, ditambah lagi melindungi Ahmadiyah dan aneka mega skandal korupsi, sangatlah mencederai ajaran Islam,” ujar Rizieq. Ini merupakan ucapan balasan terhadap beberapa penilaian SBY yang mengarah kepada FPI. Presiden berkata (21/7), “Islam tidak identik dengan kekerasan. Islam tidak identik dengan main hakim sendiri. Islam juga tidak identik dengan pengrusakan. Sangat jelas kalau ada elemen melakukan itu dan mengatasnamakan Islam justru memalukan agama Islam.” Dengan tudingan pecundang ini, berarti sudah kesekian kalinya Rizieq mengeluarkan kata-kata menantang terhadap Presiden. Sebelumnya, Rizieq pernah mengancam akan mengobarkan gerakan menggulingkan Presiden SBY dalam konteks kasus Ahmadiyah.
Sebenarnya ada perangkat peraturan yang tadinya bisa digunakan menjerat tindakan dan ucapan penghinaan terhadap Presiden RI. Tapi Mahkamah Konstitusi di masa Mahfud MD sudah menghapus pasal-pasal penghinaan presiden itu dalam suatu judicial review –entah ini suatu jasa entah suatu blunder untuk kebutuhan saat ini. Maka, menjadi lebih sulit kini untuk melakukan penindakan dalam kasus-kasus penghinaan presiden. Apalagi di kala para penegak hukum kita memang kurang kemauan, kurang kemampuan dan tidak punya kreativitas –dalam pengertian positif– mengoptimalkan peraturan-peraturan hukum. Terlepas dari sikap kritis kita terhadap Susilo Bambang Yudhoyono dalam kedudukannya selaku Presiden RI, bagaimanapun juga tak pantas untuk terbiasa melakukan penghinaan-penghinaan kasar yang mengarah kepada pribadi, semacam kata ‘pecundang’ dan sejenisnya. Kita bisa mengkritisi kebijakan-kebijakan maupun kelemahan kepemimpinan Presiden SBY secara objektif, tapi kita tak berhak dan tak pantas menghina dengan kata-kata dan cara-cara tak beradab.
Hingga sejauh ini belum semua kalangan di Indonesia bisa dianggap betul-betul siap untuk menjalankan demokrasi dengan baik dan benar. Kebebasan menyatakan pendapat dan mengeritik misalnya, masih sering disalahartikan sebagai kebebasan mencaci maki orang lain. Hampir semua organisasi politik dan organisasi masyarakat di Indonesia saat ini memiliki jagoan-jagoan caci maki dan insinuasi. Bukannya malah bersungguh-sungguh melakukan pendidikan politik yang bermoral. Rupanya orang-orang tipe seperti ini sengaja dipelihara sebagai pasukan pengganggu di garis depan pertempuran politik kepentingan. Sebagaimana manusia tipe pemburu dana dengan segala cara, pun dipelihara. Bahkan ada organisasi yang secara khusus didisain dari awal dan dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas pengganggu dan provokasi.
FPI adalah sebuah organisasi dengan sejarah khusus. Ia terbentuk sebagai bagian dari Pam Swakarsa di masa transisi pasca lengsernya Jenderal Soeharto dari kekuasaan di tahun 1998. Pam Swakarsa dibentuk pada masa BJ Habibie berjuang mencari legitimasi baru demi kelanjutan kekuasaannya. Jenderal Wiranto tercatat sebagai salah satu tokoh pemrakarsa. Pam Swakarsa didisain sebagai kekuatan untuk melawan gerakan-gerakan mahasiswa kala itu. Massa yang bertugas melakukan counter attack terhadap barisan mahasiswa itu, sempat merenggut nyawa sejumlah mahasiswa melalui rangkaian kekerasan dalam Peristiwa Semanggi. Ketika para jenderal dan operator politik kekuasaan mulai tak sanggup memelihara dan membiayai sejumlah kelompok dalam Pam Swakarsa, kendali operasi juga mulai kendor. Beberapa kelompok mencoba melanjutkan eksistensi dengan mengorganisir diri dan mencari sumber pemberi dana lainnya. Salah satu kelompok yang berhasil eksis, dengan berbagai cara, adalah FPI.
FPI yang kini dipimpin Habib Rizieq itu, memiliki rekam jejak kekerasan yang cukup panjang. Ada Peristiwa Monas, ada peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah. Paling banyak, peristiwa-peristiwa main hakim sendiri, antara lain melalui aksi-aksi sweeping terhadap tempat-tempat hiburan, termasuk tempat-tempat bilyar yang sebenarnya adalah tempat rekreasi biasa. Melakukan razia terhadap toko-toko yang menjual minuman beralkohol, tanpa peduli apakah toko-toko itu punya izin menjual atau tidak. Ada penyerangan dan pengrusakan gedung Kementerian Dalam Negeri, ada pula penyerangan terhadap kegiatan seni. Semuanya, selalu dengan pengatasnamaan agama. Katanya untuk membasmi kemungkaran, namun dilakukan dengan cara-cara yang menurut tokoh Pemuda Ansor Nusron Wahid justru juga mungkar. Terbaru adalah peristiwa Sukorejo di Kendal. Ada pula insiden penyiraman air teh ke sosiolog Thamrin Amal Tamagola oleh tokoh FPI Munarman dalam suatu wawancara live di tvOne bulan lalu.
Pengatasnamaan agama oleh FPI selalu dilakukan tanpa ragu, sehingga menurut Ratna Sarumpaet terkesan seolah hanya merekalah yang beragama. Mereka seakan memonopoli kebenaran Tuhan. Mereka tak hanya mengambilalih fungsi polisi, tetapi juga seakan ingin mengambilalih hak prerogatif Dia yang di atas dalam konteks kebenaran.
Banyak tuntutan dari masyarakat agar FPI dibubarkan saja. Dan tampaknya tuntutan itu akan membesar dari waktu ke waktu. Benar, bila dikatakan bahwa kini FPI telah menjadi salah satu public enemy. Tetapi setiap kali dikecam melanggar hukum, FPI berargumentasi bahwa kekerasan-kekerasan itu adalah perbuatan oknum. Padahal dalam kenyataan, tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi selalu dilakukan beramai-ramai dan massive, seraya membawa atribut dan bendera organisasi. Mana mungkin kalau aksi itu tidak terstruktur dan tak terencana? Atau apakah memang FPI itu adalah sebuah organisasi oknum massal, bukan sebuah ormas sebagaimana pengertian yang umum maupun menurut definisi undang-undang?
Kepolisian diharapkan bisa tegas menindaki FPI maupun organisasi-organisasi dengan perilaku sejenis. Bagi Polri, ini juga merupakan kesempatan untuk membuktikan kepada publik bahwa rumor yang menyebutkan FPI adalah ‘peliharaan’ sejumlah oknum jenderal polisi, dalam suatu ‘symbiose mutualistis’ yang negatif, adalah tidak benar.
Jika Presiden bersungguh-sungguh ingin menangani dan mengakhiri kekerasan-kekerasan ala FPI, ia harus mengingatkan lagi agar Kapolri mengambil tindakan tegas sesuai perintah sebelumnya. ‘Duri dalam daging’ di tubuh bangsa ini, bagaimanapun harus dicabut. Begitu pula organisasi-organisasi dengan pola perilaku sejenis, dengan pengatasnamaan apa pun. Membubarkan organisasi-organisasi yang terbiasa dengan pola kekerasan, apalagi yang mengarah premanisme, bukanlah suatu tindakan represif yang anti demokrasi. Malah, penindakan organisasi anarkistis, justru menyelamatkan dan membersihkan demokrasi. Kalau Kapolri tak sanggup menjalankan perintah tersebut, ganti saja dengan yang lebih berani dan mampu. (socio-politica.com)