Tag Archives: Ustadz Abu Bakar Ba’asyir

FPI: Dengan Laskar Paramiliter, Menentukan Otoritas Sendiri (2)

KETIKA tekanan internasional semakin kuat terhadap pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan aksi-aksi terorisme, polisi menangkap Habib Rizieq, pemimpin FPI, dan menjeratnya dengan dakwaan provokator sejumlah aksi kekerasan dan perusakan. Sehari setelah pengubahan status Habib Rizieq dari tahanan polisi menjadi tahanan rumah, pada 6 Nopember 2002 pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan. Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk membantu Irak melawan para agresornya.

Namun, karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain, kehadiran FPI sering dikritik berbagai pihak, dan meresahkan masyarakat. Habib Rizieq menyatakan bahwa FPI merupakan gerakan lugas dan tanpa kompromi sebagai cermin dari ketegaran prinsip dan sikap. Menurut Habib Rizieq kekerasan yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan dalam sistem penegakan hukum, dan menegaskan bahwa FPI akan mundur hanya bila hukum sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak menyatakan FPI anarkis dan kekerasan yang dilakukannya merupakan cermin kebengisan hati dan kekasaran sikap.

Tuntutan pembubaran

Karena aksi-aksi kekerasan itu meresahkan masyarakat, termasuk dari golongan Islam sendiri, beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui kelompok surat elektronik yang tergabung dalam forum wanita-muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI, dan ajakan bergabung dalam aksi tersebut. Menurut mereka walaupun FPI membawa nama agama Islam, pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islami, bahkan tidak jarang menjurus ke vandalisme. Sedangkan menurut Pengurus FPI, tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang atau tidak memahami Prosedur Standar FPI.

YENNY WAHID VERSUS FPI. “Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut”. (Foto download dakta.com)

Pada bulan Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur, yang hadir di sana sebagai pembicara, sempat menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah jenderal. Perdebatan antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan presiden ini turun dari forum diskusi.

Pada bulan Juni 2006 Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto untuk menindak ormas-ormas anarkis secepatnya. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa wacana, dan belum dipastikan kapan pelaksanaannya. Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1985 tentang ormas yang belum dicabut, pendirian ormas di Indonesia harus berdasarkan Pancasila, sedangkan FPI berdasarkan syariat Islam, dan tidak mau mengakui dasar lainnya. Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak anarkis dan meresahkan ini agar konflik horizontal tidak meluas.

Masih pada bulan Juni 2006, tanggal 20, dalam acara diskusi “FPI, FBR, versus LSM Komprador” Habib Rizieq menyatakan, bahwa rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta. FPI sendiri menyatakan bahwa bila mereka dibubarkan karena tidak berdasarkan Pancasila, maka organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga harus dibubarkan.
Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Dalam jumpa pers, SBY mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan, dan menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut telah mencoreng nama Indonesia, baik di dalam dan di luar negeri.

Ketua Komando Laskar Islam, Munarman, mengoreksi pemberitaan media dan menyatakan bahwa penyerangan terhadap AKBB dilakukan oleh Komando Laskar Islam, dan bukan oleh FPI. Sehari sebelumnya Polisi menemui Habib Rizieq di markas FPI, Petamburan Jakarta, namun tidak melakukan penangkapan, karena ketua FPI tersebut berjanji akan menyerahkan anggotanya yang bertanggung jawab pada insiden Monas, dan polisi mengidentifikasi lima anggota FPI yang diduga terlibat dalam penyerangan di Lapangan Monas itu. Setelah tidak ada yang menyerahkan diri, pada 4 Juni 2008 sejumlah 1.500 anggota polisi dikerahkan ke Markas FPI di Jalan Petamburan III, Tanahabang, Jakarta Pusat dan menangkap 57 orang untuk diselidiki, di antara yang dijadikan tersangka adalah Ketua Umum FPI Habib Rizieq. Sedangkan, Munarman, Ketua Laskar Islam, yang telah melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui, ditetapkan sebagai DPO Polisi (Daftar Pencarian Orang).

Pers memberitakan, bahwa pemerintah sendiri akan melakukan pengkajian terhadap keberadaan FPI berdasar UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan seperti yang dinyatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Widodo Adi Sutjipto. Dikatakan, bahwa pembinaan terhadap ormas yang ada di masyarakat itu penting, agar berjalan sesuai dengan UU yang berlaku. Pembinaan dapat berupa teguran, peringatan, dan tindakan tegas yakni pembubaran. Namun, hingga saat ini pemerintah ‘sulit’ untuk membubarkan FPI secara resmi, “karena keberadaan FPI tidak berlandaskan hukum” ungkap Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata waktu itu.

Mengapa FPI menjadi begitu berkuasa?

Dari bocoran Wikileaks mengenai sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait dengan Indonesia, dipaparkan mengenai hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Selain mengungkapkan FPI yang katanya dijadikan ‘attack dog’ Polri, bocoran Wikileaks juga menyebutkan mengenai mantan Kapolri yang waktu itu menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn) Sutanto, sebagai tokoh yang pernah mendanai FPI (http://id.berita.yahoo.com/ bocoran-wikileaks-donatur-fpi-telah-menciptakan-monster-144638934.html). Dan dalam telegram terbaru di akhir 2006 yang kemudian dibocorkan oleh Wikileaks, disebutkan bahwa Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut.

Disebutkan bahwa para donatur FPI itu telah “menciptakan monster” yang sekarang menjadi independen dan tidak merasa terikat kepada para donatur mereka sebelumnya. “Walaupun siapa saja yang memiliki uang dapat menyewa FPI untuk kepentingan politik, namun tidak ada seorang pun di luar FPI bisa mengontrol Habib Rizieq yang kini menjadi bos bagi dirinya sendiri,” ungkap bocoran telegram rahasia tersebut.

Lebih dahsyat lagi, sekitar Maret 2011 yang lalu, muncul isu kudeta Dewan Revolusi Islam (DRI) yang dideklarasikan Forum Umat Islam (FUI), seperti yang dirilis Al Jazeera, stasiun televisi yang bermarkas di Timur Tengah. Dari posting yang diunduh dari situs jejaring sosial Multiply pada 4 Maret 2011 dalam susunan kabinet DRI ada nama Habib Rizieq bersama dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Abu Jibril dan mantan KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. Dalam pernyataannya pada wartawan yang menghubunginya melalui telepon (29/3/2011), Sekjen FUI Muhammad Al-Khattath mengakui pihaknya yang mendeklarasikan DRI dengan tujuan untuk mengisi kevakuman kekuasaan negara, bila terjadi revolusi. Namun, Habib Rizieq yang disebutkan sebagai kepala negara DRI tersebut mengaku tidak tahu-menahu soal kabinet DRI yang diberitakan itu. Begitu pula dengan nama-nama lainnya, semua ikut membantah (Sabili, Januari 2012/25 Safar 1433). Ternyata isu kudeta, yang konon dikomandani para jenderal itu hanya pepesan kosong belaka. Namun, yang menarik nama Habib Rizieq ternyata sudah mencuat ke atas permukaan dataran elitis politik di Indonesia.

Banyak pengamat politik yang curiga, bahwa isu kudeta tersebut hanya pengalihan isu karena pemerintah sedang terpojok oleh berbagai kasus korupsi yang menjerat lingkaran kekuasaan. Namun, ada juga yang mengatakan hal itu sebagai gejala kegagalan pemerintah menciptakan stabilitas nasional. Pantas bila Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak berani menyentuh FPI, ormas Islam radikal yang semakin berani menentukan sikapnya sebagai oposan pemerintah untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.

Berita terbaru yang masih terkait konteks ‘penegakan hukum Islam’ ini, FPI bersama sejumlah barisan militan Islam lainnya, Kamis 21 Januari 2012, menyerbu dan merusak Departemen Dalam Negeri, karena menuding Menteri Gamawan Fauzi memerintahkan pencabutan perda miras (peraturan daerah larangan minuman keras) di daerah-daerah. Apakah FPI akan ditindaki dan ‘dibubarkan’ karenanya? Sembilan dari sepuluh kemungkinan, pemerintah gentar melakukannya. Bila toh kali ini ada keberanian pemerintah menindaki FPI, setelah pusat pengaturan pemerintahan dalam negeri diserbu dan dirusak, itu adalah peristiwa luar biasa.

-Ditulis untuk sociopolitica oleh: Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.