SEBELUM terjadi aksi massa Islam massive 411 dan 212 di bagian akhir 2016, tak terbayangkan bahwa Joko Widodo akan tiba-tiba tampil dengan manuver politik yang sarat retorika ke-Islam-an. Soalnya, sebelum itu beberapa tokoh partai pendukung utamanya, PDI-P, kerap melontarkan narasi-narasi yang dimaknai sebagai anti Islam.
Secara historis, mengacu kepada pembagian masyarakat (Jawa) menurut Clifford Geerzt, cikal bakal utama PDI-P yakni PNI pada hakekatnya memang berakar pada kaum abangan selain kaum priyayi. Di seberangnya, adalah kaum santri. Secara historis pula, PNI sebagai unsur Nas pada masa Nasakom Soekarno tercatat memiliki kedekatan yang kental dengan unsur Kom. Banyak berkonfrontasi mendampingi unsur Kom terhadap unsur A yang terjepit di tengah.
Namun, dalam realita saat ini, bandul politik Joko Widodo yang tampil memperjuangkan masa kepresidenan kedua, telah mengayun keras dari kiri hingga jauh ke kanan. Dari citra anti Islam ke citra mitra. Puncaknya, menempatkan tokoh ulama Kyai Ma’ruf Amin sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019. Meski, secara tragis harus ‘mencampakkan’ tokoh berintegritas, Mahfud MD. Continue reading Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019→
“BERBAGAI keputusan Presiden Jokowi belakangan ini mulai mencemaskan para pendukungnya,” tulis Yudi Latif, seorang cendekiawan muda –sebutkanlah demikian– di Harian Kompas (9/2). Contoh aktual dari yang mencemaskan itu, adalah keputusan Presiden Jokowi mengabulkan proyek ‘kereta cepat’ Jakarta-Bandung. Cepat namun tidak responsif terhadap arus aspirasi publik. “Tampil menjadi presiden karena meroketnya harapan akan pemerintahan yang lebih responsif terhadap aspirasi publik,” tetapi pada sisi sebaliknya terjadi “pemberian ruang yang melebar bagi pemenuhan kepentingan segelintir orang, membuat banyak orang merasa tidak bahagia.” Situasi ini kian menguatkan apatisme dan pesimisme terhadap janji-janji demokrasi.
Sebenarnya, bukan hanya belakangan ini keputusan dan tindakan-tindakan Presiden Jokowi mencemaskan, bukan pula sekedar di kalangan pendukungnya melainkan cukup meluas di masyarakat, sudah sejak awal masa kepresidenannya. Segala kecemasan yang ada, bagaimana pun bentuknya, mencerminkan adanya kesangsian terhadap kemampuan kualitatif sang pemimpin dalam menjalankan kekuasaan. Bahkan, kecemasan dan kesangsian itu bila ditelusur ke belakang, sudah ada sebelum Pemilihan Presiden 2014, berupa hanya tersedianya pilihan the bad among the worst di antara pilihan sempit dua pasangan yang tampil kala itu. Artinya, siapa pun yang naik dari pilihan terbatas seperti itu, berpotensi untuk disangsikan dan dipertanyakan kemampuannya memangku kekuasaan negara.
JOKO WIDODO DAN MEGAWATI. “Kecemasan dan kesangsian pertama tentang Joko Widodo adalah meluasnya anggapan di tengah khalayak bahwa ia hanya akan menjadi Presiden ‘boneka’ dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri.” (gambar download Tempo)
Sistem pemilihan umum dan kepartaian yang ada memang hanya mampu menyediakan pilihan terbatas itu. Sistem yang ada –dengan segala prosedur dan persyaratannya yang begitu artifisial menguntungkan partai politik– memang hanya memberi celah yang begitu sempit. Dan sifat artifisialnya itu hanya bisa dimanfaatkan partai-partai politik melalui ‘koalisi’ kuantitatif untuk menyediakan calon presiden-wakil presiden. Bisa terlihat, betapa dalam proses seperti itu, yang tampil adalah tokoh-tokoh yang cenderung bukan terbaik secara kualitatif, tetapi yang ‘terkuat’ secara kuantitatif.
Dalam pilihan terbatas dengan situasi the bad among the worst tidak mengherankan bila jumlah warganegara yang tidak menggunakan hak pilihnya, bertambah banyak jauh melebihi dua pemilihan presiden sebelumnya di tahun 2004 dan 2009. Data resmi menunjukkan 56.732.857 warganegara di antara 190.307.134 yang terdaftar dalam DPT 2014 tidak menggunakan hak pilihnya. Berdasarkan prosentase, angka ini (mencapai 29,8 persen) dianggap ‘terburuk’ dibanding dua pemilihan presiden sebelumnya di tahun 2004 dan 2009. Menurut perhitungan KPU, pasangan Jokowi-JK memperoleh 70.997.833 dan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara. Praktis suara yang diberikan rakyat pemilih, menurut ‘matematika’ demokrasi –dari, untuk dan oleh rakyat– nyaris terbagi tiga sama rata. Apalagi saat itu ada keraguan mengenai posisi dan eksistensi sekitar 4 juta suara. Tapi terlepas dari itu, menurut ‘matematika’ hasil formal pemilihan presiden versi KPU, Jokowi-JK memenangkan pemilihan umum dengan 53,15 persen terhadap Prabowo-Hatta Rajasa yang memperoleh 46,85 persen. Namun terhadap jumlah penduduk yang sekitar 248 juta kala itu, menurut ‘matematika’ sosial-demografi masing-masing pasangan hanya memiliki dukungan 25-28 persen rakyat Indonesia.
KECEMASAN dan kesangsian pertama tentang Joko Widodo adalah meluasnya anggapan di tengah khalayak bahwa ia hanya akan menjadi Presiden ‘boneka’ dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri. Anggapan ini tentu bisa terasa ‘menyakitkan’ bagi yang bersangkutan. Tapi apa boleh buat, itu memang ‘hidup’ di tengah masyarakat dan sering dicopy dalam format yang dibesarkan oleh dan di kalangan politisi.
Kesangsian awal berikutnya muncul dari bentuk dan susunan kabinet yang disodorkan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada publik. Janji bahwa Kabinet Kerja akan lebih banyak diisi dengan kaum profesional tidak ditepati dengan baik. Kabinet yang dibentuk ternyata lebih didominasi oleh perwakilan partai-partai politik pendukung di masa kampanye. Artinya kompromi politik lebih mengedepan. Menurut pengalaman empiris, masih sejak masa SBY, partai-partai politik tak punya kecenderungan mengutamakan aspek kualitatif calon yang diajukannya, melainkan lebih mengedepankan subjektivitas kaum oligarki partai. Pada waktu yang sama terlihat betapa Presiden Jokowi sendiri (dan mungkin juga Wakil Presiden Jusuf Kalla) sebenarnya tidak memiliki data base memadai tentang sumber daya manusia terbaik tingkat nasional yang pantas diajak masuk kabinet.
Terbukti kemudian Kabinet Kerja memang minim pencapaian, kikuk dan serba salah. Sehingga, diperlukan suatu reshuffle masih di usia dini. Tapi, dengan reshuffle tetap saja kinerja kabinet itu masih dalam posisi tanda tanya. MenPan-RB, meski tergopoh-gopoh dan perlu diragukan kredibilitas penilaiannya, belum lama ini menerbitkan semacam rapor serba merah untuk sebagian terbesar kementerian dan lembaga negara. Tetapi kementerian koordinator yang dipimpin Puan Maharani, yang lebih sibuk beriklan Revolusi Mental dan masih banyak dipertanyakan kinerjanya, rapornya baik-baik saja.
KARENA tidak memiliki mayoritas kerja yang dibutuhkan di parlemen –yang terbelah dua melalui Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih– maka dibutuhkan kegiatan politik goncang-menggoncang. Dilakukan dengan memanfaatkan faktor objektif adanya benturan kepentingan di internal dua partai yang tergabung dalam KMP. Dua partai, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan mengalami pola dua munas dan atau muktamar. Partai Golkar terpecah menjadi dua kubu, kubu Munas Bali (Aburizal Bakrie) dan kubu Munas Ancol (Agung Laksono). Partai Persatuan Pembangunan terbelah jadi kubu Muktamar Jakarta Suryadharma Ali/Djan Faridz dan kubu Muktamar Surabaya Pangkapi/Romahurmuziy. Dengan cepat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberi keabsahan kepada Golkar Ancol Agung Laksono dan kepada PPP Romahurmuziy, yaitu mereka yang merapat sebagai pendukung pemerintahan Joko Widodo.
Meski kubu Golkar Aburizal dan PPP Djan Faridz terlihat kini sangat berpeluang memenangkan jalan penyelesaian hukum jangka panjang, tetapi tekanan politik jangka pendek terhadap keduanya, ternyata berhasil membobolkan pertahanan mereka. Keduanya lalu ‘lempar’ handuk menyatakan menjadi pendukung pemerintahan Jokowi. Suatu Munas Luar Biasa diterima sebagai penyelesaian di Golkar. Sementara itu, sebelumnya satu anggota KMP, yakni PAN telah terlebih dulu menyeberang menjadi pendukung pemerintah dengan suatu alasan tersendiri yang khas. Tidak boleh tidak, ini merupakan ‘prestasi’ Yasonna Laoly. Pertanyaannya, apakah ini inisiatif pribadi Yasonna, inisiatif dengan dukungan PDIP, ataukah atas arahan Presiden? “Menurut pengalaman saya,” ujar Presiden ke-3 RI BJ Habibie, saat berbicara di Rapimnas Golkar yang baru lalu, “tak ada tindakan menteri yang berlangsung tanpa sepengetahuan Presiden.”
Terhadap peristiwa penyeberangan ini, merdeka.com (9/2) menurunkan berita sindiran politisi PDIP Effendi Simbolon. “Mungkin demokrasi ala Melayu begitu ya. Enggak punya idealisme. Kan beda kalau zaman dulu ada ideologi. Kalau sekarang pragmatisme, transaksional semua.” Effendi menilai, tanpa adanya partai oposisi justru pemerintahan akan lepas kontrol. Sehingga kebijakan akan cenderung bersifat absolut. Bahkan tidak menutup kemungkinan koalisi gendut dukung pemerintah bisa membuat Jokowi-JK tersandung kasus korupsi. “Mungkin itu jalan Tuhan untuk cepat ke KPK. Mungkin itu cara lain dari Tuhan. Akhirnya kerena merasa berkuasa, tak terkontrol, dan melakukan semau-maunya.”
NASIB KPK selanjutnya, juga menjadi sumber kecemasan banyak pihak, khususnya di masa pemerintahan Joko Widodo. (Berlanjut ke Bagian 2 –socio-politica.com)
EMPATBELAS hari yang lalu, usia pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, tepat setahun. Mereka berdua memulai kekuasaan pemerintahannya 20 Oktober 2014 dengan perjalanan seremonial yang alon-alon –karena untuk sebagian menggunakan kereta kencana– yang memakan waktu berjam-jam lamanya menuju Istana Merdeka dari Gedung MPR/DPR Senayan. Perjalanan seremonial dengan kecepatan kuda berjalan itu, mungkin menjadi kenikmatan psikologis bagi keduanya maupun sejumlah pendukung. Para pemimpin itu asyik melambai-lambai membalas ‘rakyat’ yang mengelu-elukan mereka, suatu kenikmatan tersendiri yang barangkali tak beda jauh dengan kenikmatan para penguasa feodal masa lampau.
Dan kini, perjalanan lamban itu untuk sebagian makin bisa difahami sebagai pencerminan bahwa perjalanan kekuasaan mereka hingga sejauh ini memang tidak mampu melaju cepat. Ini terbukti dan terlihat sebagai realita dalam setahun ini. Per saat ini kita masih sulit memastikan apakah perjalanan kemajuan Indonesia tetap akan tertatih-tatih penuh masalah atau bisa lebih lancar pada setahun mendatang ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah menyiapkan semacam formula argumen pemaaf yang diutarakannya dalam sebuah wawancara khusus dengan harian Kompas (20/10). Beliau menganalogikan usia pemerintahannya bersama Presiden Joko Widodo, seperti anak setahun, “sudah bisa berdiri dan tinggal berjalan saja”. Pasti tidak tepat, karena kalau analogi itu dilanjutkan dan diterima, mau tak mau harus bersabar menerima bahwa untuk beberapa lama ke depan, sang anak masih akan berjalan tertatih-tatih. Bila mencoba berlari-lari, akan beberapa kali jatuh terguling. Setidaknya sampai usia tiga tahun atau mungkin lima tahun. Seorang anak, dengan segala ulah dan kekurangannya dalam masa pertumbuhan, bisa terasa lucu sekaligus membahagiakan. Tapi bila itu menyangkut pemerintahan, menjadi lelucon yang menyebalkan dan hanya ‘menjanjikan’ penderitaan tak kunjung usai bagi akar rumput penghuni negara ini.
PRESIDEN JOKO WIDODO BERSAMA SUKU ANAK DALAM BERBAGI ASAP. “Pemerintah sejauh ini tak berhasil mengatasi kebakaran hutan dan lahan sumber asap. Negara absen dalam separuh waktu peristiwa dan para petugas negara terlambat hadir mengatasi kebakaran. Presiden datang ke berbagai wilayah untuk berbagi rasa menghirup asap.” (foto, download @jokowi)
Melalui media yang sama, dari Presiden Joko Widodo diperoleh penjelasan bahwa waktu satu tahun ini dipergunakan untuk mulai membangun fundamental ekonomi yang beda. Dan meski tak diucapkan, keinginan tampil beda itu –dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, khususnya dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono– juga diperlihatkan Joko Widodo pada bidang-bidang lain di luar ekonomi. Paling tidak, agar berbeda gaya dan bungkus meski tujuan dan esensinya sama saja.
Hasrat ingin beda ini bisa diterjemahkan bahwa Presiden Joko Widodo cenderung menangani Indonesia dengan ‘menjebol’ dan ‘membangun’ mengikuti retorika revolusi Bung Karno. Padahal, sistem kenegaraan dan pemerintahan yang lebih baik dan lebih modern semestinya adalah suatu sistem berkesinambungan –berdasarkan suatu grand design yang merupakan buah dari kedaulatan rakyat– bukan penggalan waktu lima tahunan pemerintahan. Bukan peristiwa suksesi kekuasaan negara sekali lima tahun. Pemerintahan tidak bisa dijalankan seakan bermain game di komputer, yang bila game over terpaksa kembali ke titik start.
Memang tertatih-tatih. PENGALAMAN apakah yang telah kita lalui bersama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla selama 379 hari hingga 3 November 2015 ini?
Tak kurang dari tiga bulan lamanya sampai kini, penduduk di sebagian besar provinsi di Sumatera dan Kalimantan menderita karena asap tebal dalam ketidakberdayaan. Begitu pula yang dialami di beberapa tempat di Sulawesi, Maluku dan Papua, dalam kadar yang cukup menganggu. Pemerintah sejauh ini tak berhasil mengatasi kebakaran hutan dan lahan sumber asap. Negara absen dalam separuh waktu peristiwa dan para petugas negara terlambat hadir mengatasi kebakaran. Lalu presiden datang ke berbagai wilayah untuk berbagi rasa menghirup asap.
Presiden mengeluarkan sejumlah perintah untuk mengatasi kebakaran hutan, tetapi api dan asap untuk sementara ini hanya bisa takluk dan tunduk kepada hujan dengan intensitas tinggi dan sedikit bisa dijinakkan oleh Beriev. Presiden Joko Widodo yang adalah seorang insinyur kehutanan, yang melalui sebagian terbesar karirnya sebagai pengusaha mebel, memberikan resep kanalisasi untuk membasahi lahan gambut agar tidak terbakar. Tapi para ahli mengatakan kanalisasi di lahan gambut justru berpotensi mengeringkannya di masa mendatang. Dan pada musim hujan membuat lahan jadi langganan banjir. Rujukan pengalamannya adalah proyek pengembangan sejuta lahan gambut di tahun 1980-an.
Sepulang dari Amerika kemarin –suatu kunjungan yang dikecam salah waktu karena bersamaan dengan masa krusial bencana asap– Presiden justru memerintahkan program kanalisasi diperluas. Presiden agaknya lebih memikirkan solusi jangka pendek –yang penting api dan asap bisa dihentikan dulu– dengan segala risikonya, sementara para ahli berpikir untuk jangka panjang. Mengapa tidak diambil jalan tengah, mencari second opinion secepatnya dari para ahli lainnya agar bisa mengambil keputusan lebih terukur (bycalculated risk), efektif dan bisa dipertanggungjawabkan? Seraya itu, mengambil tindakan jangka pendek dan cepat berupa penambahan pengerahan lebih banyak pesawat buatan Rusia Beriev BE-200 –serta pesawat lainnya bantuan berbagai negara– untuk memadamkan api?
Pulang dari AS, Presiden Joko Widodo juga membawa angin lain. Dalam pembicaraan dengan Presiden AS Barrack Obama, ia dikabarkan menyatakan minat Indonesia bergabung di Trans-Pacific Partnership (TPP). Melalui TPP, 5 Oktober lalu 9 negara di seputar Pasifik –Amerika Serikat, Australia, Brunei Darussalam, Chili, Malaysia, Selandia Baru, Peru, Singapura dan Vietnam– menelurkan free trade agreement, tujuh tahun setelah negosiasi awal mulai dilakukan. Tiga negara lain yang sempat ikut dalam negosiasi, yaitu Canada, Jepang dan Meksiko batal ikut. Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, mengatakan masih perlu menghitung untung-ruginya bila bergabung dengan TPP. Hitungan ini perlu, karena terdapat kesangsian kesiapan kemampuan Indonesia untuk bergabung dengan pakta ekonomi seperti ini. Dalam analisis ekonominya di sebuah media nasional, A. Prasetyantoko dari Universitas Atma Jaya, mengingatkan Indonesia punya pengalaman buruk dengan pakta perdagangan. Terbaru, dalam pakta perdagangan ASEAN-Tiongkok, defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok, justru melebar. Apakah pernyataan minat kepada TPP itu berdasarkan suatu kesungguhan atau hanya sekedar untuk mengimbangi kecenderungan serba Beijing yang ditunjukkan pemerintahan Joko Widodo dalam setahun ini?
Selama setahun ini, Presiden Joko Widodo belum mampu membuktikan secara cukup komitmennya dalam pemberantasan korupsi. KPK yang saat ini menjadi tumpuan harapan utama publik, bahkan terbiarkan menghadapi sejumlah bahaya pelemahan –bahkan pembunuhan– termasuk dari sesama kalangan penegakan hukum. Beberapa komisionernya menghadapi kriminalisasi melalui tangan Polri. Dan berulangkali dipatahkan melalui pra peradilan yang menggunakan ‘temuan baru’ sejumlah hakim dalam berhukum-acara di luar ‘pakem’ KUHAP. (Baca, https://socio-politica.com/2015/10/18/rencana-pembunuhan-kpk-et-tu-jokowi/) Pada waktu yang sama, di masa pemerintahan Joko Widodo bersama Jusuf Kalla ini, makin menguat fenomena wealth driven law –yang merupakan derivat dari wealth driven economy dan wealth driven politic. (Baca, https://socio-politica.com/2015/10/06/keunggulan-korporasi-dan-kaum-kaya-dalam-kendali-hukum/)
Satu-satunya yang cukup menghibur, khususnya bagi kalangan akar rumput adalah keadaan bebas biaya dalam menyekolahkan anak. Tetapi untuk tingkat perguruan tinggi, masih membayang faktor biaya tinggi yang tak tertolong oleh program beasiswa yang masih terbatas daya jangkaunya. Di bidang kesehatan, pertolongan Kartu Indonesia Sehat dan manfaat BPJS masih dalam keadaan ada dan tiada. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat melalui iuran oleh pihak BPJS masih dikeluhkan tidak cukup, sehingga selalu terjadi saldo minus triliunan rupiah. Tapi pada sisi lain ada komplain terhadap lalu lintas penggunaan dana tersebut selain keluhan terhadap bentuk pelayanan yang tak memadai dan seringkali terasa seadanya.
Secara umum pemerintahan ini memang masih tertatih-tatih dalam menjalankan konsolidasi politik dan demokrasi. Masih terjadi intervensi untuk melemahkan partai seberang, demi memperkuat mayoritas kerja di DPR. Paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan masih harus ditunggu pembuktiannya bisa mengatasi pelambatan pertumbuhan ekonomi, mengatasi pelemahan rupiah terhadap dollar dan sebagainya. Cita-cita pembentukan poros maritim, pembangunan infra struktur, pemecahan masalah energi, semua masih berada pada dataran keinginan dan retorika belaka. Saat pemerintah mengurangi subsidi BBM –dengan dalih akan mengalihkan biaya subsidi ke sektor lain yang lebih dibutuhkan masyarakat– tak tercegah dampak ikutan yang sangat menyulitkan kalangan akar rumput, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari. Tapi sesekali saat harga BBM diturunkan sedikit, harga-harga kebutuhan pokok tak pernah ikut turun. Pemerintah tak punya ketrampilan teknis ekonomis untuk mengendalikan gejolak harga, dan selalu kalah oleh pelaku ekonomi yang menguasai lapangan. Dengan penghematan subsidi dan sebagainya, diintrodusir dana bantuan desa. Namun birokrasi pemerintahan yang sejak lama mengidap gejala disorganisasi, ternyata tak mampu menyalurkan dan menyerap dana tersebut.
Siapa yang lebih buruk perilakunya? MAKA sebenarnya, pemerintahan ini keliru ketika mencanangkan revolusi mental ke tengah masyarakat –tanpa definisi yang cukup jelas– seolah-olah rakyat yang ‘bersalah’ dengan mental mereka. Padahal secara sosiologis, sebagian terbesar rakyat masih berada dalam pola panutan –akibat dipertahankannya pola feodalistik oleh kalangan berkuasa selama ini. Dengan pola panutan, teladan para pemimpin menjadi sangat penting.
Dalam kultur Indonesia, tak dikenal terminologi revolusi, karena manusia di kepulauan ini sesungguhnya lebih lekat kepada situasi sub specie aeternitatis –berada dalam perspektif keabadian. Dan kecenderungan para pemimpin dan penguasa Indonesia merdeka dari waktu ke waktu, adalah memelihara status quo untuk kepentingan memelihara kekuasaan. Tidak pernah ada bukti bahwa para penguasa bersungguh-sungguh melakukan upaya mencerdaskan bangsa –agar lebih paham tentang perubahan cepat dan mendasar untuk mencapai situasi lebih baik. Tapi bila Presiden Joko Widodo dan Puan Maharani memang bersikeras ingin melakukan revolusi mental sekarang, para pemimpin dan jajaran birokrasi yang harus lebih dulu mengalami ‘revolusi mental’. Melalui penciptaan situasi dan peraturan ‘memaksa’ guna memperbaiki perilaku agar mampu menjadi teladan. Tetapi persoalannya, bukankah secara umum hingga sejauh ini para pelaku kekuasaan dan birokrasi negara lah yang justru lebih buruk perilakunya? (socio-politica.com)
BERKALI-KALI Presiden Jokowi belakangan ini menyelipkan kecaman maupun sekedar komentar mengenai pers dan media pada umumnya. Terbaru, di Sidoardjo Selasa kemarin (25/8) Presiden meminta pers membantu menumbuhkan optimisme dan kepercayaan diri di masyarakat menghadapi situasi melambatnya pertumbuhan ekonomi saat ini. Media massa, kata Presiden seperti yang dikutip pers, bisa membantu dengan menyampaikan pemberitaan positif supaya psikologi pasar juga bergerak positif. Diminta atau tidak diminta oleh seorang Presiden, sepanjang yang bisa diamati, arus utama penyajian pers kini pada umumnya adalah positif saja. Lagipula, optimisme dan kepercayaan masyarakat, tidak terletak pada apa pun selain kenyataan objektif dari apa yang telah dan belum dilakukan, serta berhasil atau tidak berhasilnya apa yang dilakukan suatu pemerintahan.
Dan kalaupun ada kritik, atau pengutaraan fakta tentang kejadian negatif dalam perekonomian maupun dalam pengelolaan negara secara keseluruhan, tidak dengan sendirinya pers sedang menjalankan peranan negatif. Bila pers turut serta menutup-nutupi suatu informasi jujur dan layak diketahui masyarakat –meskipun pahit dan berseberangan dengan kepentingan kekuasaan– justru itu merupakan kejahatan terhadap publik.
PARA PRESIDEN RI DALAM GAYA KOMIK ALA TINTIN DARI YOGA ADHITRISNA. “Rata-rata semua Presiden tak memiliki kedekatan yang memadai dengan pers, dan cenderung kurang nyaman terhadap kritik, seberapa keras pun mereka menyatakan diri demokratis.”
Sejauh yang terlihat, hubungan pers atau media dengan Presiden Jokowi secara umum sebenarnya baik-baik saja. Memang pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden maupun saat penghitungan hasil pemungutan suara, media seakan terbelah dua dalam perpihakan. Tetapi bagaimanapun untuk sebagian, Joko Widodo sempat menjadi media darling dari beberapa media terkemuka. Tetapi ibarat kurva menanjak yang mendadak patah, dalam salah satu dari tiga pidato kenegaraannya di depan lembaga-lembaga perwakilan rakyat 14 Agustus 2015, Presiden Jokowi tiba-tiba melontarkan kecaman terhadap pers dan media.
Kita kutip pemberitaan salah satu media (Tempo.co): Presiden Joko Widodo mengkritik kebebasan media yang saat ini mulai tak terkontrol. Menurut dia, media massa kini hanya fokus mencari rating dan tidak mementingkan fungsi memandu publik. “Media juga hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.” Jokowi mengatakan akibat mengejar rating, masyarakat kini mudah terjebak pada histeria publik dalam merespons suatu persoalan, khususnya menyangkut isu sensasional. “Tanpa kesantunan politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan serta kedisiplinan ekonomi, kita akan kehilangan optimisme dan lamban mengatasi persoalan-persoalan lain, termasuk tantangan ekonomi.”
DIAKUI atau tidak, pers bebas dan kritis dalam dunia nyata kehidupan politik-kekuasaan rata-rata berada pada posisi seberang bagi kalangan penguasa. Khususnya menurut kriteria kalangan penguasa. Dalam negara dengan sistem otoriter, pers harus ditundukkan sebagai corong kekuasaan. Dan dalam negara dengan demokrasi semu, pers secara retoris disebut kekuatan keempat dan dibutuhkan untuk mendukung kepentingan, namun akan ditusuk dari belakang saat bersikap kritis. Hanya dalam negara yang demokrasinya telah berjalan baik, ia diterima sebagai faktor objektif yang ikut menjaga keseimbangan demokrasi, meski tak jarang pers itu sendiri tergelincir karena mabuk kekuasaan sebagai kekuatan keempat. Tetapi ketika demokrasi menjadi sangat liberalistik dan tersubordinasi oleh kehidupan ekonomi yang kapitalistik, pers bisa menjelma sebagai perpanjangan tangan kepentingan kaum kapitalis.
Indonesia yang kini telah berusia lebih dari 70 tahun sebagai negara merdeka, saat ini adalah sebuah negara pada posisi transisi antara demokrasi semu menuju demokrasi yang lebih baik. Sebuah situasi yang sesungguhnya marginal, yang dengan sendirinya mempengaruhi peran dan posisi pers di mata kalangan kekuasaan. Dalam pada itu, pers juga berada pada satu situasi marginal lainnya –yakni kehidupan ekonomi yang dikelola dengan retorika ekonomi kerakyatan, namun kuat diwarnai praktek neo liberalisme dan neo kapitalisme. Merupakan pengetahuan umum, kepemilikan sejumlah media –cetak dan televisi– papan atas ada dalam wilayah kendali konglomerasi, sehingga harus ‘tunduk’ pada ‘hukum besi’ bisnis dengan segala kepentingan khususnya. Dan kita tahu bahwa kepentingan penguasa politik dan kepentingan penguasa bisnis ada dalam hubungan taktis yang suatu waktu bisa sejalan sebagaimana ia juga bisa tak sejalan pada waktu yang lain.
Ketika Presiden Jokowi memarahi pers Jumat 14 Agustus lalu, tidak terlalu jelas pers yang mana sesungguhnya disasar. Apakah pers dan media sosial secara keseluruhan. Ataukah pers bebas yang tidak bebas (dari kepentingan) pemiliknya, atau pers kritis yang masih punya idealisme untuk tidak diam terhadap ketidakberesan yang terjadi di mana-masa dalam pengelolaan politik dan sosial, atau pengelolaan ekonomi, maupun dunia hukum. Atau kelompok media sosial yang di satu pihak untuk sebagian besar pelakunya adalah perorangan bebas yang berkeinginan bersikap kritis terhadap situasi sosial-politik-ekonomi sehari-hari? Dan pada pihak lain, kelompok yang dalam mengelola media sosial untuk sebagian memang belum sepenuhnya paham tentang etika dan kaidah-kaidah pers atau hak demokrasi?
NAMUN, terlepas dari itu semua, cara seorang Presiden menghadapi pers bebas yang kritis, maupun sikap kritis perorangan warganegara yang disampaikan lewat media sosial, bisa menjadi salah satu petunjuk seberapa jauh sikap demokratis yang bersangkutan. Dan, pada gilirannya seberapa besar kadar kenegarawanan yang dimiliki sebagai pemimpin negara.
Presiden Soekarno adalah, seorang pemimpin yang cenderung bersikap satu arah dalam menjalankan kekuasaan, khususnya pada tahun 1960-1965. Sejumlah pers kritis diberangus pada masanya, antara lain Harian Indonesia Raya dan Harian Pedoman. Pada masa Nasakom, semua pers di daerah diikat untuk berinduk pada salah satu media nasional di ibukota, berdasarkan pengelompokan partai atau pengelompokan kekuatan politik lainnya.
Di masa Presiden Soeharto, pers diberi batasan keras sebagai pers dengan ‘kebebasan’ yang bertanggungjawab, tetapi faktor tanggungjawab lebih ditekankan daripada faktor kebebasan. Beberapa pers juga diberangus dan bermasalah dengan penguasa. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974, terjadi pembreidelan terhadap Harian Indonesia Raya (sekali lagi), Harian KAMI, dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Pada waktu yang sama, dengan alasan politik yang berbeda, ditutup pula antara lain Harian Abadi dan Harian Pedoman. Beberapa tahun kemudian, Mingguan Berita Tempo, Harian Sinar Harapan, dan Harian Kompas, secara bergiliran mendapat pressure karena ada pemberitaannya yang tidak menyenangkan hati penguasa. Tempo sejenak dibreidel gara-gara laporannya mengenai alutsista bekas ex Jerman Timur yang melibatkan BJ Habibie. Dan, media-media terkemuka itu hanya bisa diselamatkan hidupnya dengan cara antara lain memohon ampunan kepada penguasa atau menyetujui syarat-syarat tertentu dari penguasa.
Pada masa berikutnya, pasca 1998, tak pernah lagi terjadi pembreidelan pers. Tapi itu bukan berarti tak ada masalah antara pers dengan Presiden atau kalangan kekuasaan negara. Rata-rata semua Presiden tak memiliki kedekatan yang memadai dengan pers, dan cenderung kurang nyaman terhadap kritik, seberapa keras pun mereka menyatakan diri demokratis. Presiden Abdurrahman Wahid banyak menyentil pers, yang harus diakui seringkali juga bersikap ‘kurang ajar’, tetapi kemampuannya mengemas sentilan itu dengan cara humor, membuat suasana tetap cair dan tidak harus tegang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seringkali bersikap tegang menghadapi pers. Presiden Megawati lebih terkenal sikap tak bersahabatnya dengan pers. Kita pinjam, penilaian Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, bahwa Megawati kerap melontarkan kritik serta ketidaksukaan kepada media. Megawati berkali-kali mengecam pers suka memelintir.
Selain kepada pers, Megawati juga tidak punya kedekatan dengan kalangan mahasiswa. Dalam buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (2004) ada uraian bahwa Megawati praktis tak punya akses komunikasi yang berarti –dan memang ia tidak berusaha menjalinnya– dengan kalangan perguruan tinggi, dengan kalangan cendekiawan dan mahasiswa. Ketika menjadi presiden, kelompok mahasiswa menjadi salah satu kekuatan utama penentangnya. “Padahal ia tiba ke posisinya sekarang sama sekali tidak terlepas dari peranan besar mahasiswa membuat Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaannya. Bila ia memiliki trauma dengan ’mahasiswa’ –yang sebagai kelompok pada tahun 1966 telah ikut menjatuhkan kekuasaan Soekarno sang ayahanda– maka semestinya ia memiliki trauma yang sama dengan ABRI yang justru juga pemegang andil utama lainny dalam penggulingan Soekarno. Tetapi, trauma terhadap ABRI itu tampaknya tidak dimilikinya. Ia bahkan memberi banyak konsesi terhadap ABRI ‘masa kini’ –yang menjauhkan pemerintahannya dari citra pemerintahan sipil yang ideal– dan pada waktu bersamaan ia kelihatannya tetap traumatis terhadap mahasiswa ‘masa kini’. Mungkin menarik untuk mengamati lebih jauh kenapa ia begitu menjaga jarak dengan perguruan tinggi, kaum cendekiawan, dan mahasiswa. Apakah persoalan pokoknya adalah bahwa ia tidak menyukai gaya kritik ala mahasiswa? Sementara sebaliknya, tokoh-tokoh ABRI masa kini tidak pernah mengeritiknya dan malahan aktif melakukan pendekatan pada dirinya. Ataukah pada dasarnya, seperti halnya dengan Soekarno pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya atau Soeharto pada hampir sepanjang masa kekuasaannya, Megawati memang tidak menyukai kritik?”
Profesor Maswadi Rauf bilang, Jokowi sepertinya terpengaruh Megawati dalam menghadapi pers, dan itu salah. Maswadi melihat, Jokowi, Megawati dan Puan Maharani sangat kompak dalam menuduh pers. Padahal, selayaknya seorang Presiden tidak memusuhi, menyalahkan dan gampang menuduh media. Pers itu sahabat politisi, sahabat pemerintah, bukan musuh.
CATATAN sejarah menunjukkan, seluruh kekuasaan di Indonesia yang tidak menyukai kritik mahasiswa dan kritik publik pada umumnya, termasuk kritik pers, dan menghadapinya dengan kekerasan serta berbagai sikap represif –melibatkan militer atau polisi yang berperilaku ala militer– pada akhirnya akan jatuh. Menjadi ‘korban’ dan dijatuhkan oleh gerakan-gerakan kritis mahasiswa dan kelompok kritis lainnya dalam masyarakat. (socio-politica.com)
DARIPADA menjadi ekor, atau sekedar semut-semut yang mengejar sisa-sisa butiran gula di sekitar Jokowi maupun Prabowo Subianto, sebenarnya adalah lebih baik bila Golkar dan Partai Demokrat berani menciptakan alternatif. Menyelenggarakan rapat pimpinan nasional di waktu yang hampir bersamaan (18/5) di tempat yang berdekatan, Partai Demokrat lebih cepat bersikap tegas daripada Partai Golkar. Kali ini, sikap Susilo Bambang Yudhoyono (dan Partai Demokrat) lebih berkepribadian: Tidak akan bergabung dengan kubu mana pun, baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo. Sementara itu, Rapimnas Golkar menyerahkan kepada Aburizal Bakrie untuk menentukan arah koalisi, dan memberi mandat pada sang ketua umum untuk menetapkan dirinya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Tapi ternyata Aburizal berpikiran sangat pragmatis.
Konsekuensi sikap yang disampaikan SBY itu adalah Partai Demokrat harus mencoba membuat poros alternatif, dan yang paling mungkin untuk saat ini adalah bersama Golkar. Sebenarnya, berdasar historis kelahirannya sebagai pembaharu tidak pada tempatnya bila Golkar memilih menjadi pengekor demi memenuhi hasrat kecipratan remah-remah kekuasaan belaka. Dalam menghadapi pemilihan umum pertama setelah Pemilu 1955 pasca Soekarno, di tahun 1971, Golkar menampilkan diri dengan gagasan pembaharuan politik yang sempat memikat sejumlah tokoh generasi muda tahun 1966 dan kaum intelektual untuk bergabung. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa setelah kemenangan dicapai, Soeharto dan para jenderal di lingkaran kekuasaannya berangsur-angsur ‘membuktikan’ lebih cinta kekuasaan belaka daripada cita-cita pembaharuan politik yang sesungguhnya.
PERTANYAAN OM PASIKOM DI KOMPAS. “Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga.”
Namun, terlepas dari soal kesetiaan kepada cita-cita itu, apa pun yang terjadi sepanjang masa Soeharto, Golkar –tepatnya, Jenderal Soeharto– selalu memimpin arah politik. Ditempa oleh keadaan serba unggul, Golkar berhasil melahirkan politisi-politisi tangguh yang mampu mengendalikan arah kehidupan politik dari waktu ke waktu. Akan tetapi bersamaan dengan itu, khususnya pada satu dekade terakhir masa kekuasaan Soeharto Golkar juga berhasil ditumpangi oleh orang-orang oportunis yang pandai mencari kesempatan yang menguntungkan dirinya. Sejak awal 1974 berangsur-angsur kelompok dengan cita-cita pembaharuan dipentalkan keluar, dan posisi-posisi kunci di tubuh Golkar makin dikuasai para oportunis pencari rezeki. Mereka yang disebut terakhir ini, tercatat paling gesit meloncat meninggalkan Golkar dan Soeharto di tahun 1998 di saat Golkar terancam karam.
DENGAN ‘susah payah’, Akbar Tandjung, Marzuki Darusman, Fahmi Idris, MS Hidayat dan sejumlah tokoh Golkar lain yang ‘bertahan’ di kapal yang disangka akan karam –dan nyaris diberi nasib seperti PKI pasca Nasakom Soekarno– mempertahankan keberlangsungan hidup Golkar dengan penamaan ‘Golkar Baru’ dalam bentuk sebagai partai. Penamaan ‘Golkar Baru’ sekaligus dijadikan tanda batas dengan era Soeharto, tepatnya semacam garis pemisah dengan era Golkar terakhir yang penuh ekses KKN dan oportunisme masa Harmoko. Tetapi ‘Golkar Baru’ tidak pernah betul-betul bersih dari kaum oportunis masa lampau, dan bahkan berangsur-angsur terisi juga dengan kaum oportunis baru. Untuk yang disebut terakhir ini, Akbar Tandjung, harus diakui, ikut khilaf membuka kesempatan.
‘Golkar Baru’ yang di dalam tubuhnya masih mengandung unsur-unsur yang gamang bila tak tercantel dengan kekuasaan, terpikat untuk memilih Muhammad Jusuf Kalla yang berhasil menjadi Wakil Presiden (2004-2009) pendamping SBY, sebagai Ketua Umum Golkar yang baru melalui Munas Golkar di Nusa Dua Bali akhir 2004. Padahal, beberapa tahun sebelumnya Jusuf Kalla sebenarnya sempat meninggalkan Golkar ikut berlayar di kapal Partai Persatuan Pembangunan. Tetapi di ‘masa reformasi’ faktor kesetiaan kepada ‘partai asal’ memang sudah berubah menjadi begitu encer dan tidak lagi terlalu dipersoalkan.
Hari Senin 19 Mei 2014 ini Muhammad Jusuf Kalla kembali menjadi calon Wakil Presiden, mendampingi Joko Widodo yang didukung PDIP bersama Nasdem dan PKB disusul Hanura. Tak ada manuver ‘dadakan’ di internal PDIP untuk memajukan Puan Maharani seperti yang di’kuatir’kan sebelumnya. Pun belum ada perubahan sikap di PKB akibat ketentuan kerjasama tanpa syarat yang secara ‘tegas’ dinyatakan Megawati Soekarnoputeri. Tetapi pertanyaannya, sanggupkah PKB bertahan ikut serta dalam suatu ‘koalisi’ tanpa mengharapkan suatu deal apapun untuk para petingginya? Kalau semua yang terjadi, kerjasama tanpa syarat, adalah seperti yang dikatakan, baguslah, berarti terjadi kemajuan dalam sikap dan praktek politik. Meskipun, ini semua lebih terasa sebagai sesuatu yang too good to be truth dalam iklim politik yang sangat pragmatis seperti sekarang ini.
Setelah JK mendampingi Jokowi menjadi satu kenyataan, tentu saja, sesuai penegasan Aburizal Bakrie usai Rapimnas Golkar Minggu (18/5), Jusuf Kalla tidak mewakili Golkar melainkan mewakili dirinya sendiri. Tetapi harus diakui, Jusuf Kalla masih memiliki sel-sel pendukung di tubuh Golkar. Bagaimanapun dia pernah menjadi Ketua Umum di partai berlambang pohon beringin tersebut selama 5 tahun.
Senin siang 19 Mei ini, Prabowo juga memastikan Hatta Rajasa dari PAN sebagai pendampingnya selaku Wakil Presiden. Pengumumannya disampaikan di sebuah rumah di Polonia, Jakarta, yang konon pernah menjadi kediaman sementara Soekarno. Pertanyaan yang sama memang bisa diajukan, sanggupkan partai-partai seperti PKS dan PPP bertahan dalam koalisi tersebut, padahal calon-calon Wakil Presiden yang mereka ajukan tak terakomodir? Berbeda dengan PDIP, persoalan di poros Prabowo mungkin sedikit lebih mudah. Suatu deal mengenai posisi di kabinet, tersurat maupun tersirat, bisa dipastikan telah dibicarakan lebih awal.
TERKAIT kemungkinan koalisi Golkar dengan Partai Demokrat, pernyataan Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan menjadi menarik. Partai Demokrat menginginkan Aburizal Bakrie dan Susilo Bambang Yudhoyono mengambil peran sebagai king maker. Suatu usul yang baik dan bisa menampilkan sisi kenegarawanan dari kedua tokoh itu. Tidak ada kata terlambat. “Kami mengusulkan supaya Golkar memberikan opsi-opsi untuk calon presiden, seperti mengajukan Menteri Perindustrian Mohamad Sulaeman Hidayat,” ujar Sjarif seperti dikutip Koran Tempo (18/5). Sementara itu, MS Hidayat sendiri, yang menjadi salah satu anggota tim dari kedua partai yang terdiri dari 6 orang, menyampaikan usul suatu poros ketiga untuk mengusung pasangan capres-cawapres Aburizal Bakrie dengan Pramono Edhie Wibowo.
KARIKATUR KORAN TEMPO: KADER PARTAI KORUP DALAM TEROPONG KPK. “Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga.”
Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga. Kalau mereka mau dan bisa mengatasi subjektivitas tertentu pada diri mereka, Senin petang atau paling lambat Selasa pagi 20 Mei mereka masih berkesempatan mengumumkannya. Khususnya Golkar, saatnya belajar meninggalkan sikap obsesif mereka terhadap kursi kekuasaan sekalipun untuk itu harus rela menjadi figuran belaka. Tapi harapan seperti itu buyar seketika, karena Senin siang menjelang deklarasi pasangan Prabowo dengan Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie dikabarkan memutuskan mendukung pencalonan Prabowo Subianto.
Terhadap kemungkinan poros ketiga, serta merta sejumlah pengamat, termasuk mereka yang menjagokan dua capres, Jokowi dan Prabowo, mengatakan suatu pasangan baru sudah terlambat. Tak punya lagi waktu sosialisasi untuk membangun elektabilitas. Dua tokoh lainnya sudah jauh di depan. Tentu saja, pendewa-dewaan pencapaian elektabilitas yang telah dicapai dua calon lainnya, bisa juga berlebih-lebihan dan keliru. Harus diakui, kerjasama atau koalisi pendukung dua calon presiden yang sedang di atas angin itu, bukannya tak mengandung kerapuhan di sana-sini. Dua pasangan yang tampil juga tak sepenuhnya ideal. Publik masih punya kemampuan untuk menerima penyampaian-penyampaian gagasan baru –maupun fakta kebenaran dan kesadaran baru– sepanjang gagasan baru itu bisa lebih masuk akal, jujur dan genius. Dalam tempo yang sempit sekali pun. Suatu proses perubahan pikiran bisa saja terjadi hanya dalam 1-2 detik.
Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga. Golkar dan Aburizal juga bisa melakukan berbagai hal positif lainnya. Bagaimana jika Aburizal segera menyelesaikan sisa kewajibannya kepada korban lumpur Lapindo misalnya, seraya menyampaikan permintaan maaf yang lebih tulus? Untuk ini, pun tidak ada kata terlambat. Tapi apa boleh buat, Aburizal memilih lain, dan menjadi sangat pragmatis. Ia memang menjadi king maker, tapi bukan bersama SBY di poros ketiga. Melainkan di poros bersama Gerindra, seperti dielu-elukan Prabowo terhadap Ketua Umum partai peraih suara kedua terbanyak itu.
Sebenarnya, kalaupun misalnya, pasangan baru sebagai pasangan ketiga yang diajukan Golkar dan Partai Demokrat, tidak memenangkan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, toh mereka bisa menjadikan ketidakberhasilan itu sebagai suatu kekalahan terhormat. Dan setelah itu, memilih untuk melangkah menjadi kekuatan oposisi yang terhormat pula. Kemenangan jangka pendek, semestinya, bukan satu-satunya hal. (socio-politica.com)
PERJUANGAN Aburizal Bakrie mengejar ‘mandat langit’, cukup berkemungkinan menjadi kisah ‘kemalangan politik’ bagi dirinya maupun bagi partai yang dipimpinnya. Ini terkait dengan berbagai peristiwa ‘kalah’ langkah tokoh-tokoh Golkar di pasar ‘dagang sapi’ politik. Tetapi jangan salah, dengan makin mencuatnya begitu banyak fakta bahwa Pemilihan Umum legislatif yang baru lalu ini ternyata kacau balau luar biasa –karena massivenya perilaku manipulatif para pelaku politik– maka 50 berbanding 50, secara keseluruhan justru politik Indonesia yang berpeluang berubah menjadi kemalangan dan tragedi kenegaraan sesungguhnya.
Suatu salah penanganan akan menggelindingkan proses delegitimasi menuju ketidak-absahan pemilu, yang berakhir sebagai suatu chaos politik. Belum tentu bisa dibendung. Suatu gelanggang ‘permainan’ (politik) yang penuh ‘penjahat’ (politik) dengan sendirinya akan lebih berkemungkinan sepenuhnya menjadi dunia ’kejahatan’ (politik) sejati. Ini memerlukan suatu ulasan dan analisa tersendiri dalam suatu kesempatan tersendiri.
ARB DAN PRABOWO DALAM TEMPO. “Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh.”
HINGGA hitungan hari menjelang batas pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, 18-20 Mei 2014, baru dua calon Presiden yang mendekati kepastian pencalonannya, yaitu Joko Widodo (PDIP) dan Prabowo Subianto (Gerindra). Tapi siapa calon Wakil Presiden dan partai-partai mana yang akan berkoalisi dengan keduanya, meski mulai mengerucut, puncak kerucutnya belum betul-betul lancip. Tawar-menawar di pasar politik belum final. Berkali-kali sudah tiba pada suatu keadaan seakan-akan final, tetapi hanya dalam hitungan hari bahkan hanya dalam hitungan jam, berubah lagi.
Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh darinya.
Lalu, Jokowi. Dalam berita, Jokowi bukan hanya mendua, tetapi diberitakan punya tiga calon Wakil Presiden. Salah satunya, Muhammad Jusuf Kalla –tokoh yang paling lanjut usianya dalam bursa kepemimpinan nasional kali ini, dan mungkin kandidat tertua sepanjang sejarah politik Indonesia– mantan Wakil Presiden, mantan Calon Presiden dan mantan Ketua Umum Partai Golkar. Secara khusus menyangkut JK, perlu pula dicatat bahwa di internal PDIP bukannya tak ada kekuatiran tentang potensi Wapres JK bertindak ‘melampaui’ Presiden Jokowi kelak. Sama dengan yang pernah dialami SBY 2004-2009. Dua calon lainnya, Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang didukung PKB, dan Abraham Samad yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua KPK. Dengan berita itu, beberapa nama lain yang disebut-sebut sebelumnya, telah tersisih. Misalnya dua purnawirawan jenderal, yakni Ryamisard Ryacudu dan Luhut Binsar Pandjaitan, meski keduanya memenuhi kriteria ‘luar Jawa’ yang disebutkan Jokowi beberapa waktu lalu.
LALU dalam situasi apa Aburizal berada? Pekan lalu, pertemuannya dua kali berturut-turut dengan Prabowo Subianto, menimbulkan spekulasi seakan-akan segera mewujudnya duet ARB dengan Prabowo. Kalau kini spekulasi itu sudah ditenggelamkan oleh suatu spekulasi lain, berarti Aburizal masih ‘sendiri’. Berpasangan dengan Golkar –yang menurut hitungan resmi KPU menempati urutan perolehan suara kedua terbesar, sebesar 18.432.312 suara atau 14,75 persen dari seluruh suara pemilih– tampaknya tidak begitu menarik. Masih kalah daya tariknya dibandingkan Gerindra yang ada di urutan ketiga dengan perolehan 14.760.371 (11,81 persen).
Setidaknya ada empat sebab penting yang menurut kalkulasi partai lain tidak menguntungkan bila berkoalisi dengan Golkar. Pertama, khalayak politik tahu, bahwa walau terlihat solid di etalase kehidupan politik, Golkar sebenarnya rapuh kekompakannya. Setidaknya ada tiga faksi yang dalam banyak hal berbeda ‘kemauan’ di tubuh Golkar, yaitu faksi ARB, faksi Akbar Tandjung dan faksi JK. Ditambah sisa-sisa faksi Golkar putih. Faksi JK sebenarnya adalah suatu faksi yang mirip kembang anggrek yang dulu berhasil dicangkokkan di batang pohon Beringin melalui Munas Golkar Desember 2004 di Denpasar. Anggrek adalah tanaman epifit, memang tidak ‘mengisap’ makanan dari tempat tumpangan, namun menciptakan peluang hidup yang aman di sana. Faksi dengan analogi epifit ini kemudian ditumbuh-suburkan 2004-2009, di masa Jusuf Kalla merangkap jabatan Wakil Presiden RI dengan jabatan Ketua Umum Golkar. Sepanjang catatan Sudharmono SH saat dirinya menjadi Ketua Umum Golkar 1983-1988, Muhammad Jusuf Kalla berada dalam struktur Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Hal kedua yang membuat Golkar tidak menarik diajak berkoalisi, adalah fakta bahwa elektabilitas figur ARB tidak cukup tinggi. Kalah oleh beberapa tokoh lainnya. Selain itu, pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Golkar, dianggap lebih merupakan hasil faitaccompli internal. Bukan melalui mekanisme konvensional partai tersebut. Tentu tidak aman dan tidak nyaman berkoalisi dan atau berpasangan dengan suatu keluarga besar atau seseorang yang memiliki masalah internal. Apalagi, partai-partai yang ada saat ini pada umumnya sangat mengutamakan faktor keamanan benefit dan keuntungan dari suatu persekutuan, bukan untuk berbagi kesulitan.
Berikutnya, sebagai faktor ketiga, tokoh-tokoh lingkaran terdekat ARB dianggap telah mengisolasi Aburizal dari persentuhan dengan berbagai kelompok lain yang bisa memperkaya visi politik dan kepemimpinannya sebagai Ketua Umum sebuah partai besar. Termasuk mengisolasi Aburizal ‘Ical’ Bakrie dari kelompok teman-teman perjuangannya di masa lampau di Bandung (dan Jakarta) yang banyak di antaranya punya kualitas prima dalam berbagai pergerakan sosial-politik dan profesi. Dan di lain pihak, lingkaran baru itu justru tidak punya kemampuan melakukan manuver politik dengan kualitas yang dibutuhkan sebuah partai sekaliber dan seberpengalaman Golkar yang telah berusia setengah abad. Banyak kalangan di lingkaran ‘baru’ di sekitar ARB disindir sekedar berfungsi sebagai penggembira atau pengiring arak-arakan karnaval saja.
Pilihan Golkar dan ARB beserta lingkaran politiknya untuk tiba-tiba menggunakan isu kejayaan masa lampau Golkar bersama Soeharto, sebagai salah satu bahan kampanye Pemilihan Umum yang baru lalu, menyisakan suatu tanda tanya besar. Kenapa Golkar dan ARB tiba kepada pilihan seperti itu? Padahal, seperti halnya dengan ketokohan Soekarno, rakyat Indonesia masih mendua mengenai ketokohan Soeharto. Butuh waktu lama untuk menjernihkan situasi dengan persepsi mendua terhadap dua tokoh itu. Kedua tokoh tersebut, adalah tokoh besar yang punya jasa besar terhadap bangsa dan negara di zamannya masing-masing, namun jangan dilupakan mereka pun masing-masing punya kekhilafan dan kesalahan besar saat memimpin negara. Dan itu sebabnya mereka diturunkan dari panggung kekuasaan.
Terakhir dan tak kalah pentingnya, peristiwa Lapindo dan penanganan penyelesaiannya yang berkepanjangan, telah menjadi beban yang harus dipikul dalam jangka waktu lama oleh Abrurizal Bakrie. Jika di awal peristiwa Aburizal bertindak cepat memberikan solusi tuntas, persoalannya mungkin lain. Khalayak menilai, bahwa Aburizal harus dipaksa-paksa dulu sebelum memberikan tanggung jawab. Itupun tidak tuntas.
KETIDAKBERHASILAN Partai Golkar untuk mencapai angka tinggi perolehan suara, juga disebabkan ketidakberhasilan menyampaikan hal-hal konseptual yang menawarkan solusi bagi pemecahan berbagai masalah nasional. Dalam bagian tertentu, Golkar melalui sejumlah kadernya justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Misalnya, dalam isu korupsi, tidak sedikit kadernya malahan menjadi sasaran isu korupsi. Tidak beda dengan Partai Demokrat, PKS atau bahkan PDIP sekalipun.
Iklan-iklan televisi yang gencar, tidak banyak menolong. Selain salah arah dan salah konsep, iklan-iklan sosialisasi Golkar maupun ketokohan ARB terlalu banyak mengandung solipsisme. Dalam beriklan dan berkampanye, ARB dan para petinggi Golkar terlalu mendasarkan diri pada “apa yang saya pikir tentang saya”. Mengabaikan “apa yang orang lain pikirkan mengenai saya” dan tidak berusaha mengolah “apa yang saya pikir mengenai pikiran orang lain tentang saya”. Tetapi pembawaan seperti ini bukan monopoli ARB dan para petinggi Golkar saja, melainkan juga menghinggapi sebagian terbesar tokoh yang sedang terobsesi dan mati-matian mengejar ‘mandat langit’ melalui suara rakyat.
PELUANG apa yang tersisa bagi Aburizal Bakrie? Peluang itu hanya bisa datang dengan suatu keajaiban politik, yang bisa tercipta antara lain bila upaya PDIP dan Gerindra mendadak gagal menyusun koalisi untuk menopang Jokowi maupun Prabowo Subianto menuju kursi RI-1. Minimal, gagal menemukan tokoh Wakil Presiden yang tepat untuk diri mereka masing-masing. Elektabilitas Jokowi maupun Prabowo tidak terlalu luar biasa untuk bisa membuat faktor siapa pendamping mereka masing-masing menjadi tidak penting. Pilihan tepat dalam menentukan pendamping, sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap keterpilihan mereka. Keajaiban politik seperti ini, di atas kertas memang tipis, tapi kita tidak bisa menebak ego ipso solus yang diidap para tokoh pimpinan partai yang ada saat ini dan keanehan apa yang bisa diakibatkannya. Contohnya, meskipun sudah menawarkan Mahfud MD, bukannya tak ada hasrat di tubuh PKB untuk memajukan Ketua Umum Muhaimin Iskandar sebagai calon Wakil Presiden. Dalam pada itu, siapa yang bisa mengatakan bahwa PDIP takkan mungkin mendadak mengajukan Puan Maharani misalnya, sebagai Wakil Presiden mendampingi Jokowi demi kelanjutan trah Soekarno?
Setipis-tipisnya peluang, Aburizal Bakrie dan Golkar juga masih mungkin bertemu di satu titik dengan Partai Demokrat yang sama ‘tertinggal’nya dalam tawar menawar di pasar politik ‘dagang sapi’. Partai Demokrat adalah peraih posisi keempat dalam perolehan suara dalam pemungutan suara 9 April yang lalu, 12.728.913 suara (10,19). Digabungkan dengan Golkar, relatif memenuhi syarat untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dua partai ini, banyak persamaannya, termasuk dalam menuai isu dan sorotan. Di tengah menipisnya peluang, menurut berita terbaru, Ical bertemu Jokowi di Pasar Gembrong, Johar Baru Jakarta Pusat, pada hari terakhir menjelang pendeklarasian koalisi bagi calon presiden dari PDIP itu. Ical sedang mencoba membuka satu peluang baru untuk dirinya? Atau memilih menjadi ‘king maker‘ saja bagi tokoh Golkar yang lain untuk kursi RI-2?
NAMUN, terlepas dari semua itu, keajaiban politik yang sangat tidak diharapkan, tentu adalah terciptanya situasi chaos akibat kegagalan penanganan sengketa dan manipulasi dalam pemilihan umum legislatif yang lalu. Bila tidak hati-hati, itu bisa saja terjadi. (socio-politica.com)
KEHADIRAN Ibas Edhie Baskoro, putera bungsu Susilo Bambang Yudhoyono, dalam kancah politik menjadi salah satu titik masuk bagi serangan-serangan terhadap sang Presiden. Karena Ibas tak punya rekam jejak yang mengesankan sebelum ini dalam dunia aktivisme, maka kemajuan pesatnya dalam dunia politik, khususnya melalui Partai Demokrat ‘milik’ sang ayahanda, tak bisa tidak dikaitkan orang dengan posisinya sebagai anak Presiden/Ketua Dewan Pembina. Selain itu, Partai Demokrat adalah partai yang baru berusia 10 tahun, dan Ibas sudah ikut di belakang lokomotif sang ayah sejak mulai partai itu berdiri, jadi tak ada halangan dalam hubungan ‘usia’ keikutsertaan dalam partai. Bedanya dengan tokoh Partai Demokrat lainnya, adalah bahwa yang lain itu, selain lebih tua dalam usia, kebanyakan adalah kaum migran dari partai politik lainnya, khususnya dari Partai Golkar. Dalam pada itu, Anas Urbaningrum yang relatif masih cukup muda dalam usia, sudah ‘tua’ dalam aktivisme, pernah menjadi Ketua Umum PB HMI dan pernah pula menjadi anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebelum langsung direkrut ke dalam partai.
SEBUAH GAMBAR SBY. Sambil memuat gambar ini dalam blognya, 2009, seorang blogger dari Samarinda, Charles Siahaan, mengutip pesan seorang temannya di FB “Lihat, lama-lama wajah SBY mirip Soeharto”.
Dari soal uang hingga posisi politik. Ibas telah beberapa kali menjadi fokus sorotan. Dalam isu bagi-bagi sedan mewah Jaguar oleh Harry Tanusudibyo, nama Ibas disebut sebagai salah satu penerima. Ketika Eggi Sudjana SH mengangkat isu itu secara terbuka ke publik, semua yang disebut sebagai penerima ramai-ramai membantah dan bahkan mengadukan Eggi telah mencemarkan nama baik. Kasus ini selesai dengan ‘happy ending’, namun meninggalkan ketidakjelasan tentang benar tidaknya isu itu. Dalam pemilu legislatif 2009 yang lalu, ada keraguan tentang suara perolehan Ibas, yang berakhir dengan diprosesnya sang penuduh di jalur hukum oleh Polri.
Tuduhan serius terbaru, adalah disebutnya keterlibatan Ibas bersama Anas Urbaningrum dan sejumlah tokoh lainnya dalam permainan dana politik ex korupsi anggaran belanja negara, yang dilontarkan Mohammad Nazaruddin. Apakah karena merasa telah menyerang putera Presiden, lalu Mohammad Nazaruddin menjadi ‘ketakutan’ bahwa akan ada ‘pembalasan’ terhadap anak dan isterinya, sehingga ia merasa perlu memohon mengiba-iba agar SBY melindungi keselamatan anak-isterinya? Dan berjanji takkan menyebut-nyebut lagi nama tokoh-tokoh –termasuk Ibas tentunya– dan nama Partai Demokrat seperti yang dilakukannya tatkala berada di luar negeri. Akan diam, dan bersedia dihukum tanpa perlu diperiksa dan diadili. Sebenarnya, itu merupakan suatu permintaan yang tidak masuk akal dari seorang yang sudah merasa atau mengesankan diri ‘tertekan’. Ataukah jangan-jangan Nazaruddin justru mengajukan deal kepada SBY: Tolong jamin keselamatan anak-isteriku, dan saya juga akan tutup mulut mengenai Ibas?
SEBAGAI manusia biasa, semua Presiden yang pernah memimpin Indonesia, punya kecenderungan untuk ‘sayang anak’. Dan tak sedikit pula kesulitan yang pernah timbul dari sikap ‘sayang anak’ maupun sikap ‘sayang isteri’ itu. Dalam konteks kekuasaan negara, sikap sayang anak atau sayang isteri yang berlebihan-lebihan umumnya melahirkan nepotisme. Dulu, Presiden Soekarno seringkali disorot karena terlalu ‘banyak’ isteri. Soekarno juga sering disorot karena Guntur Soekarnoputera, anak sulungnya, saat ia ini masih mahasiswa di ITB, karena suka kebut-kebutan dengan mobil sportnya, Carman Ghia yang mewah untuk ukuran zamannya. Tapi saat itu, Guntur belum ikut-ikutan bisnis memanfaatkan kedudukan ayahandanya, dan hanya aktif di organisasi mahasiswa GMNI namun belum sempat masuk ke DPR misalnya.
Mode berbisnis di kalangan anak pejabat, baru marak di masa Soeharto. Saat putera-puteri Soeharto beranjak dewasa dan berbisnis, sorotan muncul –meskipun lebih banyak berlangsung di bawah permukaan dan dalam pembicaraan masyarakat sehari-hari. Soeharto cukup berang mendengar adanya sorotan itu. Keberangan serupa berkali-kali ditunjukkannya sebelumnya, saat isterinya disorot kiprahnya dalam konteks kaitan bisnis. Beberapa pejabat tinggi tampil membela dan bertanya apakah karena ayahnya menjadi pejabat lalu seorang anak harus “kehilangan haknya menjadi pengusaha?”. Padahal yang menjadi persoalan di sini adalah soal fatsoen untuk menghindari konflik kepentingan. Selama seseorang menjadi Presiden, ada konsekuensi bahwa keluarganya kehilangan peluang sementara untuk berkiprah di bidang-bidang yang bisa menimbulkan conflictofinterest itu. Setelah tidak menjadi presiden lagi, silahkan. Dan bila tidak ingin menghambat ‘karir’ anak atau keluarga, jangan menjadi Presiden atau pejabat tinggi. Seorang hakim misalnya, tak boleh mengadili perkara yang melibatkan anak-isteri atau keluarga dekatnya sebagai terdakwa.
Tapi memang, di Indonesia, semua masih serba tidak jelas, atau tepatnya dibuat tidak jelas. Di zaman Soeharto, semua anak pejabat memang seakan berlomba menjadi pengusaha, dan menarik keuntungan dari jabatan ayah mereka. Meminjam terminologi Jawa, disebut aji mumpung. Bila sang ayah menjadi Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi misalnya, maka anaknya menjadi pengusaha besar di bidang telekomunikasi dengan kecenderungan monopolistik. Bila sang ayah memimpin Pertamina, anak-anaknya bergerak di bidang usaha yang ‘menyusu’ ke Pertamina. Makin tinggi posisi hirarkis sang ayah dalam pemerintahan, makin luas pula jangkauan usaha sang anak. Dalam kaitan ini ada satu kisah menarik, antara Jenderal Benny Murdani dan Jenderal Soeharto, yang diangkat dari buku Julius Pour “Benny: Tragedi Seorang Loyalis” (Kata Hasta, 2007). Suatu hari Benny dan Soeharto bermain bilyar di Jalan Cendana. Benny berkata kepada Soeharto, bahwa untuk menjaga keamanan pribadi presiden memang sudah cukup dengan satu batalyon Paspampres. Tetapi, untuk pengamanan politik presiden, mutlak harus didukung oleh keterlibatan keluarga dan juga presidennya sendiri. Benny menuturkan, “Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak harto langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur, meninggalkan saya di ruang bilyar…. sendirian”.
Apakah dengan turunnya Soeharto dari kekuasaan, permainan nepotisme pun berakhir? Menurut George Junus Aditjondro, tidak. Dalam buku “Korupsi Kepresidenan”, seraya menyebut nama Thariq Kemal Habibie, Junus Aditjondro menulis bahwa di bawah Presiden BJ Habibie, keluarga Habibie dengan cepat berusaha menggeser peranan keluarga Soeharto dalam ekspansi bisnis oligarki. Terkait Presiden Abdurrahman Wahid, Junus Aditjondro mengapresiasi upaya pembersihan bisnis kalangan militer melalui peranan Jenderal Agus Wirahadikusumah, dan memberi kredit point terhadap pengajuan mantan Presiden Soeharto ke pengadilan oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. “Namun, dalam hal membiarkan nepotisme keluarga Wahid serta kroniisme para pendukungnya dari lingkungan NU dan PKB, Gus Dur belum banyak bergeser dari tradisi Soeharto”. Hasilnya, skandal Bulog-gate I dan Brunei-gate. Di zaman Megawati Soekarnoputeri menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden, Junus Aditjondro menyoroti bisnis-bisnis Taufiq Kiemas sang suami dan “Happy” Hapsoro sang menantu (suami Puan Maharani). Disebut-sebut antara lain isu komisi Rp. 426,4 miliar dalam pembelian jet tempur Sukhoi, dan kedekatan dengan keluarga Syamsul Nursalim. Adapun tentang Susilo Bambang Yudhoyono, Junus memaparkannya melalui buku Gurita Cikeas, disusul Cikeas Makin Menggurita –yang tampaknya menghilang dari peredaran maupun pembicaraan dan ulasan pers.
Keberhasilan Ibas Edhie Baskoro Yudhoyono dalam kancah politik, menjadi anggota DPR-RI dan Sekertaris Jenderal Partai Demokrat, barangkali hanya penerusan kebiasaan selama ini di Indonesia, bahwa kekuasaan adalah berkah. Di zaman Soeharto, anak-anak pejabat sipil maupun militer berduyun-duyun dan masuk dengan mudah ke posisi anggota DPR dan MPR. Anak Gubernur maupun anak Panglima Kodam menggeser peluang para kader muda Golkar yang tidak ‘berdarah biru’ kekuasaan. Para isteri petinggi –Gubernur, Pangdam dan Menteri– juga mendominasi kursi-kursi DPR dan MPR, sementara para suami dengan sendirinya menjadi anggota MPR. Ada jenderal yang berposisi Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, bisa memasukkan anak dan isterinya sekaligus ke lembaga-lembaga legislatif, sementara ia dengan sendirinya juga adalah anggota MPR Fraksi ABRI. Maka ada plesetan arti AMPI –sebuah organisasi kepemudaan Golkar– menjadi Anak-Menantu-Ponakan-Isteri/ipar, yakni mereka yang berhak masuk lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Anak-anak Soeharto pun pada umumnya mendapat kursi legislatif di masa Harmoko menjadi pimpinan DPR dan Golkar. Dalam kabinet terakhir pemerintahannya, Presiden Soeharto malah mengangkat salah seorang puterinya, Siti Hardiyanti Rukmana, menjadi Menteri Sosial RI. Tapi sang menantu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, belum sempat diangkat menjadi KSAD atau Panglima ABRI.
Di masa Abdurrahman Wahid, Yenni Wahid puterinya ikut berkegiatan dalam partai. Selain itu terbawa pula beberapa ponakan seperti Muhaimin Iskandar. Rupanya, di sini ada faktor rasa aman bila melibatkan anak-ponakan. Tapi ternyata, tidak betul-betul aman. Muhaimin Iskandar sang ponakan ternyata ‘meninggalkan’ sang paman dan berhasil ‘mengambil-alih’ kepemimpinan PKB tanpa keikutsertaan Gus Dur. Di masa Megawati Soekarnoputeri berkuasa sebagai pemimpin negara maupun pemimpin partai, PDIP, Guruh Soekarnoputera sang adik dan Puan Maharani sang puteri terbawa serta ke dalam kekuasaan. Puan malahan sempat disebut-sebutkan sebagai pewaris politik dan mungkin pewaris tahta Mega.
Kisah dua jenderal idealis. UNTUK menutup tulisan The Stories Ever Told ini, berikut adalah kisah dua jenderal idealis yang menjadi idola kaum pergerakan mahasiswa dan generasi muda di tahun 1966 hingga awal 1970-an: Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Letnan Jenderal Hartono Rekso Dharsono. Kedua-duanya, bersama Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah para jenderal idealis yang dengan berbagai cara telah dijauhkan dari posisi-posisi kekuasaan oleh Jenderal Soeharto. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro berperan dalam penyingkiran itu, namun pada akhirnya mengalami nasib yang serupa. Pada gilirannya, Jenderal Soemitro tersingkir karena kalah dalam percaturan kekuasaan melalui tangan Letnan Jenderal Ali Moertopo. Dan pada akhirnya, Ali Moertopo sendiri pun disingkirkan Soeharto ketika dianggap berambisi untuk naik lebih ke atas.
Selepas dari jabatan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (1964-1967), Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang bersama Mayjen HR Dharsono populer di kalangan generasi muda 1966, seakan-akan dijauhkan dari Jakarta. Ia ditempatkan pada pos Panglima Kodam II Bukit Barisan di Medan. Banyak orang yang menganggap bahwa posisi baru itu merupakan ‘perangkap’ bagi Sarwo Edhie. Banyak kalangan kekuasaan yang diam-diam mengharap Sarwo tergoda dan tergelincir di sana. Sembilan dari sepuluh pejabat, terbukti tergelincir di sana. Sumatera Utara kala itu dianggap daerah yang penuh ujian moral bagi para pejabat, penuh godaan sogokan uang (termasuk sogokan menggunakan perempuan). Asal para pejabat, khususnya Panglima Kodam, Panglima Kepolisian dan Gubernur, bersedia tutup mata terhadap praktek penyelundupan maupun kejahatan ekonomi dan kriminalitas lainnya, ia akan segera kaya raya. Di antara para pejabat daerah masa itu, seorang Panglima Kodam adalah yang paling powerful. Sebelum berangkat ke sana, Sarwo Edhie memberikan janji kepada kelompok perjuangan generasi muda, takkan mempan godaan. “Saya berangkat ke sana dengan satu koper, dan akan kembali dengan satu koper yang sama”, ujarnya. Mayor Jenderal Sarwo Edhie berhasil membuktikan kebersihan dirinya. Setelah Sumatera Utara, berturut-turut Sarwo Edhie tetap dijauhkan dari Jakarta, menjadi Pangdam Trikora Irian Jaya 2 Juli 1968 – 20 Februari 1970 dan ditugaskan ke tempat lebih jauh lagi sebagai Duta Besar RI di Korea. Saat itu, pos duta besar selalu dikonotasikan sebagai pos ‘pembuangan’.
Letnan Jenderal HR Dharsono, juga adalah militer idealis yang belum pernah tercatat terlibat skandal berbau uang. Ia juga dijauhkan dari pusat kekuasaan, setelah begitu populer sebagai Panglima Kodam Siliwangi, terutama setelah melontarkan gagasan dwi-partai dalam rangka perombakan struktur politik Indonesia. Ia ditugaskan sebagai Duta Besar RI di Bangkok lalu Pnompenh Kamboja yang sedang bergolak. HR Dharsono pernah mendamprat seorang Menteri Kabinet Soeharto yang juga adalah seorang jenderal karena sebelumnya anak dan isteri sang menteri membuat masalah dengan bea-cukai pemerintah Thailand saat singgah di airport Bangkok. “Tertibkan keluarga anda kalau ke luar negeri, jangan bawa-bawa kebiasaan jelek dari tanah air”, tegur Dharsono. Sang menteri hanya bisa diam dimarah-marahi sang Dubes. Sewaktu bertugas di Pnompenh yang sedang dilanda demo anti Lon Nol, tutur seorang mantan stafnya, mobil Duta Besar HR Dharsono berpapasan dengan demonstran. HR Dharsono, membuka jendela mobil, lalu menyodorkan uang sumbangan kepada para demonstran. Di tanah airnya sendiri sang jenderal selama perjuangan 1966 dan sesudahnya memang punya kedekatan dengan mahasiswa pelaku demonstran. Kedekatan semacam itulah yang antara lain tak disukai Soeharto pada dirinya.
Selain persamaan sebagai jenderal idealis, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal HR Dharsono maupun juga Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah jenderal-jenderal yang gagah, menarik perhatian kaum perempuan. Tak heran, kalau ada saja gosip asmara melanda mereka, tapi tak sekalipun mereka melakukan kejahatan seksual –pelecehan, tipu daya, pemaksaan dan sebagainya– terhadap kaum Hawa semacam yang kerap dilakukan oleh sejumlah jenderal lain. Di masa militer dominan dalam kekuasaan negara, memang tak sedikit terjadi kisah buruk penyalahgunaan kekuasaan terkait masalah seksual. Seorang jenderal yang berkuasa dalam pemulihan keamanan, sebagai salah satu contoh, pernah ‘merampas’ isteri seorang petinggi sipil bidang hukum setelah menjebloskan sang suami ke tahanan dengan tuduhan terlibat PKI. Lainnya, seorang jenderal yang duduk dalam posisi basah di pemerintahan, ketika jumpa di airport saat akan melawat ke luar negeri, dititipi oleh seorang jenderal purnawirawan agar melihat-lihat dan membantu menjaga keselamatan anak perempuannya yang ikut dalam penerbangan yang sama karena akan bersekolah di luar negeri. Tapi yang dititipi menjadi pagar makan tanaman, dengan tipu daya berhasil melakukan pelecehan di negara tujuan. Sang ayah yang dilapori anaknya, dengan berang pergi menemui Soeharto untuk mengadukan perbuatan sang menteri. Soeharto hanya manggut-manggut, tapi tak ada tindak lanjut yang sepantasnya dilakukan. Entah ada atau tidak hubungannya, sang jenderal purnawirawan di kemudian hari tercatat namanya dalam barisan tokoh anti Soeharto yang secara tak langsung ikut berperan dalam ‘kejatuhan’ sang penguasa 32 tahun itu….
SELAMA delapan hari, 1 sampai 8 Maret 2011, perhatian publik, suka atau tidak, tertuju kepada figur Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia. Dan lagi-lagi SBY menghidangkan suatu akhir yang berupa anti klimaks. Terkecuali, bila pada hari ke-sembilan, 9 Maret 2011 ini –mengingat bahwa angka 9 adalah angka istimewa baginya– ia tiba-tiba membuat kejutan, semisal tetap melakukan reshuffle kabinet, kendati telah mencapai kesepakatan ‘baru’ dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie 8 Maret sore. Dan kalau itu terjadi, kemungkinan besar tumbalnya tak lain PKS sendirian tanpa Golkar. PKS dikeluarkan dari koalisi, dan menteri-menterinya meninggalkan kabinet. Itu pun kalau memang SBY cukup berani. Gerindra bisa berharap-harap cemas untuk bisa masuk dalam kekuasaan pemerintahan.
Dengan bahasa tubuh yang mencerminkan kegusaran, Selasa sore 1 Maret di Istana Presiden, didampingi Wakil Presiden Budiono, kepada pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan dengan mimik serius dan dibuat dingin, “jika memang ada partai politik yang tidak lagi bersedia mematuhi atau menaati kesepakatan yang sudah dibuat bersama-sama saya dulu, tentu partai politik seperti itu tidak bisa bersama-sama lagi dalam koalisi”. Dengan segera orang menterjemahkan bahwa partai-partai yang dimaksud itu tak lain adalah Partai Golkar dan PKS yang ikut aktif mengusung pelaksanaan hak angket mengenai Mafia Perpajakan di DPR pekan lalu.
Terutama bersumber dari tokoh-tokoh Partai Demokrat, isu reshuffle kabinet menggelinding. Dan karena Partai Golkar maupun PKS memiliki representasi yang yang cukup besar di kabinet, maka ‘antrian’ masuk kabinet itu pun cukup panjang. Gerindra yang fraksinya di DPR tidak ikutan mendukung hak angket mengenai mafia perpajakan, disebut-sebut akan menempatkan kader-kadernya di kabinet. Gerindra agaknya mengincar setidaknya dua kursi yang dalam kaitan potensi sumber dana amat menjanjikan, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN.
Sementara itu, masuk-tidaknya kader PDIP ke dalam koalisi dan kabinet, menjadi cerita tersendiri yang setengah absurd. Konon SBY menawarkan, dan Taufik Kiemas bersama puterinya, Puan Maharani ‘menyambut’ dan terlibat sejumlah pertemuan, baik dengan Hatta Rajasa maupun SBY sendiri. Suami Megawati Soekarnoputeri ini memang sejak lama memang tak menutup-nutupi ambisinya masuk ke dalam kekuasaan negara dengan cara dan kompromi apapun. Untuk dirinya, Taufik telah meraih kursi Ketua MPR walau ketika telah duduk di sana, berkali-kali ia menampilkan kegamangan dan kecanggungan. Tapi 9 dari 10 kemungkinan, sang penentu, Megawati Soekarnoputeri, akan tetap tak mau berjalan bersama SBY, melanjutkan kisah kesumat lama.
ENTAH pentas politik dengan lakon pembersihan koalisi dan reshuffle kabinet ini akan berakhir dengan suatu anti klimaks sebagai bagian dari politik gertak sambal, entah justru dengan suatu kejutan di hari ke-sembilan, akan segera kita ketahui. Tapi apapun itu, lagi-lagi kita dihidangi perilaku politik konyol, yang nyata-nyata memperlihatkan dikedepankannya politik kepentingan di atas segalanya. Pertunjukan politik semacam ini telah cukup meletihkan publik, tidak produktif, mengganggu fokus dari hal-hal yang lebih penting, dan lakon seperti ini adalah untuk kesekian kalinya selama beberapa tahun ini. Padahal, sudah terlalu banyak hal-hal meletihkan ditumpahkan ke pundak rakyat, mulai dari masalah korupsi, kegagalan penegakan hukum, kegagalan pelayanan kesehatan, kegagalan bidang ketenagakerjaan dan penyediaan lapangan hidup, kegagalan pemerataan pendidikan, sampai ke soal-soal ‘kecil’ seperti yang dicatat pada kisah di bagian penutup berikut ini.
GAJAH TAMAN SAFARI. Ke Taman Safari menamai anak gajah, ke Istana Cipanas untuk reuni Angkatan 1973 Akabri. Kenapa tidak naik heli saja ke Cipanas, dan berkunjung di hari lain ke Taman Safari?
Akhir pekan kemarin ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan berkunjung ke Taman Safari di jalur wisata Puncak (Cisarua) untuk menamai anak gajah yang baru lahir dan ke Istana Cipanas untuk acara reuni dengan Angkatan 1973 Akabri –angkatannya tempo dulu sewaktu menjadi Taruna. Daerah-daerah tersebut dikenal sebagai daerah rawan macet setiap akhir pekan. Tanpa kehadiran Presiden menggunakan jalur itu pun kemacetan selalu terjadi. Dan kemarin, ketika rombongan Presiden ikut menggunakan jalur tersebut, lalu lintas lumpuh total, berlipat-lipat kali dari kemacetan biasanya. Sejumlah pengguna lain, terjebak tak bisa bergerak selama belasan jam. Meletihkan. Kenapa risiko seperti ini tak pernah mau diperhitungkan oleh protokol dan pengamanan Presiden, dan tidak dimasukkan sebagai bagian tenggang rasa seorang pemimpin kepada rakyatnya? Kenapa tidak naik heli saja ke Cipanas, atau berkunjung di hari lain ke Taman Safari?