Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Aburizal Bakrie

PERJUANGAN Aburizal Bakrie mengejar ‘mandat langit’, cukup berkemungkinan menjadi kisah ‘kemalangan politik’ bagi dirinya maupun bagi partai yang dipimpinnya. Ini terkait dengan berbagai peristiwa ‘kalah’ langkah tokoh-tokoh Golkar di pasar ‘dagang sapi’ politik. Tetapi jangan salah, dengan makin mencuatnya begitu banyak fakta bahwa Pemilihan Umum legislatif yang baru lalu ini ternyata kacau balau luar biasa –karena massivenya perilaku manipulatif para pelaku politik–  maka 50 berbanding 50, secara keseluruhan justru politik Indonesia yang berpeluang berubah menjadi kemalangan dan tragedi kenegaraan sesungguhnya.

Suatu salah penanganan akan menggelindingkan proses delegitimasi menuju ketidak-absahan pemilu, yang berakhir sebagai suatu chaos politik. Belum tentu bisa dibendung. Suatu gelanggang ‘permainan’ (politik) yang penuh ‘penjahat’ (politik) dengan sendirinya akan lebih berkemungkinan sepenuhnya menjadi dunia ’kejahatan’ (politik) sejati. Ini memerlukan suatu ulasan dan analisa tersendiri dalam suatu kesempatan tersendiri.

ARB DAN PRABOWO DALAM TEMPO. "Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh."
ARB DAN PRABOWO DALAM TEMPO. “Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh.”

HINGGA hitungan hari menjelang batas pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, 18-20 Mei 2014, baru dua calon Presiden yang mendekati kepastian pencalonannya, yaitu Joko Widodo (PDIP) dan Prabowo Subianto (Gerindra). Tapi siapa calon Wakil Presiden dan partai-partai mana yang akan berkoalisi dengan keduanya, meski mulai mengerucut, puncak kerucutnya belum betul-betul lancip. Tawar-menawar di pasar politik belum final. Berkali-kali sudah tiba pada suatu keadaan seakan-akan final, tetapi hanya dalam hitungan hari bahkan hanya dalam hitungan jam, berubah lagi.

Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh darinya.

Lalu, Jokowi. Dalam berita, Jokowi bukan hanya mendua, tetapi diberitakan punya tiga calon Wakil Presiden. Salah satunya, Muhammad Jusuf Kalla –tokoh yang paling lanjut usianya dalam bursa kepemimpinan nasional kali ini, dan mungkin kandidat tertua sepanjang sejarah politik Indonesia– mantan Wakil Presiden, mantan Calon Presiden dan mantan Ketua Umum Partai Golkar. Secara khusus menyangkut JK, perlu pula dicatat bahwa di internal PDIP bukannya tak ada kekuatiran tentang potensi Wapres JK bertindak ‘melampaui’ Presiden Jokowi kelak. Sama dengan yang pernah dialami SBY 2004-2009. Dua calon lainnya, Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang didukung PKB, dan Abraham Samad yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua KPK. Dengan berita itu, beberapa nama lain yang disebut-sebut sebelumnya, telah tersisih. Misalnya dua purnawirawan jenderal, yakni Ryamisard Ryacudu dan Luhut Binsar Pandjaitan, meski keduanya memenuhi kriteria ‘luar Jawa’ yang disebutkan Jokowi beberapa waktu lalu.

LALU dalam situasi apa Aburizal berada? Pekan lalu, pertemuannya dua kali berturut-turut dengan Prabowo Subianto, menimbulkan spekulasi seakan-akan segera mewujudnya duet ARB dengan Prabowo. Kalau kini spekulasi itu sudah ditenggelamkan oleh suatu spekulasi lain, berarti Aburizal masih ‘sendiri’. Berpasangan dengan Golkar –yang menurut hitungan resmi KPU menempati urutan perolehan suara kedua terbesar, sebesar 18.432.312 suara atau 14,75 persen dari seluruh suara pemilih– tampaknya tidak begitu menarik. Masih kalah daya tariknya dibandingkan Gerindra yang ada di urutan ketiga dengan perolehan 14.760.371 (11,81 persen).

Setidaknya ada empat sebab penting yang menurut kalkulasi partai lain tidak menguntungkan bila berkoalisi dengan Golkar. Pertama, khalayak politik tahu, bahwa walau terlihat solid di etalase kehidupan politik, Golkar sebenarnya rapuh kekompakannya. Setidaknya ada tiga faksi yang dalam banyak hal berbeda ‘kemauan’ di tubuh Golkar, yaitu faksi ARB, faksi Akbar Tandjung dan faksi JK. Ditambah sisa-sisa faksi Golkar putih. Faksi JK sebenarnya adalah suatu faksi yang mirip kembang anggrek yang dulu berhasil dicangkokkan di batang pohon Beringin melalui Munas Golkar Desember 2004 di Denpasar. Anggrek adalah tanaman epifit, memang tidak ‘mengisap’ makanan dari tempat tumpangan, namun menciptakan peluang hidup yang aman di sana. Faksi dengan analogi epifit ini kemudian ditumbuh-suburkan 2004-2009, di masa Jusuf Kalla merangkap jabatan Wakil Presiden RI dengan jabatan Ketua Umum Golkar. Sepanjang catatan Sudharmono SH saat dirinya menjadi Ketua Umum Golkar 1983-1988, Muhammad Jusuf Kalla berada dalam struktur Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

 Hal kedua yang membuat Golkar tidak menarik diajak berkoalisi, adalah fakta bahwa elektabilitas figur ARB tidak cukup tinggi. Kalah oleh beberapa tokoh lainnya. Selain itu, pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Golkar, dianggap lebih merupakan hasil faitaccompli internal. Bukan melalui mekanisme konvensional partai tersebut. Tentu tidak aman dan tidak nyaman berkoalisi dan atau berpasangan dengan suatu keluarga besar atau seseorang yang memiliki masalah internal. Apalagi, partai-partai yang ada saat ini pada umumnya sangat mengutamakan faktor keamanan benefit dan keuntungan dari suatu persekutuan, bukan untuk berbagi kesulitan.

Berikutnya, sebagai faktor ketiga, tokoh-tokoh lingkaran terdekat ARB dianggap telah mengisolasi Aburizal dari persentuhan dengan berbagai kelompok lain yang bisa memperkaya visi politik dan kepemimpinannya sebagai Ketua Umum sebuah partai besar. Termasuk mengisolasi Aburizal ‘Ical’ Bakrie dari kelompok teman-teman perjuangannya di masa lampau di Bandung (dan Jakarta) yang banyak di antaranya punya kualitas prima dalam berbagai pergerakan sosial-politik dan profesi. Dan di lain pihak, lingkaran baru itu justru tidak punya kemampuan melakukan manuver politik dengan kualitas yang dibutuhkan sebuah partai sekaliber dan seberpengalaman Golkar yang telah berusia setengah abad. Banyak kalangan di lingkaran ‘baru’  di sekitar ARB disindir sekedar berfungsi sebagai penggembira atau pengiring arak-arakan karnaval saja.

Pilihan Golkar dan ARB beserta lingkaran politiknya untuk tiba-tiba menggunakan isu kejayaan masa lampau Golkar bersama Soeharto, sebagai salah satu bahan kampanye Pemilihan Umum yang baru lalu, menyisakan suatu tanda tanya besar. Kenapa Golkar dan ARB tiba kepada pilihan seperti itu? Padahal, seperti halnya dengan ketokohan Soekarno, rakyat Indonesia masih mendua mengenai ketokohan Soeharto. Butuh waktu lama untuk menjernihkan situasi dengan persepsi mendua terhadap dua tokoh itu. Kedua tokoh tersebut, adalah tokoh besar yang punya jasa besar terhadap bangsa dan negara di zamannya masing-masing, namun jangan dilupakan mereka pun masing-masing punya kekhilafan dan kesalahan besar saat memimpin negara. Dan itu sebabnya mereka diturunkan dari panggung kekuasaan.

Terakhir dan tak kalah pentingnya, peristiwa Lapindo dan penanganan penyelesaiannya yang berkepanjangan, telah menjadi beban yang harus dipikul dalam jangka waktu lama oleh Abrurizal Bakrie. Jika di awal peristiwa Aburizal bertindak cepat memberikan solusi tuntas, persoalannya mungkin lain. Khalayak menilai, bahwa Aburizal harus dipaksa-paksa dulu sebelum memberikan tanggung jawab. Itupun tidak tuntas.

KETIDAKBERHASILAN Partai Golkar untuk mencapai angka tinggi perolehan suara, juga disebabkan ketidakberhasilan menyampaikan hal-hal konseptual yang menawarkan solusi bagi pemecahan berbagai masalah nasional. Dalam bagian tertentu, Golkar melalui sejumlah kadernya justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Misalnya, dalam isu korupsi, tidak sedikit kadernya malahan menjadi sasaran isu korupsi. Tidak beda dengan Partai Demokrat, PKS atau bahkan PDIP sekalipun.

Iklan-iklan televisi yang gencar, tidak banyak menolong. Selain salah arah dan salah konsep, iklan-iklan sosialisasi Golkar maupun ketokohan ARB terlalu banyak mengandung solipsisme. Dalam beriklan dan berkampanye, ARB dan para petinggi Golkar terlalu mendasarkan diri pada “apa yang saya pikir tentang saya”. Mengabaikan “apa yang orang lain pikirkan mengenai saya” dan tidak berusaha mengolah “apa yang saya pikir mengenai pikiran orang lain tentang saya”. Tetapi pembawaan seperti ini bukan monopoli ARB dan para petinggi Golkar saja, melainkan juga menghinggapi sebagian terbesar tokoh yang sedang terobsesi dan mati-matian mengejar ‘mandat langit’ melalui suara rakyat.

PELUANG apa yang tersisa bagi Aburizal Bakrie? Peluang itu hanya bisa datang dengan suatu keajaiban politik, yang bisa tercipta antara lain bila upaya PDIP dan Gerindra mendadak gagal menyusun koalisi untuk menopang Jokowi maupun Prabowo Subianto menuju kursi RI-1. Minimal, gagal menemukan tokoh Wakil Presiden yang tepat untuk diri mereka masing-masing. Elektabilitas Jokowi maupun Prabowo tidak terlalu luar biasa untuk bisa membuat faktor siapa pendamping mereka masing-masing menjadi tidak penting. Pilihan tepat dalam menentukan pendamping, sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap keterpilihan mereka. Keajaiban politik seperti ini, di atas kertas memang tipis, tapi kita tidak bisa menebak ego ipso solus yang diidap para tokoh pimpinan partai yang ada saat ini dan keanehan apa yang bisa diakibatkannya. Contohnya, meskipun sudah menawarkan Mahfud MD, bukannya tak ada hasrat di tubuh PKB untuk memajukan Ketua Umum Muhaimin Iskandar sebagai calon Wakil Presiden. Dalam pada itu, siapa yang bisa mengatakan bahwa PDIP takkan mungkin mendadak mengajukan Puan Maharani misalnya, sebagai Wakil Presiden mendampingi Jokowi demi kelanjutan trah Soekarno?

Setipis-tipisnya peluang, Aburizal Bakrie dan Golkar juga masih mungkin bertemu di satu titik dengan Partai Demokrat yang sama ‘tertinggal’nya dalam tawar menawar di pasar politik ‘dagang sapi’. Partai Demokrat adalah peraih posisi keempat dalam perolehan suara dalam pemungutan suara 9 April yang lalu, 12.728.913 suara (10,19). Digabungkan dengan Golkar, relatif memenuhi syarat untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dua partai ini, banyak persamaannya, termasuk dalam menuai isu dan sorotan. Di tengah menipisnya peluang, menurut berita terbaru, Ical bertemu Jokowi di Pasar Gembrong, Johar Baru Jakarta Pusat, pada hari terakhir menjelang pendeklarasian koalisi bagi calon presiden dari PDIP itu. Ical sedang mencoba membuka satu peluang baru untuk dirinya? Atau memilih menjadi ‘king maker‘ saja bagi tokoh Golkar yang lain untuk kursi RI-2? 

NAMUN, terlepas dari semua itu, keajaiban politik yang sangat tidak diharapkan, tentu adalah terciptanya situasi chaos akibat kegagalan penanganan sengketa dan manipulasi dalam pemilihan umum legislatif yang lalu. Bila tidak hati-hati, itu bisa saja terjadi. (socio-politica.com)

One thought on “Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Aburizal Bakrie”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s