Tag Archives: Siti Hardiyanti Rukmana

Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (1)

George J. Aditjondro*

Catatan Pengantar: Tulisan George Junus Adicondro ini yang sebenarnya adalah sebuah makalah, tentang konflik di Maluku (Ambon) pada akhir 1990an, tak lama setelah lengsernya Soeharto,

SALAH SATU KERUSUHAN DI AMBON, SEPTEMBER 2011. Dalam dua setengah tahun sejak 1999 menelan korban jiwa 9000 orang. "....pembunuhan terhadap para preman Ambon Muslim dan Kristen itu mengakibatkan kedua kelompok itu bertekad melakukan balas dendam terhadap satu sama lain di kampung halaman mereka di Maluku." (foto-foto, download)
SALAH SATU KERUSUHAN DI AMBON, SEPTEMBER 2011. Dalam dua setengah tahun sejak 1999 menelan korban jiwa 9000 orang. “….pembunuhan terhadap para preman Ambon Muslim dan Kristen itu mengakibatkan kedua kelompok itu bertekad melakukan balas dendam terhadap satu sama lain di kampung halaman mereka di Maluku.” (foto-foto, download)

kini banyak disajikan kembali melalui berbagai media di jaringan internet. Penyebutan sejumlah nama yang disebut George sebagai ‘orang-orang Jakarta’, tentu menjadi salah satu bagian paling menarik. Terutama karena nama-nama itu tak asing dalam dunia politik Indonesia selama ini, dan banyak di antaranya masih bertahan dalam dunia politik. Ada pula pemilik uang yang dikenal sebagai penyandang dana bagi banyak tokoh politik dan kekuasaan dari masa ke masa. Selain itu, bahkan, beberapa di antaranya saat ini siap terjun dalam arena perebutan kursi kekuasaan RI- 1dan berbagai posisi penting lainnya di negara ini tahun 2014. Apakah dengan masih berkiprahnya tokoh-tokoh yang sama dari waktu ke waktu dalam kehidupan politik hingga kini, perilaku politik ‘memelihara’ konflik di tengah masyarakat bukannya akan bertahan sebagai suatu pola yang menetap?

TRAGEDI kerusuhan sosial di Maluku, menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Ichsan Malik, dalam dua setengah tahun terakhir telah menelan lebih dari 9000 korban jiwa. Ia menyebutnya sebagai ‘tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia’ belakangan ini (Kompas, 30 Maret 2001).

Pandangan umum yang beredar di Indonesia adalah bahwa konflik itu murni timbul karena persaingan antara kedua kelompok agama –Kristen dan Islam– di Maluku, atau karena ulah ‘sisa-sisa kelompok separatis RMS’ di sana. Berbeda dengan pandangan umum itu, penelitian kepustakaan dan wawancara-wawancara penulis dengan sejumlah sumber di Maluku dan di luar Maluku menunjukkan bahwa tragedi itu secara sistematis dipicu dan dipelihara oleh sejumlah tokoh politik dan militer di Jakarta, untuk melindungi kepentingan mereka.

Dalam makalah ini, penulis akan menggambarkan bagaimana konflik itu dipicu dengan bantuan sejumlah preman Ambon yang didatangkan dari Jakarta, lalu mengalami eskalasi setelah kedatangan ribuan anggota Lasykar Jihad dari Jawa. Intensitas konflik dipelihara oleh satu jaringan militer aktif dan purnawirawan, yang terentang dari Jakarta sampai ke Ambon. Selanjutnya, penulis juga akan mengungkapkan agenda militer dalam memelihara kerusuhan-kerusuhan itu.

Akhirnya, dalam kesimpulan penulis akan mengajukan beberapa usul untuk penyelesaian kasus Maluku.

 Jaringan Preman Ambon

Pada tahun 1980-an, seorang preman Ambon beragama Kristen di Jakarta, Ongkie Pieters membangkitkan rasa hormat dan ketakutan di kalangan kaum muda Ambon, tanpa menghiraukan agama mereka. Meskipun penghidupan mereka didapatkan lebih dengan menggunakan otot ketimbang otak, para preman Ambon di Jakarta masih menghormati tradisi pela (persekutuan darah antara kampung Kristen dan kampung Islam). Kalau berkelahi, mereka sering memakai ikat kepala merah, yang lebih merupakan simbol ke-Ambon-an yang berakar dalam kultur Alifuru ketimbang lambang agama Samawi yang mereka anut.

Hal ini secara radikal berbeda dengan makna yang kini diberikan terhadap ‘merah’ sebagai simbol Kristen dan ‘putih’ sebagai simbol Islam. Tidak berapa lama, seorang preman Ambon yang lain, Milton Matuanakotta muncul ke tengah-tengah gelanggang. Ia memiliki banyak pendukung di kalangan kaum muda baik di kalangan Ambon Kristen maupun Muslim, dan dengan cepat menjadi lebih populer di kalangan preman Ambon di Jakarta daripada pendahulunya. Pada saat itu, orang-orang Ambon Muslim beranggapan perlu memiliki ‘pahlawan’ mereka sendiri, maka mereka memilih Dedy Hamdun, seorang Ambon keturunan Arab. Figur ini agak kontroversial, sebab di satu sisi ia aktif berkampanye untuk PPP, tetapi di sisi lain suami artis Eva Arnaz itu juga bekerja untuk membebaskan tanah bagi bisnis properti Ibnu Hartomo, adik ipar bekas Presiden Soeharto.

Entah karena aktivitas politik atau bisnisnya, di awal 1998 Dedy Hamdun diculik bersama sejumlah aktivis PRD, Aldera, dan PDI-P oleh satu regu Kopassus bernama Tim Mawar yang berada di bawah komando Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto waktu itu. Hilangnya Hamdun setelah 3 1/2 bulan dalam tahanan Tim Mawar (Siagian 1999: 20-21) mengubah peta politik preman Ambon di Jakarta. Kepemimpinan pemuda Muslim Maluku diambilalih oleh Ongen Sangaji, seorang preman Maluku Muslim yang juga anggota Pemuda Pancasila. Secara ironis, dalam bersaing untuk loyalitas di kalangan kaum muda Maluku di Jakarta kedua pemimpin preman itu juga bersaing dalam mendapatkan akses ke bisnis keamanan pribadi anak-anak Soeharto. Milton memperoleh akses ke mereka melalui Yorris Raweyai, wakil ketua Pemuda Pancasila yang berasal dari Papua Barat dan dekat dengan Bambang Trihatmodjo.

Selain itu, Milton adalah ipar Tinton Soeprapto, pimpinan arena pacuan mobil milik Tommy Soeharto di Sentul, Bogor. Sementara itu, Ongen lebih dekat ke Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut melalui Abdul Gafur, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga di zaman pemerintahan Soeharto. Anak buah Ongen terutama berasal dari desa-desa Pelauw dan Kalolo di Haruku. Menjelang Sidang Istimewa MPR November 1998, ketika B.J.Habibie berusaha mencari mandat untuk melegitimasi kepresidenannya, sejumlah politisi, jendral dan usahawan menciptakan kelompok paramiliter baru untuk menangkal aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang menentang pencalonan kembali Habibie.

Kelompok Pam Swakarsa ini antara lain terdiri dari preman-preman Ambon Muslim yang direkrut oleh Ongen Sangaji. Dukungan keuangan untuk kelompok ini berasal dari keluarga Soeharto dan seorang pengusaha keturunan Arab, Fadel Muhammad, yang dekat dengan keluarga Soeharto. Sementara dukungan politis untuk kelompok itu berasal dari Jenderal Wiranto, Menteri Pertahanan waktu itu, Mayor Jenderal Kivlan Zein, Kepala Staf KOSTRAD waktu itu, Abdul Gafur, Wakil Ketua MPR waktu itu, dan Pangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman.

Untuk meningkatkan militansi para milisi yang miskin dan berpendidikan rendah itu, mereka diindoktrinasi bahwa para aktivis mahasiswa adalah “orang-orang komunis” yang didukung oleh jendral dan pengusaha Kristen. Dengan demikian banyak anggota PAM Swakarsa beranggapan bahwa mereka ber’jihad’ melawan “orang kafir”. Kenyataan bahwa bentrokan yang paling sengit antara para mahasiswa dan tentara terjadi di kampus Universitas Katolik Atmajaya, hanya karena kedekatan kampus itu dengan gedung parlemen, memberikan kesan kredibilitas dari propaganda sektarian dan anti komunis ini.

Dalam kerusuhan Semanggi menjelang Sidang Istimewa MPR itu, empat orang anak buah Ongen yang berasal dari Kailolo (Haruku), Tulehu dan Hitu (Ambon), dan Kei (Maluku Tenggara), dibunuh oleh penduduk setempat yang berusaha melindungi para aktivis mahasiswa dari serangan kelompok milisi Muslim itu. Maka terbukalah peluang untuk menghasut preman-preman Ambon Islam itu untuk melakukan balas dendam. Konyolnya, balas dendam itu tidak diarahkan terhadap para aktivis mahasiswa, tetapi terhadap sesama preman Ambon yang beragama Kristen. Kesempatan itu timbul ketika terjadi kerusuhan di daerah Ketapang, Jakarta Pusat, pada hari Minggu dan Senin, 22-23 November 1998.

Apa yang dimulai adalah percekcokan antara para satpam Ambon Kristen yang menjaga sebuah pusat perjudian dan penduduk setempat segera berkembang menjadi kerusuhan anti Kristen di mana lusinan gereja, sekolah, bank, toko, dan sepeda motor dihancurkan. Ternyata, kekuatan-kekuatan dari luar dikerahkan untuk mengubah konflik lokal itu menjadi konflik antar-agama. Kekuatan-kekuatan luar ini mencakup sekelompok orang yang mirip orang Ambon, yang menyerang lingkungan Ketapang pada jam 5.30 pagi. Mereka dibayar Rp 40.000 ditambah makan tiga kali sehari untuk menteror orang-orang Muslim setempat. Meskipun salah seorang dari mereka yang tertangkap adalah orang Batak yang kemudian disiksa dan dibunuh oleh penduduk setempat, namun mayoritas preman ini adalah orang Ambon anggota PAM Swakarsa bentukan Gafur. Mereka yang menyerang semua penduduk setempat yang terlihat melintas di sekitarnya dan membakar semua sepeda motor yang diparkir di depan mesjid setempat yang menyebabkan jendela-jendela mesjid itu pecah.

Dipicu oleh kabar angin bahwa sebuah mesjid telah dibakar oleh ‘orang-orang kafir’, penduduk Muslim setempat balik menyerang orang-orang luar tadi dengan dukungan para anggota Front Pembela Islam (FPI) yang didatangkan dari berbagai tempat di Jakarta. Selama kerusuhan ini, enam orang meninggal korban main hakim sendiri oleh penduduk Muslim setempat dan para anggota FPI. Tiga orang dari korban itu adalah orang-orang Kristen dari Saparua dan Haruku. Memang tidak jelas apakah rangkaian pembunuhan terhadap para preman Ambon di Senayan dan Ketapang itu telah dipersiapkan oleh sekutu-sekutu politik Soeharto. Yang jelas, kerusuhan di Ketapang mengukuhkan monopoli sebuah pusat perjudian lain di jalan Kunir, Jakarta. Pusat perjudian itu dikelola oleh Tomy Winata, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan teman dekat Yorris Raweyai dari Pemuda Pancasila.

Terlepas dari motif di balik pembakaran pusat perjudian di Ketapang, pembunuhan terhadap para preman Ambon Muslim dan Kristen itu mengakibatkan kedua kelompok itu bertekad melakukan balas dendam terhadap satu sama lain di kampung halaman mereka di Maluku. Dengan menggunakan kerusuhan Ketapang sebagai alasan, aparat keamanan di Jakarta menangkap semua orang Maluku yang tidak memiliki KTP, dan menaikkan mereka ke kapal penumpang sipil maupun Angkatan Laut yang berlayar ke Ambon. Menurut seorang sumber penulis yang berlayar dengan KM Bukit Siguntang ke Ambon pada bulan Desember 1998, sekelompok preman Ketapang yang menumpang di geladak kapal dengan suara keras menggembar-gemborkan niat mereka untuk membalas dendam terhadap musuh mereka di Ambon.

Di mata orang awam, langkah-langkah aparat keamanan ini tidak tampak mencurigakan, karena banyak orang Ambon Kristen pulang ke kampung halamannya untuk merayakan Natal, sementara banyak orang Ambon Muslim juga merencanakan untuk melalui bulan puasa dan liburan Idul Fitri bersama sanak keluarga di kampung mereka.

Baru kemudian tersebar berita bahwa antara 165 dan 600 pemuda Ambon telah berlayar pulang ke Ambon selama akhir tahun 1998. Di antara mereka terdapat preman Ambon Kristen yang terlibat dalam serangan fajar di Ketapang, maupun Sadrakh Mustamu, kepala keamanan di pusat perjudian Ketapang. Ongen Sangaji dan Milton Matuanakotta juga termasuk preman Ambon yang pulang ke Ambon pada akhir tahun 1998, untuk menyulut kerusuhan di sana.

*George Junus Aditjondro, seorang jurnalis –di Majalah Tempo– yang kemudian menjadi seorang akademisi. Menulis serial buku “Gurita Cikeas”.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2

Perintah Presiden Soeharto Kepada Jenderal Wiranto, Mei 1998

MENJADI host dalam sebuah talk show di sebuah stasiun televisi swasta, dua hari setelah lebaran, Dr Tanri Abeng MBA memberikan penilaian bahwa Jenderal (Purn) Wiranto telah bertindak tidak cerdas karena tak menggunakan Instruksi Presiden (Soeharto) No. 16, Mei 1998, untuk ‘mengambilalih’ kendali kekuasaan. Sementara pada masa sesudah itu, Wiranto berjuang mati-matian dalam kancah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada dua kesempatan. Padahal, isi Inpres di tahun 1998 tersebut, katanya, sangat memungkinkan digunakan untuk meraih kekuasaan. Tanri agaknya menganalogikan posisi Jenderal Wiranto tahun 1998 itu dengan posisi Mayor Jenderal Soeharto yang mengambialih kekuasaan setelah mendapat Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden/Panglima Tertinggi ABRI Soekarno.

Instruksi nomor 16 itu diambil Presiden Soeharto 16 Mei 1998, sehari sepulangnya dari Kairo, dalam rangka pembentukan ‘Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional’ (KOPKKN) yang berwenang mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keamanan dan ketertiban. Kala itu, Jakarta dilanda kerusuhan –pembakaran, kekerasan dan perkosaan berbau etnis– menyusul insiden 13 Mei 1998 yang menewaskan 4 mahasiswa di depan kampus Universitas Trisakti Grogol Jakarta. KOPKKN ini meniru model lembaga keamanan extra ordinary ‘Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban’ (Kopkamtib) yang pertama kali dibentuk oleh Presiden Soekarno namun justru efektif digunakan ABRI sebagai alat pembasmi seluruh gerakan anti kekuasaan di separuh lebih masa kekuasaan Soeharto.

POLISI VERSUS MAHASISWA DI DEPAN KAMPUS TRISAKTI. “Sembilan dari sepuluh kemungkinan, Jenderal Wiranto akan tergilas sebagai tumbal bila ia menggunakan Inpres 16 mengambil alih kekuasaan negara” – (Dokumentasi foto Wikipedia).

Panglima ABRI –yang Mei 1998 itu dijabat Jenderal Wiranto– ditunjuk sebagai Panglima KOPKKN dan KSAD Jenderal Subagyo HS menjadi wakilnya. Menjawab Tanri, menurut Wiranto, substansi surat berisi instruksi Presiden itu, “memungkinkan saya mengambilalih negara”. Namun, baik Wiranto maupun Subagyo HS, tampaknya diliputi ‘keraguan’ dan tidak berani menggunakan Inpres tersebut dalam konteks pengambilalihan negara. ‘Keraguan’ kedua jenderal itu, disebabkan oleh alasan berbeda satu dengan yang lainnya, khususnya Jenderal Wiranto yang agaknya saat itu sudah punya agenda politik sendiri. “Permasalahannya adalah bukan berani atau tidak berani, bukan mau atau tidak mau”, ujar Wiranto, tetapi berdasarkan suatu kesadaran dan pertimbangan apakah mengambilalih itu mempunyai manfaat atau tidak bagi negara dan rakyat. “Kalau saya ambil alih, negara ini saya umumkan dalam keadaan darurat dengan pengendalian militer”. Wiranto memaparkan hitung-hitungannya, “Bila saya mengambil alih negara berdasarkan sepucuk surat saja, berarti rakyat merasa belum ada reformasi”.

Pada tahun 1998 itu, sepanjang yang bisa dicatat, ketidakpuasan terhadap rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun lamanya cukup meluas, dan banyak yang menginginkan perubahan. Apa yang terjadi bila Wiranto menggunakan Inpres 16 dengan cara ala Super Semar? “Saya akan melanjutkan menghadapi rakyat yang tidak puas. Saya bisa menggunakan Angkatan Bersenjata saya, yang berarti akan mengadu rakyat dengan Angkatan Bersenjata. Itu, jahat sekali”. Tanri Abeng yang sempat sejenak menjadi menteri dalam masa kepresidenan BJ Habibie pasca lengsernya Soeharto 1998, secara akrobatik ‘mengapresiasi’ sikap Jenderal Wiranto di bulan Mei 1998 itu sebagai suatu sikap kenegarawanan.

Sementara itu, bagi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan yang ketika itu menjadi Penasehat Wakil Presiden bidang Pertahanan Keamanan –setelah tergusur dari karir militernya– apapun alasannya, penolakan Jenderal Wiranto untuk melaksanakan Inpres 16 adalah suatu subordinasi. “Selambat-lambatnya ia harus mengundurkan diri dalam jangka waktu delapan hari”. Bahkan, saat menolak perintah Panglima Tertinggi, Jenderal Wiranto “pada saat itu juga harus langsung mengundurkan diri” (Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Penerbit Buku Kompas, 2009). Faktanya, Jenderal Wiranto tidak melakukan kedua-duanya: Tidak melaksanakan perintah Presiden/Panglima Tertinggi, tapi tidak juga mengundurkan diri.

Sewaktu Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres 16 itu, sebenarnya posisinya tidak lagi powerful seperti halnya pada beberapa masa sebelumnya. Praktis dukungan internal ABRI terhadap dirinya jauh melemah, setelah untuk beberapa lama para jenderal dan sejumlah petinggi ABRI merasa telah ditinggalkan dalam pengambilan beberapa keputusan penting maupun dalam hal pembagian rezeki. Selain itu, melalui berbagai benturan kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi, sejak beberapa lama tubuh ABRI sendiri tidak cukup padu, terpecah-pecah atas berbagai faksi dari waktu ke waktu. Dalam beberapa tahun terakhir basis dukungan bagi kekuasaan Soeharto telah bergeser ke wilayah kalangan politik Islam, yang diorganisir dan direpresentasikan oleh ICMI maupun tokoh politik Islam yang oportunis. Tetapi pada sisi lain, Soeharto pun tak sepenuhnya berhasil menghilangkan syak wasangka sejumlah kelompok kekuatan politik Islam lainnya atas dirinya. Mereka yang disebut terakhir ini tetap tak bisa melupakan sikap dan tindakan politik Soeharto selama ini yang dianggap selalu memojokkan kekuatan politik Islam.

Tokoh-tokoh ABRI generasi baru pada umumnya tidak lagi memiliki kaliber tertentu seperti pada masa-masa sebelumnya, khususnya bila dibandingkan dengan jenderal-jenderal pra regenerasi, antara lain karena terbuai dalam kenikmatan kekuasaan –ikut bergelimang dalam KKN– hasil warisan dwifungsi yang sudah berubah arah dan tujuan. Mereka yang masih berada di lingkaran Soeharto, termasuk tokoh-tokoh sipil, adalah mereka yang masih bisa ikut menikmati rezeki-rezeki kekuasaan. Dan karena ukurannya adalah faktor porsi kenikmatan kekuasaan, maka mereka pun cenderung oportunis. Itu sebabnya tatkala kapal Soeharto oleng, banyak yang duluan berloncatan meninggalkan kapal sebelum karam, seperti misalnya eksodus yang dilakukan Ginandjar Kartasasmita dan rombongannya di kabinet terakhir Soeharto, maupun ayunan bandul kesetiaan Harmoko dan kawan-kawan di lembaga perwakilan rakyat. Kesetiaan sejumlah jenderal lainnya sudah lebih berwarna-warni, sebagaimana pikiran dan perilaku politiknya pun menjadi lebih beraroma campur sari –seperti yang antara lain terlihat dalam keterlibatan sejumlah jenderal dalam politik ‘memberi angin’ bagi PDIP dan Megawati Soekarnoputeri maupun kedekatan jenderal tertentu kepada kelompok politik Islam yang tidak pro penguasa.

Last but not least, selain basis dukungan yang makin menyempit, Soeharto juga menghadapi kejenuhan sebagian besar rakyat terhadap dirinya, yang telah terlampau lama berkuasa. Praktek KKN di lingkungan kalangan kekuasaan beserta keluarga dan kerabat, menciptakan ketidakadilan sosial-ekonomi, ketidakadilan politik dan ketidakadilan hukum. Republik menjadi hanya milik segelintir orang yang menikmati porsi terbesar hasil pembangunan, sementara mayoritas rakyat menikmati porsi terkecil hasil pembangunan tersebut.

Jadi, apabila Jenderal Wiranto memilih untuk menjadi pengemban Inpres 16, tidak boleh tidak ia akan dianggap membela dan mempertahankan Soeharto –yang pada bulan-bulan terakhir di awal 1998 makin kuat tanda-tanda kejatuhannya. Konotasinya berbeda diametral dengan posisi Jenderal Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966, yang dianggap menyelamatkan negara dengan mengambil alih kekuasaan dari seorang tiran. Dengan melaksanakan Inpres 16, Jenderal Wiranto akan mengambil seluruh beban dosa Soeharto dan harus membayar seluruh tagihan. Ia takkan kuat, karena ABRI yang dipimpinnya kala itu bukan lagi suatu ABRI yang padu, melainkan ABRI yang terpecah-pecah dalam berbagai faksi yang berbeda kemauan. Apakah ia punya kemampuan kualitatif dan apakah ia akan sanggup menjalankan wewenangnya sesuai Inpres 16 Mei 1998, sementara di luar kendalinya ada misalnya kelompok Letnan Jenderal Prabowo yang berposisi sebagai Panglima Kostrad, dan ada Kopassus yang di luar rentang kendalinya? Selain itu, apakah saat itu ia bisa memastikan ke mana kiblat Panglima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin, dan mengetahui persis sikap politik dan kepentingan angkatan-angkatan lain –Angkatan Udara, Angkatan Lau/Marinir dan Kepolisian– selain memastikan kiblat KSAD Jenderal Subagyo HS? Di lingkaran jenderal istana pun ada alur-alur berbeda. Jenderal Hartono yang dekat dengan puteri presiden Siti Hardiyanti Rukmana misalnya, tak sama kemauan politiknya dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang adalah menantu Soeharto.

Sembilan dari sepuluh kemungkinan, Jenderal Wiranto akan tergilas sebagai tumbal bila ia memilih untuk menggunakan Inpres 16 mengambil alih kekuasaan negara. Mungkin benar Wiranto tidak ‘cerdas’ seperti dikatakan Tanri Abeng, tapi ia bukan orang yang begitu tolol. Wiranto bahkan cukup cerdik dengan mencoba mendekati BJ Habibie sang Wakil Presiden. Tapi dalam kasus Wiranto dan Inpres 16 ini tampaknya faktor kenegarawanan tak ikut berperan. Pengelu-eluan Tanri Abeng terhadap Wiranto sebagai negarawan dalam kaitan ini, terlalu akrobatik. Sebagai host, Tanri agaknya merasa perlu sedikit akrobatik, meskipun menjadi tidak objektif dan akurat.

Terlepas dari itu, terminologi cerdas dan tidak cerdas yang digunakan Tanri Abeng dalam konteks Wiranto, kemana-mana juga takkan pernah tepat. Terasa menganggu, terlebih karena digunakan oleh seseorang yang dikenal tokoh profesional berpendidikan tinggi. Lebih tepat menggunakan terminologi cerdik dan tidak cerdik, lihai dan tidak lihai, atau paling tidak to the point menggunakan kata bodoh atau tidak pintar. Kata cerdas mengacu pada suatu keadaan kepintaran yang dilekati unsur  akal sehat, etika dan moral. Kepintaran tanpa lekatan akal sehat, etika dan moral, bukanlah cerdas, melainkan sekedar kecerdikan atau bahkan sekedar kelihaian dan kelicikan. Seorang penguasa yang menyalahgunakan wewenang dan melakukan korupsi, bukan seorang cerdas, tetapi licik dan culas, kalau bukan psikopat.

The Stories Ever Told: Soeharto dan Para Presiden Indonesia (4)

KEHADIRAN Ibas Edhie Baskoro, putera bungsu Susilo Bambang Yudhoyono, dalam kancah politik menjadi salah satu titik masuk bagi serangan-serangan terhadap sang Presiden. Karena Ibas tak punya rekam jejak yang mengesankan sebelum ini dalam dunia aktivisme, maka kemajuan pesatnya dalam dunia politik, khususnya melalui Partai Demokrat ‘milik’ sang ayahanda, tak bisa tidak dikaitkan orang dengan posisinya sebagai anak Presiden/Ketua Dewan Pembina. Selain itu, Partai Demokrat adalah partai yang baru berusia 10 tahun, dan Ibas sudah ikut di belakang lokomotif sang ayah sejak mulai partai itu berdiri, jadi tak ada halangan dalam hubungan ‘usia’ keikutsertaan dalam partai. Bedanya dengan tokoh Partai Demokrat lainnya, adalah bahwa yang lain itu, selain lebih tua dalam usia, kebanyakan adalah kaum migran dari partai politik lainnya, khususnya dari Partai Golkar. Dalam pada itu, Anas Urbaningrum yang relatif masih cukup muda dalam usia, sudah ‘tua’ dalam aktivisme, pernah menjadi Ketua Umum PB HMI dan pernah pula menjadi anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebelum langsung direkrut ke dalam partai.

SEBUAH GAMBAR SBY. Sambil memuat gambar ini dalam blognya, 2009, seorang blogger dari Samarinda, Charles Siahaan, mengutip pesan seorang temannya di FB “Lihat, lama-lama wajah SBY mirip Soeharto”.

 Dari soal uang hingga posisi politik. Ibas telah beberapa kali menjadi fokus sorotan. Dalam isu bagi-bagi sedan mewah Jaguar oleh Harry Tanusudibyo, nama Ibas disebut sebagai salah satu penerima. Ketika Eggi Sudjana SH mengangkat isu itu secara terbuka ke publik, semua yang disebut sebagai penerima ramai-ramai membantah dan bahkan mengadukan Eggi telah mencemarkan nama baik. Kasus ini selesai dengan ‘happy ending’, namun meninggalkan ketidakjelasan tentang benar tidaknya isu itu. Dalam pemilu legislatif 2009 yang lalu, ada keraguan tentang suara perolehan Ibas, yang berakhir dengan diprosesnya sang penuduh di jalur hukum oleh Polri.

Tuduhan serius terbaru, adalah disebutnya keterlibatan Ibas bersama Anas Urbaningrum dan sejumlah tokoh lainnya dalam permainan dana politik ex korupsi anggaran belanja negara, yang dilontarkan Mohammad Nazaruddin. Apakah karena merasa telah menyerang putera Presiden, lalu Mohammad Nazaruddin menjadi ‘ketakutan’ bahwa akan ada ‘pembalasan’ terhadap anak dan isterinya, sehingga ia merasa perlu memohon mengiba-iba agar SBY melindungi keselamatan anak-isterinya? Dan berjanji takkan menyebut-nyebut lagi nama tokoh-tokoh –termasuk Ibas tentunya– dan nama Partai Demokrat seperti yang dilakukannya tatkala berada di luar negeri. Akan diam, dan bersedia dihukum tanpa perlu diperiksa dan diadili. Sebenarnya, itu merupakan suatu permintaan yang tidak masuk akal dari seorang yang sudah merasa atau mengesankan diri ‘tertekan’. Ataukah jangan-jangan Nazaruddin justru mengajukan deal kepada SBY: Tolong jamin keselamatan anak-isteriku, dan saya juga akan tutup mulut mengenai Ibas?

SEBAGAI manusia biasa, semua Presiden yang pernah memimpin Indonesia, punya kecenderungan untuk ‘sayang anak’. Dan tak sedikit pula kesulitan yang pernah timbul dari sikap ‘sayang anak’ maupun sikap ‘sayang isteri’ itu. Dalam konteks kekuasaan negara, sikap sayang anak atau sayang isteri yang berlebihan-lebihan umumnya melahirkan nepotisme. Dulu, Presiden Soekarno seringkali disorot karena terlalu ‘banyak’ isteri. Soekarno juga sering disorot karena Guntur Soekarnoputera, anak sulungnya, saat ia ini masih mahasiswa di ITB, karena suka kebut-kebutan dengan mobil sportnya, Carman Ghia yang mewah untuk ukuran zamannya. Tapi saat itu, Guntur belum ikut-ikutan bisnis memanfaatkan kedudukan ayahandanya, dan hanya aktif di organisasi mahasiswa GMNI namun belum sempat masuk ke DPR misalnya.

Mode berbisnis di kalangan anak pejabat, baru marak di masa Soeharto. Saat putera-puteri Soeharto beranjak dewasa dan berbisnis, sorotan muncul –meskipun lebih banyak berlangsung di bawah permukaan dan dalam pembicaraan masyarakat sehari-hari. Soeharto cukup berang mendengar adanya sorotan itu. Keberangan serupa berkali-kali ditunjukkannya sebelumnya, saat isterinya disorot kiprahnya dalam konteks kaitan bisnis. Beberapa pejabat tinggi tampil membela dan bertanya apakah karena ayahnya menjadi pejabat lalu seorang anak harus “kehilangan haknya menjadi pengusaha?”. Padahal yang menjadi persoalan di sini adalah soal fatsoen untuk menghindari konflik kepentingan. Selama seseorang menjadi Presiden, ada konsekuensi bahwa keluarganya kehilangan peluang sementara untuk berkiprah di bidang-bidang yang bisa menimbulkan conflict of interest itu. Setelah tidak menjadi presiden lagi, silahkan. Dan bila tidak ingin menghambat ‘karir’ anak atau keluarga, jangan menjadi Presiden atau pejabat tinggi. Seorang hakim misalnya, tak boleh mengadili perkara yang melibatkan anak-isteri atau keluarga dekatnya sebagai terdakwa.

Tapi memang, di Indonesia, semua masih serba tidak jelas, atau tepatnya dibuat tidak jelas. Di zaman Soeharto, semua anak pejabat memang seakan berlomba menjadi pengusaha, dan menarik keuntungan dari jabatan ayah mereka. Meminjam terminologi Jawa, disebut aji mumpung. Bila sang ayah menjadi Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi misalnya, maka anaknya menjadi pengusaha besar di bidang telekomunikasi dengan kecenderungan monopolistik. Bila sang ayah memimpin Pertamina, anak-anaknya bergerak di bidang usaha yang ‘menyusu’ ke Pertamina. Makin tinggi posisi hirarkis sang ayah dalam pemerintahan, makin luas pula jangkauan usaha sang anak. Dalam kaitan ini ada satu kisah menarik, antara Jenderal Benny Murdani dan Jenderal Soeharto, yang diangkat dari buku Julius Pour “Benny: Tragedi Seorang Loyalis” (Kata Hasta, 2007). Suatu hari Benny dan Soeharto bermain bilyar di Jalan Cendana. Benny berkata kepada Soeharto, bahwa untuk menjaga keamanan pribadi presiden memang sudah cukup dengan satu batalyon Paspampres. Tetapi, untuk pengamanan politik presiden, mutlak harus didukung oleh keterlibatan keluarga dan juga presidennya sendiri. Benny menuturkan, “Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak harto langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur, meninggalkan saya di ruang bilyar…. sendirian”.

Apakah dengan turunnya Soeharto dari kekuasaan, permainan nepotisme pun berakhir? Menurut George Junus Aditjondro, tidak. Dalam buku “Korupsi Kepresidenan”, seraya menyebut nama Thariq Kemal Habibie, Junus Aditjondro menulis bahwa di bawah Presiden BJ Habibie, keluarga Habibie dengan cepat berusaha menggeser peranan keluarga Soeharto dalam ekspansi bisnis oligarki. Terkait Presiden Abdurrahman Wahid, Junus Aditjondro mengapresiasi upaya pembersihan bisnis kalangan militer melalui peranan Jenderal Agus Wirahadikusumah, dan memberi kredit point terhadap pengajuan mantan Presiden Soeharto ke pengadilan oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman. “Namun, dalam hal membiarkan nepotisme keluarga Wahid serta kroniisme para pendukungnya dari lingkungan NU dan PKB, Gus Dur belum banyak bergeser dari tradisi Soeharto”. Hasilnya, skandal Bulog-gate I dan Brunei-gate. Di zaman Megawati Soekarnoputeri menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden, Junus Aditjondro menyoroti bisnis-bisnis Taufiq Kiemas sang suami dan “Happy” Hapsoro sang menantu (suami Puan Maharani). Disebut-sebut antara lain isu komisi Rp. 426,4 miliar dalam pembelian jet tempur Sukhoi, dan kedekatan dengan keluarga Syamsul Nursalim. Adapun tentang Susilo Bambang Yudhoyono, Junus memaparkannya melalui buku Gurita Cikeas, disusul Cikeas Makin Menggurita –yang tampaknya menghilang dari peredaran maupun pembicaraan dan ulasan pers.

Keberhasilan Ibas Edhie Baskoro Yudhoyono dalam kancah politik, menjadi anggota DPR-RI dan Sekertaris Jenderal Partai Demokrat, barangkali hanya penerusan kebiasaan selama ini di Indonesia, bahwa kekuasaan adalah berkah. Di zaman Soeharto, anak-anak pejabat sipil maupun militer berduyun-duyun dan masuk dengan mudah ke posisi anggota DPR dan MPR. Anak Gubernur maupun anak Panglima Kodam menggeser peluang para kader muda Golkar yang tidak ‘berdarah biru’ kekuasaan. Para isteri petinggi –Gubernur, Pangdam dan Menteri– juga mendominasi kursi-kursi DPR dan MPR, sementara para suami dengan sendirinya menjadi anggota MPR. Ada jenderal yang berposisi Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, bisa memasukkan anak dan isterinya sekaligus ke lembaga-lembaga legislatif, sementara ia dengan sendirinya juga adalah anggota MPR Fraksi ABRI. Maka ada plesetan arti AMPI –sebuah organisasi kepemudaan Golkar– menjadi Anak-Menantu-Ponakan-Isteri/ipar, yakni mereka yang berhak masuk lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Anak-anak Soeharto pun pada umumnya mendapat kursi legislatif di masa Harmoko menjadi pimpinan DPR dan Golkar. Dalam kabinet terakhir pemerintahannya, Presiden Soeharto malah mengangkat salah seorang puterinya, Siti Hardiyanti Rukmana, menjadi Menteri Sosial RI. Tapi sang menantu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, belum sempat diangkat menjadi KSAD atau Panglima ABRI.

Di masa Abdurrahman Wahid, Yenni Wahid puterinya ikut berkegiatan dalam partai. Selain itu terbawa pula beberapa ponakan seperti Muhaimin Iskandar. Rupanya, di sini ada faktor rasa aman bila melibatkan anak-ponakan. Tapi ternyata, tidak betul-betul aman. Muhaimin Iskandar sang ponakan ternyata ‘meninggalkan’ sang paman dan berhasil ‘mengambil-alih’ kepemimpinan PKB tanpa keikutsertaan Gus Dur. Di masa Megawati Soekarnoputeri berkuasa sebagai pemimpin negara maupun pemimpin partai, PDIP, Guruh Soekarnoputera sang adik dan Puan Maharani sang puteri terbawa serta ke dalam kekuasaan. Puan malahan sempat disebut-sebutkan sebagai pewaris politik dan mungkin pewaris tahta Mega.

Kisah dua jenderal idealis. UNTUK menutup tulisan The Stories Ever Told ini, berikut adalah kisah dua jenderal idealis yang menjadi idola kaum pergerakan mahasiswa dan generasi muda di tahun 1966 hingga awal 1970-an: Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Letnan Jenderal Hartono Rekso Dharsono. Kedua-duanya, bersama Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah para jenderal idealis yang dengan berbagai cara telah dijauhkan dari posisi-posisi kekuasaan oleh Jenderal Soeharto. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro berperan dalam penyingkiran itu, namun pada akhirnya mengalami nasib yang serupa. Pada gilirannya, Jenderal Soemitro tersingkir karena kalah dalam percaturan kekuasaan melalui tangan Letnan Jenderal Ali Moertopo. Dan pada akhirnya, Ali Moertopo sendiri pun disingkirkan Soeharto ketika dianggap berambisi untuk naik lebih ke atas.

Selepas dari jabatan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (1964-1967), Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang bersama Mayjen HR Dharsono  populer di kalangan generasi muda 1966, seakan-akan dijauhkan dari Jakarta. Ia ditempatkan pada pos Panglima Kodam II Bukit Barisan di Medan. Banyak orang yang menganggap bahwa posisi baru itu merupakan ‘perangkap’ bagi Sarwo Edhie. Banyak kalangan kekuasaan yang diam-diam mengharap Sarwo tergoda dan tergelincir di sana. Sembilan dari sepuluh pejabat, terbukti tergelincir di sana. Sumatera Utara kala itu dianggap daerah yang penuh ujian moral bagi para pejabat, penuh godaan sogokan uang (termasuk sogokan menggunakan perempuan). Asal para pejabat, khususnya Panglima Kodam, Panglima Kepolisian dan Gubernur, bersedia tutup mata terhadap praktek penyelundupan maupun kejahatan ekonomi dan kriminalitas lainnya, ia akan segera kaya raya. Di antara para pejabat daerah masa itu, seorang Panglima Kodam adalah yang paling powerful. Sebelum berangkat ke sana, Sarwo Edhie memberikan janji kepada kelompok perjuangan generasi muda, takkan mempan godaan. “Saya berangkat ke sana dengan satu koper, dan akan kembali dengan satu koper yang sama”, ujarnya. Mayor Jenderal Sarwo Edhie berhasil membuktikan kebersihan dirinya. Setelah Sumatera Utara, berturut-turut Sarwo Edhie tetap dijauhkan dari Jakarta, menjadi Pangdam Trikora Irian Jaya 2 Juli 1968 – 20 Februari 1970 dan ditugaskan ke tempat lebih jauh lagi sebagai Duta Besar RI di Korea. Saat itu, pos duta besar selalu dikonotasikan sebagai pos ‘pembuangan’.

Letnan Jenderal HR Dharsono, juga adalah militer idealis yang belum pernah tercatat terlibat skandal berbau uang. Ia juga dijauhkan dari pusat kekuasaan, setelah begitu populer sebagai Panglima Kodam Siliwangi, terutama setelah melontarkan gagasan dwi-partai dalam rangka perombakan struktur politik Indonesia. Ia ditugaskan sebagai Duta Besar RI di Bangkok lalu Pnompenh Kamboja yang sedang bergolak. HR Dharsono pernah mendamprat seorang Menteri Kabinet Soeharto yang juga adalah seorang jenderal karena sebelumnya anak dan isteri sang menteri membuat masalah dengan bea-cukai pemerintah Thailand saat singgah di airport Bangkok. “Tertibkan keluarga anda kalau ke luar negeri, jangan bawa-bawa kebiasaan jelek dari tanah air”, tegur Dharsono. Sang menteri hanya bisa diam dimarah-marahi sang Dubes. Sewaktu bertugas di Pnompenh yang sedang dilanda demo anti Lon Nol, tutur seorang mantan stafnya, mobil Duta Besar HR Dharsono berpapasan dengan demonstran. HR Dharsono, membuka jendela mobil, lalu menyodorkan uang sumbangan kepada para demonstran. Di tanah airnya sendiri sang jenderal selama perjuangan 1966 dan sesudahnya memang punya kedekatan dengan mahasiswa pelaku demonstran. Kedekatan semacam itulah yang antara lain tak disukai Soeharto pada dirinya.

Selain persamaan sebagai jenderal idealis, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal HR Dharsono maupun juga Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah jenderal-jenderal yang gagah, menarik perhatian kaum perempuan. Tak heran, kalau ada saja gosip asmara melanda mereka, tapi tak sekalipun mereka melakukan kejahatan seksual –pelecehan, tipu daya, pemaksaan dan sebagainya– terhadap kaum Hawa semacam yang kerap dilakukan oleh sejumlah jenderal lain. Di masa militer dominan dalam kekuasaan negara, memang tak sedikit terjadi kisah buruk penyalahgunaan kekuasaan terkait masalah seksual. Seorang jenderal yang berkuasa dalam pemulihan keamanan, sebagai salah satu contoh, pernah ‘merampas’ isteri seorang petinggi sipil bidang hukum setelah menjebloskan sang suami ke tahanan dengan tuduhan terlibat PKI. Lainnya, seorang jenderal yang duduk dalam posisi basah di pemerintahan, ketika jumpa di airport saat akan melawat ke luar negeri,  dititipi oleh seorang jenderal purnawirawan agar melihat-lihat dan membantu menjaga keselamatan anak perempuannya yang ikut dalam penerbangan yang sama karena akan bersekolah di luar negeri. Tapi yang dititipi menjadi pagar makan tanaman, dengan tipu daya berhasil melakukan pelecehan di negara tujuan. Sang ayah yang dilapori anaknya, dengan berang pergi menemui Soeharto untuk mengadukan perbuatan sang menteri. Soeharto hanya manggut-manggut, tapi tak ada tindak lanjut yang sepantasnya dilakukan. Entah ada atau tidak hubungannya, sang jenderal purnawirawan di kemudian hari tercatat namanya dalam barisan tokoh anti Soeharto yang secara tak langsung ikut berperan dalam ‘kejatuhan’ sang penguasa 32 tahun itu….

Partai Politik: Bintang Biru di Zona Merah Korupsi

PENGUNGKAPAN’ adanya ‘peran’ belakang layar seorang petinggi partai kalangan penguasa melalui Rosalina Manurung dalam penyuapan Sekertaris Menteri Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam oleh pengusaha Mohammad El Idris, kalau betul, memperkuat gambaran bahwa peranan perencanaan dan pelaksanaan mobilisasi dana politik kini memang makin beralih ke tangan para petinggi partai politik. Untuk kasus ini, pagi-pagi anggota DPR Ruhut Sitompul sudah membantah keterlibatan Bendahara Partai Demokrat.

Tapi terlepas dari itu, adanya seorang petinggi partai menyuruh antar pengusaha pergi melakukan suap kepada pejabat,  itu adalah ‘kreativitas’ baru dalam suatu pola baru. Dalam pola lama, di masa kekuasaan Soeharto, tokoh-tokoh dalam pemerintahan melakukan penghimpunan dana melalui berbagai cara, yang tentunya dengan menggunakan kekuasaan, lalu secara terencana dan terpusat disuntikkan ke partai sebagai dana politik untuk memelihara kekuasaan. Tak ada partai dan kekuatan politik masa itu, yang tak kebagian jatah dana politik, meski berbeda urutan dalam jumlah. Dana-dana dari sumber lainnya, terutama dari kalangan pengusaha, yang pada umumnya juga tak terlepas dari peran perorangan dalam kekuasaan, hanyalah menjadi pelengkap yang biasanya dijadikan ‘uang saku’ pribadi para pimpinan partai.

TIKUS KORUPSI DAN UMPAN KURSI. “Jadi, kini KPK harus lebih mengamati sepak terjang para tokoh partai. Dari sana mungkin akan lebih banyak bermunculan bintang-bintang biru dari film biru politik dari zona merah korupsi”. Karikatur, Kompasiana.

Di masa pasca Soeharto, pola penghimpunan dana politik untuk sebagian mirip dengan cara-cara masa kehidupan politik sistem parlementer tahun limapuluhan, dan untuk sebagian lainnya agak serabutan. Dalam masa pemerintahan sistem parlementer, di masa kepresidenan Soekarno sebelum Demokrasi Terpimpin, partai-partai ‘besar’ memiliki menterinya masing-masing di kabinet. Lewat menteri-menteri itu, dana politik digali. Ketika Masjumi dan PSI menempatkan menteri di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan, sebagai contoh, lahir pengusaha-pengusaha akten-tas, karena keluar masuk kementerian dengan membawa tas kepit (aktentas) untuk mengurus lisensi-lisensi. Lisensi-lisensi perdagangan ini bukannya dikelola sendiri, melainkan dijual kepada para pedagang, dan menghasilkan dana pribadi maupun dana politik. Sementara itu PNI menggali dana dari Kementerian Dalam Negeri yang mereka dominasi turun temurun. Tentara yang mulai ikut berpolitik, memperoleh dana melalui pengelolaan berbagai BUMN hasil nasionalisasi, mulai dari bidang perminyakan (Pertamin-Permina yang menjadi cikal bakal Pertamina) sampai kepada bidang perdagangan.

Selain meniru pola masa parlementer, cara penggalian dana politik pasca Soeharto juga berlangsung dengan cara serabutan. Beberapa cara masa Soeharto masih digunakan, dan sebagian lainnya lagi memanfaatkan dana-dana hasil korupsi yang ada di tangan tokoh-tokoh eks kekuasaan Soeharto. Beberapa eks tokoh pemerintahan Soeharto misalnya direkrut oleh partai-partai lama maupun oleh mereka yang mendirikan partai-partai baru. Beberapa mantan menteri, terutama yang kaya-kaya, tampil sebagai tokoh partai.

Dana keluarga Cendana juga menjadi salah satu incaran favorit. Diterima dengan terang-terangan maupun dengan cara diam-diam. Dengan persuasi dan negosiasi, maupun dengan sedikit mengancam. Serombongan orang yang disebutkan sebagai suruhan Presiden Abdurrahman Wahid, antara lain Yenni Wahid, Saefullah Jusuf dan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah menemui Siti Hardiyanti Rukmana. Ada dua versi tentang tujuan pertemuan itu: Pertama, tidak dengan tujuan ideal, terkait dana politik. Kedua, dengan tujuan ideal agar keluarga Cendana mengembalikan harta-harta ‘hasil korupsi’ ke negara. Menurut penuturan Mbak Tutut (nama panggilan puteri sulung Soeharto itu) kepada mantan Wakil Presiden RI Sudharmono SH saat berkunjung ke Jalan Senopati, sehari atau dua hari setelahnya, permintaan utusan Abdurrahman Wahid itu kurang lebih dijawab, “Harta yang mana?”. Waktu itu, Rum Aly, yang mendampingi Sudharmono mengajukan usul, kalau keluarga Cendana tidak percaya kepada orang-orang pemerintah, sebaiknya menyalurkan langsung saja dana-dananya ke masyarakat yang makin melarat akibat pertengkaran politik yang terjadi. Juga dijawab, kurang lebih, “Harta yang mana?”. Dan kepada Sudharmono, Mbak Tutut mengatakan, “Kami tidak punya harta yang banyak, pak e”. Sudharmono SH hanya terhenyak diam di kursinya. Rum Aly menginformasikan hal itu kepada Marzuki Darusman, Jaksa Agung waktu itu, untuk memperoleh konfirmasi adanya pertemuan di Cendana itu. Tapi beberapa waktu kemudian, berita tentang utusan ke Cendana itu telah merebak melalui media massa.

KASUS penjualan BUMN strategis oleh Menteri BUMN Laksamana Sukardi di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri, agaknya tak terlepas dari kaitan penghimpunan dana partai. Begitu pula penjualan tanker baru Pertamina. Tapi semua itu, tidak mendapat kejelasan lanjut karena kasus-kasus itu tak pernah betul-betul dituntaskan. Partai-partai tampaknya telah terlibat korupsi dalam rangka penghimpunan dana politik, secara struktural. Beberapa contoh bisa ditunjukkan, meskipun semuanya, lagi-lagi belum dituntaskan: Kasus suap dengan traveller cheques terhadap Panda Nababan cs dari PDIP dan Paskah Suzetta cs dari Partai Golkar dalam kaitan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. Kasus ekspor fiktif senilai USD 22,5 oleh Misbakhum dari PKS dan kasus tudingan tokoh PKS Jusuf Supendi kepada tokoh PKS Anis Matta  yang mengantongi secara pribadi 10 milyar rupiah dari dana Pemilihan Gubernur DKI sebesar 70 milyar rupiah yang diserahkan mantan Wakapolri Adang Daradjatun kepada para pimpinan PKS. Kasus korupsi dalam pengadaan sarung, mesin jahit dan impor sapi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah oleh tokoh PPP Bachtiar Chamsyah saat menjabat Menteri Sosial. Mungkin juga nantinya bisa ditemukan bahwa kasus Bank Century tak terlepas dari kaitan penghimpunan dana politik, yang semuanya berlangsung struktural. Di belakang ‘rekayasa’ kasus Antasari Azhar, kemungkinan besar terdapat kasus-kasus kejahatan keuangan besar dengan motif kepentingan dana politik yang perlu ditutupi dengan eliminasi sang Ketua KPK. Satu contoh lain, adalah yang dituliskan Ikrar Nusa Bhakti di Harian Kompas (29 April 2011) “kasus pengadaan rel kereta rel listrik (KRL) bekas asal Jepang senilai Rp. 44,5 milyar”. Belakangan, menurut professor riset dari LIPI itu, kasus itu dipertanyakan karena dinilai kemahalan. “Kasus ini menyangkut nama Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan berbesanan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono”. Kalau benar ada yang tak beres, repot juga. Masa seluruh besan SBY, Aulia Pohan dan Hatta Rajasa (yang juga Ketua Umum PAN), harus bermasalah?

Jadi, kini KPK harus lebih mengamati sepak terjang para tokoh partai. Dari sana mungkin akan lebih banyak bermunculan bintang-bintang biru dari film biru politik dari zona merah korupsi. Adapun istilah zona merah ini terasosiasikan dengan wilayah lampu merah perdagangan jasa seksual di beberapa negara ekonomi maju. Tapi bila legalisasi transaksi di wilayah lampu merah itu masih bisa diperdebatkan apakah melanggar hukum atau tidak, maka transaksi di zona merah korupsi tak perlu diperdebatkan lagi, ia adalah kejahatan besar yang harus dibasmi.