SEBELUM terjadi aksi massa Islam massive 411 dan 212 di bagian akhir 2016, tak terbayangkan bahwa Joko Widodo akan tiba-tiba tampil dengan manuver politik yang sarat retorika ke-Islam-an. Soalnya, sebelum itu beberapa tokoh partai pendukung utamanya, PDI-P, kerap melontarkan narasi-narasi yang dimaknai sebagai anti Islam.
Secara historis, mengacu kepada pembagian masyarakat (Jawa) menurut Clifford Geerzt, cikal bakal utama PDI-P yakni PNI pada hakekatnya memang berakar pada kaum abangan selain kaum priyayi. Di seberangnya, adalah kaum santri. Secara historis pula, PNI sebagai unsur Nas pada masa Nasakom Soekarno tercatat memiliki kedekatan yang kental dengan unsur Kom. Banyak berkonfrontasi mendampingi unsur Kom terhadap unsur A yang terjepit di tengah.
Namun, dalam realita saat ini, bandul politik Joko Widodo yang tampil memperjuangkan masa kepresidenan kedua, telah mengayun keras dari kiri hingga jauh ke kanan. Dari citra anti Islam ke citra mitra. Puncaknya, menempatkan tokoh ulama Kyai Ma’ruf Amin sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019. Meski, secara tragis harus ‘mencampakkan’ tokoh berintegritas, Mahfud MD. Continue reading Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019→
EMPAT puluh delapan hari sebelum debat pertama Calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 17 Januari 2019, Ed Ratcliffe menulis dalam The Diplomat (1/12/2018) bahwa garis pertempuran telah direntang. Dan ia menyebutkan adanya sejumlah Faktor X dalam pertarungan tersebut. Dua faktor teratas adalah masalah ekonomi dan agama. Berikut ini, beberapa bagian tulisan Kepala Riset dan Penasihat di Asia House itu yang cukup objektif.
Dalam beberapa jajak pendapat terbaru, Jokowi dianggap tetap unggul dan masih mempertahankan citranya sebagai tokoh bersahaja. Namun, meskipun ada beberapa keberhasilan dicapainya, ia belum menunaikan semua janjinya pada kampanye 2014. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan kelompok Islam dan meraih unsur-unsur yang lebih konservatif, Jokowi telah memilih Ma’ruf Amin –Ketua Majelis Ulama Indonesia dan ‘pemimpin tertinggi’ Nahdlatul Ulama– sebagai mitra dalam pertarungan di 2019 ini. Continue reading Faktor X dalam Pemilihan Presiden 2019→
DUABELAS tahun lagi menggenapkan 5 abad usianya, per Juni 2015, Jakarta seakan dasamuka yang memiliki tak kurang dari sepuluh wajah. Paras cemerlang dalam kekayaan tetapi juga kumuh karena kemiskinan. Berwajah metropolitan dan berwajah ‘kampung’ sekaligus. Wajah lugu berdampingan dengan wajah hikpokrit. Semi religius tradisional namun juga hedonis ala Sodom-Gomorrah. Demokratis serta otoriter-anarkis dalam waktu yang sama. Bila Jakarta itu dianalogikan sebagai ‘seorang’ manusia, maka ia adalah manusia dengan personality disorders. Segala macam kategori disorder berkumpul, mulai dari cyclothymic dan schizoid, hypomanic maupun melancholic, compulsive sampai hysterical, atau entah apa lagi.
Maka, takkan mengherankan bila seorang Gubernur Jakarta berkecenderungan untuk marah-marah terus menghadapi aneka masalah setiap hari. Apalagi, bila sebelum menjadi gubernur, pada dasarnya sudah temperamental seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Tapi, bila seorang Gubernur DKI Jakarta bisa tetap tenang-tenang dan santai saja, lalu easy going mungkin justru ia ‘abnormal’. Bukan mustahil sedang asyik menikmati benefit dari posisi sebagai pemimpin ibukota, tempat akumulasi terbesar peredaran uang di negara ini. Nyatanya, memang terdapat satu atau dua gubernur di antara rentang masa kepemimpinan Ali Sadikin hingga Jokowi dan Ahok bisa menikmati suasana ‘kerja’ tanpa ‘tegangan tinggi’. Dengan prestasi yang juga biasa-biasa saja, untuk tidak menyebutnya tak mampu membendung memburuknya kualitas kepemerintahan, kehidupan dan situasi sehari-hari Jakarta. Jadi, bila Ahok nanti berubah menjadi lebih kalem, tenang-tenang saja tanpa marah-marah, maka ia harus malah lebih diawasi dan dicermati, “ada apa”.
MEMAKAN SESAMA. “Sesekali kaum kaya bisa saling makan satu dengan yang lain. Tetapi yang terbanyak adalah menerkam yang lebih lemah dan lebih miskin. Ada begitu banyak properti megah dan menjulang tinggi yang dibangun di atas tanah yang diperoleh dengan cara ‘keji’. Berapa banyak rakyat menengah dan bawah yang dirampas tanah miliknya untuk kemudian di atasnya dibangun hotel, mal dan bangunan bisnis lainnya? Tak jarang, ‘perampasan’ itu bisa terjadi melalui manipulasi secara hukum.” (download: team-studer.net)
PADA AWAL malam saat pesawat berputar di atas Jakarta menunggu giliran mendarat di landasan Bandara Soekarno-Hatta, para penumpang yang menengok dari jendela akan tersuguhi lautan cahaya dengan tebaran gemerlap lampu nan luas di permukaan dataran kota. Memukau. Beberapa tempat di antaranya terlihat lebih gemerlap daripada sekitarnya. Itulah wilayah kehidupan malam yang terdiri dari bangunan-bangunan tinggi dan megah bermandikan cahaya yang memanifestasikan kekayaan finansial Jakarta. Tempat-tempat yang lebih redup adalah wilayah pemukiman yang meski berlampu tetapi sebenarnya kumuh karena kemiskinan. Di sela-sela wilayah gemerlap, meliuk rantai cahaya yang panjang –dua arah– yang menjalar panjang bersilangan dengan gerakan lambat, ke mana-mana. Itu adalah efek cahaya lampu-lampu kendaraan bermotor dalam arus lalu lintas yang sedang padat-merayap di jalan-jalan raya Jakarta. Siang malam, selama 20 jam, lalu lintas di Jakarta memang cenderung macet parah dipenuhi belasan juta kendaraan bermotor, dan menjadi salah satu faktor kontra produktif bagi dinamika berbagai sektor kehidupan di Jakarta. Hingga akhir 2014, kepolisian Jakarta mencatat keberadaan 17.523.967 unit kendaraan bermotor. Terdiri dari 3.226.009 mobil pribadi, 362.066 bus dan 811.520 kendaraan roda empat lainnya. Sisanya, 13.084.372 sepeda motor.
Membumi di siang hari, di balik gedung-gedung tinggi yang menjulang megah akan ditemukan wilayah-wilayah perumahan sederhana dan perumahan kumuh yang padat. Di musim kemarau, kekurangan air bersih. Di musim penghujan, terendam dalam banjir. Dua kelas perumahan ini, ibarat lautan yang ‘mengepung’ sejumlah pemukiman yang mewah (bahkan super mewah) dengan perumahan menengah sebagai bumper. Dan pola kemakmuran di tengah lautan kemiskinan ini menyebar hingga wilayah pinggiran Jakarta. Lalu sebagai fakta, semua itu bersatu padu mencipta etalase kesenjangan sosial-ekonomi yang mewakili gambaran situasi kepincangan yang akut merata di seluruh Indonesia.
Diperkirakan 6-7 juta dari 10 juta lebih penduduk ‘resmi’ Jakarta memadati pemukiman sederhana dan kumuh, sedang 3-4 juta selebihnya terbanyak berada di pemukiman menengah dan sisanya di pemukiman mewah. Ada fenomena lain terkait jumlah ‘penduduk’ Jakarta ini. Di pagi hari sampai siang, melalui seluruh pintu masuk Jakarta datang mengarus ‘penduduk setengah hari’ yang menjadikan ibukota sebagai ladang nafkah. Melibatkan tak kurang dari satu juta orang. Di sore hari, kemudian kembali mengarus meninggalkan Jakarta. Tak heran, jalan-jalan ‘bebas hambatan’ seperti jalur Jakarta-Bekasi-Cikampek, Jakarta-Bogor dan Jakarta-Tangerang, dipadati kendaraan pribadi dan kendaraan umum pengangkut massa komuter, di setiap pagi-sore-petang. Kereta-kereta komuter antara Jakarta dengan kota-kota ‘satelit’ dan Bogor, pun tak kalah sesak oleh massa komuter, pada jam-jam yang sama setiap hari. Dan arus itu bertambah kepadatannya untuk jarak yang lebih jauh, terutama ke Bandung dan Cirebon, pada Jumat sore dan petang, untuk mengarus kembali ke Jakarta sejak Senin dinihari.
JAKARTA, ibukota Republik Indonesia, memang adalah kota besar dengan penampilan paling kontras dalam fenomena kesenjangan sosial-ekonomi di negara ini. Fenomena ini tampil secara signifikan terutama sejak tahun 1970-an. Tatkala makin bermunculan sejumlah orang kaya baru di Jakarta –sejalan dengan menggeliat bangkitnya kehidupan ekonomi– sejumlah wilayah pemukiman baru yang mewah dan eksklusif pun dibangun untuk mereka di beberapa penjuru ibukota. Pemukiman kelas atas yang telah ada sebelumnya, di wilayah Menteng dan Kebayoran Baru, tidak lagi mencukupi. Paling berprestise kala itu adalah perumahan mewah Pondok Indah di Jakarta Selatan, masih bertetangga dengan Kebayoran Baru. “Segera terlupakan bahwa tanah-tanah tempat berdirinya rumah-rumah mewah itu dibebaskan melalui darah dan air mata penduduk asli di wilayah itu, melalui proses pembebasan yang penuh penekanan dan paksaan. Rakyat hanya kebagian pembayaran harga rendah, sementara sejumlah aparat yang ikutan dalam penanganan pembebasan tanah bisa ikut kaya.” (Baca Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004). Tapi Pondok Indah hanya salah satu contoh dari kumpulan contoh yang luas. Pola yang sama terjadi di tempat yang lain, bukan hanya dulu, tapi hingga kini. Bukan pula hanya menyangkut pembangunan perumahan mewah, tetapi juga pembangunan properti lain: gedung-gedung tinggi perkantoran maupun apartemen.
Lebih lanjut, kita kutip ulang uraian buku tersebut. “Munculnya keluarga-keluarga kaya baru merupakan fenomena yang mengiringi proses pembangunan fisik Indonesia waktu itu. Menjadi kaya, bukan hal yang terlarang di Indonesia. Malah tumbuhnya kelompok kaya baru, bilamana dibarengi penggunaan dana secara produktif bisa menopang pertumbuhan ekonomi. Tetapi, kalau itu adalah hasil dari korupsi, masalahnya menjadi lain. Apalagi jika digunakan sekadar untuk tujuan semata-mata konsumtif dalam suatu pola konsumerisme. Fenomena munculnya kelompok kaya baru di Indonesia ini diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak, pasti terkait erat dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu yang bersamaan.”
Seorang penulis mengenai konglomerasi di Indonesia menyebutkan ekonomi Indonesia saat ini didominasi oleh hanya sekitar 200 keluarga kaya. Kekuatan minoritas dengan pengaruh mayoritas ini berkumpul dan beroperasi dari ibukota negara. Dan kita melihat, bahwa kini kekuatan uang juga menjadi senjata yang ampuh dalam kehidupan politik dengan pengaruh besar ke dalam kekuasaan negara. Positioning dalam kekuasaan banyak ditentukan oleh topangan kuat dari ‘senjata uang’ dengan segala konsekuensi ikutannya dalam konteks bayar membayar kembali hutang uang dan jasa. Apakah ini tidak berarti bahwa sekitar 200 keluarga kaya itu justru adalah penguasa sesungguhnya di negara kita ini?
Dalam kultur bangsa ini maupun menurut ajaran beberapa agama, kekayaan merupakan salah satu kemuliaan yang bisa diperoleh manusia. Kemuliaan itu, bermakna adanya keinginan berbagi dan membantu terhadap yang miskin. Paling tidak, dalam konteks pembangunan sosial, tidak menjadi duri bagi keadilan sosial. Dan dalam kaitan kehidupan sistem ekonomi negara, kepemilikan kekayaan lekat dengan ketaatan membayar kewajiban pajak, dan melakukan investasi dengan tujuan produktif yang pada gilirannya menciptakan kesejahteraan bangsa dan pertumbuhan ekonomi negara.
Namun dalam kenyataan Indonesia, makin menguat kecenderungan untuk menjauh dari segala sifat dan sikap dengan makna kemuliaan yang paling sederhana sekalipun. Terdapat banyak contoh kasus yang menunjukkan bagaimana kaum kaya yang ingin menjadi makin kaya, bahkan berani ‘memakan’ negara, misalnya dengan menjadikan proyek pemerintah sebagai bancakan seraya memanipulasi pajak. Predator sejati yang menggigiti kekayaan negara dan hak-hak orang lain. Kejahatan perpajakan menjadi permainan sehari-hari. Tapi, data empiris memperlihatkan betapa penindakan kasus-kasus perpajakan itu cenderung selalu kandas. Seorang ‘ibu’ yang sudah sepuh dan terkenal dengan profesinya di bidang hukum, yang namanya tercantum dalam daftar sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, pernah tertangkap basah menyuruh setor uang suap dalam skala milyar ke rekening seorang pejabat pajak (bernama Bahasyim). Namun, bisa lolos dari jerat hukum dan secara menakjubkan justru dinyatakan sebagai korban pemerasan sang pejabat. Lalu bagaimana pula dengan kelanjutan kasus petugas pajak bernama Gayus Tambunan yang menerima ‘uang jasa’ dalam skala puluhan milyar rupiah, tapi para pemberinya belum kunjung ditindaki secara hukum hingga kini?
Sesekali kaum kaya bisa saling makan satu dengan yang lain. Tetapi yang terbanyak adalah menerkam yang lebih lemah dan lebih miskin. Ada begitu banyak properti megah dan menjulang tinggi yang dibangun di atas tanah yang diperoleh dengan cara ‘keji’. Berapa banyak rakyat menengah dan bawah yang dirampas tanah miliknya untuk kemudian di atasnya dibangun hotel, mal dan bangunan bisnis lainnya? Tak jarang, ‘perampasan’ itu bisa terjadi melalui manipulasi secara hukum. Dan selalu ada oknum dalam kekuasaan negara yang bisa dibeli untuk menjalankan pekerjaan kotor itu atau paling tidak membantu menutup-nutupi kejahatan kaum kaya berperilaku hitam itu.
Menjadi benar, apa yang digambarkan Honoré de Balzac di tahun 1834, bahwa merupakan fakta kehidupan dari masa ke masa, banyak kekayaan sekelompok kecil manusia tercipta melalui tindakan-tindakan memiskinkan kelompok besar manusia lainnya, khususnya terhadap kelompok akar rumput di masyarakat (https://socio-politica.com/2014/12/26/retorika-jusuf-kalla-persoalan-kekayaan-dan-korupsi/). Dan sayang sekali, untuk sebagian, gambaran itu berlaku untuk Jakarta, ibukota negara kita. Memang benar, di balik gemerlapnya Jakarta, bertumpuk cerita darah dan air mata kalangan akar rumput. Apalagi, selain ditekan dari atas oleh kaum kaya berperilaku hitam dan tak bertanggungjawab, melalui tekanan maupun tipu daya bisnis, kalangan bawah itu juga menderita oleh kejahatan horizontal dari sesama yang muncul dari lumpur kekufuran karena kemiskinan. (socio-politica.com)
BEGITU banjir air melanda ibukota –bersama sejumlah wilayah Indonesia lainnya, terutama Manado dan sekitarnya– maka banjir kecaman juga mulai mengarus. Meskipun lebih banyak orang masih membatasi diri untuk tidak menyerang pasangan Jokowi dan Ahok –karena dianggap belum cukup punya saham dalam kegagalan penanggulangan banjir selama ini– tak urung beberapa lontaran kecaman melayang juga. Salah satu kecaman keras dan bertegangan tinggi datang dari tokoh pergerakan mahasiswa 1966 Ridwan Saidi yang asli Betawi.
Lebih dari sekedar soal banjir, Ridwan yang sudah berusia senja itu, menyerang Jokowi sebagai orang yang banyak ingkar janjinya. Padahal, di awal-awal masa Jokowi, Ridwan Saidi sempat juga memuji-muji sang gubernur baru. Sedikit menggunakan sentimen Betawi, dalam suatu acara debat televisi pekan ini, Ridwan memperluas sasaran kecaman dan dengan keras bilang bahwa ‘kalian’ para pendatang yang menimbulkan banyak masalah di Jakarta. Apakah Ridwan mulai menyesali kenapa Jakarta harus jadi ibukota republik, sehingga tidak lagi paten sebagai milik orang Betawi?
AHOK, JOKOWI DAN FAUZI BOWO. Sebuah gambar plesetan berjudul “Banjirrrr”. Beredar di berbagai social media. Karikatural.
Dalam debat televisi yang sama, Ridwan yang agaknya kurang lengkap mendapat informasi iptek, menertawai penjelasan seorang pembicara lain bahwa penyemaian garam oleh BPPT di awan berguna untuk pengurangan bahaya banjir. Kata Ridwan, menurut ilmu Betawi, garam itu untuk menurunkan hujan. Ilmu Betawi ini tentu saja tidak salah, tapi penyemaian garam (NaCl) di awan untuk memicu turunnya hujan, bisa dilakukan dini di atas wilayah-wilayah selektif yang tak berdampak menyebabkan banjir. Misalnya, di atas laut Teluk Jakarta atau wilayah samping lainnya, untuk meminimalisir hujan jatuh di wilayah rawan banjir Jakarta. Cara lain, mengurangi pembentukan awan. Ini semua bagian dari teknologi modifikasi cuaca. Sayang, awal upaya modifikasi ini dilakukan terlambat setidaknya sebulan, jadi tidak optimal.
Sudah kena semprotan dari Ridwan, Jokowi sempat pula mendapat dampratan keras dari Menteri PU Djoko Kirmanto, karena dianggap lancang memperbaiki saluran drainase di Jalan TB Simatupang yang merupakan wewenang kementeriannya. Terbaru, ada nasihat yang cukup penuh pengertian dari tokoh Amien Rais kepada Jokowi, agar meminta maaf kepada warga Jakarta karena belum mampu mengatasi banjir saat ini. Banjir yang terjadi kali ini, menurut Amien, “di luar kemampuan manusia.” Indonesia, seperti halnya beberapa wilayah dunia lainnya, memang sedang menghadapi bencana ekologi, yang selain akibat cuaca ekstrim juga tak terlepas dari kelalaian berkepanjangan dari manusia terhadap lingkungannya di masa lampau.
Situasi saling menyalahkan memang telah menjadi salah satu ‘ritual’ tetap ala Indonesia pasca terjadinya sebuah bencana. Harus ada yang disalahkan. Sementara itu, mereka yang jadi sasaran kecaman atau kritik akan mati-matian mengelak dengan berbagai cara, bila perlu mencari kambing hitam lain. Hanya sedikit orang yang mampu menampilkan sikap bertanggungjawab dan mengutamakan pemecahan masalah daripada ikut bertengkar, dalam suatu situasi kritis. Kita belum tahu Jokowi akan masuk kategori yang mana.
INSTAGRAM ANI YUDHOYONO. Ani Yudhoyono merasa kesal terhadap sentilan itu. “Kesal saya jadinya, seolah tidak mengurusi banjir, hanya main-main Instagram saja. Kemarin kan hari libur. Jadi, kadang-kadang comment itu memancing,” ujarnya. (gambar download)
SELAIN soal garam, ada cerita Instagram. Instagram ini adalah salah satu social networking services online seperti halnya Twitter, Facebook, Tumblr dan Flickr. Melalui Instagram, pemilik akun bisa berbagi foto maupun video ringkas sampai 15 detik. Follower bisa share komentar ringkas. Ibu Negara Indonesia, Ani Yudhoyono, adalah salah satu pemilik akun Instagram. Follower beliau sampai saat ini sudah mencapai lebih dari seperempat juta orang.
Beberapa hari yang lalu, saat sharing foto cucunya yang bernama Airlangga di akunnya, muncul comment dari seorang siswi SMA dengan identitas zhafirapsp. Bernada kritik Zhafira menulis “Di saat rakyatnya yang kebanjiran, ibu negara malah sibuk dengan akun instagramnya.” Ternyata, seperti diakuinya sendiri ketika berbicara di depan anggota Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) di Istana Negara (16 Januari 2014), Ani Yudhoyono merasa kesal terhadap sentilan itu. “Kesal saya jadinya, seolah tidak mengurusi banjir, hanya main-main Instagram saja. Kemarin kan hari libur. Jadi, kadang-kadang comment itu memancing,” ujarnya.
Terhadap comment Shafira, ibu Ani membalas dengan pantulan yang melebar ke arah lain, “Lho ibu Jokowi dan ibu Ahok ke mana ya? Koq saya yang dimarahi?”. Iriana Joko Widodo yang menjadi salah satu sasaran pantulan, ternyata orang yang belum bersentuhan dengan media sosial semacam Instagram, Facebook, Twitter dan semacamnya. Tapi berbeda dengan ibu Ani, tanpa diberitakan pers, isteri Joko Widodo rupanya sudah berkali-kali meluangkan waktu ikutan sang suami blusukan ke daerah-daerah banjir. Veronica Tan, isteri Basuki ‘Ahok’ Purnama, sama dengan Iriana, juga tak ‘gaul’ dengan Instagram. Persamaan lain dari kedua perempuan ini, bila tampil ikut blusukan dengan suami selama ini, mereka cenderung berpakaian seadanya, tidak stylish. Jauh kalah dari ibu Ani yang selalu tampil apik. Persamaan terbaru, kedua isteripetinggi DKI itu sama-sama kena bias semprotan Ibu Negara gara-gara komentar Zhafira di Instragram.
SECARA fungsional, sebenarnya para isteri pejabat tak ikut memikul kewajiban dan tanggungjawab jabatan para suami mereka. Jadi kalau sang suami misalnya punya tugas objektif menangani penanggulangan banjir maupun persoalan-persoalan ikutannya di wilayah pemerintahannya, sebenarnya sang isteri tak punya kewajiban yang sama. Bila toh sang isteri ikut terjun mendampingi suami, itu lebih banyak masalah panggilan moral saja –yang pasti tak perlu ditumpangi dengan pamrih pencitraan.
Seorang isteri pejabat, lebih-lebih tentu, tidak ikut memiliki hak-hak ‘prerogatif’ kekuasaan sang suami, walau ‘keliru’ disapa ‘Ibu Presiden’, ‘Ibu Wakil Presiden’, ‘Ibu Menteri’, ‘Ibu Gubernur’ atau ‘Ibu Bupati’. Begitu pula, kaum lelaki yang kebetulan menjadi suami pejabat negara –presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati dan seterusnya– semestinya tak menjadikan diri semacam ‘Bapak Presiden’, ‘Bapak Wakil Presiden’, ‘Bapak Menteri, ‘Bapak Gubernur’ atau ‘Bapak Bupati’. Bukannya tidak pernah kita punya pengalaman dengan suami-suami pejabat yang tak tahu diri seperti itu.
Keikutsertaan para isteri pejabat mendampingi suami dalam berbagai kegiatan pemerintahan, menjadi model pada awal tahun 1970-an, terutama setelah tampilnya prakarsa Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto dalam membangun Taman Mini Indonesia Indah. Pada masa itu sebenarnya sudah muncul kritik, khususnya dari kalangan mahasiswa. Keikutsertaan peran kaum isteri itu mungkin dimaksudkan sebagai bagian dari peningkatan harkat dan martabat perempuan dalam rangka emansipasi. Kala itu, dan tampaknya untuk sebagian besar berlanjut ke masa-masa berikutnya hingga kini, seorang isteri Menteri atau Gubernur misalnya, bisa bertindak seakan-akan Menteri atau Gubernur yang sesungguhnya dalam hal dan saat tertentu. Bisa mempengaruhi penempatan-penempatan dalam konteks jabatan, yang kemudian juga menjalar ke aspek bisnis. Paling tidak, seorang isteri menteri atau gubernur bisa memerintah-merintah dan memarahi para isteri pejabat-pejabat bawahan sang suami, lengkap dengan berbagai perilaku lain yang serba keasinan.
Seorang isteri dengan sendirinya dipatronkan menjadi pemimpin organisasi persatuan isteri pejabat, semata-mata karena jabatan suaminya yang lebih tinggi. Pernah seorang perempuan yang berpendidikan tinggi dengan kualitas profesional yang tinggi, menjadi enggan menghadiri acara-acara perkumpulan isteri pejabat karena tak mau terpaksa menunduk-nunduk mengambil hati seorang isteri atasan yang kualitatif sebenarnya memalukan perilakunya –merasa sangat berkuasa, merasa lebih pintar dan sebagainya.
Emansipasi dan kesetaraan gender? Tentu saja bukan begitu harusnya esensi emansipasi, yang masih sangat terkait dengan pola fedodalistik yang patriarkis. Terlebih-lebih lagi tak ada hubungannya dengan apa yang kemudian dikenal sebagai gagasan kesetaraan gender. Dalam konteks emansipasi dengan kesetaraan gender sebagai format yang ultima, adalah bagaimana kaum perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam pendidikan serta kemudian menempati posisi-posisi kekuasaan politik, kekuasaan negara dan kekuasaan sosial. Menjadi Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, anggota DPR, hakim, jaksa, polisi, tentara serta berbagai posisi profesional yang lain karena aspek kualitatif pribadinya. (socio-politica.com)