Tag Archives: Djoko Kirmanto

Kisah Garam dan Instagram

BEGITU banjir air melanda ibukota –bersama sejumlah wilayah Indonesia lainnya, terutama Manado dan sekitarnya– maka banjir kecaman juga mulai mengarus. Meskipun lebih banyak orang masih membatasi diri untuk tidak menyerang pasangan Jokowi dan Ahok –karena dianggap belum cukup punya saham dalam kegagalan penanggulangan banjir selama ini– tak urung beberapa lontaran kecaman melayang juga. Salah satu kecaman keras dan bertegangan tinggi datang dari tokoh pergerakan mahasiswa 1966 Ridwan Saidi yang asli Betawi.

Lebih dari sekedar soal banjir, Ridwan yang sudah berusia senja itu, menyerang Jokowi sebagai orang yang banyak ingkar janjinya. Padahal, di awal-awal masa Jokowi, Ridwan Saidi sempat juga memuji-muji sang gubernur baru. Sedikit menggunakan sentimen Betawi, dalam suatu acara debat televisi pekan ini, Ridwan memperluas sasaran kecaman dan dengan keras bilang bahwa ‘kalian’ para pendatang yang menimbulkan banyak masalah di Jakarta. Apakah Ridwan mulai menyesali kenapa Jakarta harus jadi ibukota republik, sehingga tidak lagi paten sebagai milik orang Betawi?

AHOK, JOKOWI DAN FAUZI BOWO.  Sebuah gambar plesetan berjudul "Banjirrrr". Beredar di berbagai social media. Karikatural.
AHOK, JOKOWI DAN FAUZI BOWO. Sebuah gambar plesetan berjudul “Banjirrrr”. Beredar di berbagai social media. Karikatural.

transparent-1093278

Dalam debat televisi yang sama, Ridwan yang agaknya kurang lengkap mendapat informasi iptek, menertawai penjelasan seorang pembicara lain bahwa penyemaian garam oleh BPPT di awan berguna untuk pengurangan bahaya banjir. Kata Ridwan, menurut ilmu Betawi, garam itu untuk menurunkan hujan. Ilmu Betawi ini tentu saja tidak salah, tapi penyemaian garam (NaCl) di awan untuk memicu turunnya hujan, bisa dilakukan dini di atas wilayah-wilayah selektif yang tak berdampak menyebabkan banjir. Misalnya, di atas laut Teluk Jakarta atau wilayah samping lainnya, untuk meminimalisir hujan jatuh di wilayah rawan banjir Jakarta. Cara lain, mengurangi pembentukan awan. Ini semua bagian dari teknologi modifikasi cuaca. Sayang, awal upaya modifikasi ini dilakukan terlambat setidaknya sebulan, jadi tidak optimal.

Sudah kena semprotan dari Ridwan, Jokowi sempat pula mendapat dampratan keras dari Menteri PU Djoko Kirmanto, karena dianggap lancang memperbaiki saluran drainase di Jalan TB Simatupang yang merupakan wewenang kementeriannya. Terbaru, ada nasihat yang cukup penuh pengertian dari tokoh Amien Rais kepada Jokowi, agar meminta maaf kepada warga Jakarta karena belum mampu mengatasi banjir saat ini. Banjir yang terjadi kali ini, menurut Amien, “di luar kemampuan manusia.” Indonesia, seperti halnya beberapa wilayah dunia lainnya, memang sedang menghadapi bencana ekologi, yang selain akibat cuaca ekstrim juga tak terlepas dari kelalaian berkepanjangan dari manusia terhadap lingkungannya di masa lampau.

Situasi saling menyalahkan memang telah menjadi salah satu ‘ritual’ tetap ala Indonesia pasca terjadinya sebuah bencana. Harus ada yang disalahkan. Sementara itu, mereka yang jadi sasaran kecaman atau kritik akan mati-matian mengelak dengan berbagai cara, bila perlu mencari kambing hitam lain. Hanya sedikit orang yang mampu menampilkan sikap bertanggungjawab dan mengutamakan pemecahan masalah daripada ikut bertengkar, dalam suatu situasi kritis. Kita belum tahu Jokowi akan masuk kategori yang mana.

INSTAGRAM ANI YUDHOYONO. Ani Yudhoyono merasa kesal terhadap sentilan itu. “Kesal saya jadinya, seolah tidak mengurusi banjir, hanya main-main Instagram saja. Kemarin kan hari libur. Jadi, kadang-kadang comment itu memancing,” ujarnya. (gambar download)
INSTAGRAM ANI YUDHOYONO. Ani Yudhoyono merasa kesal terhadap sentilan itu. “Kesal saya jadinya, seolah tidak mengurusi banjir, hanya main-main Instagram saja. Kemarin kan hari libur. Jadi, kadang-kadang comment itu memancing,” ujarnya. (gambar download)

SELAIN soal garam, ada cerita Instagram. Instagram ini adalah salah satu social networking services online seperti halnya Twitter, Facebook, Tumblr dan Flickr. Melalui Instagram, pemilik akun bisa berbagi foto maupun video ringkas sampai 15 detik. Follower bisa share komentar ringkas. Ibu Negara Indonesia, Ani Yudhoyono, adalah salah satu pemilik akun Instagram. Follower beliau sampai saat ini sudah mencapai lebih dari seperempat juta orang.

Beberapa hari yang lalu, saat sharing foto cucunya yang bernama Airlangga di akunnya, muncul comment dari seorang siswi SMA dengan identitas zhafirapsp. Bernada kritik Zhafira menulis “Di saat rakyatnya yang kebanjiran, ibu negara malah sibuk dengan akun instagramnya.” Ternyata, seperti diakuinya sendiri ketika berbicara di depan anggota Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) di Istana Negara (16 Januari 2014), Ani Yudhoyono merasa kesal terhadap sentilan itu. “Kesal saya jadinya, seolah tidak mengurusi banjir, hanya main-main Instagram saja. Kemarin kan hari libur. Jadi, kadang-kadang comment itu memancing,” ujarnya.

Terhadap comment Shafira, ibu Ani membalas dengan pantulan yang melebar ke arah lain, “Lho ibu Jokowi dan ibu Ahok ke mana ya? Koq saya yang dimarahi?”. Iriana Joko Widodo yang menjadi salah satu sasaran pantulan, ternyata orang yang belum bersentuhan dengan media sosial semacam Instagram, Facebook, Twitter dan semacamnya. Tapi berbeda dengan ibu Ani, tanpa diberitakan pers, isteri Joko Widodo rupanya sudah berkali-kali meluangkan waktu ikutan sang suami blusukan ke daerah-daerah banjir. Veronica Tan, isteri Basuki ‘Ahok’ Purnama, sama dengan Iriana, juga tak ‘gaul’ dengan Instagram. Persamaan lain dari kedua perempuan ini, bila tampil ikut blusukan dengan suami selama ini, mereka cenderung berpakaian seadanya, tidak stylish. Jauh kalah dari ibu Ani yang selalu tampil apik. Persamaan terbaru, kedua isteripetinggi DKI itu sama-sama kena bias semprotan Ibu Negara gara-gara komentar Zhafira di Instragram.

SECARA fungsional, sebenarnya para isteri pejabat tak ikut memikul kewajiban dan tanggungjawab jabatan para suami mereka. Jadi kalau sang suami misalnya punya tugas objektif menangani penanggulangan banjir maupun persoalan-persoalan ikutannya di wilayah pemerintahannya, sebenarnya sang isteri tak punya kewajiban yang sama. Bila toh sang isteri ikut terjun mendampingi suami, itu lebih banyak masalah panggilan moral saja –yang pasti tak perlu ditumpangi dengan pamrih pencitraan.

Seorang isteri pejabat, lebih-lebih tentu, tidak ikut memiliki hak-hak ‘prerogatif’ kekuasaan sang suami, walau ‘keliru’ disapa ‘Ibu Presiden’, ‘Ibu Wakil Presiden’, ‘Ibu Menteri’, ‘Ibu Gubernur’ atau ‘Ibu Bupati’. Begitu pula, kaum lelaki yang kebetulan menjadi suami pejabat negara –presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati dan seterusnya– semestinya tak menjadikan diri semacam ‘Bapak Presiden’, ‘Bapak Wakil Presiden’, ‘Bapak Menteri, ‘Bapak Gubernur’ atau ‘Bapak Bupati’. Bukannya tidak pernah kita punya pengalaman dengan suami-suami pejabat yang tak tahu diri seperti itu.

Keikutsertaan para isteri pejabat mendampingi suami dalam berbagai kegiatan pemerintahan, menjadi model pada awal tahun 1970-an, terutama setelah tampilnya prakarsa Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto dalam membangun Taman Mini Indonesia Indah. Pada masa itu sebenarnya sudah muncul kritik, khususnya dari kalangan mahasiswa. Keikutsertaan peran kaum isteri itu mungkin dimaksudkan sebagai bagian dari peningkatan harkat dan martabat perempuan dalam rangka emansipasi. Kala itu, dan tampaknya untuk sebagian besar berlanjut ke masa-masa berikutnya hingga kini, seorang isteri Menteri atau Gubernur misalnya, bisa bertindak seakan-akan Menteri atau Gubernur yang sesungguhnya dalam hal dan saat tertentu. Bisa mempengaruhi penempatan-penempatan dalam konteks jabatan, yang kemudian juga menjalar ke aspek bisnis. Paling tidak, seorang isteri menteri atau gubernur bisa memerintah-merintah dan memarahi para isteri pejabat-pejabat bawahan sang suami, lengkap dengan berbagai perilaku lain yang serba keasinan.

Seorang isteri dengan sendirinya dipatronkan menjadi pemimpin organisasi persatuan isteri pejabat, semata-mata karena jabatan suaminya yang lebih tinggi. Pernah seorang perempuan yang berpendidikan tinggi dengan kualitas profesional yang tinggi, menjadi enggan menghadiri acara-acara perkumpulan isteri pejabat karena tak mau terpaksa menunduk-nunduk mengambil hati seorang isteri atasan yang kualitatif sebenarnya memalukan perilakunya –merasa sangat berkuasa, merasa lebih pintar dan sebagainya.

Emansipasi dan kesetaraan gender? Tentu saja bukan begitu harusnya esensi emansipasi, yang masih sangat terkait dengan pola fedodalistik yang patriarkis. Terlebih-lebih lagi tak ada hubungannya dengan apa yang kemudian dikenal sebagai gagasan kesetaraan gender. Dalam konteks emansipasi dengan kesetaraan gender sebagai format yang ultima, adalah bagaimana kaum perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam pendidikan serta kemudian menempati posisi-posisi kekuasaan politik, kekuasaan negara dan kekuasaan sosial. Menjadi Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, anggota DPR, hakim, jaksa, polisi, tentara serta berbagai posisi profesional yang lain karena aspek kualitatif pribadinya. (socio-politica.com)