Tag Archives: Mang Usil

4 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama Presiden Joko Widodo (2)

SEJAUH ini, satu-satunya yang cukup menghibur, khususnya bagi kalangan akar rumput adalah keadaan bebas biaya dalam menyekolahkan anak. Tetapi untuk tingkat perguruan tinggi, masih membayang faktor biaya tinggi yang tak tertolong program beasiswa yang masih terbatas daya jangkaunya. Di bidang kesehatan, dalam batas tertentu pertolongan Kartu Indonesia Sehat dan manfaat BPJS cukup menolong namun kini terjadi kesulitan dalam masalah pendanaan dan pengelolaan. Baru-baru ini secara terbuka di muka khalayak Presiden menegur Menteri Kesehatan dan Direktur BPJS untuk masalah dana kesehatan ini. Namun belum tentu kesalahan sepenuhnya ada pada BPJS atau Kementerian Kesehatan. Pengorganisasian pengumpulan dana (wajib) dari masyarakat hingga ke pengelolaannya, memang termasuk sesuatu yang rumit. Harus pula dirunut duduk soalnya, mulai dari apakah perencanaannya sudah sempurna atau belum sempurna menghitung segala aspek.

Adalah memprihatinkan, bila dua program ini tak berjalan baik. Kedua jenis program terkait pendidikan dan kesehatan ini adalah kebutuhan mutlak kalangan akar rumput, di samping masalah perut. Selain itu, kedua program, bila dijalankan dengan baik, pasti sangat berguna untuk sedikit menimbun jurang perbedaan sosial ekonomi, sebelum ada keberhasilan pemerataan ekonomi yang lebih baik.

Tertatih-tatih dalam kemiskinan etika

Di luar masalah ekonomi dan kesejahteraan, secara umum pemerintahan ini masih tertatih-tatih dalam menjalankan konsolidasi politik dan demokrasi. Demi memperkuat mayoritas kerja di DPR, pada awal masa pemerintahan diperlukan intervensi untuk melemahkan beberapa partai seberang. Sebuah jalan pintas yang sebenarnya harus dihindari dalam pembangunan politik dan demokrasi.

Padahal, daripada menempuh jalan inkonvensional, lebih terhormat bila dari arah internal ditumbuhkan sikap realistis –dengan meninggalkan politik-politikan yang akrobatis. Sikap realistis yang positif merupakan kebutuhan dalam memecahkan masalah yang dihadapi bangsa dan negara. Dalam konteks kehidupan politik dan kekuasaan yang sehat, dari arah eksternal diperlukan sikap kritis dan analisis objektif sebagai pengganti perilaku politicking.

Bila dari arah internal ada perilaku politik tercerahkan, maka sangat bisa diharapkan kehadiran perilaku yang juga tercerahkan dari arah eksternal. Perilaku politik buruk yang berkecamuk bukan perbuatan sepihak. Perbaikannya juga takkan terjadi sepihak, tetapi bersama-sama. Mereka yang merasa lebih memiliki kenegarawanan, layak untuk mempelopori perbaikan.

Ini perlu diingatkan, karena dari dua kutub pembelahan politik yang menajam selama tak kurang dari empat tahun belakangan ini masih saja selalu tampil gaya berpolitik yang sarat pengutamaan kepentingan eksklusif namun minus altruisme. Sarat kebohongan tapi miskin etika. Suatu keadaan yang membuat kehidupan politik makin hari kian compang-camping. Dari polarisasi politik yang terjadi, lahir berbagai manuver kontra produktif dengan alas argumentasi yang seringkali tak masuk akal. Semua menggunakan retorika demi rakyat dan demokrasi, namun pada hakekatnya hanyalah permainan kepentingan dan perebutan jengkal demi jengkal area kekuasaan dalam konteks berburu benefit.

JOKO WIDODO DAN IRON THRONE DALAM PENGGAMBARAN KOMIKAL HARI PRAST. Referensi pidatonya pun makin mengikuti trend, semisal kisah filmis fantasi The Avengers dengan tokoh antagonis Thanos. Lalu, serial Game of Thrones –bertema persaingan kekuasaan memperebutkan Iron Throne, you win or you die, di 7 kerajaan antah berantah, dengan bahaya sesungguhnya klan Stark yang protagonis dari daerah utara Winter’s Fell.

Sensitivitas terhadap kritik dan ‘penghinaan’

Usai menghadiri Kongres Persatuan Alumni GMNI –yang sejak masa Nasakom dulu dikenal sebagai organisasi mahasiswa sayap PNI– di Jakarta Jumat 7 Agustus 2015, Presiden Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputeri terlihat pulang semobil menggunakan RI-1. Ibu Negara Iriana dengan demikian mesti menggunakan mobil lain. Lalu Harian Kompas melalui pojok Mang Usil berkomentar usil, “Sebagai Presiden atau petugas partai?” Jelas, ini hanya sekedar senda gurau, di tengah bermulanya gelombang kritik yang kemudian tak henti-hentinya mengarus menuju sang Presiden hingga menjelang akhir 2019 ini.

Sesungguhnya memang tak diperlukan waktu yang lama dalam masa kepresidenannya sebelum Joko Widodo mulai diterpa begitu banyak kritik dan kecaman maupun sekedar sebagai sasaran senda gurau. Maka tak heran bila beberapa di antara kalangan lingkaran Presiden dalam waktu yang singkat pun menjadi sensitif dan makin sensitif. Serangan dan senda gurau, oleh mereka yang hypersensitive –maupun yang sebenarnya sekedar berkelakuan ‘akrobatik’– dikategorikan bahkan sudah merupakan penghinaan.

Tak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri yang menyebut adanya olok-olok dan penghinaan terhadap dirinya. “Saya sejak walikota, sejak gubernur, setelah jadi presiden, entah dicemooh, diejek, dijelek-jelekkan, sudah makanan sehari-hari,” kata Joko Widodo kepada pers di Istana Bogor dua hari sebelum komentar Mang Usil. Sebelumnya, menjelang menjadi Presiden, menjawab tuduhan terhadap dirinya sebagai keturunan PKI Joko Widodo mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.”  Kelihatannya per saat itu sang Presiden masih bisa bertahan dengan mekanisme rapoponya.

Namun kemarin, Presiden Joko Widodo agak ‘meledak’ terhadap rangkaian serangan yang dilontarkan pada dirinya. Ketika membagi sertifikat tanah di Lapangan Ahmad Yani Kebayoran Lama (23/10) Presiden mengatakan masih banyak politisi yang memakai cara-cara lama, memakai politik kebencian, politik SARA, politik adu domba, politik pecah belah.  “Itu namanya politik sontoloyo,” ujarnya. “Hati-hati, banyak politikus baik-baik, tapi banyak juga politikus sontoloyo.” Esoknya, Rabu 24 Oktober, Presiden mengaku kata sontoloyo itu keluar, karena geram. Namun apa dan bagaimanapun, sontoloyo adalah istilah yang semestinya tak layak keluar dari mulut seorang Presiden dalam konteks keteladanan.

Mutasi dari ndeso ke powerful

Joko Widodo muncul dan ‘dibesarkan’ oleh suatu situasi seolah-olah antitesis terhadap model ketokohan ala Susilo Bambang Yudhoyono atau Soeharto, yang dalam perjalananan sejarah terbawa ke atas ke tingkat kelas elite. Joko Widodo yang tertampilkan masih ndeso, baik sosok maupun karakternya, sehingga terkesan sebagai replika sosok akar rumput, akhirnya dipilih oleh rakyat pemegang suara di tahun 2014, dengan keunggulan tipis atas tokoh lainnya, Prabowo Subianto yang dianggap dari kelas elite.

Majalah Time dalam cover-storynya bulan Oktober 2014, menyebut Joko Widodo sebagai presiden pertama Indonesia yang berasal dari kalangan bukan elite. Meski, Joko Widodo yang seorang insinyur, paling tidak selama dua belas tahun terakhir sebenarnya sudah menapak menjadi bagian dari elite kekuasaan, sebagai Walikota Solo dan kemudian sebagai Gubernur DKI. Namun wajah ndesonya yang tidak ber-‘evolusi’ dan gaya pendekatan kerakyatannya yang sempat ‘menawan’ hati banyak orang, menolong membuat dirinya tetap tercitrakan dan ditempatkan oleh khalayak di luar kelompok pemimpin dengan gaya elitis.

Sebagai tokoh baru dalam kepemimpinan nasional, Joko Widodo, dipilih oleh separuh lebih rakyat pemilih sebagai antitesa terhadap beberapa gaya kepemimpinan elitis sebelumnya. Para pemimpin elitis selalu mencitrakan diri dekat dengan rakyat tetapi sesungguhnya berjarak dalam kenyataan sehari-hari.

Kendati masih tercitrakan sebagai tokoh pemimpin berwajah ndeso toh Joko Widodo mulai makin banyak punya persamaan dengan para pemimpin elitis. Beberapa rencana dan wacananya –drone, mobil nasional, kelistrikan yang massive dan beberapa lainnya– masih berjarak dengan realita, persepsi dan dengan kepentingan rakyat banyak. Banyak obsesi pembangunannya masih merupakan puisi. Sebutkanlah pula kegetolannya membangun jalan tol bersama BUMN dan para pemodal swasta, masih dipertanyakan, akan lebih menguntungkan siapa. Apakah lebih menguntungkan kalangan dunia usaha kelas atas atau ekonomi rakyat akar rumput? Kemudian kebiasaan blusukannya, apakah masih akan dipertahankan. Blusukan kini pasti berbeda dan tak sesederhana dahulu, katakanlah dalam aspek pembiayaan dan pengerahan aparat serta fasilitas maupun luasan area blusukan.

Untuk para pemimpin elitis yang berpikiran dan berkebijakan elitis, dan kepada umumnya para pemimpin yang muluk-muluk, Bung Hatta pernah menyitir frase dalam bahasa Jerman, Zwischen Diechtung und Wahrheid. Agar antara puisi dan kebenaran jangan terlalu jauh. Harus mendekatkan angan-angan dengan kenyataan, mendekatkan puisi dengan realita.

Kini, Joko Widodo sudah lebih banyak berada dalam model penampilan yang rapih dan perfect. Mengenakan setelan jas atau pun baju batik yang cantik motifnya, dan bagus jahitannya. Dalam berbatik, ia kelas atas. Tapi sekali-sekali saat pejabat bawahannya tampil berbatik atau berstelan jas, Joko Widodo malah tampil berkaos oblong. Juga banyak mengadopsi gaya milenial, tak segan berjoget dan melakukan jumping dengan sepeda motor besar meski sebagian memakai jasa stuntman. Referensi pidatonya pun makin mengikuti trend, semisal kisah film fantasi The Avengers dengan tokoh antagonis Thanos. Lalu, serial Game of Thrones –bertema persaingan kekuasaan memperebutkan Iron Throne, you win or you die, di 7 kerajaan antah berantah, dengan bahaya sesungguhnya klan Stark yang protagonis dari daerah utara Winter’s Fell.

Selain perubahan gaya berbusana, ‘sayup-sayup’ terasa terjadi pula suatu perubahan lain. Garis dan ‘tarikan’ wajahnya sekarang sedikit lebih sering tegang kencang. Tutur bahasanya pun lebih kerap ketus. Terbaru, itu, penggunaan kosa kata sontoloyo. Tetapi, memaknai secara positif, tentu saja terkesan bahwa sang Presiden kini lebih powerful… (socio-politica.com/media-karya.com)

Presiden Jokowi, Dari Kritik Hingga ‘Penghinaan’

USAI menghadiri Kongres Persatuan Alumni GMNI –yang sejak masa Nasakom dulu dikenal sebagai organisasi mahasiswa sayap PNI– di Jakarta Jumat 7 Agustus, Presiden Jokowi dan Megawati Soekarnoputeri terlihat pulang semobil menggunakan RI-1. Ibu Negara Iriana dengan demikian mesti menggunakan mobil lain. Lalu Harian Kompas melalui pojok Mang Usil berkomentar usil, “Sebagai Presiden atau petugas partai?”. Jelas, ini hanya senda gurau. Kalangan lingkaran kekuasaan di sekitar Presiden tentu tak perlu menjadi sangat sensitif karenanya. Dan, tak usah menanggapi keusilan itu terlalu ‘serius’ sebagai kritik olok-olok atau kecaman, apalagi dianggap penghinaan.

PRESIDEN JOKOWI DI THE COURIER MAIL, AUSTRALIA. Jokowi sebagai koki masak di antara pemimpin G-20. Penghinaan atau pujian (bahwa Jokowi presiden dari negara sumber daya alam yang mengisi perut negara maju)
PRESIDEN JOKOWI DI THE COURIER MAIL, AUSTRALIA. Jokowi sebagai koki masak di antara pemimpin G-20. Penghinaan atau pujian (bahwa Jokowi presiden dari negara sumber daya alam yang mengisi perut negara maju)?

Sesungguhnya memang tak diperlukan waktu yang lama dalam masa kepresidenannya sebelum Jokowi mulai diterpa begitu banyak kritik dan kecaman maupun sekedar sebagai sasaran senda gurau. Maka tak heran bila beberapa di antara kalangan lingkaran Presiden dalam waktu yang singkat pun menjadi sensitif. Serangan dan senda gurau itu, oleh mereka yang hypersensitive –maupun yang sebenarnya sekedar berkelakuan ‘akrobatik’– dikategorikan bahkan sudah merupakan penghinaan. Untuk saat ini, agaknya fenomena penghinaan kepada Presiden oleh kalangan kekuasaan tertentu memang ‘dianggap’ sudah berkadar tinggi. Sementara itu pada sisi lain, pasal penghinaan presiden dalam KUHP telah dihapus Mahkamah Konstitusi di tahun 2006.

Perhatikan gambar karikatural Soekarno dan Jokowi ini. Tetapkan dalam hati anda, ini penghinaan atau bukan? Begitu pula gambar-gambar lain di halaman ini.
Perhatikan gambar karikatural Soekarno dan Jokowi ini. Tetapkan dalam hati anda, ini penghinaan atau bukan? Begitu pula gambar-gambar lain di halaman ini.

Terhadap fenomena penghinaan presiden itu, memang tak kurang banyaknya reaksi-reaksi dramatis di kalangan ‘lingkaran’ kekuasaan. Salah seorang tokoh yang kuat menopang kepresidenan Jokowi sejak ‘awal’, Jenderal Purnawirawan AM Hendropriyono, memerlukan mengutip retorika berusia lebih 2000 tahun dari Cicero (107-44 SM).  “Siapa saja kalau dihina, (bila) hukum tidak bicara, nanti yang bicara senjata.” Menurut sang jenderal saat berada di Mabes Polri Jumat lalu, Cicero yang bilang begitu. Sebuah kutipan yang sesungguhnya menggambarkan suatu pola perilaku represif-otoriter sekaligus anarkis.

JOKOWI DAN JUSUF KALLA
JOKOWI DAN JUSUF KALLA. Lain dulu lain sekarang. Cemooh atau bukan?
JOKOWI, A NEW HOPELESS. Plesetan cover Majalah Time.
JOKOWI, A NEW HOPELESS. Plesetan cover Majalah Time.

Marcus Tullius Cicero itu adalah filosof  dan politisi yang sekaligus dianggap ahli hukum, yang di masa Julius Caesar menghendaki agar Roma kembali menjadi Republik yang diperintah Senat aristokrat seperti pada masa-masa sebelumnya. Dalam posisinya sebagai filosof, Cicero seringkali melontarkan retorika-retorika yang seolah-olah idealistik tetapi berdampak buruk dalam penegakan kebenaran dan keadilan. Dengan kemampuan pidatonya yang hebat, Cicero suatu ketika berhasil ‘mendorong’ Senat menghukum mati sekelompok orang yang dianggap melakukan konspirasi tanpa mengadili. Hidup Cicero sendiri berakhir di tangan algojo yang dikirim Marcus Antonius pasca pembunuhan Julius Caesar, dengan tebasan yang memisahkan kepala dari tubuhnya di sebuah pantai. Padahal, sebelumnya Cicero telah naik ke sebuah kapal untuk meninggalkan Italia, namun kembali ke pantai menunggu pengejarnya. Merupakan misteri, kenapa ia berubah pikiran, lalu kembali ke pantai menanti kematian.

Tapi terelepas dari kutipan Cicero, pandangan Hendropriyono bahwa “hukum harus bisa menyelesaikan” kasus-kasus penghinaan, bisa disepakati. Karena, memang tak bisa dibantah bahwa di antara kritik dan kecaman, banyak terselip kecenderungan menghina secara pribadi, bukan sekedar mengeritik kecanggungan seorang Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Dalam media sosial, seringkali ditemukan meme, gambar plesetan maupun komentar yang menjurus ke penghinaan selain sekedar bersifat jenaka. Kritik dalam kekecewaan publik, memang seringkali ditampilkan secara jenaka. Persoalannya, adalah hanya pilihan cara dan perangkat hukum yang digunakan untuk menghadapi gejala penghinaan itu, dan bagaimana kualitas aparat penegakan hukum dalam memilah-milah serta membedakan kejenakaan, kritik dan penghinaan. Sikap feodalistik dalam melakukan penilaian hendaknya dikesampingkan.

JOKOWI DI ANTARA PARA PRESIDEN RI. Pnggambaran komik oleh Yoga Adhitrisna.
JOKOWI DI ANTARA PARA PRESIDEN RI. Penggambaran ala komik Tintin oleh Yoga Adhitrisna.

Bagaimana dengan Joko Widodo sendiri? “Saya sejak walikota, sejak gubernur, setelah jadi presiden, entah dicemooh, diejek, dijelek-jelekan, sudah makanan sehari-hari,” kata Jokowi kepada pers di Istana Bogor, Rabu petang 5 Agustus lalu. Penyampaiannya cukup tenang. Tapi bagaimana pun dari bahasa tubuhnya, terlihat bahwa sesungguhnya ia merasa kurang nyaman menjadi sasaran tembak berkesinambungan seperti itu.

TATKALA Joko Widodo mulai disebut-sebut namanya akan maju ke gelanggang Pemilihan Presiden Republik Indonesia 2014, dalam media sosial muncul metafora ‘bagaikan pungguk merindukan rembulan’. Dan tak kurang dari tokoh pengusaha sekaligus ‘politisi’ Muhammad Jusuf Kalla, muncul komentar keras bernada cemooh “Kalau Jokowi jadi presiden, hancur negara ini.” Mudah bagi banyak orang kala itu untuk sepakat, bahwa secara kualitatif Jokowi memang belum pantas untuk menjadi Presiden per saat itu. Bahwa ia dipuji prestasinya sebagai Walikota Solo, dan bahwa ia berhasil ‘memenangkan’ posisi Gubernur DKI Jakarta, benar. Untuk kursi presiden? Tunggu dulu, belum waktunya. Dia harus terlebih dahulu membuktikan diri mampu memperbaiki Jakarta, sebelum ‘terbang’ menggapai rembulan. Jadi, banyak yang sepakat dengan cemoohan Jusuf Kalla kala itu.

            Namun dalam situasi krisis ketokohan, tak ada rotan akar pun jadi. Jokowi berhasil dimasukkan ke dalam orbit melalui gerakan pencitraan yang untuk sebagian beraroma keberuntungan dalam momentum paceklik tokoh pemimpin berkualitas. Selain itu, di tubuh sementara partai ada keterbatasan kualitas kepemimpinan –plus buruknya kualitas demokrasi dan akal sehat– dalam pengambilan keputusan. Sebagai resultante situasi yang ada, Jokowi dan Prabowo Subianto lah, yang kemudian tersaji bagi publik sebagai pilihan the bad among the worst dalam proses Pemilihan Presiden 2014. Muhammad Jusuf Kalla, diam-diam harus menelan kembali cemoohannya tentang Jokowi, karena justru dirinyalah yang tampil sebagai pendamping Jokowi selaku Wakil Presiden.

            Publik kini tinggal menanti apakah negara ini akan ‘hancur atau tidak’, di tangan Jokowi bersama Jusuf Kalla. Sejak pelantikan mereka 20 Oktober 2014, waktu telah berlalu 9 bulan 20 hari, melebihi usia kandungan normal manusia. Tapi belum lahir juga pencapaian prestasi signifikan dari rezim pemerintahan mereka. Tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap rezim, naik-turun dalam kurva yang lebih cenderung berjalan menukik. Di tengah suasana kesangsian publik, di Istana Bogor Rabu (5/8) Presiden Jokowi menyatakan keyakinan bahwa mulai September nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambung jauh. Pers mengutip persis kata-kata dan isyarat tubuhnya. “Mulai agak meroket September, Oktober. Nah pas November, bisa begini…,” ujarnya seraya tangannya menunjuk ke atas ke langit-langit Istana. Namun Jokowi tidak berani memastikan apakah pertumbuhan itu akan melampaui 5 persen.

Penggunaan kata meroket itu sendiri dengan serta merta menuai hujan kritik dan sindiran. Karena, dalam realita, yang lebih dulu meroket justru adalah harga BBM, kurs dollar dan harga-harga kebutuhan pokok rakyat. Sementara itu, tak sedikit di antara menteri dan pembantu dekatnya di lingkaran kekuasaan juga semakin meroket perilaku komiknya. Dari mereka banyak bermunculan tindakan dan pernyataan sembarangan tak terukur. Ini semua sangat berpeluang menjadi sasaran senda gurau, kritik, kecaman bahkan bisa memancing penghinaan. Sesungguhnya, awal dari datangnya penghinaan adalah saat seseorang mulai ‘menghina’ dirinya sendiri dengan menampilkan perilaku buruk dan kata-kata buruk.

MESKI Jokowi hanya menang tipis terhadap Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2014, bagaimana pun ia sejenak berhasil membangkitkan harapan atau ekspektasi yang begitu tinggi di sebagian besar kalangan akar rumput maupun kalangan masyarakat terdidik baik. Namun, ketika selama berbulan-bulan hingga 9 bulan ia terlihat kedodoran di sana sini, ekspektasi itu mulai menukik, yang bagi sebagian orang melebihi hasil survey mana pun bahkan telah terhempas jauh ke bawah. Kedodoran itu diperparah oleh ketidakberhasilannya memilih tokoh-tokoh berkualitas prima dalam kabinetnya maupun dalam berbagai jajaran kekuasaan pemerintahannya. Wajar dalam suasana penuh kekecewaan itu situasi berbalik menjadi penuh olok-olok, kecaman, kritik bahkan keterpelesetan menjadi penghinaan. Persoalannya, setelah paceklik tokoh berkualitas, publik justru makin terobsesi terhadap kepemimpinan luar biasa untuk mengobati kecemasannya terhadap ketidakpastian masa depan bangsa dan negara. Dan tentu saja kepastian hidup dirinya sendiri bersama keluarganya sebagai ‘lembaga’ terkecil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka, selama Presiden, Wakil Presiden, para menteri maupun tokoh kekuasaan politik dan pemerintahan masih selalu tampil tidak optimal menurut gambaran ideal publik, risiko untuk diolok-olok, dikecam, dikritik bahkan dihina menjadi konsekuensi logis dalam ekspresi kekecewaan publik. Pemimpin dengan kualitas tidak memadai akan selalu mengeluh menghadapi berbagai situasi sulit, melankolis atau sebaliknya high-tension sebelum akhirnya jatuh terduduk. Namun, bagi seorang negarawan sejati, itu semua bukan persoalan yang tak bisa diatasi dengan wisdom dan perilaku yang berkualitas. (socio-politica.com)

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (1)

DILANDA banjir besar –mulai dari daerah pelosok langganan banjir sampai Bundaran HI dan Istana Negara– ibukota negara, Jakarta saat ini, menjadi pusat perhatian rakyat di seluruh penjuru negeri. Kelumpuhan ibukota karena terjangan banjir pertengahan Januari 2013 ini, semestinya menyadarkan kita, betapa negara ini secara keseluruhan sebenarnya telah gagal ditangani dengan baik. Bukan hanya dalam soal banjir –yang sudah merupakan masalah selama puluhan tahun– tetapi juga dalam berbagai persoalan kronis lainnya. Dari rezim ke rezim pemerintahan, dalam sebagian terbesar perjalanan sejarahnya sebagai negara merdeka. Setiap rezim memang bisa mencatat beberapa keberhasilan, namun sekaligus membukukan pula lebih banyak lagi kegagalan pengelolaan negara. Dan dengan demikian, Jakarta telah menjadi etalase kegagalan Indonesia tersebut dari waktu ke waktu.

ALI SADIKIN, DILANTIK PRESIDEN SOEKARNO. "Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang jenderal Korps Komando AL (kini disebut marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan". (Foto Arsip Negara)
ALI SADIKIN, DILANTIK PRESIDEN SOEKARNO. “Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang jenderal Korps Komando AL (kini disebut marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan”. (Foto Arsip Negara)

Problem Indonesia mana yang tak tercerminkan oleh Jakarta? Dari masalah banjir yang tak kunjung teratasi, kemacetan permanen lalu lintas, masalah kriminalitas yang merajalela, suap dan korupsi dalam pembangunan, anarki dan kekerasan antar penduduk, perilaku politik penuh intrik, saling terkam dalam kehidupan ekonomi, sampai kesenjangan sosial yang tampaknya sudah abadi. Dari Jakarta, perilaku-perilaku buruk terus menerus mengalir sebagai contoh menuju ke berbagai penjuru Indonesia. Dan di daerah, perilaku buruk terolah dalam berbagai bentuk, lalu daur ulangnya mengalir kembali ke Jakarta dalam wujud yang mengejutkan.

Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota menjadi lokasi delik suap atau korupsi yang spektakuler –baik cara maupun angkanya. Kadangkala lebih berani, lebih nekad, lebih terang-terangan dan vulgar, yang mengalahkan para guru korupsi di ibukota negara. Kaum korup di daerah sanggup mengorganisir perlawanan terbuka terhadap penegakan hukum. Ada pula bupati  yang diringkus di Jakarta untuk dibawa kembali ke daerahnya guna dieksekusi berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung, berhasil dirampas para preman dari tangan petugas Kejaksaan Agung. Data empiris juga memperlihatkan bahwa pelaku korupsi dari berbagai penjuru negara ‘terbawa’ urbanisasi ke Jakarta –sebagai pejabat eksekutif dan lembaga judikatif yang dimutasi ke Jakarta atau sebagai anggota legislatif hasil pemilihan umum sekali dalam lima tahun. Di ibukota negara mereka lalu ikut menambah kemeriahan dunia suap dan korupsi nasional untuk kemudian bersama-sama makin menjerumuskan Indonesia menuju kehancuran. Fenomena terbaru menunjukkan sejumlah korupsi skala besar diatur dari Jakarta dan dilakukan para pelaku kelompok campuran dalam bentuk persekongkolan nasional.

Sepanjang sejarahnya, Jakarta –sejak masih bernama Batavia– tak pernah terlepas dari masalah banjir. Bahkan, boleh dikatakan Jakarta lahir bersama banjir, karena wilayah tempat kota besar itu berdiri kini memang adalah dataran rendah yang hanya sedikit lebih tinggi dari permukaan air laut. Dilalui sejumlah sungai yang di musim kemarau sering nyaris kering, namun di musim hujan mengalirkan air berlimpah sehingga meluap sampai jauh. Batavia memasuki abad 20 dengan banjir besar di awal abad. Dan sampai memasuki abad 21, banjir secara teratur tetap menerjang sebagai masalah. Artinya, tak pernah tumbuh kemampuan menjawab tantangan di kalangan penyelenggara negara. Alih-alih menjawab tantangan, yang terjadi malah adalah sikap mati kutu mati akal, sehingga masalah serta sikap mental masyarakat justru terbiarkan makin ‘membusuk’ –misalnya membuang sampah sembarangan menyumbat sungai dan saluran air.

Kisah Gubernur Ali Sadikin. Tak satu pun gubernur Jakarta sepanjang masa Indonesia merdeka mampu menaklukkan banjir di Jakarta, dari Soemarno dan Ali Sadikin hingga Soetyoso dan Fauzi Bowo yang mengaku ahlinya banjir. Adapun Jokowi, tentu masih harus ditunggu beberapa waktu sebelum dinilai sepak terjangnya. Namun, kegesitan Jokowi blusukan meninjau lokasi banjir di ibukota, bagaimanapun agaknya berhasil memicu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk juga ikut blusukan mengunjungi lokasi banjir dan tempat penampungan korban banjir. Ketika Jokowi meninjau banjir di Bundaran HI dengan naik gerobak, di tempat lain SBY meninjau banjir menggunakan perahu karet dengan pengamanan ketat. Penjaga pojok Harian Kompas, Mang Usil –yang memang usil, sesuai namanya– lalu bikin perbandingan di akhir pekan: Gaya blusukan bintang lima dan blusukan kaki lima.

Selain terpicu Jokowi, pantas bila SBY turun meninjau banjir, karena sang banjir datang langsung menghadap dan disongsong sang Presiden di halaman Istana Merdeka pada hari Kamis pekan lalu.

PRESIDEN Soekarno dan beberapa presiden berikutnya hanya bisa marah-marah bilamana banjir melanda. Malah ada presiden yang mungkin tak pernah memikirkan soal banjir Jakarta. Entah karena sibuk menghadapi kekalutan politik yang terjadi. Entah memang tak ikut memikirkannya samasekali –“biarkan gubernur mengurusnya”– bagaikan perilaku burung onta, menyembunyikan kepala ke dalam tanah kala menghadapi masalah.

Ali Sadikin yang dipilih Presiden Soekarno menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1965 –berdasarkan dukungan Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik– menghadapi masalah utama: terlalu banyak yang harus diperbaiki, namun terlalu sedikit sumber dana. Terkait dengan situasi politik tahun 1965-1966, pada awalnya praktis tak banyak yang bisa dilakukan Ali Sadikin. Setelah kemelut politik sedikit mereda, Ali Sadikin mulai melakukan terobosan, khususnya memecahkan masalah sumber dana. Ia melokalisasi dan melegalisasi tempat-tempat perjudian yang terdiri dari beberapa kasino maupun arena mesin Jackpot, aneka tempat ‘adu ketangkasan’ manusia, maupun adu cepat anjing Greyhound di Senayan dan berhasil memperoleh dana dari sana. Ia juga menyelenggarakan judi untuk konsumsi masyarakat menengah dan bawah, semacam lotto dan tebakan hwa-hwee (serikat bunga), yang berhasil mengalirkan dana dalam jumlah besar ke kas pemerintah daerah. Ia ditentang oleh para ulama dan kekuatan politik Islam, tapi tidak memperdulikannya. Salah seorang bawahannya, AM Fatwa, berperan dengan baik membantunya meredam serangan-serangan kalangan agama tersebut.

Ali Sadikin, dengan dana yang cukup dari perjudian, berhasil menjawab tantangan kebutuhan rakyat ibukota pada tahun 1967, 1968, 1969 sampai 1970. Membangun jaringan transportasi kota yang lebih baik bagi rakyat, sambil membangun jembatan-jembatan penyeberangan untuk keselamatan pejalan kaki. Membangun stasiun-stasiun bus yang baru dan halte-halte disepanjang jalan protokol. Rajin memperlebar jalan, dan merubah gang-gang becek di perkampungan menjadi jalan beton. Tak lupa menyajikan makanan rohani bagi rakyatnya dengan acara-acara panggung hiburan rakyat. Tetapi ia tak berhasil menekan melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi yang dihasilkan oleh kemajuan ibukota dan bertambahnya orang kaya baru penikmat hasil pembangunan. Dan satu lagi, ia gagal mengatasi masalah banjir. Dengan jujur ia mengakui kegagalannya itu menjelang akhir masa jabatannya.

Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang Jenderal Korps Komando AL ( KKO, kini disebut Korps Marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan. Manusia yang berlimpah ruah menjadi produsen sampah yang dibuang sembarangan ke sungai-sungai. Pemukiman liar memang ikut mengurangi daerah resapan air, meski sebenarnya masih kalah jauh oleh laju pertumbuhan hutan beton dan hamparan aspal. Ali Sadikin tidak segan menumpahkan kemarahannya kepada gubernur-gubernur daerah lain yang dianggapnya tak mampu mencegah urbanisasi ke Jakarta. Ada benarnya, tapi agak berlebihan, karena urbanisasi adalah risiko dari suatu negara yang keadilan dan kesempatan ekonominya tidak merata. Ibukota tidak boleh bersikap egois.

Masa penuh madu dengan dana inkonvensional dari perjudian berakhir dengan keluarnya larangan perjudian dari Kopkamtib, April 1973. Tidak memprotes langsung Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, Ali Sadikin melampiaskan kegusarannya kepada mereka yang angkat suara mendukung larangan judi tersebut. Mereka yang beramai-ramai mendukung larangan Kopkamtib, disebut Ali Sadikin sebagai burung-burung Beo. Kepada pemerintah pusat ia mengingatkan agar mengganti dana dari judi yang hilang 5 milyar rupiah per tahun –suatu jumlah yang besar untuk ukuran masa itu. “Memangnya kita membangun dengan kentut saja”, ucapnya dengan ketus. “Kalau setiap kali kentut keluar 1 milyar, mari kentut sama-sama”.

Celaka dua belas, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro yang semestinya merasa terkena semburan kejengkelan Ali Sadikin, malah justru menegur dan memperingati pers. “Kalian jangan coba-coba adu domba sesama pejabat”, ujarnya kepada para wartawan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 2.

Antara Bergurau dan Berbohong: Tak Perlu Batas Moral

“Setidaknya dalam satu hal, para pengelola negara/pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia, lebih ‘beruntung’ daripada ‘kolega’nya di Jepang, yaitu dalam hal ‘kelonggaran’ tanggungjawab”. “Juga, lebih beruntung daripada Pinokio. Kalau berbohong, baik di masa kampanye pemilihan umum maupun keterusan saat berada dalam kekuasaan atau lembaga-lembaga kenegaraan yang ada, hidung mereka tidak bertambah panjang”.

Sebuah boneka kayu bernama Pinokio –tokoh dalam dongeng anak-anak karya Carlo Lorenzini yang lahir dan mati di Florence, Italia, abad 19– mendapat roh kehidupan berkat doa Gepetto sang tukang kayu pembuatnya yang mendambakan seorang anak. Pada awal kehidupannya, Pinokio menjadi seorang ‘anak’ yang agak nakal, suka bercanda dan bergurau dengan cara keterlaluan. Berbohong menjadi salah satu sifat buruknya yang utama. Namun, mudah untuk mengetahui kapan Pinokio melakukan kebohongan, karena setiap kali ia berbohong, hidungnya memanjang. Semakin ia berbohong, semakin panjang hidungnya. Hanya dengan berbuat kebaikan, hidungnya bisa berangsur kembali memendek.

Seorang anggota Kabinet Pemerintahan PM Naoto Kan di Jepang, Menteri Kehakiman Minoru Yanagida, 14 November yang lalu bergurau keterlaluan. Dalam suatu pertemuan di Hiroshima, ia bercerita bagaimana caranya ia ‘mengelak’ di parlemen bila ia tak bisa menjawab sebuah pertanyaan. Dirinya, demikian katanya, hanya perlu mengingat dua kalimat sebagai jurus menghadapi pertanyaan anggota parlemen yang sulit dijawab. Pertama, “Saya tak mau berkomentar untuk kasus-kasus tertentu”, dan yang kedua, “Kami sudah bertindak sesuai hukum dan bukti yang ada”. Anggota-anggota parlemen menganggap bahwa dengan gurauan itu, sang menteri telah meremehkan tugas-tugas sebagai Menteri Kehakiman dan tentunya juga meremehkan para anggota parlemen. Akhirnya, Minoru Yanagida, memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai ‘pertanggungjawaban’ moral. Penjaga Pojok Harian Kompas, Mang Usil, lalu mengomentari, “Gara-gara bergurau, Menkeh Jepang mundur. Di Indonesia, menteri bergurau atau bekerja, mirip, tuh!”.

BERBICARA atas nama Presiden menanggapi apakah KPK perlu ikut menangani Kasus Mafia Hukum/Pajak Gayus Tambunan, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyatakan “Sistem sudah bekerja dan kepolisian akan menyelesaikan kasus ini secara baik, sesuai peraturan yang berlaku” (Kompas 24/11). Ada dua hal yang ‘terjadi’ di sini. Pertama, kalimat sang juru bicara, mengingatkan pada salah satu kalimat ‘pamungkas’ Minoru Yanagida, yang mirip sifat baku dan kegunaannya. Kalimat-kalimat jawaban pejabat Indonesia selama ini, terutama dari kalangan penegak hukum, memiliki format yang sama, seperti: “Sudah sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku”, “Kami sudah bertindak sesuai koridor hukum yang ada” atau kalimat-kalimat mengelak yang sejenisnya. Sedikit lebih ‘kreatif’ dibanding kalimat yang sering diucapkan (para) menteri zaman Soeharto, “Sesuai petunjuk bapak Presiden….”. Kedua, pernyataan Presiden yang disampaikan melalui Aldrin Pasha, meski tidak dinyatakan langsung ke titik sasaran, cenderung menunjukkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak begitu berkenan KPK ikut menangani kasus Gayus Tambunan. Tapi, tentu soal sikap Presiden ini masih harus diikuti dan dilihat lebih jauh, termasuk melalui ‘bahasa tubuh’ dan tindakan-tindakan sang Presiden di masa mendatang ini.

SETIDAKNYA dalam satu hal, para pengelola negara/pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia, lebih ‘beruntung’ daripada ‘kolega’nya di Jepang, yaitu dalam hal ‘kelonggaran’ tanggungjawab. Seakan tak diperlukan semacam batas moral. Tak perlu mundur bila mengucapkan kata-kata keliru atau terlalu penuh gurauan. Minta maafpun tak perlu. Dengan nyaman seorang tokoh pemerintahan dan anggota DPR bisa mengatakan bahwa ramainya mal-mal dan supermarket dengan pengunjung menjadi indikator kemajuan ekonomi. Bisa ‘memarahi’ rakyat, agar jangan berumah di tepi pantai atau di pulau bila takut kena Tsunami. Bisa mengatakan ada sejumlah bukti rekaman untuk suatu kepentingan rekayasa, tapi pada saatnya di pengadilan tak mampu menunjukkan bukti-bukti itu. Di Jepang, bila ada sesuatu yang tidak beres atau tak berlangsung semestinya di kawasan tanggungjawabnya, seorang menteri akan mengundurkan diri. Bila ada krisis keuangan, Menteri Keuangan mengundurkan diri. Bila ada kecelakaan kereta api, Menteri Perhubungan meletakkan jabatan. Di Indonesia, setiap bulan pun terjadi kecelakaan kereta api, hanya masinis atau tukang sinyal dan penjaga perlintasan kereta yang dihukum. Isu-isu praktek mafia hukum di tubuh kepolisian hanya bisa menyentuh sampai pangkat tertinggi Komisaris Polisi, tak bisa lebih tinggi lagi meskipun sejumlah nama jenderal disebut-sebutkan. Dua pegawai pajak terbongkar permainannya yang bernilai ratusan milyar, tak perlu menggoyahkan Dirjen Pajak. Dan sebagainya, yang tak perlu lagi diceritakan ulang, selain karena sudah terlalu banyak, juga sudah menjadi pengetahuan umum.

Juga, lebih beruntung daripada Pinokio. Kalau berbohong, baik di masa kampanye pemilihan umum maupun keterusan saat berada dalam kekuasaan atau lembaga-lembaga kenegaraan yang ada, hidung mereka tidak bertambah panjang. Jadi, tidak kasat mata terlihat. Beberapa dari mereka bisa saja terasakan oleh publik telah berbohong, tetapi tak bisa diapa-apakan, karena mekanisme defensif maupun mekanisme ‘perlindungan’ konspirasi mereka lebih kuat daripada mekanisme ‘kontrol’ publik. Sekaligus tak terhalang suatu batas moral lagi. Perhatikan saja, bagaimana pola reaksi mereka –para tokoh kalangan eksekutif, legislatif maupun judikatif serta tokoh-tokoh partai– bilamana sedang menjadi tertuduh dalam berbagai kasus, entah dalam kaitan mafia hukum, mafia pajak, kepemilikan rekening tak wajar, gratifikasi, suap, rekayasa, politik uang, manipulasi angka pemilihan umum dan sebagainya. Bersikeras, beralasan 1001, kadang-kadang mengancam balik, melaporkan balik, mengerahkan massa tandingan dan sebagainya, dan seterusnya.

SEBAGAI penutup, inilah cetusan hati seorang ibu kalangan menengah yang kini berusia 65: “Dalam pemilihan yang lalu, saya sudah memilih tokoh yang betul-betul saya pikir terbaik di antara yang pernah ada. Ternyata saya salah pilih juga. Jadi, kalau umur saya panjang, saya tak mau memilih siapa pun lagi dalam pemilihan yang akan datang, sehebat apapun pencitraannya…”. Kita belum tahu kini, berapa banyak anggota masyarakat –tua atau muda, dari berbagai kalangan– yang bersikap seperti ini nanti…..