Tag Archives: Istana Negara

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (1)

DILANDA banjir besar –mulai dari daerah pelosok langganan banjir sampai Bundaran HI dan Istana Negara– ibukota negara, Jakarta saat ini, menjadi pusat perhatian rakyat di seluruh penjuru negeri. Kelumpuhan ibukota karena terjangan banjir pertengahan Januari 2013 ini, semestinya menyadarkan kita, betapa negara ini secara keseluruhan sebenarnya telah gagal ditangani dengan baik. Bukan hanya dalam soal banjir –yang sudah merupakan masalah selama puluhan tahun– tetapi juga dalam berbagai persoalan kronis lainnya. Dari rezim ke rezim pemerintahan, dalam sebagian terbesar perjalanan sejarahnya sebagai negara merdeka. Setiap rezim memang bisa mencatat beberapa keberhasilan, namun sekaligus membukukan pula lebih banyak lagi kegagalan pengelolaan negara. Dan dengan demikian, Jakarta telah menjadi etalase kegagalan Indonesia tersebut dari waktu ke waktu.

ALI SADIKIN, DILANTIK PRESIDEN SOEKARNO. "Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang jenderal Korps Komando AL (kini disebut marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan". (Foto Arsip Negara)
ALI SADIKIN, DILANTIK PRESIDEN SOEKARNO. “Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang jenderal Korps Komando AL (kini disebut marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan”. (Foto Arsip Negara)

Problem Indonesia mana yang tak tercerminkan oleh Jakarta? Dari masalah banjir yang tak kunjung teratasi, kemacetan permanen lalu lintas, masalah kriminalitas yang merajalela, suap dan korupsi dalam pembangunan, anarki dan kekerasan antar penduduk, perilaku politik penuh intrik, saling terkam dalam kehidupan ekonomi, sampai kesenjangan sosial yang tampaknya sudah abadi. Dari Jakarta, perilaku-perilaku buruk terus menerus mengalir sebagai contoh menuju ke berbagai penjuru Indonesia. Dan di daerah, perilaku buruk terolah dalam berbagai bentuk, lalu daur ulangnya mengalir kembali ke Jakarta dalam wujud yang mengejutkan.

Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota menjadi lokasi delik suap atau korupsi yang spektakuler –baik cara maupun angkanya. Kadangkala lebih berani, lebih nekad, lebih terang-terangan dan vulgar, yang mengalahkan para guru korupsi di ibukota negara. Kaum korup di daerah sanggup mengorganisir perlawanan terbuka terhadap penegakan hukum. Ada pula bupati  yang diringkus di Jakarta untuk dibawa kembali ke daerahnya guna dieksekusi berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung, berhasil dirampas para preman dari tangan petugas Kejaksaan Agung. Data empiris juga memperlihatkan bahwa pelaku korupsi dari berbagai penjuru negara ‘terbawa’ urbanisasi ke Jakarta –sebagai pejabat eksekutif dan lembaga judikatif yang dimutasi ke Jakarta atau sebagai anggota legislatif hasil pemilihan umum sekali dalam lima tahun. Di ibukota negara mereka lalu ikut menambah kemeriahan dunia suap dan korupsi nasional untuk kemudian bersama-sama makin menjerumuskan Indonesia menuju kehancuran. Fenomena terbaru menunjukkan sejumlah korupsi skala besar diatur dari Jakarta dan dilakukan para pelaku kelompok campuran dalam bentuk persekongkolan nasional.

Sepanjang sejarahnya, Jakarta –sejak masih bernama Batavia– tak pernah terlepas dari masalah banjir. Bahkan, boleh dikatakan Jakarta lahir bersama banjir, karena wilayah tempat kota besar itu berdiri kini memang adalah dataran rendah yang hanya sedikit lebih tinggi dari permukaan air laut. Dilalui sejumlah sungai yang di musim kemarau sering nyaris kering, namun di musim hujan mengalirkan air berlimpah sehingga meluap sampai jauh. Batavia memasuki abad 20 dengan banjir besar di awal abad. Dan sampai memasuki abad 21, banjir secara teratur tetap menerjang sebagai masalah. Artinya, tak pernah tumbuh kemampuan menjawab tantangan di kalangan penyelenggara negara. Alih-alih menjawab tantangan, yang terjadi malah adalah sikap mati kutu mati akal, sehingga masalah serta sikap mental masyarakat justru terbiarkan makin ‘membusuk’ –misalnya membuang sampah sembarangan menyumbat sungai dan saluran air.

Kisah Gubernur Ali Sadikin. Tak satu pun gubernur Jakarta sepanjang masa Indonesia merdeka mampu menaklukkan banjir di Jakarta, dari Soemarno dan Ali Sadikin hingga Soetyoso dan Fauzi Bowo yang mengaku ahlinya banjir. Adapun Jokowi, tentu masih harus ditunggu beberapa waktu sebelum dinilai sepak terjangnya. Namun, kegesitan Jokowi blusukan meninjau lokasi banjir di ibukota, bagaimanapun agaknya berhasil memicu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk juga ikut blusukan mengunjungi lokasi banjir dan tempat penampungan korban banjir. Ketika Jokowi meninjau banjir di Bundaran HI dengan naik gerobak, di tempat lain SBY meninjau banjir menggunakan perahu karet dengan pengamanan ketat. Penjaga pojok Harian Kompas, Mang Usil –yang memang usil, sesuai namanya– lalu bikin perbandingan di akhir pekan: Gaya blusukan bintang lima dan blusukan kaki lima.

Selain terpicu Jokowi, pantas bila SBY turun meninjau banjir, karena sang banjir datang langsung menghadap dan disongsong sang Presiden di halaman Istana Merdeka pada hari Kamis pekan lalu.

PRESIDEN Soekarno dan beberapa presiden berikutnya hanya bisa marah-marah bilamana banjir melanda. Malah ada presiden yang mungkin tak pernah memikirkan soal banjir Jakarta. Entah karena sibuk menghadapi kekalutan politik yang terjadi. Entah memang tak ikut memikirkannya samasekali –“biarkan gubernur mengurusnya”– bagaikan perilaku burung onta, menyembunyikan kepala ke dalam tanah kala menghadapi masalah.

Ali Sadikin yang dipilih Presiden Soekarno menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1965 –berdasarkan dukungan Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik– menghadapi masalah utama: terlalu banyak yang harus diperbaiki, namun terlalu sedikit sumber dana. Terkait dengan situasi politik tahun 1965-1966, pada awalnya praktis tak banyak yang bisa dilakukan Ali Sadikin. Setelah kemelut politik sedikit mereda, Ali Sadikin mulai melakukan terobosan, khususnya memecahkan masalah sumber dana. Ia melokalisasi dan melegalisasi tempat-tempat perjudian yang terdiri dari beberapa kasino maupun arena mesin Jackpot, aneka tempat ‘adu ketangkasan’ manusia, maupun adu cepat anjing Greyhound di Senayan dan berhasil memperoleh dana dari sana. Ia juga menyelenggarakan judi untuk konsumsi masyarakat menengah dan bawah, semacam lotto dan tebakan hwa-hwee (serikat bunga), yang berhasil mengalirkan dana dalam jumlah besar ke kas pemerintah daerah. Ia ditentang oleh para ulama dan kekuatan politik Islam, tapi tidak memperdulikannya. Salah seorang bawahannya, AM Fatwa, berperan dengan baik membantunya meredam serangan-serangan kalangan agama tersebut.

Ali Sadikin, dengan dana yang cukup dari perjudian, berhasil menjawab tantangan kebutuhan rakyat ibukota pada tahun 1967, 1968, 1969 sampai 1970. Membangun jaringan transportasi kota yang lebih baik bagi rakyat, sambil membangun jembatan-jembatan penyeberangan untuk keselamatan pejalan kaki. Membangun stasiun-stasiun bus yang baru dan halte-halte disepanjang jalan protokol. Rajin memperlebar jalan, dan merubah gang-gang becek di perkampungan menjadi jalan beton. Tak lupa menyajikan makanan rohani bagi rakyatnya dengan acara-acara panggung hiburan rakyat. Tetapi ia tak berhasil menekan melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi yang dihasilkan oleh kemajuan ibukota dan bertambahnya orang kaya baru penikmat hasil pembangunan. Dan satu lagi, ia gagal mengatasi masalah banjir. Dengan jujur ia mengakui kegagalannya itu menjelang akhir masa jabatannya.

Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang Jenderal Korps Komando AL ( KKO, kini disebut Korps Marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan. Manusia yang berlimpah ruah menjadi produsen sampah yang dibuang sembarangan ke sungai-sungai. Pemukiman liar memang ikut mengurangi daerah resapan air, meski sebenarnya masih kalah jauh oleh laju pertumbuhan hutan beton dan hamparan aspal. Ali Sadikin tidak segan menumpahkan kemarahannya kepada gubernur-gubernur daerah lain yang dianggapnya tak mampu mencegah urbanisasi ke Jakarta. Ada benarnya, tapi agak berlebihan, karena urbanisasi adalah risiko dari suatu negara yang keadilan dan kesempatan ekonominya tidak merata. Ibukota tidak boleh bersikap egois.

Masa penuh madu dengan dana inkonvensional dari perjudian berakhir dengan keluarnya larangan perjudian dari Kopkamtib, April 1973. Tidak memprotes langsung Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, Ali Sadikin melampiaskan kegusarannya kepada mereka yang angkat suara mendukung larangan judi tersebut. Mereka yang beramai-ramai mendukung larangan Kopkamtib, disebut Ali Sadikin sebagai burung-burung Beo. Kepada pemerintah pusat ia mengingatkan agar mengganti dana dari judi yang hilang 5 milyar rupiah per tahun –suatu jumlah yang besar untuk ukuran masa itu. “Memangnya kita membangun dengan kentut saja”, ucapnya dengan ketus. “Kalau setiap kali kentut keluar 1 milyar, mari kentut sama-sama”.

Celaka dua belas, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro yang semestinya merasa terkena semburan kejengkelan Ali Sadikin, malah justru menegur dan memperingati pers. “Kalian jangan coba-coba adu domba sesama pejabat”, ujarnya kepada para wartawan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 2.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (7)

“Menjadi pertanyaan pula saat itu, apakah di bulan Januari itu demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran akan meletus karena tak ada tanda-tanda penguasa mau mendengar kritik dan tuntutan para mahasiswa dan akhirnya mau berbuat sesuatu untuk kepentingan rakyat, sesuatu yang selama bertahun-tahun telah dilupakan penguasa”.

TERHADAP pertemuan Presiden Soeharto dengan mahasiswa itu, ada dua penilaian berbeda, yakni dari kalangan penguasa dan dari kalangan mahasiswa. Kalangan penguasa mendalilkan bahwa karena dalam pertemuan itu Presiden Soeharto telah menampung protes-protes mahasiswa, maka semestinya mahasiswa sudah harus berhenti berdemonstrasi. Suara mahasiswa berbeda. “Sejak semula sudah saya katakan bahwa pertemuan ini bukan merupakan final dari segalanya. Di sini kita hanya sekedar berbasa basi”, Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik menegaskan segera setelah pertemuan dengan Presiden di Bina Graha itu. “Dalam pertemuan itu sendiri tidak ada hal yang baru. Kita tidak akan bisa mengharapkan bahwa akan ada perbaikan dalam waktu dekat, kalau kita hanya semata-mata menitikberatkan pada pertemuan itu”.

Catatan mengenai pertemuan itu juga datang dari Sudharmono SH –waktu itu Menteri Sekretaris Negara. Pertemuan berjalan cukup tertib, tulis Sudharmono SH, “para mahasiswa menyampaikan dua deklarasi, satu dari mahasiswa Jakarta, satu lagi dari mahasiswa luar Jakarta”. Pada pokoknya tuntutan berisi agar pemerintah melaksanakan pembangunan yang berorientasi kerakyatan, memberantas korupsi, dan menghapus lembaga-lembaga yang inkonstitusional. Dalam pertemuan itu, Presiden Soeharto menjelaskan berbagai kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah yang tidak lain sebagai pelaksanaan amanat rakyat yang dituangkan dalam GBHN 1973. Presiden Soeharto juga meminta kepada delegasi mahasiswa agar jangan mengganggu jalannya acara-acara tamu negara yang dapat menurunkan martabat negara sebagai tuan rumah yang baik. “Namun, rupanya pertemuan dengan bapak Presiden tidak menghentikan kegiatan demonstrasi mahasiswa. Malahan tampaknya makin meningkat”.

Pada kenyataannya memang, selama beberapa hari setelah pertemuan mahasiswa tetap bergerak, hingga pecah suatu huru hara besar pada tanggal 15 dan 16 Januari, yang dalam analisis beberapa kalangan, merupakan hasil suatu provokasi kalangan kekuasaan untuk menggemboskan gerakan perlawanan mahasiswa. Usaha menghentikan perlawanan mahasiswa ini, sudah berlangsung sejak awal, pada bulan-bulan sebelumnya di tahun 1973. Namun pukulan balik terhadap gerakan mahasiswa ini baru berhasil pada pertengahan Januari 1974, satu dan lain hal banyak terkait pula dengan  ‘keteledoran’ para pimpinan mahasiswa Jakarta sendiri dalam menerima dan memanage ‘masuk’nya kekuatan non kampus dalam gerakan-gerakan mereka. Dan akhirnya, untuk keteledoran itu, mereka harus membayar dengan suatu harga yang mahal. Selain itu, gerakan-gerakan mahasiswa memang terjadi dalam ruang dan waktu yang bersamaan dengan proses perseteruan yang terjadi pada internal kekuasaan. Titik singgung bagaimana pun tak selalu bisa dihindari.

Api bagi ‘penjual’ bangsa

PERTEMUAN 11 Januari 1974 antara mahasiswa dengan Presiden Soeharto tidak terjadi seketika dan begitu saja. Beberapa kali sebelumnya, di bulan Desember 1973, para mahasiswa mencoba menerobos ke kantor Presiden Soeharto di Bina Graha dan ke kediaman Jalan Cendana untuk bertemu langsung dengan presiden, namun gagal terus.  Percobaan terakhir terjadi Senin 24 Desember 1973.

Pada awal pekan terakhir tahun 1973 itu, Jakarta sangat kental dengan aroma militer. Iring-iringan panser dan berbagai kendaraan lapis baja di pusat kota menjadi atraksi tersendiri bagi sebagian masyarakat ibukota. Hari itu, Kodam V Jaya sedang merayakan ulang tahun yang ke-24, yang dipusatkan di Monumen Nasional. Tapi pada saat kendaraan-kendaraan militer itu bermanuver, sekitar seratus mahasiswa yang mewakili 12 Dewan Mahasiswa dari tiga kota –Bandung, Jakarta dan Bogor– juga sedang bergerak tak jauh dari sana, menuju kantor Presiden, Bina Graha, di sudut kompleks Istana Negara. Dua Dewan Mahasiswa dari Bandung adalah dari ITB dan Universitas Padjadjaran. Dari ITB antara lain Komaruddin. Sedang dari Universitas Padjadjaran adalah Chairuman Harahap yang adalah Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Perwakilan Mahasiswa yang waktu itu datang dengan mandat dari Ketua Umum DM selaku pimpinan rombongan mahasiswa Unpad. Dari Bogor adalah dari IPB. Sisanya, dari Jakarta yakni Harriman Siregar dan kawan-kawan dari UI serta DM-DM Sekolah Tinggi Olahraga, IKIP Muhammadiyah, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Muhammadiyah, Universitas Jayabaya dan Universitas Katolik Atmajaya.

Di Bina Graha delegasi 12 DM tiga kota itu disambut kurang ramah. Petugas hanya mengizinkan 3 anggota delegasi masuk ke Bina Graha. Hariman Siregar meminta paling kurang 12 orang karena ada 12 Dewan Mahasiswa yang datang. Setelah bersitegang para mahasiswa mendapat jawaban, Presiden Soeharto tidak ada di tempat. Seorang staf kepresidenan bahkan menjelaskan “Bapak Presiden jarang berkantor di sini”. Kecuali, hari Selasa bila ada sidang Dewan Stabilisasi. Karena jawaban ini, pukul 11.00 para mahasiswa bergerak ke Sekertariat Negara untuk menemui Menteri Sekertaris Negara. Mereka hanya bertemu Letnan Kolonel Sudaryono karena Menteri juga tak ada di tempat. Karena kesal, para mahasiswa melakukan aksi duduk sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan beberapa lamanya. Dan akhirnya memutuskan untuk bergerak ke Jalan Cendana mencari Jenderal Soeharto.

Menumpang bus, massa dari 12 Dewan Mahasiswa, akhirnya bergerak ke Jalan Cendana dibayangi pasukan pengendali huru hara dari Komando Daerah Kepolisian Metro Jaya yang bertopi helm lengkap dengan tameng dan tongkat penggebuk. Adalah pasukan anti huru hara ini bersama Polisi Militer AD yang mengawal Istana Cendana yang mencegah para mahasiswa masuk ke kawasan Cendana. Sempat terjadi ejek mengejek dan dorong mendorong antara mahasiswa dengan petugas. Mahasiswa mengultimatum, bila tidak diizinkan masuk, mereka akan datang kembali dengan jumlah massa yang jauh lebih besar. Namun sebelum terjadi bentrokan fisik yang sepertinya akan pecah, Kolonel Darsa dari Cendana akhirnya mengizinkan 8 utusan mahasiswa masuk ke Cendana. Di Cendana utusan ini menyampaikan memorandum dan mendapat janji dari sang komandan pengawal bahwa memo itu pasti akan disampaikan langsung kepada Presiden. Para mahasiswa ini pun dijanjikan akan diterima langsung oleh Jenderal Soeharto dalam waktu dekat. Agaknya Kolonel Darsa mendapat konfirmasi ini langsung dari Presiden Soeharto. Tetapi di belakang hari, Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo menuduh gerakan yang dilakukan mahasiswa ke Cendana ini sebagai sikap memaksakan kehendak kepada Presiden Soeharto.

DI AWAL Januari 1974, tidak menjadi hal yang terlalu penting sebenarnya bagi para mahasiswa, khususnya untuk mahasiswa Bandung, apakah Presiden Soeharto akan betul-betul menemui mereka atau tidak. Bagi mahasiswa Bandung, bahkan mulai terbetik kekuatiran bahwa bertemu dengan Soeharto mungkin saja sekedar menjadi ‘tujuan akhir’ dari beberapa ‘rekan’ mereka pimpinan mahasiswa Jakarta. Dasar kekuatiran seperti itu bukannya tanpa alasan. Sebelum pertemuan dengan Soeharto, pada 10 Januari malam, dewan-dewan mahasiswa se Indonesia yang akan hadir esok hari di Bina Graha mengadakan pertemuan di Cipayung. Kebetulan saat itu sedang berlangsung Latihan Nasional Kepemimpinan Dewan Mahasiswa II di Puncak Pass (6 hingga 11 Januari), yang diikuti 60 mahasiswa dari 12 Dewan Mahasiswa se Indonesia. Penyelenggara adalah DM ITB, dengan Ketua OC (Organizing Committee) Ahmad Fuad Afdhal. Maka para pimpinan mahasiswa memilih untuk bertemu tak jauh dari sana.

Di forum Cipayung itu, Hariman Siregar dan kawan-kawan dari Jakarta menyodorkan agar Deklarasi Mahasiswa Jakarta lah yang dalam pertemuan dengan Soeharto esok hari yang disampaikan sebagai pernyataan para mahasiswa se Indonesia itu. Para mahasiswa Bandung, Yogya, Semarang (Universitas Diponegoro) dan juga dari Medan (USU, Universitas Sumatera Utara), Universitas Syiah Kuala dari Banda Aceh, dan dari Kalimantan tidak setuju, karena menganggap bahwa suatu pernyataan bersama justru harus dibicarakan saat itu di forum itu.

Hatta Albanik mengatakan, selama ini kita bersatu, tetapi makin dekat pertemuan dengan Soeharto kenapa kini seperti harus pisah. Hatta menilai seakan-akan mahasiswa Jakarta menganggap pertemuan dengan Soeharto sebagai puncak perjuangan, padahal justru baru merupakan awal perjuangan dengan bisa menyampaikan kritik langsung kepada pimpinan kekuasaan. Hariman menjawab bahwa selama ini ia telah berjuang untuk persatuan mahasiswa Indonesia. Hatta menjawab, bahwa justru dengan sikap mahasiswa Jakarta yang seperti ditunjukkan malam itu, bisa memecah persatuan.

Terlihat bahwa malam itu terjadi pembelahan atas dua kutub, antara Jakarta dengan luar Jakarta. Akhirnya ‘sepakat untuk tidak sepakat’ malam itu membuahkan keputusan bahwa mahasiswa Jakarta silahkan menyampaikan deklarasinya dan mahasiswa luar Jakarta pun menyampaikan pernyataannya masing-masing di esok hari. Maka beberapa DM luar Jakarta, antara lain dari ITB, Universitas Sumatera Utara, Universitas Diponegoro, Universitas Syiah Kuala dan lain-lain lalu merumuskan sendiri suatu deklarasi untuk disampaikan esok hari. DM Universitas Padjadjaran tidak turut dalam perumusan itu. Begitu pula Universitas Parahyangan. Dengan demikian Unpad dan Unpar seperti halnya juga dengan beberapa DM luar Jakarta lainnya yang hadir dalam pertemuan dengan Soeharto 11 Januari 1974, memilih ‘berada’ di luar dua Deklarasi –khususnya di luar Deklarasi Mahasiswa versi Jakarta– yang disampaikan mahasiswa dalam pertemuan 11 Januari. DM-Unpad menyampaikan sendiri aspirasinya melalui Hatta Albanik, sedang DM-Unpar melalui Budiono Kusumohamidjojo.

Tanpa terlalu disadari barangkali, adanya dua kutub tercermin dalam pertemuan 11 Januari 1974, yakni di deretan kiri Soeharto duduk delegasi DM-DM Jakarta dan diseberangnya di sebelah kanan Soeharto duduk delegasi DM-DM luar Jakarta. Sejak 10 Januari malam itulah pula muncul kecurigaan mahasiswa luar Jakarta, Bandung khususnya, terhadap Hariman Siregar, bahwa ia mempunyai misi tertentu. Sesuatu yang berkali-kali dibantahnya.

Sebelum pertemuan 11 Januari, sebenarnya mahasiswa Bandung pernah mengundang Soeharto. Secara agak jenaka dan spontan mereka mengajak Presiden Soeharto justru datang ke kampus mereka di Bandung. Bertanggal 10 Januari 1974, Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjadjaran menyampaikan sajak undangan: “Pak Harto, Presiden kami. Sudah saatnya pak, sebagai pimpinan bangsa, tidak lagi mengamati keadaan bangsa, dari atas singgasana istana. Datanglah sendiri, lihatlah sendiri, keadaan bangsa Indonesia kini, tidaklah cerah lagi. Keadaannya tidak seindah yang dilaporkan orang-orang di sekitar bapak. Untuk mereka yang mengelilingi bapak kini, bukan tak mungkin, mikroskop waspada harus bapak pergunakan; untuk melihat kuman borok. Pengalaman Soekarno tak seharusnya terulang pada bapak. Pemimpin yang jujur, pintar, berani membela kepentingan masyarakat luas, itulah yang bapak harus percayai. Pak, sudah saatnya kini, untuk tidak lagi berlaku bagaikan maharaja feodal, memanggil menghadap hamba ke singgasana. Kami bermohon dengan rendah hati: jenguklah kami, lihatlah sendiri, bukalah timbal balik komunikasi langsung. Kami undang bapak ke kampus kami, tak jauh, tak mencapai 200 km dari istana. Untuk langsung mendengar keluhan kami, tanpa perantara, pada tanggal sembilan belas bulan Januari tahun tujuh empat, di kampus kami, jam sepuluh. Luangkan satu hari Minggu bapak untuk ke Sawangan”. Tentu saja Presiden tidak pernah memenuhi undangan itu.

Menjadi pertanyaan pula saat itu, apakah di bulan Januari itu demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran akan meletus karena tak ada tanda-tanda penguasa mau mendengar kritik dan tuntutan para mahasiswa dan akhirnya mau berbuat sesuatu untuk kepentingan rakyat –sesuatu yang menurut Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik selama bertahun-tahun telah dilupakan penguasa. Ataukah sebaliknya, aksi mahasiswa ‘kempes’ bannya, setelah bertemu dan berdialog dengan Jenderal Soeharto misalnya. Harriman Siregar sendiri, yang dianggap menunjukkan keinginan kuat untuk bertemu Soeharto, menjelaskan bahwa tujuannya mengajak mahasiswa bertemu Soeharto tak lain hanya untuk melontarkan seluruh uneg-uneg dan kecaman –yang dalam istilah Hariman, ‘maki-maki’.

Berlanjut ke Bagian 8