Soeharto, janji yang tak pernah dipenuhi
Pada bulan Agustus 1970, aksi anti korupsi makin marak. Bukan hanya mahasiswa Bandung dan Jakarta yang bergerak, tapi juga Yogya, Surabaya dan Makassar serta Medan. Akan tetapi memang yang selalu menjadi bahan berita utama adalah Bandung dan Jakarta. Komite Anti Korupsi yang dimotori Arief Budiman merencanakan malam tirakatan 15 Agustus di jalur hijau jalan MH Thamrin. Tapi rencana itu dilarang oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro. Kopkamtib ini dalam waktu yang singkat memang betul-betul makin menunjukkan taring dan aumannya, dan menjadi lembaga yang ditakuti karena kewenangannya yang luas dan bisa menangkap siapa saja dan kapan saja cukup dengan tuduhan ‘mengarah subversi’. Larangan itu dilontarkan Jenderal Soemitro seraya melontar ancaman akan mengirim pasukan bila tirakatan tetap dilaksanakan Arief Budiman dan kawan-kawan. Digambarkan bahwa waktu itu Arief tetap bersikeras ingin melaksanakan niatnya, meskipun ada beberapa kawannya yang agak gentar juga, sehingga diperhitungkan akan terjadi bentrok bila tak ada satu pihak yang bersedia mengalah.
Akan tetapi, tampil Gubernur DKI Ali Sadikin –seorang Jenderal Marinir, dulu disebut KKO atau Korps Komando– turun tangan memberi jalan tengah, untuk mencegah apa yang dikatakan akan menyebabkan bentrok. Mahasiswa ditawarkan untuk melaksanakan malam tirakatan di rumah masing-masing dan Ali Sadikin yang populer bagi warga Jakarta saat itu menjanjikan akan memadamkan lampu selama lima menit malam itu di seluruh Jakarta. Mahasiswa-mahasiswa Jakarta menerima jalan tengah ini dan betul-betul bermalam tirakatan di tempat masing-masing. Komite Anti korupsi (KAK) dua hari sebelum 15 Agustus 1970 memutuskan menerima usulan Ali Sadikin. Namun W.S. Rendra penyair Mastodon dari Yogya yang bukan warga Jakarta dan merasa bukan anggota KAK –sehingga merasa tidak terikat dengan keputusan KAK– tetap datang ke Jalan Thamrin pada pukul 21.00. Bersama beberapa rekannya sesama seniman yakni Azwar AN, Nazhar, Djuffri Tanissan, Gunawan Muhammad, Bur Rasuanto, Hutasoit dan JE Siahaan, ditambah ekonom muda Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti, turun ke jalur hijau Jalan Thamrin di depan Wisma Warta. Mereka duduk dengan tenang di sana dalam suatu lingkaran, kemudian berdoa, bertirakatan. Dan langsung ditangkap setengah jam kemudian. Rendra digiring ke mobil petugas, diikuti Azwar dan Hutasoit, dibawa ke Kodim (Komando Distrik Militer) Jakarta Pusat sebelum dibawa ke Skogar (Staf Komando Garnisun). Beberapa teman tirakatannya dan eksponen KAK termasuk Akbar Tandjung menyusul ke Skogar, tapi malah juga ikut diperiksa. Mereka dibebaskan pada pukul 02.30, kecuali Akbar Tandjung dan Dorodjatun yang masih “diperlukan”, dan ikut diinapkan semalam bersama Rendra. Mereka baru dibebaskan keesokan siangnya pukul 15.00.
Setelah terjadi serangkaian gejolak mahasiswa, DPRGR tanggap juga akhirnya. Pada bulan September lembaga yang ‘telah dibersihkan’ dari sisa-sisa Orde Lama ini menyelenggarakan diskusi untuk membahas Rancangan Undang-undang Anti Korupsi. Insiatif DPRGR ini sedikit-dikitnya berhasil juga meredam sementara aksi-aksi mahasiswa, yang mungkin saja sudah merasa telah didengar tuntutannya. Dan untuk selanjutnya, tampaknya gerakan anti korupsi telah bertukar menjadi “susun segera Undang-undang Anti Korupsi”. Pada pertengahan Agustus sebelumnya, dalam pidato kenegaraannya selain menganjurkan agar pembahasan Rancangan Undang-undang Anti Korupsi dipercepat pembahasannya, Soeharto pun berjanji “Pemberantasan korupsi akan saya pimpin langsung”. Suatu janji yang tak pernah dipenuhi, untuk tidak mengatakan sebaliknya. Perlu dicatat, tak ada Presiden Indonesia, yang tidak pernah berjanji memberantas korupsi. Namun, korupsi seakan telah masuk ke dalam perspektif keabadian.
Berikutnya di kolom ini: Rangkaian kisah tentang persahabatan birokrasi dengan korupsi.
Koruptor juga sering diperlihara oleh penguasa untuk kepentingan politik… slam kenal dari kami, Masyarakat Marginal Sumut