Korupsi: Dalam Perspektif Keabadian
HINGGA tahun 1970, tingkat kepercayaan kepada Soeharto sebenarnya masih cukup tinggi. Ada beberapa kisah kecil yang menunjukkan dirinya masih patut diteladani, pada tahun-tahun awal penampilannya sebagai pemimpin bangsa dan negara. Sebuah sketsa peristiwa disajikan di pertengahan 1968 (Mingguan Mahasiswa Indonesia, 21 Juli 1968) sebagai berikut ini: “Kini anak-anak penggede-penggede Orde Baru mulai banyak tingkah”. Tiap hari koran-koran Jakarta mengecam ngebut (Dulu, Guntur Soekarnoputera juga senang ngebut dengan mobilnya di Bandung tanpa ada yang berani menegur). Polisi lalu lintas dikecam karena tidak berani bertindak. Suatu hari seorang wartawan datang pada perwira tinggi polisi dan bertanya tentang soal ini. “Bagaimana anak buah saya berani bertindak ? Suatu kali polisi lalu lintas menegur salah seorang pemuda yang melanggar lalu lintas. Apa jawabnya ? ‘Kamu tidak tahu ? Saya anak menteri luar negeri !’…”, demikian sang perwira menuturkan. Diceritakan seterusnya, “anak Jenderal Soeharto juga ditangkap polisi lalu lintas. Tetapi ayahnya tegas. Anaknya tetap diadili. Dan di rumah ia dimarahi oleh ayahnya”. Bahkan ada yang menyaksikan bahwa ‘rebewijs’ (SIM atau Surat Izin Mengemudi) anaknya itu disobek. “Tindakan Jenderal Soeharto terhadap anaknya patut dicontoh oleh penggede-penggede Orde Baru yang lain”, demikian dituliskan. “Jangan menyalahgunakan kekuasaan bapaknya”.
Demikianlah, di mata mahasiswa misalnya, dengan berbagai fakta dan data empiris Soeharto dianggap masih bisa diharapkan membawa perbaikan setelah jatuhnya Soekarno dari panggung kekuasaan. Tapi ada beberapa kritik yang diajukan kepadanya. Dalam menjawab kritik, sebaliknya kepada mahasiswa –dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan sejumlah tokoh mahasiswa– ia mengajarkan pentingnya bersabar, dan menyitir pepatah Jawa alon-alon waton kelakon. Ia pun menampilkan banyak “tepa slira”, suatu sikap yang senantiasa berusaha menempatkan diri dalam posisi orang lain, berusaha mengerti mengapa sampai terjadi suatu perbuatan dan tak buru-buru menindaki. Tetapi secara bertolak belakang, pada waktu yang bersamaan banyak kalangan kekuasaan yang dekat dengan Soeharto menjawab kritik-kritik mahasiswa dengan cara yang lebih ketus dan sering vulgar.
Sifat-sifat Soeharto yang lekat dengan budaya Jawa ini, bagi sebagian besar mahasiswa dianggap mulai ketinggalan zaman. Tentang prinsip alon-alon ini, Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung namun memiliki pengaruh secara nasional itu, menulis pada salah satu terbitan di bulan Agustus 1970 –dua tahun setelah memuat sketsa teladan kecil Soeharto– sebagai berikut. “Alon–alon asal kelakon, adalah petuah kakek-kakek dan nenek-nenek Jawa, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia ‘Lambat-lambat sajalah, pokoknya terlaksana’. Di balik pemeo ini tersimpan sikap yang cermat dan hati-hati (‘nistiti lan ngati–ati’), menerima (‘narima’), rendah hati (‘andap–asor’) – diletakkan dalam tempo hidup yang ‘nguler kambang’ (seperti ulat berenang di air, sangat lambat). Dapat dibayangkan ‘pegangan hidup’ semacam itu dipetuahkan oleh seorang bangsawan tua sambil duduk di kursi goyang, menikmati teh kental lambat-lambat, satu teguk setiap lima menit. Diiringi suara perkutut dan gending ‘Pangkur Palaran laras Pelog patet Barang’ yang mengalun gemulai seperti padang bunga tertiup angin dan membentang sayup-sayup seakan tak bertepi –surga yang ‘terdengar’ di bumi itu– yang dapat membawa seorang ‘priyantun Jawi’ (bangsawan Jawa) ke dalam ‘liyep layaping ngaluyup’ (keadaan jiwa yang melayap sayup, antara tidur dan jaga)”. Tapi, “Sedikitnya sejak dua generasi yang lalu, alon–alon waton kelakon mulai kurang populer. Orang-orang Jawa mulai meninggalkan hidup ‘sub specie aeternitatis’ (dalam perspektif keabadian) dan membeli arloji. Waktu telah mulai menjadi pertimbangan. Seorang ahli musik mengeluh bahwa gending-gending Jawa klasik yang bernafas panjang-panjang mulai menghilang dan digantikan oleh gending yang bertempo lebih cepat”. Maka sesungguhnya mengherankan jawaban “alon–alon waton kelakon’ yang diberikan Presiden Indonesia di abad 20 ini kepada kampanye anti korupsi dalam sebuah negara yang sedang memodernkan masyarakatnya. Dikaitkan dengan pemberantasan korupsi itu, mingguan tersebut mengingatkan “Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan proses pengadilan dan dengan perbaikan-perbaikan organisasi, administrasi dan manajemen. Ia harus dimulai karena waktu di zaman Apollo lebih bengis dan lebih cekatan dari di zaman Mahabharata. Sang Batara Kala di zaman sekarang telah menemukan pemeo internasional: Now or never”.
Apapun yang dikemukakan Soeharto, kelambanan adalah kelambanan bagi mahasiswa. Mereka mengajukan “sekarang atau tidak pernah”. Kelambanan ini sebenarnya telah dikeluhkan sejak tahun 1967. Amien Rais dari Universitas Gadjah Mada pernah mengingatkan “Orde Lama telah memprodusir kaum koruptor dan kelompok profiteur di mana-mana. Oleh karena itu, tanpa berani menggulung benalu-benalu yang telah difabrisir oleh Orde Lama itu, Orde Baru sulit akan melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi” (Mingguan Mahasiswa Indonesia, Minggu ke-II Mei 1967). Amien menggambarkan kabinet Soeharto saat itu dihadapkan pada korupsi tingkat tinggi. “Kita tahu justru, koruptor-koruptor kaliber besar adalah mereka yang mempunyai kedudukan dan jabatan tinggi, baik dari kalangan sipil ataupun militer”. Soeharto harus berani menanggulangi korupsi secara wajar, ujar Amien. Sedang menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri dalam edisi yang sama, “Soekarno-soekarno kecil yang korup dan kaum vested interest pada umumnya masih dibiarkan berkeliaran dan memegang jabatan-jabatan kenegaraan”. Dan pada waktu yang bersamaan telah muncul debutan-debutan baru pelaku korupsi baru.
Nyatanya, seruan “sekarang atau tidak” memberantas korupsi tidak cukup bergema bagi penguasa baru pasca Soekarno. Sejarah memang membuktikan kemudian, bahwa bahkan hingga kini pemberantasan korupsi kenyataannya tidak pernah dilakukan sungguh-sungguh. Perspektif keabadian tidak berhasil ditinggalkan, khususnya dalam memberantas korupsi, sehingga mungkin saja kelak kita tercengang bahwa perilaku korupsi menempati posisi keabadian dalam kehidupan bangsa ini. Bahkan setelah Indonesia berganti presiden beberapa kali.
Tidak sabar menunggu-nunggu hasil Komisi 4, sejak Juni 1970 sejumlah tokoh mahasiswa di Bandung telah melakukan tukar pikiran yang intensif untuk merancang suatu gerakan baru anti korupsi, karena mereka kurang yakin terhadap peluang keberhasilan Komisi 4. Maka tanpa menunggu lama-lama mahasiswa Bandung dan juga mahasiswa Jakarta sejak Juli mulai bergerak kembali melakukan aksi anti korupsi. Di Bandung, muncul ‘Bandung Bergerak’ yang dimotori oleh aktivis-aktivis Dewan Mahasiswa seperti Marzuki Darusman, Sjarif Tando dan Boy Musbar Nurmawan. Selain itu tercatat pula nama-nama lain seperti Erna Walinono (kini Erna Witoelar), Agus Dipo Subagyo, Hernanto, A. Razak Manan, Arifin Panigoro, Muhidin, Oberlin Batubara, Seto Harianto, Paulus Harli, Achmad Buchari Saleh, Piet Tuanakotta, Lili Asdjudiredja, Surjana Nataadikusuma dan Jajun Wahju. Selain aktivis dewan mahasiswa dari ITB, Universitas Padjadjaran dan Universitas Parahyangan, sebagian dari mereka adalah fungsionaris-fungsionaris organisasi-organisasi ekstra seperti PMB, Imaba, CSB, Damas, PMKRI dan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Pada saat-saat berikutnya datang dukungan dari HMI Bandung. Aktivis-aktivis HMI ini menggabungkan diri dan secara aktif turut serta dalam gerakan-gerakan mahasiswa Bandung anti korupsi tersebut. ‘Bandung Bergerak’ (BB) mendatangi sejumlah pejabat yang dianggap bertanggung jawab pada berbagai kementerian, menggugat dan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang mereka anggap korupsi dan penghamburan uang negara. Selain mendatangi beberapa kementerian yang lebih lazim disebut departemen, mahasiswa ‘Bandung Bergerak’ mendatangi kantor Pertamina di Jalan Perwira Jakarta dan Kejaksaan Agung di Jalan Sisingamangaraja. Di sana mereka menempelkan poster-poster anti korupsi. Kelompok ‘Bandung Bergerak’ ini diterima oleh Ketua DPR-GR dan kemudian menemui Presiden Soeharto. Kepada kedua pucuk pimpinan lembaga tinggi negara itu, mereka menyampaikan sepucuk surat terbuka yang menyangkut masalah korupsi. Pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah tokoh mahasiswa yang umumnya dari Universitas Indonesia, Arief Budiman, Marsilam Simandjuntak dan Sjahrir, melakukan kegiatan yang sama di bawah nama ‘Komite Anti Korupsi’ (KAK). KAK ini sebenarnya gabungan dari ‘Mahasiswa Menggugat’ dengan aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) sisa-sisa 1966.
Meski memiliki pola yang mirip, sebenarnya ada ganjalan yang terjadi antara mahasiswa Bandung dengan mahasiswa Jakarta kala itu. Mahasiswa Bandung mencurigai sebagian dari gerakan-gerakan mahasiswa di Jakarta itu diperalat oleh partai-partai – waktu itu ada 9 partai yang eksis dan siap mengikuti Pemilihan Umum 1971 bersama Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Memang, isu-isu dan penyampaian yang dilontarkan mahasiswa Jakarta saat itu terasa amat paralel dengan suara-suara sejumlah partai. Apalagi fakta menunjukkan tercampurbaurnya sejumlah tokoh mahasiswa organisasi ekstra universiter yang dikenali sebagai ‘mereka yang dekat dengan kalangan partai’ dalam gerakan-gerakan mahasiswa Jakarta. Ditambah pula adanya satu dua tokoh yang diragukan integritasnya karena kedekatan dengan beberapa kalangan penguasa –dengan tentara maupun Opsus Ali Moertopo– dan atau punya tujuan-tujuan tertentu memanfaatkan gerakan di luar tujuan-tujuan idealistis. Bagi mahasiswa Bandung, partai-partai adalah kekuatan-kekuatan kepentingan sempit dan ideologistis yang merupakan penghambat modernisasi kehidupan politik dan bernegara. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa Bandung yang berbasis kampus di tahun 1970 itu dengan tegas menyatakan diri “tetap berpegang kepada strategi modernisasi” dalam menjalankan aksi-aksi mereka.
Jadi, sepanjang ada bau partai, tak ada kompromi bagi mahasiswa Bandung, kecuali partai-partai mau memperbaharui diri atau diperbaharui. Sikap tidak mau berkompromi dengan segala yang berbau partai politik ini pula, yang membuat banyak organisasi mahasiswa ekstra universiter yang secara langsung atau tidak langsung punya kaitan dengan partai, tersisih di kampus-kampus Bandung. Dalam pemilihan senat dan dewan mahasiswa di kampus-kampus utama perguruan tinggi yang ada di Bandung, secara umum tokoh-tokoh mahasiswa yang tercium punya afiliasi ekstra langsung tersisih. Yang masih agak menonjol adalah HMI, tapi organisasi yang dianggap punya kaitan dengan neo Masjumi dan ikut menopang kelahiran Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) ini dalam banyak hal kehilangan pengaruh di kampus terkemuka di Bandung, terkecuali di IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) dan sedikit kampus kecil-kecil. Komisariat-komisariat mereka di berbagai kampus antara ada dan tiada dalam kegiatan. Tapi mereka yang secara perorangan menunjukkan kesamaan persepsi dalam menanggapi berbagai permasalahan sosial politik aktual tetap diterima dalam kegiatan sehari-hari. Rekan-rekannya di kampus memahami bahwa meskipun memiliki kesamaan persepsi, anggota-anggota HMI ini terkendala untuk ikut serta dalam kegiatan kritis yang sama dengan mahasiswa lain. Termasuk dalam gerakan anti korupsi. Karena, segala sesuatunya, sepanjang menyangkut soal pergerakan kala itu, keputusannya ada di tangan PB HMI di Jakarta.
Berlanjut ke Bagian 5