“Memang tak dapat dipungkiri bahwa pada satu sisi Orde Baru berhasil menampilkan gerakan pembangunan ekonomi yang membawakan sejumlah kemajuan fisik dan gerakan penataan politik yang menciptakan suatu stabilitas. Namun, memang harus diakui pula bahwa pada sisi lain, baik stabilitas dan kemajuan ekonomi tersebut maupun stabilitas politik dan keamanan yang tercipta dalam Orde Baru, pelaksana kekuasaan telah mengabaikan beberapa dimensi lainnya, terutama dimensi keadilan. Ini dapat dicatat sebagai sumber awal kekandasan”.
Visi modernisasi yang semula menjadi cahaya pemikat dalam Orde Baru, pudar dan dikesampingkan. Modernisasi tidak sesuai dengan visi kekuasaan yang otoriter. Modernisasi dalam pengertian sejati, menurut kaum penganjurnya, mensyaratkan suatu pemerintahan yang demokratis dan harus berani memberantas korupsi. Selain itu, visi modernisasi mengandung dalam dirinya keharusan menekankan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, dan dalam praktek sehari-hari memperkecil gap antara kaum kaya dengan kaum miskin.
Para pengamat dan peneliti asing menyimpulkan mengenai Orde Baru di Indonesia sebagai orde kaum developmentalist yang secara fisik dan kasat mata memang berhasil dengan luar biasa dalam tempo yang cepat dan dramatis. Tetapi, melupakan dan membenamkan aspek keadilan. Kelak, kaum teknokrat yang berkerja di dalam rezim Soeharto dan dikenal sebagai ‘Mafia Berkeley’’ –karena menamatkan gelar-gelar doktor mereka di Berkeley University di Amerika Serikat– ikut dikecam dan dipersalahkan karena berhasil membangun ekonomi namun gagal mewujudkan makna dan hakekat utama pembangunan untuk kepentingan rakyat. Sehingga, konsep kue pembangunan untuk rakyat, menjadi kue santapan segelintir elite kekuasaan. Para teknokrat ini di belakang hari tercatat tidak lagi berperan dalam paruh akhir Orde Baru karena secara sopan santun mereka kemudian ditempatkan sekedar sebagai penasehat-penasehat ekonomi dan pembangunan.
Kaum cendekiawan pun mengalami nasib untuk tersisihkan, termasuk hasil rekrutmen 1971 gaya Tamblong Dalam. Beberapa di antara mereka hanya menjalani satu periode di DPR, namun beberapa lainnya bisa berlanjut namun tampaknya tidak punya peran yang betul-betul penting –dengan beberapa tokoh sebagai perkecualian– dalam menentukan haluan Golkar, apalagi haluan kekuasaan. Tapi dalam kerangka tujuan ‘merubah dari dalam’, harus diakui gagal. Beberapa di antara mereka kemudian sempat juga masuk dalam kabinet dan sejenak memberi kejutan-kejutan yang colourfull, tetapi tetap saja tanpa makna ‘transformation from within’. Bagaimanapun, mereka telah berbuat sesuatu dan patut dihargai. Sarwono Kusumaatmadja salah satunya. Lainnya, Marzuki Darusman, yang terlempar dari barisan elite Golkar masa Soeharto, tatkala berani menyatakan diri bercita-cita untuk suatu waktu mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia. Tapi yang paling dramatis adalah apa yang kemudian terjadi pada Rahman Tolleng kelak di tahun 1974. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974, ia dituduh terlibat sebagai perencana belakang layar, semata-mata karena banyak aktivis gerakan kritis mahasiswa yang sering datang menemui dirinya. Padahal sebenarnya itu bukanlah sesuatu yang aneh, karena dari dulu kala ia senantiasa menjadi tempat bertanya aktivis mahasiswa mengenai berbagai hal. Atas tuduhan itu Rahman Tolleng (bersama tokoh-tokoh kritis lainnya seperti Adnan Buyung Nasution, Marsillam Simanjuntak, Dorodjatun Kuntjoro Jakti dan lain-lain) harus mendekam dalam tahanan militer lebih dari setahun dan tak pernah diadili.
Kalau kemudian masih terjadi arus masuk kalangan cendekiawan dan kalangan perguruan tinggi pada umumnya pada masa-masa sesudah tahun 1970-an, bisa dinilai lebih banyak sebagai satu cara dan improvisasi perorangan untuk menciptakan jembatan atau batu loncatan dalam karir perorangan. Dengan masuk DPR, mungkin suatu waktu bisa diamati oleh yang di atas dan kalau beruntung bisa masuk jajaran kabinet. Menurut Hatta Albanik, salah seorang tokoh mahasiswa gerakan-gerakan kritis tahun 1970-an, jabatan rektor juga merupakan salah satu posisi yang sering sangat diinginkan karena bisa menjadi tempat unjuk kelayakan dan kemampuan untuk mendapat tiket ke kabinet. Cukup banyak yang berhasil. Baik karena kualitas objektifnya, maupun sebaliknya karena kemampuannya memperlihatkan kecakapan ‘mengendali’ kampus, khususnya ‘mengendali’ sikap kritis di kampus. Tapi dalam sudut kalkulasi memberi nilai tambah untuk kualitas kehidupan berpolitik dan bernegara, tidak ada skor yang bisa diberikan. Apalagi kemanfaatannya untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Dalam lembaran putih sejarah Golkar, organisasi ini tampil sebagai alat pembaharu dalam berbagai sektor kehidupan bangsa Indonesia. Golongan Karya sempat menjadi motor modernisasi dan pembangunan ekonomi. Katakanlah demikian, sepanjang 1970-an. Dan dalam kehidupan politik, Golkar juga mendorong sejumlah pembaharuan, dengan menampilkan diri sebagai suatu kekuatan politik yang programatis serta tidak ideologistis –kecuali menjalankan ideologi negara yakni Pancasila. Dengan sifat yang tidak ideologistis tersebut Golkar bisa menjalankan cara berpolitik baru, yaitu mengutamakan program daripada terlibat pertarungan ideologi yang senantiasa mendorong konflik antar partai sepanjang yang dapat terlihat dalam lebih dari separuh waktu sejarah politik Indonesia. Golkar menjadi kekuatan utama yang menjadi pendukung sejati sistim politik dan ekonomi yang dinamakan Orde Baru –sebelum terpeleset kepada beberapa penyimpangan. Memang tak dapat dipungkiri bahwa pada satu sisi Orde Baru berhasil menampilkan gerakan pembangunan ekonomi yang membawakan sejumlah kemajuan fisik dan gerakan penataan politik yang menciptakan suatu stabilitas.
Namun, memang harus diakui pula bahwa pada sisi lain, baik stabilitas dan kemajuan ekonomi tersebut maupun stabilitas politik dan keamanan yang tercipta dalam Orde Baru, pelaksana kekuasaan telah mengabaikan beberapa dimensi lainnya, terutama dimensi keadilan yang disebutkan di atas. Ini dapat dicatat sebagai sumber awal kekandasan. Semua ini diperkuat pula oleh apa yang terjadi di tubuh Golkar yang telah nampak sejak tahun 1970-an, dalam lembaran abu-abu sejarah Golkar, berupa tampilnya penunggang-penunggang berupa kelompok-kelompok kekuasaan dan pribadi-pribadi. Golkar dijadikan kendaraan, ditunggang menjalani sejumlah perilaku menyimpang dan menempuh ketidakbenaran hanya demi kepentingan kelompok dan hasrat kekuasaan.
Hal serupa terjadi pada pelaksanaan dwifungsi ABRI, yang dimulai dengan panggilan tugas dan kecintaan terhadap bangsa dan negara untuk kemudian berakhir dengan hasrat dominasi posisi dalam kekuasaan negara. Dan hasrat kekuasaan senantiasa bergandengan dengan perilaku korupsi yang perlu dilakukan untuk memperoleh ongkos bagi kekuasaan. Lalu, pada gilirannya kekuasaan yang terpelihara itu sendiri menjadi lagi pintu kemudahan bagi mobilisasi dana yang lebih besar, dalam suatu pola yang ‘sinergis’.
Karena generasi muda, terutama kalangan mahasiswa generasi baru yang apolitis dianggap salah satu potensi penghambat dalam mencapai kekuasaan yang lebih besar, maka tentara dan kalangan kekuasaan dari waktu ke waktu secara sistimatis melakukan berbagai percobaan dan cara untuk mendiskreditkan serta mengecilkan citra para mahasiswa. Bersamaan dengan itu dijalankan pula upaya-upaya pemandulan mahasiswa sebagai kekuatan kritis. Segala cara bisa dipakai dan dihalalkan, mulai dari godaan menggunakan perempuan, uang sampai kepada iming-iming kapling dan posisi masa depan.
Berlanjut ke Bagian 7