“Penanganan yang sangat represif dan militeristik ini, menjadi luka ketiga dalam hubungan mahasiswa-tentara, setelah ‘Insiden 6 Oktober 1970’ dan ‘Peristiwa 15 Januari 1974’. Luka ketiga ini pada akhirnya memperkuat keyakinan para mahasiswa dan menjadi persepsi yang berkelanjutan di kalangan generasi berikutnya, bahwa kekuasaan adalah suatu ‘lubang hitam’ yang menelan segala, dan karenanya memang harus dilawan, dijatuhkan dan diganti, tidak cukup sekedar dikoreksi dan dikritik”. Generasi terbaru mahasiswa bahkan sampai kepada terminologi ‘potong satu generasi’.
DENGAN memberi judgement bahwa gerakan mahasiswa menjelang dan pada awal tahun 1974 adalah bagian dari konspirasi dan makar, dan setelah itu kalangan kekuasaan lalu menjalankan penanganan-penanganan dengan treatment konspirasi –yang berlanjut lagi dalam penanganan selanjutnya terhadap gerakan-gerakan mahasiswa berikutnya– kalangan kekuasaan telah menggiring para mahasiswa ke suatu lubang kesimpulan bahwa kalangan kekuasaan itu tak cukup hanya dikoreksi, tetapi harus diganti. Maka sesudah 1974, hingga 1978, terlihat bahwa mahasiswa, khususnya di Bandung, sampai kepada tuntutan-tuntutan untuk mengganti Soeharto. Dan demi mematahkan gerakan dan tuntutan untuk menurunkan serta mengganti Soeharto yang makin gencar dilancarkan para mahasiswa Bandung generasi pasca 1974 itu, rezim Soeharto memilih suatu jalan kekerasan dengan kadar tinggi yang belum pernah dilakukan sebelumnya – bahkan di zaman Soekarno-Orde Lama sekalipun, betapapun diktatornya mereka digambarkan oleh Soeharto dan Orde Baru-nya.
Pada bulan Januari 1978 menuju bulan Pebruari, Menteri P&K Sjarif Thajeb mengikuti perintah Kopkamtib, membubarkan DM ITB (1977-1978) yang dipimpin oleh Heri Akhmadi. Sebab musabab utama pastilah karena keluarnya pernyataan mahasiswa 16 Januari 1978 yang menyatakan tidak setuju kursi Presiden diduduki dua kali berturut-turut oleh orang yang sama. Ini berarti, mahasiswa tidak setuju Soeharto menjadi Presiden untuk kedua kalinya –dihitung dari periode MPR/DPR hasil Pemilihan Umum 1971– dalam pemilihan presiden pada SU-MPR yang akan berlangsung Maret 1978. Di depan kampus ITB terpampang jelas spanduk yang dibuat mahasiswa: Tidak berkehendak dan tidak menginginkan pencalonan kembali Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersamaan dengan pernyataan penolakan itu, mahasiswa mengeluarkan ‘Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978’. Penguasa segera melarang secara resmi Buku Putih tersebut. Tindakan pembubaran dan aneka tekanan lainnya dilakukan pula terhadap DM-DM yang lain di Bandung, terutama pada beberapa perguruan tinggi utama seperti antara lain Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP.
Tampaknya saat itu tekanan utama ditujukan ke ITB. Tanggal 21 Januari 1978 Radio ITB 8-EH yang dianggap sebagai corong suara mahasiswa, disegel oleh Laksus Kopkamtibda Jawa Barat. Bersamaan dengan itu beberapa tokoh mahasiswa, terutama dari ITB, ditangkapi dan dikenakan penahanan. Muncul gelombang protes sebagai tanda solidaritas dari mahasiswa Bandung. DM ITB lalu menyerukan suatu mogok kuliah melalui “Pernyataan tidak mengikuti kegiatan akademis’ (28 Januari 1978). Mereka juga menuntut segera membebaskan mahasiswa-mahasiswa yang ditahan, mencabut pembungkaman pers, dan menarik tuduhan-tuduhan sepihak terhadap mahasiswa.
Pers yang banyak memberi tempat dalam pemberitaannya mengenai pergolakan kampus ikut mendapat ‘gempuran’ kemarahan rezim Soeharto. Titik paling sensitif yang menyangkut kekuasaannya telah tersentuh oleh mahasiswa, dan pers dianggap ikut memberi angin dengan memberi tempat dalam kolom-kolom pemberitaannya bagi gerakan-gerakan mahasiswa itu. Sekaligus tujuh suratkabar harian di ibukota dikenakan tindakan pemberhentian terbit pada 25 Januari 1978. Dan keesokan harinya, dalam suatu ‘pertempuran’ tersendiri untuk menjaga agar eksistensi mereka tidak diputus untuk selama-lamanya para pemimpin redaksi dari 7 media itu terpaksa menjalankan taktik ‘mengibarkan’ bendera putih. Dalam satu surat bersama yang ditujukan kepada Presiden Soeharto mereka menyampaikan semacam permintaan maaf namun tanpa menggunakan satu pun kata maaf di dalam surat mereka itu.
“Kami dapat memahami tindakan yang diambil oleh Kopkamtib tersebut dalam rangka mencegah berlarut-larutnya keadaan yang dapat mengganggu stabilitas nasional yang dinamis, yang kami sadari bersama juga menjadi tanggung jawab pers dan setiap lembaga masyarakat lainnya. Dengan kesadaran rasa tanggung jawab yang demikian itu maka kami bertekad untuk selalu mengadakan introspeksi dan mawas diri, yang juga menjadi kewajiban setiap warga negara, lembaga masyarakat dan pemerintah sesuai dengan anjuran Bapak Presiden”, tulis mereka dalam surat. “Atas dasar itu maka kami mengharapkan kiranya Bapak Presiden berkenan memberi kesempatan agar suratkabar-suratkabar tersebut diijinkan terbit kembali dengan mengindahkan, memenuhi dan menjalankan segala ketentuan-ketentuan sebagaimana telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan, Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik serta ketentuan-ketentuan lainnya. Dalam menilai sesuatu keadaan, baik yang berbentuk ulasan maupun berita, kami akan berusaha menahan diri sesuai dengan azas pers bebas dan bertanggungjawab”. Para penandatangan surat adalah Jacob Oetama (Kompas), Soebagio Pr (Sinar Harapan), R.P. Hendro (The Indonesia Times), Tribuana Said (Merdeka), HM Said Budairy (Pelita), Charly T. Siahaan (Sinar Pagi) dan HS Abiyasa (Pos Sore). Di bawah tanda tangan mereka tercantum tanda tangan dua orang yang menyetujui yakni Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Harmoko dan Ketua SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) Djamal Ali SH.
Permohonan untuk terbit kembali dikabulkan beberapa waktu kemudian. Para pemimpin suratkabar ini berada dalam suasana dilematis. Di satu sisi mereka memikirkan fungsi-fungsi idealistik dari pers berdasarkan keadilan dan kebenaran, tapi di sisi lain mereka pun memikirkan nasib ratusan karyawan mereka serta kelangsungan eksistensi mereka sebagai media pers. Memang benar juga, bahwa bilamana seluruh pers yang dibreidel itu –tujuh media– akan dimatikan untuk seterusnya, dunia pers Indonesia akan mengalami kehilangan dan kekosongan yang panjang. Tapi bagi seorang wartawan muda seperti Jus Soemadipraja, surat permohonan kepada Soeharto yang dilayangkan para seniornya itu, amat mengusik hati nurani. Baginya, para pemimpin redaksi itu seakan mengakui telah melanggar sendiri kode etik jurnalistik Indonesia, dan telah melakukan pula segala rupa penyimpangan dari tugas dan tanggung jawab pers Indonesia sendiri, “dan dengan demikian telah menghukum diri sendiri”. Jus yang semula adalah wartawan Harian Indonesia Raya yang dibreidel empat tahun sebelumnya segera setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dan kemudian diterima Jacob Oetama sebagai wartawan Harian Kompas, karena tak dapat mendamaikan hal itu “dengan bisikan hati nurani”nya, saat itu memilih untuk mengundurkan diri dari dunia kewartawanan.
Kampus ITB pada hari-hari terakhir Januari 1978 itu dipenuhi poster, dan mahasiswa betul-betul mogok kuliah. Mahasiswa memasang spanduk yang bertuliskan “Turunkan Soeharto !”. Lalu DM ITB mengeluarkan suatu deklarasi yang menyatakan tidak mempercayai pemerintah Orde Baru, tepat di akhir Januari 1978. Untuk berjaga-jaga terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan mahasiswa ITB melakukan penjagaan dan pengawasan atas pintu-pintu kampus, agar tidak dimasuki oleh orang-orang luar kampus yang tidak diinginkan. Namun jawaban penguasa adalah lain sama sekali. Tentara menyerbu kampus dengan mengerahkan pasukan-pasukan bersenjata lengkap dipimpin sejumlah komandan muda yang kelak akan menduduki posisi-posisi penting dalam jajaran militer dan kekuasaan. Dengan popor dan bayonet mereka merasuk ke dalam kampus dan menduduki kampus. Mereka mengerahkan pula tank dan panser serta memblokade kampus. Beberapa kampus utama Bandung lainnya juga mengalami hal yang sama dan ditempatkan dalam pengawasan militer. Pendudukan kampus ITB, Universitas Padjadjaran, IKIP dan kampus Bandung lainnya berlangsung hingga 25 Maret 1978, hampir dua bulan lamanya. Telah tercipta Luka Ketiga dalam hubungan tentara dan kekuasaan dengan mahasiswa.
Rezim mengerahkan pasukan dengan komandan-komandan muda –hasil regenerasi tentara, lulusan akademi militer– seperti Feisal Tanjung dan Surjadi Sudirdja, menduduki beberapa kampus utama di Bandung yakni ITB, Universitas Padjadjaran dan IKIP serta ‘pengawasan’ terhadap kampus-kampus lainnya. Pendudukan dilakukan oleh beberapa SSK (satuan setingkat kompi) dengan cara-cara kekerasan, menggunakan popor, bayonet dan tendangan mengatasi perlawanan mahasiswa Angkatan 1978. Betul-betul khas militeristik, yang menambah lagi daftar luka traumatik dalam sejarah. Pertama kalinya sejarah Indonesia mencatat pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan. Sesuatu yang oleh kolonial Belanda sekalipun tak pernah dilakukan. Merupakan ironi bahwa peristiwa ini terjadi di wilayah Kodam Siliwangi yang perwira-perwiranya dari waktu ke waktu secara historis memiliki kedekatan dengan mahasiswa. Panglima Siliwangi saat itu, Mayjen Himawan Sutanto, rupanya tak berkutik menghadapi perintah Jakarta. Saat pecahnya Peristiwa Malari 1974 di Jakarta tentara juga ‘memasuki’ kampus, namun itu berlangsung hanya dalam waktu ringkas dan bentuk yang sedikit berbeda.
Inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga. Apalagi setelah secara nyata para perwira produk akademi ABRI ini ‘bersimpuh’ kepada Soeharto, ikut menikmati kekuasaan dan menjadi kaki dan tangan bagi Soeharto dengan Orde Baru-nya yang telah tergelincir korup penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak pelak lagi banyak di antara perwira generasi baru ini kemudian secara tragis dicatat sebagai ‘musuh’ rakyat. Banyak dari mereka kemudian dijuluki sebagai musuh demokrasi, penindas hak asasi manusia dan pengabdi kekuasaan otoriter serta menjadi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme.
Beberapa tokoh gerakan mahasiswa Angkatan 78 ditangkap dan dipenjarakan, seperti antara lain Heri Akhmadi dan Hindro Tjahjono. Salah satu tokoh lainnya, Rizal Ramli, meloloskan diri dan tidak harus masuk mengalami ‘romantika’ dalam penjara politik. Penanganan yang sangat represif dan militeristik inilah yang kemudian dicatat sebagai luka ketiga dalam hubungan mahasiswa-tentara, setelah ‘Insiden 6 Oktober 1970’ dan ‘Peristiwa 15 Januari 1974’. Luka ketiga ini pada akhirnya memperkuat keyakinan para mahasiswa dan menjadi persepsi yang berkelanjutan di kalangan generasi berikutnya, bahwa kekuasaan adalah suatu ‘lubang hitam’ yang menelan segala, dan karenanya memang harus dilawan, dijatuhkan dan diganti, tidak cukup sekedar dikoreksi dan dikritik. Generasi terbaru mahasiswa bahkan sampai kepada terminologi ‘potong satu generasi’. Tapi pada dirinya sendiri, terminologi ini bisa bermakna harus turun tangan mengambil kekuasaan, sesuatu yang sebenarnya ada di luar hakekat, jangkauan kemampuan, dan martabat sebagai satu lapisan kekuatan moral bangsa. Meski berdasar pengalaman paling aktual, pada saat meluncurkan gerakan reformasi, dengan beberapa kelemahan konseptual, gerakan reformasi dan benefitnya telah diambil alih oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dari tangan para mahasiswa untuk tiba pada posisi kekuasaan baru.
(–Diolah kembali dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1975, Penerbit Buku Kompas, 2004).