“PADA akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada keketatan barisan pengamanan”. “…. menjelang akhir Desember 1973, setelah suatu delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu demonstrasi langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan menyampaikan tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada akhirnya …. menyatakan bersedia melakukan dialog”.
SELAIN aksi ekstra parlementer KNPI, ada lagi satu tokoh demonstran yang paling banyak ‘menyedot’ perhatian, baik karena keunikannya, maupun karena keanehan dan karena ‘menjengkelkan’ sekaligus. Laksus Pangkopkamtibda Jaya Brigjen GH Mantik sempat menumpahkan kejengkelan kepada tokoh demo yang bernama Julius Usman ini yang punya kelompok bernama ‘Angkatan Muda Oposisi’. Julius ini sangat terkenal sebagai tokoh ‘demonstran rutin’ dari tahun ke tahun. Jika gerakan-gerakan mahasiswa dan kaum muda lainnya oleh Laksus masih dilukiskan sebagai “masih dapat dimengerti”, ‘Angkatan Muda Oposisi’ sebaliknya dituduh beranggotakan oknum-oknum yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Laksus menganggap Julius dan kawan-kawannya “merupakan gerakan yang hanya latah dan ikut-ikutan saja”.
Tapi sebenarnya Julius tidak hanya berada di ‘Angkatan Muda Oposisi’, ia kerap bergabung pada berbagai gerakan lain. Dan setiap gerakan yang melibatkan Julius Usman, umumnya dapat dikategorikan mengandung ‘suspense’ dan banyak yang menganggapnya absurd, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan pergerakan mahasiswa sendiri. Sejak pertengahan Desember misalnya ada beberapa gerakan yang dilakukan Julius. Senin 10 Desember, Julius Usman dan kawan-kawan bersama Louis Wangge yang bergabung di bawah nama ‘Komite Kebanggaan Nasional’ mendemonstrasi Gedung Wisma Nusantara. Mereka memanjati gedung 30 tingkat itu untuk mencapai reklame Toyota dan berusaha menutupinya, tapi tak bisa. Maka mereka hanya mengibarkan bendera merah putih di sana. Sementara itu sekitar tiga puluh orang lainnya menyebarkan lembaran kertas pernyataan kepada para tamu dan karyawan di gedung itu. Mereka memperingatkan bahwa gedung bertingkat yang disebut sebagai gedung tertinggi di Indonesia –saat itu– dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang. Menurut mereka adalah tak pantas gedung itu jadi benteng kebudayaan asing. Mereka memperingatkan pula bahaya terselubung dari modal asing, yaitu bisa menjadi penjajahan bentuk baru. Pada hari itu juga gerakan lain yang bernama ‘Generasi Pembayar Hutang Indonesia’ yang dipimpin pemuda bernama Herman melancarkan aksi corat-coret di gedung kantor perwakilan Toyota di Jalan Jenderal Sudirman. Semula mereka mau menurunkan reklame Toyota di puncak gedung itu, tapi batal karena persuasi seorang Jepang yang menjadi pimpinan harian di tempat itu, yang mengatakan bahwa sejak beberapa hari lampu reklame itu tidak dinyalakan. Seorang pejabat pemerintah kota juga ikut melarang reklame itu diturunkan.
Sebelum bergabung dengan Julius Usman, Louis Wangge yang juga adalah veteran 1966, sempat mendemonstrasi pemilihan ratu kecantikan Indonesia di Hotel Indonesia, atas nama ‘Komite Anti Kemewahan’. Komite ini pula lah yang sempat menjadikan night club terkenal Latin Quarter sebagai sasaran ‘anti kemewahan’. Louis Wangge adalah satu diantara sedikit tokoh Angkatan 1966 yang ‘tersisa’ di’jalan’an, sementara banyak tokoh 1966 lainnya sudah berada dalam lingkaran kekuasaan ataupun telah menjadi elite Golkar maupun PDI dan PPP. Ketiga kekuatan politik ini bersama ABRI waktu itu bagaimanapun telah merupakan ‘sub sistem’ kehidupan politik dan kekuasaan negara, meskipun dengan kelas peranan yang berbeda.
Satu lagi gerakan Julius Usman atas nama ‘Komite Kebanggaan Nasional’ dilakukan di bundaran Tugu Selamat Datang di depan Hotel Indonesia, bersama Buce Rumaruri dan sejumlah kawannya yang lain. Mereka menggelar spanduk dan poster. Salah satu diantaranya berbunyi “Di sini akan dibangun Badan Koordinasi Penjualan Negara”, sedang lainnya berbunyi “Oh Tuhan…. hukumlah para pemimpin kami yang korup”. Dua hari kemudian, Sabtu 22 Desember, ‘Komite Kebanggaan Nasional’ kembali beraksi. Kali ini mereka mendatangi rumah kediaman Direktur Utama Pertamina Mayjen Ibnu Sutowo di Jalan Tanjung. Mereka bermaksud membacakan memorandum di sana. Tapi karena mereka datang pada pagi hari tepat pada jam kantor, Ibnu sudah tidak ada di rumah. Maka mereka hanya bisa mengacungkan poster yang berbunyi “Pengeluaran negara harus ada di dalam APBN” dan beberapa lainnya yang mengutik-ngutik praktek khusus dalam pengelolaan kekayaan negara, yang mestinya dibaca dan ‘diresponse’ Ibnu. Julius Usman dan kawan-kawan memang cerdik memilih sasaran.
Suatu gerakan yang dibuat untuk menakuti para cukong, dilancarkan pula dengan nama ‘Desember Hitam’ oleh mereka yang menyebutkan diri ‘Generasi Angkatan 66’. Aksi dilakukan di bundaran dekat Bank Indonesia Jalan Thamrin, mengibarkan bendera hitam sebagai tanda berkabung atas kemelut sosial politik yang menimpa Indonesia. Mereka membawa satu ‘daftar hitam’ yang berisi 18 nama cukong atau tokoh non pribumi yang mereka sebut sebagai petualang-petualang politik, penyelundup, tukang gusur tanah dan antek Jepang. Seraya itu mereka bertanya apakah perlu revolusi sosial terjadi? Dijawab sendiri oleh mereka “Mungkin saja terjadi revolusi sosial”. Jurus ‘Desember Hitam’ sempat juga menciutkan nyali para cukong, sehingga mereka sibuk melobi para sobat di kalangan kekuasaan dan keamanan. Beberapa dari mereka yang masuk daftar, diketahui sempat mengeluarkan dan menambah pos biaya pengamanan.
Gerakan-gerakan di Jakarta ini serupa dengan yang terjadi sebelumnya di Yogya minggu ketiga Desember, di sekitar Monumen 1 Maret, demonstrasi anti cukong, anti kemewahan dan anti judi dengan sasaran yang tertuju jelas kepada Ong Ging Ging yang lebih dikenal dengan nama Onggo Hartono penyelenggara Toto Koni Yogyakarta. Di Jakarta, saat itu memang hampir setiap hari terjadi demonstrasi, mulai dari yang masuk akal sampai kepada yang sering-sering tidak masuk akal dan menimbulkan pertanyaan apa maksud sebenarnya. Tetapi semua gerakan ini menyangkal anggapan bahwa gerakan-gerakan mereka sekedar latah-latahan atau mencari popularitas, apa lagi kalau dikatakan ‘ada udang di balik batu’. Desas desus tidak sedap tentang ekses memang juga ikut terdengar. Namun, apapun ceritanya, aksi-aksi yang terjadi di Jakarta menjalar pula ke kota-kota seperti Medan, Surabaya, Ujung Pandang dan berbagai kota lainnya di tanah air. Mulai dari gerakan idealis ataukah yang bukan dan spesifik.
Adanya gerakan-gerakan yang tidak jelas dan terlalu mengada-ada, membuka pintu bagi penguasa militer untuk membuktikan bahwa aksi-aksi itu sudah tak bisa dipertanggungjawabkan lagi dan menjadi batu loncatan untuk mengeluarkan larangan berdemonstrasi bagi mahasiswa seluruhnya. Maka tak kurang kecurigaan bahwa beberapa gerakan ekstra parlementer memang direkayasa untuk menciptakan opini buruk bagi gerakan mahasiswa. Ini ibarat memasukkan kutu busuk dalam selimut. Tipu daya dan permainan intelejen yang saling menyilang mulai terjadi di latar belakang. Untuk mematahkan gerakan-gerakan mahasiswa, maupun sebaliknya untuk memicu, bahkan ditujukan kepada sesama kalangan kekuasaan dalam rangka penciptaan situasi sebagai akibat pertentangan internal yang sementara itu semakin meningkat.
Namun, bagaimana pun juga gerakan-gerakan mahasiswa tak terbendung lagi untuk segera menjadi gerakan besar yang ditopang oleh tampak lahiriah telah terkonsolidasinya kekuatan intra kampus, terutama antara Bandung dan Jakarta, yang diikuti oleh mahasiswa perguruan tinggi dari berbagai kota lainnya. Kendati pun masih terdapat nuansa perbedaan menyangkut ‘platform’ dan ‘tujuan’. Isyarat itu bermula dengan menggelindingnya demonstrasi langsung ke arah Soeharto di pekan terakhir Desember 1973 itu.
Akhirnya demonstrasi menggelinding ke arah Soeharto
PADA akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada keketatan barisan pengamanan. Tetapi menjelang akhir Desember 1973, setelah suatu delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu demonstrasi langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan menyampaikan tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada akhirnya, melalui komandan satuan pengawalan presiden, Kolonel Darsa, menyatakan bersedia melakukan dialog. Presiden Soeharto memutuskan untuk menerima para mahasiswa pada tanggal 11 Januari 1974.
Pertemuan itu, yang berlangsung di kantor Presiden, Bina Graha, serba dibatasi. Ada 35 Dewan Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi se Indonesia yang hadir, namun hanya tiga orang wakil dari setiap dewan yang bisa masuk ke ruang pertemuan. Sejumlah besar mahasiswa lainnya yang datang mengantar rekan-rekan mereka hanya diperkenankan masuk sebatas ruang pers Bina Graha. Mereka ini umumnya adalah dari kontingen Bandung yang datang ke Jakarta dengan 5 minibus untuk mengantar delegasi DM-DM mereka. Kontingen ini dipimpin oleh Omay Komar Wiraatmadja bersama Iwan Abdurrahman, Hertog Saut dan Suprapto. Ketika dipersilahkan untuk duduk, mereka memilih duduk ramai-ramai di lantai ruangan. “Kita tidak biasa duduk di kursi enak”, ujar mereka. Sambil menunggu kawan-kawan mereka yang mengikuti pertemuan, mereka melontarkan berbagai ucapan dan sindiran. Di Jakarta ini, kata mereka, banyak penjara yang pagarnya sampai tiga meter, tapi isinya Istana. Di luar, terbiasa memenjarakan kebebasan berpendapat orang lain.
Dalam ruang pertemuan itu sendiri, para mahasiswa tidak membatasi kata-kata, tetap melontarkan pendapat dan pertanyaan yang tajam dan cukup terang-terangan kepada sang Presiden yang duduk di salah satu sisi meja rapat yang disusun berbentuk O, didampingi Sudharmono SH di samping kirinya. Hariman Siregar dari UI di kursi pertama di sudut siku-siku sisi kiri Sudharmono SH pada deretan pertama. Sementara di seberangnya di sudut siku-siku-siku samping kanan Presiden, duduk Hatta Albanik Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran. Presiden membuka acara pertemuan dengan langsung memberi kesempatan para delegasi dewan-dewan mahasiswa itu untuk berbicara. Setelah Hatta Albanik dan beberapa pimpinan DM lainnya mengacungkan tangan meminta kesempatan bicara, lalu dialog pun dimulai.
Ada yang bertanya, mengapa pidato-pidato Presiden banyak yang berbeda dengan fakta. Dan kemudian dengan terlebih dahulu ‘meminta maaf’ kepada Presiden, “Maaf kalau ada kata-kata saya yang menyinggung atau terlalu keras. Sebenarnya saya sudah mencoba memperhalus”, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Hatta Albanik melontarkan pertanyaan dan pernyataan. Dan tetap saja, cukup tajam. “Pak Harto sering menganjur-anjurkan hidup sederhana, tapi banyak dari penguasa yang bertindak sebaliknya”, ujar Hatta. “Jadi seolah-olah wibawa pak Harto ditantang oleh bawahan sendiri”. Katanya tidak boleh pamer kekayaan, tapi nyatanya yang menumpuk kekayaan sangat banyak. “Ini kan membuat orang jadi munafik?”. Hatta menggugah pula keberanian Kepala Negara untuk bertindak kepada yang salah, betapa pun dekatnya hubungan pribadi mereka. Ia memperingatkan pula agar dalam masalah informasi dan laporan jangan sampai terulang pengalaman masa Soekarno.
Masih menyangkut bawahan, Dewan Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jakarta bertanya kepada Soeharto, bagaimana ia sebagai pimpinan bertindak atau tidak terhadap pembantunya yang juridis formal masih susah dibuktikan bersalah, tetapi sementara itu masyarakat sudah merasakan kesalahan itu ? Presiden tidak menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan berikut, dari Hariman Siregar Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, mengenai tindakan terhadap bawahan Presiden yang menyeleweng. “Kenapa bapak tidak tegas bertindak terhadap bawahan bapak?”. Pertanyaan ini dijawab Soeharto, “Ketegasan ada, kalau informasi positif. Tindakan bukan dilakukan untuk menjadikan yang bersangkutan jadi bandel, tapi bertujuan untuk mendidik”.
Tanya jawab antara Ketua Umum Dewan Mahasiswa Udayana, Mikail Tani Wangge, dengan Presiden, adalah satu di antara sekian tanya jawab yang menarik dalam pertemuan 11 Januari ini.
“Kenapa dialog ini diadakan tertutup?”, tanya Tani Wangge.
“Bukan karena tidak percaya”, jawab Presiden, “tapi untuk mencerminkan keadaan yang lebih akrab”. Lalu Presiden menambahkan kekuatirannya bahwa pemberitaan mengenai dialog ini –bila dilakukan terbuka– bisa simpang siur dan menjurus ke arah negatif.
“Dalam soal pemilihan Gubernur, kenapa DPRD belum bersidang tapi nama calon sudah ada”, tanya Tani Wangge mengenai masalah kursi Gubernur Bali yang lalu.
“Tidak demikian”, jawab Presiden seraya tersenyum.
“Kami jangan ditipu pak”, ujar Tani Wangge lagi, “pemilihan Gubernur telah ditentukan lebih dulu, bukan murni. Begitu juga penjualan tanah rakyat untuk pembangunan, bukan dengan rela tapi lantaran takut”.
“Sampai di mana batas-batas seseorang memiliki tanah ?”, tanya mahasiswa dari DM-IPB.
“Kalau seseorang memiliki tanah dengan melalui prosedur hukum, tidak bisa disalahkan”, jawab Presiden, “Yang harus kita koreksi, dari mana duitnya”.
Wakil dari Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta melontarkan serangkaian pertanyaan, apakah benar pemilihan gubernur-gubernur ditentukan oleh Opsus dan apakah pemerintah atau DPR tidak berfungsi dengan adanya Aspri ? “Dan kenapa Jenderal Soeharto tidak seberani zaman permulaan Orde Baru ?”.
Presiden kurang lebih menjawab, bahwa Aspri tidak dibenarkan main cukong-cukongan. “Dan saya akan mencari data mengenai hal itu”.
“Bagaimana tentang lembaga-lembaga yang tidak berfungsi ?”, demikian pertanyaan dari Dewan Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.
“Kita sedang usahakan untuk meluruskannya”, jawab Presiden.
Pertanyaan lain diajukan pula oleh DM-UI, mengenai permainan beberapa kalangan penguasa di kampus, misalnya melakukan intimidasi-intimidasi. Beberapa pertanyaan lain terpaksa diajukan secara tertulis oleh beberapa Dewan Mahasiswa yang tidak mendapat kesempatan berbicara karena waktu pertemuan yang dibatasi. Pertanyaan tertulis yang diajukan oleh para mahasiswa antara lain mengenai sepak terjang menyimpang dari beberapa tokoh, termasuk mengenai Ibu Negara Tien Soeharto. Selain itu, beberapa dari 35 Dewan Mahasiswa yang hadir, menyerahkan dua memorandum kepada Presiden.
Berlanjut ke Bagian 7