Tag Archives: Buce Rumaruri

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (15)

“Setidaknya ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya. Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri”.

KORAN ibukota yang dibreidel di wilayah Laksus Pangkopkamtibda Jaya sejak 21 Januari adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mohtar Lubis, Harian Kami yang dipimpin Nono Anwar Makarim, lalu Harian Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang dan Mingguan Pemuda Indonesia. Keenamnya dicabut Surat Izin Cetak-nya. Dua hari kemudian, menyusul lagi Harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar –kendati Rosihan sudah menyempatkan diri meminta maaf kepada penguasa– dan Majalah Ekspres yang dipimpin Marzuki Arifin SE.

Pembreidelan terhadap ‘Ekspres’, yang diketahui sangat dekat dengan kelompok Ali Moertopo dan beritanya menghantam habis para mahasiswa dan peristiwa itu, memang sedikit mengherankan pada mulanya. Tapi belakangan diketahui bahwa ‘permintaan’ untuk menindak ‘Ekspres’ mau tidak mau harus dipenuhi karena majalah itu memuat foto-foto perusakan pada tanggal 15 Januari itu yang dijadikan salah satu ‘syarat’ pembreidelan. Sehari sebelumnya, rencana pembreidelan ‘Ekspres’ ini dengan alasan pemuatan foto perusakan disampaikan oleh Louis Taolin (Pemimpin redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat yang tak terbit lagi) yang mempunyai akses ke kalangan intelejen, kepada Rahman Tolleng. Mereka ini lalu berinisiatif menghubungi Majalah Tempo yang dipimpin Gunawan Mohammad, agar mencoba menghindari nasib serupa dengan tidak memuat foto-foto perusakan yang bisa dijadikan alasan menindak. Para pengasuh ‘Tempo’ tanggap dan segera mencabut halaman-halaman yang memuat foto-foto seperti itu, padahal majalahnya sudah betul-betul siap cetak. Edisi ‘Tempo’ kali itu lalu terbit dengan lebih ramping karena ‘kehilangan’ beberapa halaman, namun akhirnya lolos dari pembreidelan. Menjadi kurus sejenak tapi tidak perlu kehilangan nyawa, sehingga dunia pers tidak harus kehilangan terlalu banyak media yang berharga dan masih idealis.

Belakangan, seluruh pencabutan SIC ini mendapat ‘hukuman final’ berupa vonnis mati yang tetap dengan adanya pencabutan Surat Izin Terbit yang dilakukan oleh Departemen Penerangan. Menurut Menteri Penerangan Mashuri SH “pencabutan SIT itu adalah dalam rangka membulatkan langkah-langkah penyelesaian penertiban surat-suratkabar dan majalah sebagai akibat Peristiwa 15 Januari 1974”. Keputusan Menteri Penerangan diambil setelah menunggu keputusan Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional.

Khusus bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah cukup ironis bahwa pencabutan SIT kebetulan dilakukan oleh Menteri Penerangan Mashuri, orang yang pada waktu menjadi Menteri PDK disupportnya habis-habisan menghadapi kasus korupsi CV Haruman pada saat tak ada media lain lagi mau melakukan supportasi. Tapi bagaimanapun posisi Mashuri bisa dipahami, karena pencabutan SIT adalah keputusan Kabinet serta Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, dan terutama atas kehendak Presiden Soeharto sendiri. Alasan pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.

Bingkai skenario makar versi badan intelejen

Penggambaran peristiwa 15 Januari 1974 sebagai suatu gerakan makar  dapat ditemui dalam laporan Bakin. Tetapi sejalan dengan keyakinan dan pembelaan Brigjen Aang Kunaefi, dalam laporan Bakin itu memang dapat dikatakan tak ada bagian yang melibatkan mahasiswa Bandung dalam skenario makar. Hanya ada satu bagian yang menceritakan kegiatan Muslim Tampubolon Ketua Umum DM-ITB, bahwa “kepergian Ketua Dewan Mahasiswa ITB Muslim Tampubolon (HMI) ke Medan (17-24 Desember 1973) dengan maksud tidak lepas dari pada menciptakan situasi dengan cara mengajak dan menghasut mahasiswa di daerah-daerah untuk bergerak serentak”. Menurut keterangan Muslim sendiri, kunjungannya ke Medan itu lebih untuk urusan lain dan bukan dalam konotasi berat seperti yang dituduhkan dengan tujuan-tujuan akhir menggulingkan pemerintahan. Namun ada dugaan bahwa pihak mahasiswa yang sempat berhubungan dengannya  adalah mahasiswa-mahasiswa yang dikategorikan sebagai ‘garapan’ intel, dan melalui ‘channel’nya menyampaikan laporan pada Jakarta.

Mendapat tempat dan peranan dalam penggambaran pada laporan Bakin itu adalah bergerak dan bekerjanya jaringan-jaringan eks PSI dan Masjumi serta tokoh-tokoh HMI yang dikelompokkan sebagai Islam ekstrimis (seperti Ir Tawang Alun dan tokoh lain bernama Drs Kahar Badjuri). Eks PSI dilukiskan bertujuan menegakkan demokrasi liberal parlementer, sedang eks Masjumi bertujuan memberlakukan Piagam Jakarta, dan bersama-sama mendorong gerakan massa untuk mengganti pimpinan nasional dan pemerintah.

Laporan Bakin itu melukiskan pecahnya peristiwa kerusuhan menuju perusakan dengan bekerjanya kekuatan non kampus, bermula ketika pada pukul 09.00 Julius Usman yang menelpon isterinya, Ita, untuk menghubungi Frans Max pada pukul 10.00 agar yang disebut terakhir ini mempersiapkan gerakan massa STM dan gerakan turun ke jalan dengan aksi mengempeskan ban-ban. Lalu datang lagi pesan dari Louis Wangge melalui Ita juga, anak-anak Senen disiapkan dan agar Proyek Senen dibakar. Sementara itu, Peter Tarigan memimpin rapat di STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri I untuk mempersiapkan aksi pengempesan ban. Kelompok Kappi Gedung Kesenian Pasar Baru juga sudah tahu dan bersiap-siap, begitu pula kelompok BPSK (Badan Perguruan Sekolah Kristen) yang punya channel dengan sekolah-sekolah Kristen. “Disamping itu mereka mendapat bantuan dari gang-gang, gang-gang sekitar Planet Senen dan Proyek Senen, Sartana yang berada di sekitar Tanah Abang dari Kebayoran gang Legos”.

Daerah gerakan, masih menurut laporan tersebut, meliputi daerah kota dari SMA II, Pusat Kegiatan Kappi dibawah pimpinan Jusuf AR dan ex Laskar. Berikutnya, Tanah Abang Jakarta pusat, pusat gerakan dari BPSK, Sartana, Kappi Gedung Kesenian Pasar Baru, SMA IV/VII dan SMEA di Jalan Batu yang kesemuanya tergabung dalam Kappi, dan STM Jaya ditambah Laskar Yon Haryono. Daerah gerakan Senen/Kramat membawahi daerah Planet Senen, STM Poncol anak buah Katje Sumual, anak daerah Apotik Farma Senen dan ‘tukang catut’ Kramat. Daerah Jatinegara membawahi Kappi Raja  (PII/HMI), sekolah-sekolah Kristen, ex Laskar Yon Sutoyo, SMP dan SMA Yayasan IKIP. Daerah Kebayoran membawahi Legos, anak-anak Blok M (di bawah Buce Rumaruri) dan ex Laskar Yon Pandjaitan. Daerah Jakarta Utara membawahi ex Laskar Yon Tendean di bawah Fahmi Idris, Kappi, PII, HMI dan pusatnya di SMA XXX.

Berbeda dengan laporan Mingguan Mahasiswa Indonesia, laporan Bakin menyebutkan bahwa sehabis apel di Universitas Trisakti demonstran sudah ditunggu oleh mobil-mobil baru pelat putih Mitshubishi Colt yang diatur oleh Fahmi Idris. Sebagian demonstran diangkut menuju Kota, sebagian masuk Jalan Nusantara ke Pecenongan –karena penggiringan oleh aparat keamanan sendiri yang menimbulkan tanda tanya. Pukul 12.00 hingga 18.00 terjadi aksi pengrusakan hebat. Dimulai dengan pengempesan ban-ban oleh pelajar SLP/SMA. Lalu terjadi pengrusakan dan pembakaran mobil-mobil dan motor-motor buatan Jepang. Pembakaran mobil dimulai di Mesjid Istiqlal dan menjalar ke jalan-jalan di ibukota seperti di Pecenongan, Gambir dan Senen. Show room PT Astra di Jalan H. Juanda dan Jalan Jenderal Sudirman dirusak dan dibakar beserta mobil-mobilnya. Kemudian ada pula pengrusakan toko-toko di Jalan Gajah Mada dan gedung-gedung steambath dan night club. Beberapa nama disebutkan sebagai pemimpin pengrusakan, antara lain Monang Siagian, Yessi Moninca, Pontas Siahaan, Purba, Jusuf AR, Marcus Mali, Asmara Nababan, Jusril dari kelompok Fahmi Idris, Reny Is dan Mudjiarto.

Selain versi Bakin itu, beberapa waktu setelah peristiwa 15 Januari 1974, beredar pula satu versi bahwa kelompok-kelompok yang dikerahkan oleh operator-operator Ali Moertopo juga ikut memulai kerusuhan dengan melakukan perusakan di wilayah-wilayah yang sama, terutama di sekitar Proyek Senen. Keterkaitan yang menyebut-nyebut nama Ali Moertopo ini sempat ada dalam laporan intelejen beberapa lembaga keamanan. Menurut laporan para reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia, saat itu di jalanan tempat kerusuhan dan perusakan terdapat beraneka ragam tipe pelaku. Mulai dari yang tampak berciri pelajar sampai dengan yang bukan. Justru yang berciri mahasiswa boleh dikatakan tidak ada. Antara massa, satu sama lain jelas terlihat tidak selalu satu koordinasi atau komando. Apalagi di Proyek Senen dan sekitarnya, betul-betul sulit mengidentifikasi ciri dan kelompok.

Seperti halnya dengan mahasiswa Bandung, mahasiswa Jakarta juga pada siang hari 15 Januari 1974 usai apel di Trisakti –dan kemudian tanggal 16– mencoba mengadakan rapat-rapat membahas situasi. Di Universitas Indonesia, ada rapat DM-UI yang dihadiri antara lain Gurmilang Kartasasmita, John Pangemanan (dari STO), Karantiko, Jusril Amrul dan Hariman Siregar (pada tanggal 15 sebelum ditangkap), serta Jusuf AR. Mereka mengevaluasi kegiatan serta rencana selanjutnya. Mereka pun menyerukan agar mahasiswa dan pelajar tetap tenang dan waspada, tidak terpancing dan tidak sampai terintimidasi. Mereka menegaskan pula bahwa mahasiswa dan pelajar akan tetap berjuang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Siang tanggal 16 Januari itu masih sempat terkumpul kurang lebih 2000 mahasiswa yang kemudian menuju Blok P Kebayoran Baru untuk menghadiri pemakaman korban yang jatuh pada 15 Januari 1974.

Akan tetapi berbeda dengan keadaan di Bandung, terlihat sudah bahwa gerakan mahasiswa Jakarta segera patah karena tekanan tuduhan makar. Dan pecahnya kerusuhan di Jakarta itu sendiri –siapa pun pelaku sebenarnya– sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan pemukul terhadap gerakan mahasiswa. Maklumat No.004/PK/I/1974 yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtibda Jaya sangat efektif dan tak sanggup dihindari. Maklumat itu menyatakan bahwa terhitung mulai tanggal 16 Januari 1974 semua sekolah/perguruan mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi/Universitas di wilayah hukum Jakarta, ditutup. Ditambah lagi adanya larangan berkumpul diluar rumah lebih dari lima orang antara matahari terbit hingga terbenam, yang pada malam harinya disambung dengan berlakunya jam malam. Tak ada peluang untuk koordinasi dan konsolidasi. Belum lagi, beberapa kalangan kekuasaan yang tadinya tampaknya masih cukup dekat dan bisa berkomunikasi dengan kalangan mahasiswa, mendadak berubah sikap dan penuh inisiatif menggiring mahasiswa menuju kepada kepatuhan. Hariman Siregar misalnya, menghadap Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo karena anjuran dan jaminan Ali Sadikin, dan kemudian berlanjut dengan penahanan. Setelah peristiwa tanggal 15, Ali Sadikin menjadi yang termasuk di antara yang berbicara keras terhadap pelajar dan mahasiswa.

Menjadi luka yang kedua, sebelum luka yang ketiga

BAGI mahasiswa Bandung, apa yang terjadi dan berlangsung sekitar tanggal 15 Januari 1974, hanyalah merupakan petunjuk kesekian betapa kalangan kekuasaan memang lebih mengutamakan kekuasaan bagi dirinya masing-masing daripada kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Sehingga, Peristiwa 1974 dapat dicatat sebagai Luka Kedua dalam hubungan mahasiswa dengan kekuasaan. Pasca Pemilihan Umum 1971, semua unsur dalam kekuasaan melihat betapa besar kekuasaan yang telah mereka capai dan peroleh bersama-sama. Dan adalah sangat merangsang untuk berupaya agar berada pada pucuk kekuasaan.

Setidaknya ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya. Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri. Di antara kelompok yang paling tangguh secara kualitatif, adalah kelompok Ali Moertopo yang mengendalikan beberapa kekuatan sospol, selain Golkar dan juga beberapa unsur partai di luar Golkar. Penguasaan mereka terhadap sektor-sektor ekonomi juga amat signifikan, ditambah pengaruh-pengaruh dalam batas tertentu di kalangan militer yang terikat dalam satu kepentingan ekonomis. Tetapi kelompok yang paling kuat dan berotot tentulah kelompok Jenderal Soemitro karena faktor posisi pengendalian komando-komando. Namun hubungan pribadinya yang kurang serasi dengan Jenderal Maraden Panggabean yang memegang jabatan Menteri Hankam Pangab, sedikit mengurangi keunggulannya.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi adalah rivalitas yang berlangsung di bawah permukaan berdasarkan rumpun divisi, yakni antara rumpun Diponegoro dan Brawijaya dengan Siliwangi sebagai faktor yang menciptakan balans. Tapi peranan Siliwangi telah agak lama merosot sejalan dengan berakhirnya pengaruh perwira-perwira idealis terkemuka di tubuhnya, tanpa suatu regenerasi kualitatif. Diantara kelompok Ali Moertopo dan kelompok Jenderal Soemitro, dalam pemerintahan Soeharto, terdapat kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Kelompok yang sering diberi predikat Mafia Berkeley ini memiliki kecenderungan kedekatan yang memadai dengan kalangan perguruan tinggi –tetapi sekaligus juga dihubung-hubungkan dengan kelompok ex PSI yang satu dan lain hal sering dilekatkan dengan kaum intelektual. Dalam beberapa pengalaman empiris, terlihat adanya perbedaan yang cukup mendasar dalam pandangan-pandangan kelompok teknokrat ini dengan kelompok pemikir yang disusun oleh Ali Moertopo. Paling terasa adalah dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah. Dalam banyak hal, kelompok Jenderal Soemitro lebih banyak memilih pandangan sejajar dengan kelompok teknokrat, sehingga terutama pada tahun 1973 hingga awal 1974 kepada mereka dilekatkan teori konspirasi. Di luar kelompok-kelompok yang ‘berseteru’ itu terdapat beberapa kelompok lagi, tetapi tidak terlalu jelas perpihakan sebenarnya, kecuali bahwa umumnya mengikuti arah angin. Diantara mereka ini, misalnya para perwira yang telah melakukan praktek korup dan dagang yang tidak sehat. Pada setiap kelompok utama yang berseteru akan selalu bisa ditemukan tipe yang punya catatan berbau korup ini.

Berlanjut ke Bagian 16

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (6)

“PADA akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada keketatan barisan pengamanan”. “…. menjelang akhir Desember 1973, setelah suatu delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu demonstrasi langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan menyampaikan tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada akhirnya …. menyatakan bersedia melakukan dialog”.

SELAIN aksi ekstra parlementer KNPI, ada lagi satu tokoh demonstran yang paling banyak ‘menyedot’ perhatian, baik karena keunikannya, maupun karena keanehan dan  karena ‘menjengkelkan’ sekaligus. Laksus Pangkopkamtibda Jaya Brigjen GH Mantik sempat menumpahkan kejengkelan kepada tokoh demo yang bernama Julius Usman ini yang punya kelompok bernama ‘Angkatan Muda Oposisi’. Julius ini sangat terkenal sebagai tokoh ‘demonstran rutin’ dari tahun ke tahun. Jika gerakan-gerakan mahasiswa dan kaum muda lainnya oleh Laksus masih dilukiskan sebagai “masih dapat dimengerti”, ‘Angkatan Muda Oposisi’ sebaliknya dituduh beranggotakan oknum-oknum yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Laksus menganggap Julius dan kawan-kawannya “merupakan gerakan yang hanya latah dan ikut-ikutan saja”.

Tapi sebenarnya Julius tidak hanya berada di ‘Angkatan Muda Oposisi’, ia kerap bergabung pada berbagai gerakan lain. Dan setiap gerakan yang melibatkan Julius Usman, umumnya dapat dikategorikan mengandung ‘suspense’ dan banyak yang menganggapnya absurd, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan pergerakan mahasiswa sendiri. Sejak pertengahan Desember misalnya ada beberapa gerakan yang dilakukan Julius. Senin 10 Desember, Julius Usman dan kawan-kawan bersama Louis Wangge yang bergabung di bawah nama ‘Komite Kebanggaan Nasional’ mendemonstrasi Gedung Wisma Nusantara. Mereka memanjati gedung 30 tingkat itu untuk mencapai reklame Toyota dan berusaha menutupinya, tapi tak bisa. Maka mereka hanya mengibarkan bendera merah putih di sana. Sementara itu sekitar tiga puluh orang lainnya menyebarkan lembaran kertas pernyataan kepada para tamu dan karyawan di gedung itu. Mereka memperingatkan bahwa gedung bertingkat yang disebut sebagai gedung tertinggi di Indonesia –saat itu– dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang. Menurut mereka adalah tak pantas gedung itu jadi benteng kebudayaan asing. Mereka memperingatkan pula bahaya terselubung dari modal asing, yaitu bisa menjadi penjajahan bentuk baru. Pada hari itu juga gerakan lain yang bernama ‘Generasi Pembayar Hutang Indonesia’ yang dipimpin pemuda bernama Herman melancarkan aksi corat-coret di gedung kantor perwakilan Toyota di Jalan Jenderal Sudirman. Semula mereka mau menurunkan reklame Toyota di puncak gedung itu, tapi batal karena persuasi seorang Jepang yang menjadi pimpinan harian di tempat itu, yang mengatakan bahwa sejak beberapa hari lampu reklame itu tidak dinyalakan. Seorang pejabat pemerintah kota juga ikut melarang reklame itu diturunkan.

Sebelum bergabung dengan Julius Usman, Louis Wangge yang juga adalah veteran 1966, sempat mendemonstrasi pemilihan ratu kecantikan Indonesia di Hotel Indonesia, atas nama ‘Komite Anti Kemewahan’. Komite ini pula lah yang sempat menjadikan night club terkenal Latin Quarter sebagai sasaran ‘anti kemewahan’. Louis Wangge adalah satu diantara sedikit tokoh Angkatan 1966 yang ‘tersisa’ di’jalan’an, sementara banyak tokoh 1966 lainnya sudah berada dalam lingkaran kekuasaan ataupun telah menjadi elite Golkar maupun PDI dan PPP. Ketiga kekuatan politik ini bersama ABRI waktu itu bagaimanapun telah merupakan ‘sub sistem’ kehidupan politik dan kekuasaan negara, meskipun dengan kelas peranan yang berbeda.

Satu lagi gerakan Julius Usman atas nama ‘Komite Kebanggaan Nasional’ dilakukan di bundaran Tugu Selamat Datang di depan Hotel Indonesia, bersama Buce Rumaruri dan sejumlah kawannya yang lain. Mereka menggelar spanduk dan poster. Salah satu diantaranya berbunyi “Di sini akan dibangun Badan Koordinasi Penjualan Negara”, sedang lainnya berbunyi “Oh Tuhan…. hukumlah para pemimpin kami yang korup”. Dua hari kemudian, Sabtu 22 Desember, ‘Komite Kebanggaan Nasional’ kembali beraksi. Kali ini mereka mendatangi rumah kediaman Direktur Utama Pertamina Mayjen Ibnu Sutowo di Jalan Tanjung. Mereka bermaksud membacakan memorandum di sana. Tapi karena mereka datang pada pagi hari tepat pada jam kantor, Ibnu sudah tidak ada di rumah. Maka mereka hanya bisa mengacungkan poster yang berbunyi “Pengeluaran negara harus ada di dalam APBN” dan beberapa lainnya yang mengutik-ngutik praktek khusus dalam pengelolaan kekayaan negara, yang mestinya dibaca dan ‘diresponse’ Ibnu. Julius Usman dan kawan-kawan memang cerdik memilih sasaran.

Suatu gerakan yang dibuat untuk menakuti para cukong, dilancarkan pula dengan nama ‘Desember Hitam’ oleh mereka yang menyebutkan diri ‘Generasi Angkatan 66’. Aksi dilakukan di bundaran dekat Bank Indonesia Jalan Thamrin, mengibarkan bendera hitam sebagai tanda berkabung atas kemelut sosial politik yang menimpa Indonesia. Mereka membawa satu ‘daftar hitam’ yang berisi 18 nama cukong atau tokoh non pribumi yang mereka sebut sebagai petualang-petualang politik, penyelundup, tukang gusur tanah dan antek Jepang. Seraya itu mereka bertanya apakah perlu revolusi sosial terjadi? Dijawab sendiri oleh mereka “Mungkin saja terjadi revolusi sosial”. Jurus ‘Desember Hitam’ sempat juga menciutkan nyali para cukong, sehingga mereka sibuk melobi para sobat di kalangan kekuasaan dan keamanan. Beberapa dari mereka yang masuk daftar, diketahui sempat mengeluarkan dan menambah pos biaya pengamanan.

Gerakan-gerakan di Jakarta ini serupa dengan yang terjadi sebelumnya di Yogya minggu ketiga Desember, di sekitar Monumen 1 Maret, demonstrasi anti cukong, anti kemewahan dan anti judi dengan sasaran yang tertuju jelas kepada Ong Ging Ging yang lebih dikenal dengan nama Onggo Hartono penyelenggara Toto Koni Yogyakarta. Di Jakarta, saat itu memang hampir setiap hari terjadi demonstrasi, mulai dari yang masuk akal sampai kepada yang sering-sering tidak masuk akal dan menimbulkan pertanyaan apa maksud sebenarnya. Tetapi semua gerakan ini menyangkal anggapan bahwa gerakan-gerakan mereka sekedar latah-latahan atau mencari popularitas, apa lagi kalau dikatakan ‘ada udang di balik batu’. Desas desus tidak sedap tentang ekses memang juga ikut terdengar. Namun, apapun ceritanya, aksi-aksi yang terjadi di Jakarta menjalar pula ke kota-kota seperti Medan, Surabaya, Ujung Pandang dan berbagai kota lainnya di tanah air. Mulai dari gerakan idealis ataukah yang bukan dan spesifik.

Adanya gerakan-gerakan yang tidak jelas dan terlalu mengada-ada, membuka pintu bagi penguasa militer untuk membuktikan bahwa aksi-aksi itu sudah tak bisa dipertanggungjawabkan lagi dan menjadi batu loncatan untuk mengeluarkan larangan berdemonstrasi bagi mahasiswa seluruhnya. Maka tak kurang kecurigaan bahwa beberapa gerakan ekstra parlementer memang direkayasa untuk menciptakan opini buruk bagi gerakan mahasiswa. Ini ibarat memasukkan kutu busuk dalam selimut. Tipu daya dan permainan intelejen yang saling menyilang mulai terjadi di latar belakang. Untuk mematahkan gerakan-gerakan mahasiswa, maupun sebaliknya untuk memicu, bahkan ditujukan kepada sesama kalangan kekuasaan dalam rangka penciptaan situasi sebagai akibat pertentangan internal yang sementara itu semakin meningkat.

Namun, bagaimana pun juga gerakan-gerakan mahasiswa tak terbendung lagi untuk segera menjadi gerakan besar yang ditopang oleh tampak lahiriah telah terkonsolidasinya kekuatan intra kampus, terutama antara Bandung dan Jakarta, yang diikuti oleh mahasiswa perguruan tinggi dari berbagai kota lainnya. Kendati pun masih terdapat nuansa perbedaan menyangkut ‘platform’ dan ‘tujuan’. Isyarat itu bermula dengan menggelindingnya demonstrasi langsung ke arah Soeharto di pekan terakhir Desember 1973 itu.

Akhirnya demonstrasi menggelinding ke arah Soeharto

PADA akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada keketatan barisan pengamanan. Tetapi menjelang akhir Desember 1973, setelah suatu delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu demonstrasi langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan menyampaikan tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada akhirnya, melalui komandan satuan pengawalan presiden, Kolonel Darsa, menyatakan bersedia melakukan dialog. Presiden Soeharto memutuskan untuk menerima para mahasiswa pada tanggal 11 Januari 1974.

Pertemuan itu, yang berlangsung di kantor Presiden, Bina Graha, serba dibatasi. Ada 35 Dewan Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi se Indonesia yang hadir, namun hanya tiga orang wakil dari setiap dewan yang bisa masuk ke ruang pertemuan. Sejumlah besar mahasiswa lainnya yang datang mengantar rekan-rekan mereka hanya diperkenankan masuk sebatas ruang pers Bina Graha. Mereka ini umumnya adalah dari kontingen Bandung yang datang ke Jakarta dengan 5 minibus untuk mengantar delegasi DM-DM mereka. Kontingen ini dipimpin oleh Omay Komar Wiraatmadja bersama Iwan Abdurrahman, Hertog Saut dan Suprapto. Ketika dipersilahkan untuk duduk, mereka memilih duduk ramai-ramai di lantai ruangan. “Kita tidak biasa duduk di kursi enak”, ujar mereka. Sambil menunggu kawan-kawan mereka yang mengikuti pertemuan, mereka melontarkan berbagai ucapan dan sindiran. Di Jakarta ini, kata mereka, banyak penjara yang pagarnya sampai tiga meter, tapi isinya Istana. Di luar, terbiasa memenjarakan kebebasan berpendapat orang lain.

Dalam ruang pertemuan itu sendiri, para mahasiswa tidak membatasi kata-kata, tetap melontarkan pendapat dan pertanyaan yang tajam dan cukup terang-terangan kepada sang Presiden yang duduk di salah satu sisi meja rapat yang disusun berbentuk O, didampingi Sudharmono SH di samping kirinya. Hariman Siregar dari UI di kursi pertama di sudut siku-siku sisi kiri Sudharmono SH pada deretan pertama. Sementara di seberangnya di sudut siku-siku-siku samping kanan Presiden, duduk Hatta Albanik Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran. Presiden membuka acara pertemuan dengan langsung memberi kesempatan para delegasi dewan-dewan mahasiswa itu untuk berbicara. Setelah Hatta Albanik dan beberapa pimpinan DM lainnya mengacungkan tangan meminta kesempatan bicara, lalu dialog pun dimulai.

Ada yang bertanya, mengapa pidato-pidato Presiden banyak yang berbeda dengan fakta. Dan kemudian dengan terlebih dahulu ‘meminta maaf’ kepada Presiden, “Maaf kalau ada kata-kata saya yang menyinggung atau terlalu keras. Sebenarnya saya sudah mencoba memperhalus”, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Hatta Albanik melontarkan pertanyaan dan pernyataan. Dan tetap saja, cukup tajam. “Pak Harto sering menganjur-anjurkan hidup sederhana, tapi banyak dari penguasa yang bertindak sebaliknya”, ujar Hatta. “Jadi seolah-olah wibawa pak Harto ditantang oleh bawahan sendiri”. Katanya tidak boleh pamer kekayaan, tapi nyatanya yang menumpuk kekayaan sangat banyak. “Ini kan membuat orang jadi munafik?”. Hatta menggugah pula keberanian Kepala Negara untuk bertindak kepada yang salah, betapa pun dekatnya hubungan pribadi mereka. Ia memperingatkan pula agar dalam masalah informasi dan laporan jangan sampai terulang pengalaman masa Soekarno.

Masih menyangkut bawahan, Dewan Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jakarta bertanya kepada Soeharto, bagaimana ia sebagai pimpinan bertindak atau tidak terhadap pembantunya yang juridis formal masih susah dibuktikan bersalah, tetapi sementara itu masyarakat sudah merasakan kesalahan itu ? Presiden tidak menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan berikut, dari Hariman Siregar Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, mengenai tindakan terhadap bawahan Presiden yang menyeleweng. “Kenapa bapak tidak tegas bertindak terhadap bawahan bapak?”. Pertanyaan ini dijawab Soeharto, “Ketegasan ada, kalau informasi positif. Tindakan bukan dilakukan untuk menjadikan yang bersangkutan jadi bandel, tapi bertujuan untuk mendidik”.

Tanya jawab antara Ketua Umum Dewan Mahasiswa Udayana, Mikail Tani Wangge, dengan Presiden, adalah satu di antara sekian tanya jawab yang menarik dalam pertemuan 11 Januari ini.

“Kenapa dialog ini diadakan tertutup?”, tanya Tani Wangge.

“Bukan karena tidak percaya”, jawab Presiden, “tapi untuk mencerminkan keadaan yang lebih akrab”. Lalu Presiden menambahkan kekuatirannya bahwa pemberitaan mengenai dialog ini –bila dilakukan terbuka– bisa simpang siur dan menjurus ke arah negatif.

“Dalam soal pemilihan Gubernur, kenapa DPRD belum bersidang tapi nama calon sudah ada”, tanya Tani Wangge mengenai masalah kursi Gubernur Bali yang lalu.

“Tidak demikian”, jawab Presiden seraya tersenyum.

“Kami jangan ditipu pak”, ujar Tani Wangge lagi, “pemilihan Gubernur telah ditentukan lebih dulu, bukan murni. Begitu juga penjualan tanah rakyat untuk pembangunan, bukan dengan rela tapi lantaran takut”.

“Sampai di mana batas-batas seseorang memiliki tanah ?”, tanya mahasiswa dari DM-IPB.

“Kalau seseorang memiliki tanah dengan melalui prosedur hukum, tidak bisa disalahkan”, jawab Presiden, “Yang harus kita koreksi, dari mana duitnya”.

Wakil dari Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta melontarkan serangkaian pertanyaan, apakah benar pemilihan gubernur-gubernur ditentukan oleh Opsus dan apakah pemerintah atau DPR tidak berfungsi dengan adanya Aspri ? “Dan kenapa Jenderal Soeharto tidak seberani zaman permulaan Orde Baru ?”.

Presiden kurang lebih menjawab, bahwa Aspri tidak dibenarkan main cukong-cukongan. “Dan saya akan mencari data mengenai hal itu”.

“Bagaimana tentang lembaga-lembaga yang tidak berfungsi ?”, demikian pertanyaan dari Dewan Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.

“Kita sedang usahakan untuk meluruskannya”, jawab Presiden.

Pertanyaan lain diajukan pula oleh DM-UI, mengenai permainan beberapa kalangan penguasa di kampus, misalnya melakukan intimidasi-intimidasi. Beberapa pertanyaan lain terpaksa diajukan secara tertulis oleh beberapa Dewan Mahasiswa yang tidak mendapat kesempatan berbicara karena waktu pertemuan yang dibatasi. Pertanyaan tertulis yang diajukan oleh para mahasiswa antara lain mengenai sepak terjang menyimpang dari beberapa tokoh, termasuk mengenai Ibu Negara Tien Soeharto. Selain itu, beberapa dari 35 Dewan Mahasiswa yang hadir, menyerahkan dua memorandum kepada Presiden.

Berlanjut ke Bagian 7