Tag Archives: Dewan Jenderal

SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (1)

Perintah-perintah Soekarno. DALAM acara ulang tahun Soekarno, 6 Juni 1965, di Istana Tampak Siring, Bali, ada pembicaraan tentang isu kelompok jenderal yang tidak loyal. Saat itu Soekarno secara langsung memberikan petunjuk menghadapi rencana makar para jenderal itu. Tiga Waperdam, Dr Subandrio, Chaerul Saleh dan Dr Johannes Leimena hadir di Tampak Siring kala itu. Bersama para Waperdam, ada Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam serta tiga pejabat teras Bali, Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian. Selain itu, juga hadir perwira keamanan Soekarno, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel KKO Bambang Widjanarko.

Buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’ (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) menuturkan cukup detail tentang pertemuan itu. “Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya. Pada waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan untuk melakukan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya.”

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006) 

Tak memerlukan waktu yang lama Brigjen Sjafiuddin telah melapor kembali. Ia berkali-kali menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. “Sjafiuddin menggambarkan adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima Tertinggi.  Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid.” Dan betul, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Tanpa pikir panjang, Mursjid langsung menyatakan bersedia.

Tetapi selain kepada Sjafiuddin, Presiden Soekarno juga memerintahkan beberapa perwira lain menyelidiki kelompok perwira yang tidak loyal itu. “Dua diantara yang ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo.” Keduanya juga membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Mereka bolak-balik ke Istana membawa laporan memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal, jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi.

Pada tanggal 4 Agustus 1965, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada Untung Soekarno bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam. Bahkan Sjam mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat. Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno sendiri pada akhirnya.

Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan, Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal.

Pada 15 September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan Hardjo Wardojo.

Lalu pada 23 September pagi, di serambi belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata harus dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen Tjakrabirawa itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”. Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu adalah  Dr Subandrio, Chaerul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.

Ketika Brigjen Soedirgo menghadap lagi 26 September, kembali Soekarno mengatakan telah memerintahkan Brigjen Sabur dan Brigjen Sunarjo untuk mengambil tindakan dan memerintahkan Soedirgo membantu. ”Saya percaya kepada Corps Polisi Militer”, ujar Soekarno. Terlihat betapa selama berminggu-minggu, persoalan berputar-putar pada lapor melapor tentang adanya jenderal-jenderal yang tidak loyal dan setiap kali Presiden Soekarno pun mengeluarkan perintah penindakan. Namun, rencana penindakan itu seakan jalan di tempat. Barulah pada 29 September 1965, tampaknya ada sesuatu yang dapat dianggap lebih konkret, dengan munculnya Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo melaporkan kesiapan ‘pasukan’ yang dikoordinasi Pangkopur II dari Kalimantan ini untuk segera bertindak terhadap para jenderal yang tidak loyal tersebut. (Bagian 2: Rencana Penangkalan, Sebuah Gerakan Militer/socio-politica).

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (8)

KETIKA merayakan ulang tahunnya, 6 Juni 1965, di Istana Tampak Siring, Bali, isu mengenai adanya kelompok jenderal yang tidak loyal menjadi bahan pembicaraan. Bagaimana menghadapi kemungkinan makar dari para jenderal itu, Soekarno secara langsung memberikan petunjuk kepada beberapa orang diantara yang hadir. Waktu itu, hadir antara lain tiga Waperdam, yakni Dr Subandrio, Chairul Saleh dan Dr Johannes Leimena serta Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam. Selain mereka, hadir tiga pejabat teras yang berkedudukan di Denpasar, yakni Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian. Beberapa perwira keamanan dan ajudan juga hadir, yakni Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira korps komando.

SOKARNO-MAO. “Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya”. (Repro: tony’sfile/penasoekarno.wordpress.com)

Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya. Pada waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan keinginannya untuk melakukan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya.

Menurut Nasution, Presiden Soekarno sering marah-marah bila menyebut nama jenderal-jenderal yang terkait dengan isu Dewan Jenderal atau jenderal-jenderal yang tidak loyal. Kerap terlontar istilah ‘jenderal brengsek’ dari Soekarno. Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan menerima sejumlah jenderal lain yang dianggapnya loyal sebagai imbangan terhadap para jenderal yang dianggapnya tidak loyal itu. Suatu ketika Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo Parman dan Soetojo Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya dimarahi habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya ‘musuh dari utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya. Jangan terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno, poros Jakarta-Peking.

Brigjen Sjafiuddin tidak memerlukan waktu yang lama untuk melapor kembali. Ia terlihat beberapa kali datang menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. Sjaifuddin menggambarkan adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima Tertinggi. Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid. Pada kesempatan lain, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid tanpa pikir panjang langsung menyatakan kesediaannya.

Selain Sjaifuddin, Presiden Soekarno juga memerintahkan beberapa perwira lain untuk menyelidiki dan mengusut mengenai kelompok perwira yang tidak loyal itu. Dua diantara yang ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo. Keduanya juga membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Keduanya selalu kembali dengan laporan yang memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal, jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi. Di bulan Agustus, tanggal 4, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada Untung ia bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam Kamaruzzaman. Bahkan Sjam mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat. Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno sendiri pada akhirnya. (Lebih jauh, lihat juga uraian pada halaman-halaman berikut).

Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan, Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal. Pada 15 September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan Hardjo Wardojo. Lalu pada tanggal 23 September pagi, di serambi belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata harus dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen Tjakrabirawa itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”. Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu adalah  Dr Subandrio, Chairul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.

Ketika Brigjen Soedirgo menghadap lagi 26 September, kembali Soekarno mengatakan telah memerintahkan Brigjen Sabur dan Brigjen Sunarjo untuk mengambil tindakan dan memerintahkan Soedirgo membantu. ”Saya percaya kepada Corps Polisi Militer”, ujar Soekarno. Terlihat betapa selama berminggu-minggu, persoalan berputar-putar pada lapor melapor tentang adanya jenderal-jenderal yang tidak loyal dan setiap kali Presiden Soekarno pun mengeluarkan perintah penindakan. Namun, rencana penindakan itu seakan jalan di tempat. Barulah pada tanggal 29 September 1965, tampaknya ada sesuatu yang dapat dianggap lebih konkret, dengan munculnya Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo melaporkan kepada Soekarno kesiapan ‘pasukan’ yang dikoordinasi Pangkopur II dari Kalimantan ini untuk segera bertindak terhadap para jenderal yang tidak loyal tersebut. Menurut berita acara pemeriksaan Teperpu Kolonel KKO Bambang Setijono Widjanarko menerangkan bahwa dalam pertemuan pukul 11 pagi itu, selain Brigjen Soepardjo hadir pula Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani, yang menyatakan kesediaannya membantu.

Kesaksian Widjanarko ini dibantah Omar Dhani, karena “sewaktu saya menghadap Presiden Soekarno, saya tidak melihat kehadiran Soepardjo di istana” (Omar Dhani, wawancara dengan Rum Aly). Artinya, mereka menghadap pada jam yang berbeda. Omar Dhani sepanjang yang diakuinya, datang melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang kedatangan sejumlah besar pasukan dari daerah –Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat– ke Jakarta dengan alasan untuk kepentingan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata RI 5 Oktober 1965, yang dianggapnya aneh karena diperlengkapi peralatan tempur garis pertama. Selain itu, ia justru telah menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo yang menghadap di kediamannya pada pukul 16.00 Kamis 30 September 1965 untuk menemui Brigjen Soepardjo dan meminta keterangan rencana dan tujuan sebenarnya dari gerakan yang akan dilakukan Soepardjo di ibukota negara seperti yang dilaporkan oleh Asisten Direktur Intelijen AU itu.

Berlanjut ke Bagian 9

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (7)

PRAKTIS sepanjang September 1965, PKI menyerang secara agresif, lawan-lawan politiknya, terutama kelompok-kelompok tentara yang dikaitkan dengan Jenderal AH Nasution. Seraya menggambarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal kepada Soekarno, Harian Rakjat 4 September menulis bahwa para perwira tentara itu dalam pola maling teriak maling menuduh seakan-akan PKI mau melakukan kup. Tetapi sementara itu, pada tanggal 9 September adalah DN Aidit sendiri yang menggambarkan akan terjadinya sesuatu dengan mengatakan “Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar”. Ucapan ini diperkuat Anwar Sanusi. Lima hari kemudian, 14 September, di depan sidang nasional Sobsi Aidit mengatakan bahwa “yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota. Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi, kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara”. Akronim kapbir digunakan untuk kapitalis birokrat. Di depan karyawan BNI, 17 September, Aidit mengatakan “Kabinet sekarang belum Nasakom, hanya mambu Nasakom”. Lalu 21 September di depan Sarbupri, Aidit menyatakan “Jangan berjuang untuk satu ikan asin…. Jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam”. Seraya menggambarkan bahwa para menteri hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno, ia sebaliknya melukiskan “kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka”.

SOEKARNO DAN AIDIT. “…. Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI ‘ternyata menyeleweng’ dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan membubarkan HMI”.(Repro: applet.magic.com)

Paling agresif adalah ucapan-ucapan Aidit di depan Kongres III CGMI 29 September 1965, “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat. Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi berani”. Pada acara itu Aidit melancarkan serangan khusus kepada HMI yang beberapa waktu sebelumnya sempat dibela oleh Ahmad Yani. Bahkan sebenarnya Aidit malam itu seakan ‘melawan’ Soekarno ketika ia menanggapi pidato Waperdam II Leimena. Sang Waperdam yang berbicara sebelum Aidit, malam itu mengatakan bahwa sesuai sikap Presiden Soekarno, hendaknya HMI tak perlu lagi dipersoalkan lebih lanjut. Menurut Leimena, bukankah beberapa hari sebelumnya, 22 September, Presiden telah menyatakan penolakannya terhadap tuntutan pembubaran HMI yang disampaikan kepadanya? Namun Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI “ternyata menyeleweng” dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan membubarkan HMI.

Sesuatu yang ikut memberatkan PKI di belakang hari adalah editorial Harian Rakjat pada tanggal 30 September, yang berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil”. Editorial ini seakan membayangkan suatu pengetahuan tentang rencana PKI berkaitan dengan kematian para jenderal melalui suatu hukuman mati oleh rakyat atau kekuatan revolusioner. Akumulasi pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI, terutama Aidit, serta apa yang hitam putih termuat dalam Harian Rakjat, di belakang hari ibarat mozaik yang setelah disusun menjadi sebuah gambar, telah mendorong munculnya opini kuat tentang keterlibatan dan peran PKI sebagai otak gerakan makar tanggal 30 September 1965.

Jenderal Nasution yang pada bulan September itu banyak menjadi bulan-bulanan serangan kelompok politik kiri maupun Soekarno, lebih banyak berdiam diri, dalam arti tak banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan menanggapi serangan-serangan yang ditujukan pada dirinya. Bahkan serangan tentang keterlibatan isterinya dalam suatu kolusi bisnis yang memanfaatkan kekuasaan suami, juga didiamkan Nasution. Dalam suatu rapat raksasa 29 September –suatu model pengerahan massa pada masa itu– di lapangan Banteng yang dihadiri lebih dari seratus ribu orang, sebagian besar terdiri dari pelajar yang dikerahkan IPPI pimpinan Robby Sumolang, ada aksi tunjuk hidung terhadap kapbir, setan-setan kota dan kaum koruptor. Empat nama setan kota yang ditunjuk hidungnya adalah Hein Siwu, Pontoan, Kapten Iskandar dan seorang insinyur pemilik pabrik tekstil bernama Aminuddin, yang nama-namanya sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung Brigjen Sutardhio. Menurut Nasution, nama yang disebut terakhir, Ir Aminudin, bersama Hein Siwu, dikait-kaitkan dengan isterinya dalam urusan bisnis. Nasution memang pernah memenuhi undangan Aminuddin untuk meninjau pabrik tekstil milik Aminuddin yang terletak di daerah Cawang. Pabrik itu, “didesas-desuskan sebagai milik saya, yang diurus oleh Ir Aminuddin”. Kejadian sebenarnya dari hubungan itu, menurut Nasution adalah bahwa Hein Siwu dengan diantar oleh Kolonel Hein Victor Worang pernah datang untuk menyumbang kegiatan sosial Nyonya Sunarti Nasution.

Sepanjang September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo Sumpeno.

Malam hari tanggal 30 September 1965, Nasution memberi ceramah mengenai Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), tanpa point-point yang eksplosif secara politis. “Saya diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan Kolonel Isa Edris. Rupanya selama saya berceramah ada kelompok pemuda yang tidak dikenal yang terus mengawasi, sehingga terjadi bentrokan dengan para mahasiswa yang bertugas sebagai penjaga keamanan”. Pada malam yang sama, menurut Nasution, iparnya yang bernama Sunario Gondokusumo, melihat Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam Jaya, memeriksa penjagaan di rumah Jenderal Nasution. Tetapi secara umum, menurut kesan Nasution sendiri tentang keadaan sekitar kediamannya pada 30 September malam itu, tidak ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal dari Brigif I pun tidak melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka bergiliran tidur”. Waktu Nasution tiba di rumah dekat tengah malam, isterinya telah tidur bersama puterinya yang bungsu, Ade Irma. Sebagaimana biasanya pula, mereka tidur dengan jendela terbuka untuk mendapat hawa dingin dari luar. “Kelak saya mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel Ali Ebram”.

Pada pekan terakhir September Nasution banyak berlatih golf karena akan mengikuti pertandingan golf dalam rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober. Nasution sendiri menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan secara sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan show of force, dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga, GanefoGames of the New Emerging Forces– militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara sahabat yang tergolong sebagai Nefos. Tetapi ini tidak sempat lagi dilaksanakan karena alasan teknis dan keterbatasan waktu, meskipun sempat dilakukan sejumlah persiapan awal dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam kepanitiaan duduk antara lain Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.

Perjalanan keliling ke berbagai daerah sepanjang September dilakukan Jenderal Nasution tanpa mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang mengundang tanggapan. Sebaliknya, berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit banyak melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang bulan September. Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI sedang berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan terkesan ingin menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar pengaruhnya kelak dalam rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30 September 1965 malam dan pada masa-masa berikutnya segera setelah itu.

Seperti digambarkan Soebandrio, memang Soekarno menerima begitu banyak laporan tentang perkembangan terakhir. Ini terjadi boleh dikatakan hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya isu Dewan Jenderal– dan meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan adalah karena laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan prasangka tertentu kepada sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada suatu rencana ‘pembenahan’ yang untuk sebagian besar, beberapa waktu kemudian ternyata berkembang di luar kendalinya sendiri.

Berlanjut ke Bagian 8

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (6)

TATKALA pada sore pukul 16.00, Kamis 30 September 1965 itu juga, Letnan Kolonel Heru Atmodjo melaporkan segalanya kepada Laksamana Madya Omar Dhani di rumah kediaman Jalan Wijaya Kebayoran Baru dan menyebutkan keterlibatan Brigjen Soepardjo, Panglima Angkatan Udara ini spontan memerintahkan Heru untuk mencari sang jenderal. Heru harus mendapat jawaban mengenai tujuan sebenarnya dari gerakan tersebut, serta di atas segalanya, adalah masalah keselamatan Pemimpin Besar Revolusi Panglima Tertinggi, dan melaporkan hasilnya kepada Omar Dhani pukul 20.00 malam itu juga.

Heru Atmodjo menyempatkan kembali ke rumahnya selama satu jam di Cipinang Cempedak untuk makan ‘siang’ dan baru bergerak kembali 18.00. Satu jam kemudian, 19.00, barulah ia bertemu Mayor Sujono untuk minta dipertemukan dengan Soepardjo. Sujono mengatakan bahwa kalau Heru mau bertemu Soepardjo, besok pagi saja di Penas, pukul 05.00 tanggal 1 Oktober 1965. Ini berarti, kalau apa yang direncanakan berlangsung malam itu, Sujono baru bertemu dengan Soepardjo setelah gerakan terjadi. Apakah dalam hal ini bisa ditafsirkan Sujono tidak menghendaki ada gangguan sekecil apapun, termasuk sekedar bertanya, malam itu sampai gerakan selesai? Tidak jelas pula seberapa jauh Sujono menjaga kerahasiaan gerakan ‘internal’ Angkatan Darat itu, karena dengan menginformasikan rencana yang di dalamnya ia turut serta dengan menggunakan alat dan fasilitas AURI tanpa seijin atasan, kepada seorang perwira intelijen,  gerakan bisa terhalang. Katakanlah para atasan di AURI yang pasti dilapori, tidak menyetujui digunakannya senjata dan kendaraan milik AURI, karena tidak mau terlibat masalah intern angkatan lain, Sujono bisa ditangkap malam itu juga oleh pimpinan AURI.

Tak berhasil bertemu malam itu dengan Brigjen Soepardjo, tak lebih dari sejam kemudian, 20.00, Heru telah tiba kembali di kediaman Omar Dhani. Di sana telah berkumpul sejumlah perwira teras Angkatan Udara, antara lain Laksamana Muda Makki Perdanakusuma, Deputi Operasi Komodor Dewanto, Deputi Logistik Komodor Andoko dan Panglima Komando Operasi Komodor Leo Wattimena. Omar Dhani memerintahkan Heru Atmodjo melaporkan informasi lengkap yang diperolehnya dari Mayor Sujono. Para petinggi AURI itu menyimpulkan bahwa apa yang akan terjadi terkait dengan rencana gerakan menjemput para perwira tinggi pimpinan Angkatan Darat –untuk diperhadapkan kepada Presiden– oleh sejumlah perwira seperti dilaporkan Heru, adalah masalah internal Angkatan Darat. Untuk menangkal bilamana ada imbas gerakan, diputuskan untuk menjalankan kesiap-siagaan di lingkungan AURI, khususnya di Halim Perdanakusuma dan Markas Besar. Pertemuan juga menyetujui agar Menteri Panglima Angkatan Udara dan para petinggi AURI lainnya sebaiknya malam itu berada di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma saja demi keamanannya sendiri. Sehingga, bilamana ada sesuatu kegentingan terjadi, mudah melakukan evakuasi. Tetapi secara umum, sejauh data yang ada, dalam pertemuan itu tak ada sikap tegas diputuskan dalam konteks situasi, dan agaknya sikap yang dipilih adalah menunggu tanpa mencampuri ‘masalah internal Angkatan Darat’. Ini sekaligus menunjukkan terdapatnya kerenggangan dalam hubungan Angkatan Darat dengan Angkatan Udara.

Di kemudian hari, Heru Atmodjo memberikan penilaian bahwa “Pimpinan AURI mengambil sikap jalan setengah-setengah. Setengah membiarkan, tidak melarang secara tegas Mayor Sujono ambil peran, walaupun sudah dilaporkan sebelumnya”. Bukankah disimpulkan bahwa itu adalah masalah internal Angkatan Darat? Mengapa, adalah Heru sendiri yang mencoba menjawabnya, “karena kuatnya loyalitas Laksamana Omar Dhani kepada Bung Karno, yang tanpa reserve, tanpa memikirkan akibat-akibatnya”. Sikap Pimpinan Angkatan Udara yang seperti itulah yang kelak antara lain menjadi dasar tuduhan tentang keterlibatan Angkatan Udara dalam Peristiwa 30 September 1965.

Mewakili pandangan yang hidup di tubuh Angkatan Udara saat itu, Heru menggambarkan bahwa di lain pihak “Angkatan Darat memang sarang perwira-perwira yang tidak loyal kepada pimpinan negara, Bung Karno. Orientasi mereka bukan kepada kepentingan nasion secara keseluruhan, melainkan untuk kelompok mereka sendiri”. Sikap seperti itu dalam sudut pandang pimpinan AURI, bertentangan dengan garis kepemimpinan Presiden Soekarno. Mengenai Sujono, Omar Dhani mengatakan “Sujono itu terlalu bodoh”, melibatkan diri dengan membawa sejumlah anggota Angkatan Udara dan perlengkapan kesatuan, padahal waktu itu “kita sendiri kekurangan tenaga”.

Laksamana Madya Omar Dhani sendiri waktu itu menganggap banyak perwira yang ‘tidak benar’ di tubuh Angkatan Darat, dalam konteks sikap yang berlawanan dengan Soekarno, seperti misalnya Jenderal Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto. Meskipun Mayor Jenderal Soeharto adalah wakilnya di Kolaga, Omar Dhani tidaklah punya hubungan dekat dengannya. Menurut Omar Dhani, “Soeharto itu perwira yang keras dan kaku dan merasa tidak mau diatur oleh atasan”. Tapi terlepas dari itu, apakah pimpinan Angkatan Udara, khususnya Laksamana Omar Dhani, saat itu memang tidak punya kepedulian terhadap masalah Angkatan Darat, khususnya terhadap koleganya sesama panglima angkatan, Letnan Jenderal Ahmad Yani? Ada penjelasannya.

Beberapa waktu sebelum tanggal 30 September, Omar Dhani bertemu bertiga dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Panglima Kepolisian Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo. “Saya sudah ngomong, ada sesuatu yang akan terjadi”, khususnya dalam kaitan dengan Angkatan Darat, jadi hendaknya berhati-hati. Yani tampaknya tetap tenang saja. Omar Dhani menggambarkan bahwa hubungannya dengan Yani baik sekali hingga saat itu. Suatu ketika, sewaktu berbincang-bincang dengan Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata dan Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Soetjipto, pada suatu kesempatan lain, tanpa kehadiran Yani, mengenai the incoming leader after Soekarno, dengan serta merta Omar Dhani menyebutkan nama Ahmad Yani. “Kami semua sepakat, dialah yang paling pantas”. Tapi, sekitar waktu itu Omar Dhani sendiri pernah juga disebut-sebut namanya untuk posisi Presiden, antara lain oleh pimpinan PKI. “Saya tidak pernah memikirkan. Tidak pernah mencalonkan diri”. Meskipun sempat membicarakan the next, secara umum para Panglima tersebut sampai saat itu menurut Omar Dhani, tidaklah pernah memikirkan penggantian Presiden.

  Soekarno, Aidit dan Jenderal Nasution

Soal siapa yang bisa  dan pantas menggantikan Soekarno kelak, sebenarnya tak hanya nama Yani –atau Omar Dhani –yang muncul kala itu. Soebandrio yang secara formal adalah orang kedua setelah Soekarno dalam kekuasaan hingga tahun 1965, justru menggambarkan adanya dua tokoh yang memiliki peluang seimbang, yakni Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani. Spekulasi yang berkembang, “jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah antara Yani dan Nasution”. Sebenarnya, pada sisi lain Soebandrio sendiri pun kerap disebutkan termasuk yang memiliki peluang untuk itu. “Yang tidak banyak diketahui orang”, ungkap Soebandrio, “dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution”. Sampai-sampai Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan ‘Negara dalam Negara’. Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. “Dia pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah”.

Pertemuan langsung antara Soekarno dengan Nasution yang terakhir adalah pertengahan September 1965, tatkala Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada Dipa Nusantara Aidit di Istana Negara. Tak ada hal yang istimewa dalam pertemuan sepintas dalam keramaian suasana upacara kala itu, di antara keduanya, kendati saat itu dalam benak Soekarno nama Nasution pasti terekam dengan konotasi tertentu, karena nama Nasution tercatat dalam laporan sebagai salah satu anggota Dewan Jenderal. Soekarno bahkan meletakkan Nasution sebagai otak di belakang segala sesuatu yang terkait dengan Dewan Jenderal, meskipun setiap kali memerlukan penjelasan, Soekarno selalu memintanya kepada Yani. Peristiwa agak istimewa, justru terjadi antara Aidit dengan Nasution. Setelah selesai upacara, menurut memori Nasution, Aidit datang kepadanya dan menanyakan “Manakah dari pita-pita di dada Jenderal Nasution yang mengenai operasi Peristiwa Madiun 1948?”. Nasution menunjukkan pita itu dan Aidit segera menggandeng tangan Jenderal Nasution seraya meminta para wartawan mengambil gambar mereka berdua.

Hanya beberapa hari sebelumnya, 13 September 1965, juga di istana, Presiden Soekarno menyerang Jenderal Nasution –meskipun tanpa menyebut nama. Dalam pembukaan pertemuan Gubernur se-Indonesia, Soekarno kembali mengulangi tentang adanya anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni sebarisan ‘jenderal brengsek’, yang semua orang tahu terutama ditujukan kepada Nasution. Ini bukan pertama kali dilontarkan Soekarno, terutama sejak ia menerima informasi-informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang bermaksud menggulingkan dirinya. Pada waktu yang bersamaan para pemimpin PKI melontarkan pernyataan-pernyataan senada, sehingga tercipta opini bahwa Soekarno memang betul-betul telah seiring sejalan dengan PKI, sesuatu yang kelak harus ditebus Soekarno dengan mahal.

Berlanjut ke Bagian 7

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (5)

WAPERDAM (Wakil Perdana Menteri) I Laksamana Udara Tituler Dr Soebandrio, juga ‘menerima’ laporan tentang akan adanya gerakan internal Angkatan Darat pada tanggal 18 September 1965. Tapi sampai saatnya ia berkeliling ke beberapa daerah Indonesia Timur dan Jawa Timur, melakukan apa yang saat itu dikenal sebagai Turba (akronim untuk kegiatan ‘turun ke bawah’ meninjau daerah), tak ada kejadian apa pun. Soebandrio menuturkan, beberapa hari sebelum ia melakukan kunjungan serupa ke Sumatera tanggal 29 September, ada laporan dari empat orang sipil –Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU, serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang  dari IPKI– bahwa “pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta”.

Rapat itu membicarakan antara lain rencana pengesahan kabinet baru versi Dewan Jenderal. Muchlis, tutur Soebandrio, tak hanya bercerita tetapi juga membawa pita rekaman suara pembicaraan dalam rapat tersebut. Dalam rekaman itu ada suara Mayjen Soewondo Parman, “yang membacakan susunan kabinet”. Susunan kabinet versi rekaman itu, antara lain adalah Jenderal AH Nasution menjadi Perdana Menteri, sedang Letjen Ahmad Yani menempati posisi Waperdam I merangkap Menteri Pertahanan Keamanan. Posisi lainnya, Mayjen MT Harjono sebagai Menteri Luar Negeri, Mayjen Soeprapto sebagai Menteri Dalam Negeri, Mayjen Soewondo Parman sebagai Menteri Kehakiman dan Brigjen Ibnu Sutowo sebagai Menteri Pertambangan. “Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya”.

Mengenai keberadaan Dewan Jenderal ini, Soebandrio pertama kali mendengarnya dari wakilnya di BPI, Brigjen Sutarto. “Tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal angkatan darat yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap presiden”. Setelah melaporkannya kepada Presiden Soekarno, Soebandrio berusaha mencari tahu lebih dalam. “Saya bertanya langsung kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani tentang hal ini. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu dewan yang merancang kepangkatan di angkatan bersenjata dan bukan dewan yang akan melakukan kudeta”. Merasa tidak puas, Soebandrio bertanya pula kepada Brigjen Soepardjo, Pangkopur II dan mendapat jawaban, memang benar ada Dewan Jenderal dan bahkan sekarang sudah siap membentuk kabinet baru. Isu Dewan Jenderal ini sebenarnya terbuka kepada publik sejak awal April 1965 melalui pemberitaan ditemukannya ‘dokumen’ Gilchrist di villa seorang Amerika, Bill Palmer. Soebandrio menerima salinan dokumen itu melalui surat pos tanpa alamat pengirim pada tanggal 15 Mei 1965, dan melaporkannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei.

Kisah seorang perwira intel dan seorang mayor revolusioner

            Keberangkatan Soebandrio ke Sumatera 29 September, dimulai dengan kunjungan ke Lampung. Ikut bersama Soebandrio, Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Tapi saat Soebandrio menuju Medan, Sri Muljono Herlambang dan rombongan berpisah, menuju ke Bengkulu dan Padang. Soebandrio berada di Sumatera hingga 2 Oktober 1965.

SOKARNO TAHUN 1965-1966.“Dengan akumulasi laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi”, tulis Soebandrio dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’. Tetapi benarkah Soekarno saat itu sebegitu ‘awam’nya terhadap situasi terakhir, seperti yang dikesankan Soebandrio? (Karikatur Harjadi S)

Pada hari yang sama, tanggal 29 September pagi, Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani, menghadap Presiden Soekarno. Kepada Soekarno, ia melaporkan adanya sejumlah pasukan yang didatangkan dari daerah ke Jakarta. Kesatuan-kesatuan itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat, atas permintaan Panglima Kostrad. Dengan laporan Omar Dhani ini, makin terakumulasilah laporan-laporan tentang kegentingan situasi di kepala Presiden Soekarno. Beberapa waktu sebelumnya, Soebandrio yang membawahi Badan Pusat Intelijen juga menyampaikan ‘setumpuk’ laporan. Mengenai “adanya sekelompok perwira Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Presiden, yang menamakan diri Dewan Jenderal”. Soebandrio juga melaporkan apa yang disebutnya ‘bocoran’ rencana pembentukan kabinet baru. “Dengan akumulasi laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal  terjadi”, tulis Soebandrio dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’. Tetapi benarkah Soekarno saat itu sebegitu ‘awam’nya terhadap situasi terakhir, seperti yang dikesankan Soebandrio?

Laksamana Omar Dhani sendiri, di hari-hari terakhir bulan September 1965, terkesan tidak mengetahui gambaran situasi dengan jelas. Panglima Angkatan Udara ini, sudah tahu mengenai beberapa hal, setidaknya ia telah mendengar sejumlah rumour terkait Dewan Jenderal, yang santer pada hari-hari terakhir. Tetapi, tampaknya masih perlu mencari tahu lebih banyak untuk mendapat gambaran lengkap perkembangan terakhir tentang apa yang akan terjadi. Ia mengetahui adanya pasukan-pasukan yang didatangkan dari daerah. Katanya, untuk defile 5 Oktober, tetapi ada beberapa kesatuan yang dilengkapi peluru tajam. Ia juga tahu rencana kedatangan Soepardjo yang bertugas di Kalimantan Barat, tetapi apa tujuannya ia merasa masih serba samar. Apakah terkait dengan kabar adanya masalah internal Angkatan Darat? Maka ia menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo untuk menemui dan mencari tahu apa maksud kedatangan Soepardjo ke Jakarta. (Omar Dhani, wawancara).

Bagaimana sampai Heru Atmodjo mendapat tugas langsung dari Menteri Panglima Angkatan Udara, jalan ceritanya adalah seperti penuturan Heru sendiri, yang untuk sebagian dipaparkan kembali berikut ini (dalam bukunya ‘Gerakan 30 September 1965’, PEC-Hasta Mitra-Tride, 2004). Berdasarkan penuturan itu, terlihat betapa sebenarnya Heru Atmodjo yang saat itu menjabat sebagai Asisten Direktur Intelijen Udara pada Markas Besar Angkatan Udara, telah menemukan informasi amat berharga tentang apa yang akan terjadi dalam dua puluh empat jam ke depan. Tetapi adalah pula karena jejak langkahnya mengumpulkan informasi itu, dan karena pertemuannya dengan para pelaksana gerakan tanggal 30 September dalam perjalanan tugasnya tersebut, ia kemudian ditangkap dan diadili. Melalui rangkaian sidang-sidang Mahmillub tahun 1966 ia akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Apalagi, namanya tercantum dalam daftar nama Dewan Revolusi yang diumumkan Letnan Kolonel Untung pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi.

Sekitar jam sepuluh pagi, tanggal 30 September 1965, Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo menerima dua perwira tinggi, Komodor Suwondo, Komandan Pangkalan Udara Iswahyudi Madiun, dan Komodor Surjono, Inspektur Jenderal MBAU yang datang ke ruangannya. Kedua perwira itu menginformasikan tentang meningkatnya aksi-aksi demonstrasi massa PKI, dan sebaliknya meminta gambaran perkembangan situasi keamanan dan politik terbaru dari Heru Atmodjo. Setelah tamu-tamunya pergi, Heru menuju ke kantor Deputi Menteri Panglima Angkatan Udara, Komodor Dewanto. Sang komodor ternyata tak ada di tempat, karena berangkat mendadak bersama Menteri Panglima Angkatan Udara, “dengan tergesa-gesa”. Yang ada di kantor itu hanyalah perwira-perwira muda, di antaranya Letnan Dua Murdono. Ketika mendiskusikan perubahan situasi nasional dengan perwira muda itu, Heru tak memperoleh hal baru, kecuali saran untuk menemui Mayor Sujono yang dianggap kemungkinan tahu banyak perkembangan terbaru karena mempunyai hubungan dengan organisasi massa di luar AURI.

Sedikit berliku, Heru Atmodjo akhirnya berhasil bertemu Mayor Sujono di rumah salah satu isterinya di Pondok Gede, pukul 14.00 Kamis 30 September 1965. Perwira Menengah Angkatan Udara ini adalah Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan AURI yang bermarkas di daerah Kramat Jati, dekat Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, namun tak termasuk wilayah pangkalan tersebut. Dari sang Mayor, Letnan Kolonel Heru mendapat gambaran bahwa Dewan Djenderal akan melakukan kudeta bersamaan dengan peringatan Hari Angkatan Bersenjata RI 5 Oktober 1965. Maka, sejumlah perwira Angkatan Darat dibantu perwira dari angkatan lainnya –yang disebut Sujono sebagai perwira-perwira progressif revolusioner– akan melakukan pencegahan dengan menangkap para jenderal dari Dewan Djenderal itu. Sujono menyebutkan nama-nama Jenderal Abdul Harris Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto, Mayor Jenderal Soewondo Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo dan Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan.

Sujono juga mengungkapkan pasukan yang disiapkan: Brigade Infantri I yang dipimpin Kolonel A. Latief, Yon I Tjakrabirawa pimpinan Letnan Kolonel Untung, dibantu Yon Raiders 454 Diponegoro dan Yon Raiders 530 Brawidjaja. Selain pasukan tersebut, kata Sujono, juga akan ambil bagian para sukarelawan yang selama ini dilatihnya dekat Lubang Buaya Pondok Gede serta pasukan yang ada di bawah komandonya. Heru Atmodjo menghitung-hitung, akan ada pasukan yang berkekuatan kurang lebih satu divisi. Informasi terpenting yang diperoleh dari Sujono adalah bahwa mereka akan bergerak malam itu. Sujono juga menyebut bahwa Brigadir Jenderal Soepardjo sudah ada di Jakarta. Disebutnya nama Soepardjo membuat Heru tidak lagi menganggap informasi Sujono sebagai suatu klise –dan telah banyak didesas-desuskan– yang tidak dapat dijadikan sebagai elemen penting informasi menurut bahasa intelejen. “Tetapi ketika ia menyebut Brigjen Soepardjo, yang jenderal ini, yakni seorang Panglima Komando Tempur II di Kalimantan serta bawahan langsung Men/Pangau Laksamana Madya Omar Dhani, sebagai Panglima Komando Siaga; faktor ini menjadi amat penting untuk mendapat konfirmasi dari Men/Pangau sendiri”.

Mayor Sujono juga menyatakan kepada Heru Atmodjo, bahwa gerakan para perwira Angkatan Darat ini adalah masalah intern Angkatan Darat, “akan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan revolusi secara keseluruhan”. Dan untuk itu ia bergabung dengan mereka, ia akan membantu mereka dengan atau tanpa restu Menteri Panglima Angkatan Udara, atas tanggung jawab pribadi selaku seorang “insan revolusioner”. Sujono juga mengungkapkan bahwa gerakan akan menggunakan Gedung Penas sebagai Senko (Sentral Komando), serta akan menggunakan kendaraan dan senjata dari gudang milik AURI.

Berlanjut ke Bagian 6

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (3)

SEHARI setelah Siti Suhartinah Soeharto mengikuti ceramah Menteri Panglima Angkatan Darat di depan para anggota Persit, yakni Rabu 29 September 1965, putera Jenderal Soeharto, Tommy, terpaksa masuk Rumah Sakit Pusat AD, karena tersiram sup panas. Kamis malam, 30 September 1965, menurut ibu Tien, “pak Harto ada di rumah sakit ikut menunggui Tommy”. Sewaktu berada di RSPAD itu sekitar pukul 22.00 malam, Komandan Brigade Infantri I Kodam Jaya, Kolonel Latief datang menemui Soeharto. Ini adalah yang ketiga kali Latief menemui Soeharto pada hari-hari penghujung September 1965 itu. Yang kedua, Latief yang cukup kenal baik dengan Soeharto dan keluarga datang berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Sabang (kini Jalan Haji Agus Salim) Jakarta Pusat pada tanggal 29 September. Latief yang datang bersama keluarganya, sempat menyinggung mengenai isu adanya Dewan Jenderal yang akan mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Soeharto mengatakan kepada Latief bahwa ia juga telah mendengar hal tersebut dari bekas anakbuahnya di Yogya dulu, Subagyo. Dengan nada yang datar dan biasa saja, Soeharto mengatakan bahwa kebenaran berita itu masih harus diselidiki lebih dulu.

Latief yang ingin menyampaikan beberapa informasi ‘penting’ dalam rangka menjajagi lebih jauh bagaimana sikap Soeharto terhadap pimpinan AD kala itu, mengurungkan niatnya karena bukan hanya dia tamu yang ada di kediaman Soeharto waktu itu. Pembicaraan beralih ke berbagai soal lain yang lebih bersifat pribadi dan kekeluargaan. Namun dalam pertemuan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat malam esoknya, menurut Latief, terjalin pembicaraan hampir satu jam lamanya. Kepada Soeharto, Latief menyampaikan apa yang akan terjadi dalam beberapa jam lagi malam itu, tentang suatu gerakan untuk menindaki sejumlah pimpinan Angkatan Darat. Sebenarnya, pada pertengahan September, Latief juga pernah menemui Soeharto membicarakan isu Dewan Jenderal, dan Latief pun sudah membayangkan adanya rencana untuk menghadapi Dewan Jenderal itu. Sudah sejak pembicaraan pertama itu, Latief merasa ada dukungan dari Soeharto. Bahkan menurutnya, Soeharto menjanjikan dukungan pasukan. Pengungkapan Latief mengenai peran Soeharto, belakangan dilakukan berkali-kali, baik melalui bukunya maupun wawancara dengan media pers pada tahun-tahun terakhir sebelum meninggal di tahun 2005. Soeharto umumnya tak memberikan tanggapan, kecuali ‘sedikit’ dalam memoarnya dan satu wawancara dengan wartawan Der Spiegel.

Suatu peran ganda? Dari pertemuan Latief dengan Soeharto itu, Latief menyimpulkan bahwa Soeharto –berbeda dengan pertemuan pertama– tidak lagi terbuka menyatakan ‘menyetujui’ dan dengan demikian tak akan bergabung secara nyata dengan gerakan yang akan dilakukan Brigadir Jenderal Soepardjo dan Kolonel Latief melawan pimpinan Angkatan Darat. Namun pada pihak lain, Soeharto takkan menghalangi, dengan pertimbangan bahwa penindakan sebatas pendisiplinan para jenderal Angkatan Darat itu telah diketahui dan direstui Soekarno, dan Soeharto tidak ‘ingin’ melawan Soekarno untuk saat itu. Tapi, itu adalah penafsiran Latief sendiri terhadap sikap Soeharto yang banyak diam dan sesekali hanya mengangguk-angguk, dan Latief menyimpulkan takkan ada masalah dari Soeharto, kecuali ia ini kini lebih bersikap hati-hati. Tapi, jelas bahwa minimal Soeharto akan bersikap netral. Faktanya, sudah terjadi kontak khusus dengan dua batalion, yang akan mendukung ‘gerakan internal’ Angkatan Darat, yang datang ke Jakarta berdasarkan radiogram Pangkostrad. Ini dianggap Latief sudah sesuai dengan janji dukungan pasukan yang dikemukakan Soeharto dalam pertemuan pertengahan September. Dikemudian hari Soeharto sendiri tetap tak pernah terbuka mengungkapkan apa sebenarnya isi pembicaraannya selama hampir 60 menit dengan Kolonel Latief, tetapi kemudian menyampaikan suatu versi lain. Dalam wawancara dengan Der Spiegel, Soeharto mengatakan Latief justru ingin membunuhnya, tapi oleh banyak pihak, hal itu dianggap tidak masuk akal.

Memang menjadi pula tanda tanya, kenapa Mayjen Soeharto yang begitu banyak menampung informasi dan tanda-tanda akan adanya bahaya atas diri sejumlah pimpinan Angkatan Darat, tidak merasa perlu memberitahu kolega-koleganya, terutama kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani atasannya. Di kemudian hari, ini menjadi titik lemah yang dijadikan dasar analisa mengenai suatu peran ganda yang dijalankan Soeharto dalam peristiwa yang terjadi sekitar tanggal 30 September 1965. Suatu peran ganda yang dianggap serupa polanya dengan yang dijalankan Letnan Kolonel Soeharto dalam Peristiwa 3 Juli 1946, yakni peristiwa ‘perebutan’ kekuasaan dari pemerintahan Kabinet Sjahrir yang melibatkan Tan Malaka dan Mayjen Soedarsono atasan Soeharto. Mayjen Soedarsono yang merasa mendapat dukungan pasukan dari Soeharto, ditangkap di istana ketika menghadap Soekarno untuk memberikan tekanan. Soeharto dianggap sebagai orang yang menjebak Soedarsono, karena ia terlebih dahulu mengirim surat ke istana tentang rencana kedatangan Soedarsono seraya memberi jaminan bahwa Soedarsono takkan diberikan dukungan pasukan dari luar istana. Saat itu, pusat pemerintahan berada di Yogyakarta.

Satu titik lemah lainnya mengenai Soeharto, jelas adalah soal Batalion 530 dan Batalion 454, yang bisa dikaitkan dengan janji Soeharto kepada Latief. Tiga batalion yang didatangkan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat ke ibukota di akhir September dengan alasan ikut defile 5 Oktober 1965, dilakukan berdasarkan perintah Soeharto. Perintah itu disampaikan melalui radiogram Pangkostrad tanggal 21 September 1965, disertai ‘catatan’ membawa perlengkapan tempur garis pertama, khususnya kepada Batalion 530 Brawidjaja dari Jawa Timur dan Batalion 454 Diponegoro dari Jawa Timur. Agaknya, Batalion 328 Siliwangi dari Jawa Barat tidak mendapat ‘catatan’ serupa, karena pimpinan batalion ini kemudian menyatakan keheranan kenapa dua batalion lainnya dilengkapi dengan peluru tajam. Pagi hari 30 September, Pangkostrad Mayjen Soeharto sempat melakukan inspeksi atas ketiga batalion ini. Batalion 530 dan 454 ini kemudian tercatat ‘keterlibatan’nya dalam Peristiwa 30 September 1965. Malam harinya, pimpinan kedua batalion ini melakukan briefing khusus kepada para komandan peleton ke atas, tentang adanya Dewan Jenderal yang merencanakan kudeta kepada Presiden Soekarno (Nasution: 1987).

Selain soal dua batalion tersebut, dalam analisa di kemudian hari Soeharto juga kerap dikaitkan namanya dalam konotasi negatif dengan Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief dan Brigadir Jenderal Soepardjo, berdasarkan fakta hubungan ‘historis’ dengan ketiganya. Letnan Kolonel Untung dikenal Soeharto sejak menjadi Komandan Resimen 15 di Solo, dan Untung adalah salah satu komandan kompi di Batalion 444. Dalam Operasi Mandala pada masa Trikora, Untung juga berada di bawah komandonya. Ketika Untung melangsungkan pernikahan di pelosok Kebumen, Soeharto bersusahpayah untuk menghadirinya. Latief sementara itu adalah salah seorang perwira bawahan Soeharto semasa menjadi Komandan Brigade 10 Wehrkreise III, dan ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Untung maupun Latief memiliki kedekatan yang bersifat kekeluargaan dengan Soeharto. Soeharto juga sempat bertemu secara terpisah baik dengan Untung maupun dengan Latief sekitar 15 September, dan keduanya membicarakan masalah yang sama, yakni mengenai Dewan Jenderal. Letnan Kolonel Untung memastikan akan mendapat dukungan pasukan dari Soeharto bila saatnya ia bergerak nanti. Brigjen Soepardjo pada tahun 1965, selaku Pangkopur II di Kalimantan pun ada di bawah komando Pangkostrad, dan cukup kenal baik secara pribadi dengan Soeharto.

Sebenarnya, cukup banyak perwira Angkatan Darat selain Soeharto, atau Yoga Soegama, yang tahu banyak tentang adanya sesuatu yang berpotensi bahaya terhadap negara, khususnya terhadap pimpinan Angkatan Darat, namun tidak menindaklanjuti informasi yang diterimanya itu, minimal dengan melaporkannya lagi ke atasan. Tetapi di lain pihak, kalaupun melapor ke atasan, bisa terjadi justru atasanlah yang tidak tanggap. Dua perwira, Kolonel Herman Sarens Sudiro dan Kolonel Muskita misalnya, 28 September 1965 sempat melaporkan kepada Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, adanya rencana ‘penjemputan paksa’ terhadap sejumlah jenderal yang dituduh anggota Dewan Jenderal. Tapi Panglima Kodam Jaya ini kurang tanggap, bahkan balik menjawab “Tahu apa kalian?!”. Kedua perwira ini, sedikit terhenyak. Karena tidak puas atas tanggapan Umar Wirahadikusumah, kedua perwira itu menuju Markas Kostrad di Merdeka Timur untuk melapor kepada Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto menanggapi dengan lebih tenang, dan kedua perwira itu mendapat kesan bahwa Panglima Kostrad itu tahu banyak, melebihi mereka berdua. Tapi mereka berdua tidak tahu bagaimana tindak lanjut yang akan dilakukan Soeharto.

Jangankan di Kodam Jaya, di tingkat Mabes AD saja laporan serupa tidak mudah dipercayai. Pertengahan September 1965, dalam rapat intelijen dipresentasikan hasil pengamatan dan analisa terhadap kegiatan revolusioner PKI. Tapi laporan tertulis itu, tampaknya terlambat satu langkah di belakang. Tidak terdapat suatu informasi maupun prediksi mengenai adanya rencana makar dan yang semacamnya tercantum di dalamnya, apalagi rencana penculikan terhadap sejumlah jenderal sebagaimana yang isunya sudah ramai beredar. Menurut Jenderal Nasution, laporan yang lebih khusus disampaikan secara lisan kepada Jenderal Yani, tidak tertulis, sehingga tak diketahui secara terbuka oleh perwira lainnya. Maka, ketika MT Harjono mencoba membahasnya dalam suatu rapat tanggal 30 September, sebagian terbesar perwira tidak mempercayai kebenaran adanya rencana penculikan tersebut. Belum lagi di kalangan angkatan lainnya, sikap tanggap juga sangat terbatas, terutama karena asumsi bahwa kalaupun benar itu adalah masalah internal Angkatan Darat.

SOEKARNO KE HALIM DEKAT LUBANG BUAYA. “Tetapi yang menarik dari catatan Jenderal Nasution ini, adalah penempatan Soekarno pada posisi konspirasi, sejajar dengan posisi PKI dalam peristiwa”. (Karikatur Harjadi S, 1966)

Khusus untuk situasi ini, terkait dengan subjektivitas posisi Angkatan Darat maupun Staf Angkatan Bersenjata waktu itu, Jenderal Nasution memberikan catatan berikut ini. “Cukup banyak jenderal yang tahu tentang rencana atau persiapan PKI atau tentang maksud Presiden terhadap kami, walaupun mungkin pengetahuan itu tidak lengkap atau tidak menyeluruh, namun mereka tidak berbuat seperti Brigadir Jenderal Sugandhi yang melaporkan pengetahuannya pada atasan. Ternyata telah bolong-bolong kekompakan dan kesetiakawanan dalam TNI”. Tetapi yang menarik dari catatan Jenderal Nasution ini, adalah penempatan Soekarno pada posisi konspirasi, sejajar dengan posisi PKI dalam peristiwa. Selain itu, pasca momentum, Jenderal Nasution secara definitif menyebutkan bahwa Mayor Sujono, Letnan Kolonel Heru Atmodjo bahkan Laksamana Madya Omar Dhani adalah perwira-perwira yang sudah terbina oleh PKI. “Memang sejak KSAU Suryadarma, intel AURI dipimpin oleh orang pro PKI, yakni Marsekal Siswadi”.

Berlanjut ke Bagian 4

Dalam Labirin Oktober 1965 (2)

”Keputusan Soekarno untuk tidak meneruskan perjalanannya pagi itu menuju istana, setelah mendengar lolosnya Jenderal Nasution dari penyergapan, adalah indikasi bahwa memang ia menyebutkan nama Nasution dalam perintah penindakan yang diberikannya kepada Letnan Kolonel Untung. Namun pada sisi lain, bahwa Soekarno masih ‘menunggu’ para jenderal itu diperhadapkan kepadanya, berarti pula bahwa Soekarno tidak ‘memikirkan’ para jenderal itu akan dibunuh”. ”Sabur baru tiba pagi-pagi dari Bandung, karena agaknya ia sengaja menghindar dari Jakarta, saat Letnan Kolonel Untung, bawahannya di Resimen Tjakrabirawa, melancarkan gerakan”.

Mayor Jenderal Soeharto, sepanjang yang dituturkannya sendiri dalam otobiografinya, terbangun 04.30 dinihari Jumat 1 Oktober 1965, karena kedatangan juru kamera TVRI, Hamid, yang baru melakukan shooting film. “Ia memberi tahu bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat. Saya belum berpikir panjang waktu itu. Setengah jam kemudian tetangga kami, Mashuri, datang memberi tahu bahwa tadi ia mendengar banyak tembakan. Mulailah saya berpikir agak panjang”, tutur Soeharto. “Setengah jam kemudian datanglah Broto Kusmardjo, menyampaikan kabar yang mengagetkan, mengenai penculikan atas beberapa Pati Angkatan Darat”.

Soeharto menuturkan lebih jauh apa yang kemudian dialami dan dilakukannya pagi itu. “Pukul 6 pagi, Letnan Kolonel Sadjiman, atas perintah pak Umar Wirahadikusumah melaporkan, bahwa di sekitar Monas dan Istana banyak pasukan yang tidak dikenalnya”. Sebaliknya, kepada Kolonel itu, Soeharto sempat memberitahukan bahwa ia sudah mendengar tentang adanya penculikan terhadap Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani serta beberapa perwira tinggi lainnya. Faktanya, Soeharto memang lebih tahu dari mereka yang melapor pagi itu. Termasuk mengenai adanya pasukan ‘tidak dikenal’ di sekitar Monas dan Istana. “Segera kembali sajalah, dan laporkan kepada pak Umar, saya akan cepat datang di Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat”, ujar Soeharto kepada sang perwira. Kemudian Mayor Jenderal Soeharto mengendarai jip ‘sendirian’ ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur.

Tanggal 1 Oktober 1965, pukul 07.20. Pagi itu, rakyat Indonesia dikejutkan oleh sebuah ‘komunike’ berasal dari yang disebutkan sebagai Bagian Penerangan ‘Gerakan 30 September’, yang disiarkan melalui Radio Republik Indonesia. Komunike tertulis itu dibacakan oleh seorang penyiar RRI. “Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di ibukota Republik Indonesia Jakarta telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan-angkatan bersenjata lainnya. Gerakan 30 September yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion Tjakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno ini, ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota apa yang menamakan dirinya Dewan Jenderal. Sejumlah jenderal telah ditangkap dan alat komunikasi yang penting-penting serta objek-objek vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan Gerakan 30 September, sedangkan Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September. Juga sejumlah tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang menjadi sasaran tindakan Dewan Jenderal berada dalam lindungan Gerakan 30 September”.

Komunike itu lebih jauh menuduh bahwa Dewan Jenderal adalah gerakan subversif yang disponsori oleh CIA, “dan waktu belakangan ini sangat aktif, terutama dimulai ketika Presiden Soekarno menderita sakit yang serius pada minggu pertama bulan Agustus yang lalu”. Harapan mereka, “bahwa Presiden Soekarno akan meninggal dunia sebagai akibat dari penyakitnya tidak terkabul”. Komunike itu menggambarkan pula bahwa Dewan Jenderal merencanakan pameran kekuatan pada Hari Angkatan Bersenjata RI, 5 Oktober 1965, dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. “Dengan sudah terkonsentrasinya kekuatan militer yang besar ini di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan untuk mengadakan coup kontra-revolusioner. Letnan Kolonel Untung mengadakan Gerakan 30 September yang ternyata  telah berhasil dengan baik”. Komunike itu lalu mengutip penegasan Letnan Kolonel Untung, bahwa “gerakan ini semata-mata gerakan dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan Jenderal yang telah berbuat mencemarkan nama Angkatan Darat, bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Soekarno”.

Setelah menghadiri Musyawarah Nasional Teknik di Senayan, 30 September 1965 malam, Soekarno pulang ke kediaman salah satu isterinya, Ratna Sari Dewi, Wisma Yaso di Jalan Gatot Soebroto, arah Timur jembatan Semanggi. Menurut Sogul, salah seorang pembantu pribadi di rumah itu, Soekarno sudah bangun sejak 05.00, dan tampak gelisah. Sogul menyebut tanda-tandanya, yakni Soekarno “mengisap rokok” dan berjalan mundar-mandir (Menurut Lambert Giebels, dalam Antonie CA Dake, Sukarno File, Kronologi Suatu Keruntuhan, Aksara Karunia, 2006). Tepat satu jam kemudian dengan berkendara mobil VW kombi yang dikemudikan seorang kolonel, diiringi Komisaris Polisi Mangil yang menggunakan kendaraan lain bersama sejumlah pengawal, Soekarno berangkat menuju Istana Merdeka. Rombongan yang tidak menyolok itu, karena Soekarno tak mengendarai mobil khusus Presiden, melewati Semanggi, Jalan Sudirman ke arah Jalan MH Thamrin.

Tatkala sudah mendekati istana, dan baru melewati bundaran Bank Indonesia, Komisaris Mangil mendapat laporan dari seorang perwira Tjakrabirawa yang berasal dari kepolisian yang yang pagi itu melakukan pengecekan di rumah Jenderal Nasution. Perwira itu melaporkan bahwa Menko Kasab yang pada dinihari itu mengalami percobaan penculikan oleh sepasukan bersenjata, lolos dan belum diketahui keberadaannya. Mangil lalu melaporkannya kepada Presiden Soekarno. Mendengar laporan itu, Soekarno memerintahkan membatalkan perjalanan ke istana. Padahal ‘rencana’nya, Soekarno pagi itu akan menerima sejumlah jenderal yang akan ‘diperhadapkan’ kepadanya pukul 07.00 pagi itu, di antaranya Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani. Akan diperhadapkannya para jenderal tersebut, sesuai ‘jadwal rencana’ yang disampaikan Letnan Kolonel Untung melalui memo yang diterima Soekarno di Senayan pada malam hari 30 September. Sedang menurut agenda acara resmi yang telah diatur ajudan Presiden sejak beberapa hari sebelumnya, pagi itu Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani akan menghadap pada pukul 07.00.

Sementara itu, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan, yang sejak pagi-pagi sudah berusaha mencari tahu keberadaan Presiden Soekarno, karena mendapat laporan tentang adanya pasukan-pasukan ‘tak dikenal’ di sekitar Monas yang berarti amat dekat ke istana, akhirnya berhasil melakukan kontak dengan Mangil. Maulwi Saelan menyarankan Presiden dibawa ke rumah Nyonya Haryati, isteri Soekarno lainnya, di daerah Grogol. Maulwi Saelan sendiri sudah berada di sana sekitar pukul 06.30, mencari Soekarno, karena menurut ‘jadwal’ pagi itu Soekarno semestinya berada di situ. Soekarno tiba di rumah Haryati pada pukul 06.30.

Soekarno tak ’memikirkan’ para jenderal akan dibunuh. Keputusan Soekarno untuk tidak meneruskan perjalanannya pagi itu menuju istana, setelah mendengar lolosnya Jenderal Nasution dari penyergapan, adalah indikasi bahwa memang ia menyebutkan nama Nasution dalam perintah penindakan yang diberikannya kepada Letnan Kolonel Untung. Namun pada sisi lain, bahwa Soekarno masih ‘menunggu’ para jenderal itu diperhadapkan kepadanya, berarti pula bahwa Soekarno tidak ‘memikirkan’ para jenderal itu akan dibunuh. Bertemu Soekarno di rumah Haryati, Kolonel Maulwi Saelan mengusulkan kepada sang Presiden untuk menuju Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah, sesuai prosedur baku pengamanan Kepala Negara dalam suatu keadaan darurat.

Lolosnya Jenderal Abdul Harris Nasution dari penyergapan dinihari itu, telah pula menimbulkan semacam ‘kepanikan’ di Gedung Penas yang dijadikan Senko 1 oleh Gerakan 30 September. Hal ini digambarkan oleh Letnan Kolonel Heru Atmodjo yang tiba di sana pagi itu, pukul 05.00, untuk menemui Brigjen Soepardjo sesuai perintah Laksamana Madya Omar Dhani. Kepada Brigjen Soepardjo, perwira intelijen AURI itu, menyampaikan bahwa atas perintah Menteri Panglima Angkatan Udara, “saya diminta untuk menanyakan apa sesungguhnya yang terjadi dan apa tujuan dari gerakan ini”. Heru juga menanyakan tentang keselamatan Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI. Keselamatan Soekarno ini lah, menurut Omar Dhani, yang menjadi concern utamanya saat itu (Wawancara dengan Rum Aly, 2006). Saat berada di Penas itulah menurut Heru Atmodjo, “saya menangkap kesan tengah berlangsungnya semacam kepanikan, sungguh pun mereka berusaha tampil wajar”. Kenapa ? “Saya mendengar salah seorang dari mereka, tidak jelas siapa yang bicara, mengatakan bahwa Nasution lolos, sedangkan yang lainnya tertangkap semua”. Di Penas itu, Heru diperkenalkan oleh Mayor Sujono kepada Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief dan dua orang sipil yang belakangan dia ketahui adalah Sjam Kamaruzzaman dan Pono alias Supono Marsudidjojo. “Sebagai seorang perwira , saya menganggap orang-orang ini sungguh kurang simpatik dan kurang sopan. Dalam perkenalan pun nama tidak mereka sebutkan dengan jelas. Yang satu badannya lebih besar dari rekannya. Rupanya agak gelap, mukanya kotor, tidak menunjukkan keramahan pada orang lain”. Orang bermuka ‘gelap’ tersebut tak lain adalah Sjam Kamaruzzaman, pemimpin Biro Chusus PKI.

Brigadir Jenderal Soepardjo mengatakan kepada Heru akan melaporkan sendiri segala sesuatunya kepada Menteri Panglima Angkatan Udara, atasannya di Kolaga, tetapi terlebih dahulu ia ingin melapor kepada Pangti ABRI. Untuk itu ia minta Heru Atmodjo ikut, dan nanti dari istana baru ke Halim Perdanakusumah untuk menemui Laksamana Madya Omar Dhani. Mereka tiba di Istana Merdeka sekitar 06.00. Seorang kapten dari Tjakrabirawa menjemput Soepardjo di depan pos penjagaan dan mengantarnya masuk ke istana, sementara yang lain, termasuk Heru, diminta menunggu di pos penjagaan tersebut. Salah seorang penjaga pos menginformasikan bahwa Presiden Soekarno tak ada di istana. Beberapa lama kemudian, Brigjen Soepardjo keluar bersama seorang jenderal –yang ternyata adalah Brigjen Sabur– yang mengantarnya ke pekarangan istana. Sabur baru tiba pagi-pagi dari Bandung, karena agaknya ia sengaja menghindar dari Jakarta, saat Letnan Kolonel Untung, bawahannya di Resimen Tjakrabirawa, melancarkan gerakan.

Belum berhasil bertemu Soekarno, Soepardjo memutuskan tetap tinggal di istana, sehingga Heru Atmodjo sendirian berangkat menuju Markas Besar Angkatan Udara di Tanah Abang Bukit sebelum ke Halim Perdanakusumah. Pukul 08.30 barulah perwira intelijen itu bertemu Omar Dhani dan melaporkan pertemuannya dengan Brigjen Soepardjo dan bahwa Soepardjo berada di istana menunggu kedatangan Presiden. Tapi, Omar Dhani menyuruh Heru menjemput Soepardjo dengan helikopter, karena Soekarno justru segera akan tiba di Halim sebelum jam sepuluh. Setiba di Halim, Brigjen Soepardjo menemui Omar Dhani dan menyampaikan informasi situasi yang ingin diketahui Panglima Angkatan Udara itu. Usai bertemu Soepardjo, Omar Dhani memerintahkan Heru mengantarkan Soepardjo menemui rekan-rekannya yang tadi berada di Penas. Kini, ternyata para pelaku Gerakan 30 September itu telah berpindah ke Senko 2 yang adalah rumah Sersan Udara Anis Sujatno. Brigjen Soepardjo yang tadinya berseragam upacara –ketika menuju istana pagi itu– sekarang telah berganti pakaian memakai seragam lapangan, dan menjelang pukul 10.00 berangkat bersama Heru kembali ke Halim Perdanakusumah untuk menemui Presiden Soekarno.

Sejak setengah jam sebelumnya, di Halim Perdanakusumah terjadi peningkatan kesibukan, terutama setelah tibanya Soekarno. Setelah bertemu Omar Dhani di kantor Panglima Komando Operasi, Sang Presiden ditempatkan di rumah Komodor Susanto. Kepada Presiden Soekarno, Laksamana Madya Omar Dhani melaporkan bahwa ia telah mengeluarkan suatu pernyataan –yang berisi ‘dukungan’ kepada gerakan yang terjadi dinihari tersebut. Soekarno tidak menunjukkan sikap mempersalahkan tindakan Omar Dhani. Begitu pula ketika Soekarno membaca stensilan pengumuman Gerakan 30 September yang telah disiarkan RRI pada pukul 07.20. Brigjen Soepardjo tiba di Halim Perdanakusumah jam 10.00 dan langsung bertemu dengan Soekarno. Presiden Soekarno tampaknya mengapresiasi dengan baik laporan Soepardjo, kendati sempat menunjukkan semacam kekecewaan mengenai ‘lolos’nya Jenderal Nasution. Beberapa kesaksian menyebutkan, Soekarno sempat menepuk-nepuk bahu Soepardjo dan dalam bahasa Belanda mengatakan bahwa Soepardjo telah menjalankan tugas dengan baik.

Sewaktu Soepardjo mengadakan pertemuan dengan Presiden, Brigjen Sabur sempat keluar ruangan dan mengetik sesuatu. Sabur mempersiapkan suatu pernyataan bahwa Presiden berada dalam keadaan selamat. Pernyataan itu kemudian dibacakan oleh seorang perwira Tjakrabirawa atas nama Brigjen Sabur dalam suatu pertemuan pers pada pukul 11.00. Tetapi ketika pernyataan itu akan dibacakan di RRI, pasukan yang bertugas di sana melarangnya berdasarkan perintah Letnan Kolonel Untung. Barulah pada pukul 13.10 pengumuman itu bisa dibacakan.

Berlanjut ke Bagian 3

30 September 1965, Tak Ada yang Sama Sekali Buta

“Aidit menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu ‘mengotori’ tangan sendiri secara langsung”. “Bukanlah sesuatu yang luar biasa bila pasca momentum ada analisa yang menempatkan Soeharto sebagai salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian peristiwa”.

SAMPAI tengah malam saat bertemunya akhir hari Kamis 30 September dan awal hari Jumat 1 Oktober 1965, terpetakan situasi berikut ini, diantara tokoh-tokoh yang akan mencipta satu episode baru dalam sejarah politik dan kekuasaan Indonesia. Semua tokoh, pada tempat pijakannya masing-masing, ada dalam keadaan tidak buta samasekali, dan semua punya sesuatu pengetahuan penting –meskipun dalam kadar kedalaman yang berbeda-beda–  terkait dengan apa yang akan terjadi kemudian tak berapa lama lagi. Beberapa diantara mereka terlibat dalam rangkaian perbuatan yang menimbulkan tanda tanya, sekaligus menempatkan mereka dalam posisi tertuduh dalam sejarah, sebagai orang-orang yang menciptakan suatu tragedi berdarah.

Soekarno, Presiden Republik Indonesia, memiliki bekal pengetahuan tentang akan adanya satu gerakan dari sekelompok perwira yang bertujuan menindaki sejumlah perwira lainnya di Angkatan Darat yang dianggap akan melakukan ‘kudeta’ terhadap dirinya. Ia sendiri yang memerintahkan penindakan para jenderal itu kepada Brigjen Sabur, Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. Tetapi memang menarik bahwa yang kemudian tampil bertindak adalah pasukan yang dikoordinasi oleh Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung, yang tidak ikut kesibukan lapor-melapor pada hari-hari menjelang tanggal 30 September 1965.

Soekarno percaya bahwa kelompok perwira yang akan melakukan makar itu, adalah apa yang dinamakan Dewan Jenderal. Bagi Soekarno, Dewan Jenderal identik dengan Jenderal Abdul Harris Nasution, yang menurut Soebandrio adalah jenderal yang paling ditakuti sang presiden. Jadi, baginya, Nasution adalah sasaran untuk ditindaki dan bersama sejumlah jenderal akan diperhadapkan kepadanya esok hari pada tanggal 1 Oktober 1965.

Ada kemungkinan, Soekarno tidak terlalu menyadari bahwa Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu sasaran gerakan, karena untuk Yani, Soekarno sudah punya solusi tersendiri. Keberatan Soekarno terhadap Yani hanyalah bahwa salah satu jenderal kesayangannya ini seringkali dianggapnya terlalu terpengaruh oleh Jenderal Nasution. Bahwa akan terjadi pembunuhan, kemungkinan besar adalah di luar keinginan Soekarno. Menurut Laksamana Madya Laut (Purnawirawan) Mursalin Daeng Mamangung, Soekarno pada hakekatnya ‘tidak tahan’ melihat darah mengalir. Mursalin tidak yakin bila suatu perintah pembunuhan bisa keluar dari mulut Soekarno. Artinya, bisa ditafsirkan bahwa ungkapan-ungkapan tentang pertumpahan darah di antara sesama saudara kalau perlu demi perjuangan, lebih cenderung sebagai ungkapan romantik belaka dari Soekarno mengenai revolusi. Tapi jangankan Soekarno, bagi Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief pun pembunuhan itu diluar dugaan. Perintah yang menyebabkan darah mengalir, berasal dari Letnan Kolonel Untung kepada Letnan Satu Doel Arief, yang kemudian ‘memperkuat’nya lagi ke bawah sebagai pilihan utama.

LETNAN JENDERAL Ahmad Yani pada 30 September malam itu, sadar betul tentang adanya satu rencana penculikan terhadap sejumlah jenderal, sesuai laporan intelijen yang dengan gencar masuk padanya, namun ia tak tahu secara definitif kapan itu akan terjadi. Memang menjadi tanda tanya, kenapa ia menyuruh pulang satuan Pomad Para yang malam itu justru merupakan perkuatan pengawalan rumahnya. Agaknya ia menganggap pengawalan reguler yang ada, sudah cukup memadai, selain bahwa ia pun sudah mengetahui tindak-tanduk Komandan CPM Brigjen Soedirgo di hari-hari terakhir.

Siang itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani pulang dengan riang dan cerah dari kantornya, seperti yang dituturkan putera-puterinya. Sorenya ia tetap melakukan kegiatan olahraga golfnya, dan malamnya ia menerima laporan Pangdam Brawijaya Basoeki Rachmat serta perwira dari Corps Polisi Militer, serta telepon dari Brigjen Sugandhi. Sepanjang yang terlihat, tak ada yang perlu dikuatirkannya, dan ia percaya bahwa pengaturan keamanan dalam beberapa hari terakhir telah diatur dengan baik. Setidaknya, ia menerima laporan bahwa semuanya telah diatur. Sikap gembiranya pada siang hari, tak bisa diabaikan, pasti ada penyebabnya, dan itu terkait dengan berita ‘baik’ terkait rencana pertemuannya esok pagi dengan Presiden, bahwa ia mungkin saja akan diganti sebagai Menteri Pangad, ditegur keras, namun sebaliknya ia akan naik ke suatu posisi lebih tinggi, walau posisi baru itu tidak punya nilai komando dan akses kepada pasukan. Ada yang menyampaikan demikian padanya hari itu, yang dikatakan bersumber dari Presiden Soekarno sendiri.

DIPA Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, mengetahui adanya rencana gerakan internal Angkatan Darat. Ia siap untuk memetik keuntungan dari gerakan itu, tapi ia bukanlah di garis pertama persoalan maupun perencanaan. Kendali bukan pada tangannya. Itu menjadi tugas Biro Khusus di bawah Sjam Kamaruzzaman, yang diketahuinya ikut berperan untuk mendorong gerakan internal tersebut. Tapi ia tidak punya kontak khusus dan langsung, baik dengan Letnan Kolonel Untung, Brigjen Supardjo, Kolonel Latief maupun Mayor Sujono. Dan tampaknya Sjam tidak memberi gambaran detail, kecuali ‘rumus’ didahului atau mendahului. Dalam rangka mendahului, sepanjang informasi dari Sjam, kebetulan ada perwira yang tidak puas dan akan melakukan gerakan internal melawan kelompok Dewan Jenderal. Aidit lalu menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu ‘mengotori’ tangan sendiri secara langsung, rival dalam pergulatan kekuasaan di sekitar Soekarno bisa ditundukkan, melalui pergantian pimpinan oleh Soekarno. Dari Soekarno ada jaminan bahwa pimpinan Angkatan Darat yang baru tidak dari kalangan perwira yang menempatkan PKI sebagai musuh.

Bahwa PKI memiliki perencanaan sendiri, betul, tetapi bukan pada tanggal 30 September 1965 itu. Aidit punya perencanaan lebih lanjut bagi partainya dalam kerangka kekuasaan politik, dalam bentuk dan cara yang lain. Maka partai tidak disiapkan untuk momentum tanggal 30 September, melainkan untuk sesuatu yang lebih bersifat jangka panjang. Adanya rencana jangka panjang ini diungkapkan juga oleh Ketua CDP PKI Jawa Barat Ismail Bakri kepada aktivis mahasiswa Bandung 1978 Madjid Mahmud semasa sama-sama menjadi tahanan di RTM Cimahi pada tahun 1978. Ia juga menyebutkan bahwa sayap Moskow dalam PKI sebenarnya punya rencana sendiri lewat perjuangan politik, bukan dengan kekerasan bersenjata.

JENDERAL Abdul Harris Nasution, meskipun mengaku tidak ada firasat apa-apa menjelang tanggal 30 September, namun juga cukup memahami situasi dan dalam kedudukannya sebagai Menko Kasab telah mendapat laporan-laporan intelijen yang cukup. Ia menyadari, cepat atau lambat ada sesuatu yang akan terjadi, meskipun mungkin ia tidak tahu persis bahwa peristiwa akan mengambil waktu pada tanggal 30 September 1965.

Namun sayangnya memang laporan-laporan spesifik seperti yang disampaikan oleh Kolonel Herman Sarens Sudiro dan Kolonel Muskita misalnya tidak kepadanya, melainkan kepada Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusumah dan Pangkostrad Mayjen Soeharto. Sebagai salah satu sasaran, ia sudah cukup punya prediksi, terkecuali kepastian waktu. Penjagaan di rumahnya, ada pada tingkat standar memadai, termasuk dengan adanya Letnan Pierre Tendean, meskipun juga punya titik lemah, yakni fakta bahwa pengawal itu berasal dari Brigif I yang ada di bawah komando Kolonel Latief yang kemudian hari diketahui justru terlibat dalam gerakan pada tanggal 30 September 1965 itu. Tetapi, terlepas dari itu penggunaan pasukan Tjakrabirawa memang suatu hal yang agak di luar dugaan dan punya dampak kejutan dan amat taktis.

LAKSAMANA Madya Udara Omar Dhani, pada dasarnya juga memperoleh informasi yang cukup mengenai beberapa bagian dari peristiwa yang akan terjadi. Ia memahami seluruh persoalan sebagai satu proses internal angkatan darat, untuk menindaki apa yang disebutkan sebagai jenderal-jenderal kontra revolusioner yang tergabung dalam Dewan Jenderal. Omar Dhani memilih sikap untuk tidak campur tangan terhadap masalah internal angkatan yang lain dan menanti apa yang akan terjadi. Pada sisi lain ada faktor subjektif yang terkait dengan rivalitas antar angkatan kala itu. Namun, sadar atau tidak, terjadi keterlibatan nama Angkatan Udara, melalui keikutsertaan seorang Mayor Angkatan Udara dan beberapa anggota, serta digunakannya kendaraan dan senjata milik Angkatan Udara. Dan pimpinan Angkatan Udara tidak mencegah keikutsertaan tersebut. Selain itu, locus delicti ada di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, meskipun tidak seluruhnya termasuk dalam kawasan yang merupakan tanggungjawab Angkatan Udara, karena berada di luar area jurisdiksi seperti misalnya Lubang Buaya.

BAGAIMANA caranya memahami posisi Mayor Jenderal Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief. Soeharto hanya menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri, tidak melanjutkannya kepada pimpinan Angkatan Darat, katakanlah setidaknya kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Dengan bekal informasi yang cukup detail itu, Soeharto dengan mudah ‘membaca’ situasi dan tampil dengan gerakan pembersihan. Keberhasilan dari gerakan pembersihan yang dilakukannya kelak membawa dirinya masuk ke dalam jenjang kekuasaan yang luar biasa. Sikap dan perilaku Soeharto dalam peristiwa ini dalam hal tertentu memang bisa cukup mengherankan. Maka bukanlah sesuatu yang luar biasa bila pasca momentum ada analisa yang menempatkan Soeharto sebagai salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian peristiwa. Sebagaimana, sikap dan perilaku janggal yang juga diperlihatkan baik Soekarno maupun Dipa Nusantara Aidit, pun telah menempatkan mereka masing-masing dalam posisi-posisi sebagai ‘tertuduh’.

September 1965: Konspirasi dan Pertumpahan Darah (3)

“Ada kesan, perintah menindak yang berulang-ulang disampaikan Soekarno di tahun 1965 itu memang tidak ditindaklanjuti, atau bahkan mungkin memang tidak untuk betul-betul dilaksanakan. Jadinya, perintah untuk bertindak kepada tiga Brigadir Jenderal itu berfungsi seakan-akan sekedar bluffing, yang diharapkan sampai ke telinga para jenderal lain”. “Namun sementara itu, perintah serupa yang disampaikan Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, 4 Agustus 1965, yang diketahui oleh sedikit orang saja, justru menggelinding”.

KETIKA Brigjen Soedirgo menghadap lagi 26 September 1965, kembali Soekarno mengatakan telah memerintahkan Brigjen Sabur dan Brigjen Sunarjo untuk mengambil tindakan dan memerintahkan Soedirgo membantu. ”Saya percaya kepada Corps Polisi Militer”, ujar Soekarno. Terlihat betapa selama berminggu-minggu, persoalan berputar-putar pada lapor melapor tentang adanya jenderal-jenderal yang tidak loyal dan setiap kali Presiden Soekarno pun mengeluarkan perintah penindakan.

Namun, rencana penindakan itu seakan jalan di tempat. Barulah pada tanggal 29 September, tampaknya ada sesuatu yang dapat dianggap lebih konkret, dengan munculnya Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo melaporkan kepada Soekarno kesiapan ‘pasukan’ yang dikoordinasi Pangkopur II dari Kalimantan ini untuk segera bertindak terhadap para jenderal yang tidak loyal tersebut.

Menurut kesaksian Kolonel KKO Bambang Setijono Widjanarko, dalam pertemuan pukul 11 pagi itu, selain Brigjen Soepardjo hadir pula Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani, yang menyatakan kesediaannya membantu. Akan tetapi, kesaksian ini dibantah Omar Dhani, karena sewaktu ia menghadap Soekarno, ia tidak melihat kehadiran Soepardjo di istana. Artinya, mereka menghadap pada jam yang berbeda. Omar Dhani sepanjang yang diakuinya, datang melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang kedatangan sejumlah besar pasukan dari daerah –Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat– ke Jakarta dengan alasan untuk kepentingan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober, yang dianggapnya aneh karena diperlengkapi peralatan tempur garis pertama. Selain itu, ia justru telah menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo yang menghadap di kediamannya pada pukul 16.00 Kamis 30 September 1965 untuk menemui Brigjen Soepardjo dan meminta keterangan rencana dan tujuan sebenarnya dari gerakan yang akan dilakukan Soepardjo di ibukota negara seperti yang dilaporkan oleh Asisten Direktur Intelijen AU itu.

Akhirnya, darah mengalir. Perintah-perintah penyelidikan dan penindakan yang diberikan Presiden Soekarno kepada beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya, seperti yang terlihat dari rangkaian fakta, pada mulanya memang seperti berputar-putar saja tanpa hasil konkrit. Pulang-pergi, jenderal-jenderal seperti Brigjen Sjafiuddin, Mayjen Mursjid, lalu Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo hingga Brigjen Soedirgo, hanyalah melakukan serangkaian panjang ‘akrobat’ lapor melapor yang intinya hanyalah konfirmasi bahwa memang benar ada sejumlah jenderal yang tidak loyal yang merencanakan semacam tindakan makar terhadap Soekarno. Ketika Soekarno menanyakan kesediaan mereka untuk menghadapi para jenderal tidak loyal itu, mereka selalu menyatakan kesediaannya. Begitu pula sewaktu Soekarno memberikan penugasan, mereka selalu menyatakan kesiapan, namun persiapannya sendiri tampaknya jalan di tempat. Brigjen Sabur misalnya menyatakan, persiapannya perlu waktu dan harus dilakukan dengan teliti.

Brigjen Soedirgo yang dalam kedudukannya selaku Komandan Corps Polisi Militer kelihatannya diharapkan menjadi ujung tombak pelaksanaan –yang juga belum jelas bagaimana cara dan bentuknya– sama sekali belum menunjukkan kesiapan. Apakah penindakan itu nantinya berupa penangkapan oleh Polisi Militer, lalu diperhadapkan kepada Soekarno? Semuanya belum jelas. Akan tetapi dalam pada itu, melalui Brigjen Sabur, dana dan fasilitas berupa kendaraan baru dan sebagainya, telah mengalir kepada Brigjen Soedirgo. Hanya urusan uang dan fasilitas itu yang merupakan kegiatan yang jelas saat itu.

Karir Brigjen Soedirgo selanjutnya cukup menarik. Oktober 1966, setelah Soeharto mulai memegang ‘sebagian’ kekuasaan negara selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, adalah Soeharto sendiri yang menarik Soedirgo menjadi Deputi KIN (Komando Intelijen Negara). Mei 1967 KIN ini dilebur menjadi Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), dan cukup menakjubkan bahwa Soeharto yang telah memegang kekuasaan negara sepenuhnya menggantikan Soekarno, malah mengangkat Soedirgo yang sudah berpangkat Mayor Jenderal menjadi Kepala Bakin yang bermarkas di Jalan Senopati di Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Agaknya Soeharto memiliki kebutuhan khusus dari Soedirgo yang di tahun 1965 mendapat perintah menindaki para jenderal yang tidak loyal. Akan tetapi, 21 Nopember 1968, Soeharto memerintahkan pencopotan Soedirgo dari jabatannya di badan intelijen dan setelah itu Soedirgo dimasukkan tahanan. Bersama Soedirgo, beberapa jenderal lain yang di tahun 1965 menjadi lingkaran dalam Soekarno,juga dikenakan penahanan. “Gajah tidak pernah lupa”, kata pepatah. Sebagai pengganti Soedirgo, Soeharto mengangkat lingkaran dalamnya sejak periode Divisi Diponegoro di Jawa Tengah, Yoga Soegama yang kala itu sudah berpangkat Letnan Jenderal.

Ada kesan, perintah menindak yang berulang-ulang disampaikan Soekarno di tahun 1965 itu memang tidak ditindaklanjuti, atau bahkan mungkin memang tidak untuk betul-betul dilaksanakan. Jadinya, perintah untuk bertindak kepada tiga Brigadir Jenderal itu berfungsi seakan-akan sekedar bluffing, yang diharapkan sampai ke telinga para jenderal lain. Kalau suatu tindakan, melalui trio Sabur-Sunarjo-Soedirgo memang betul dimaksudkan untuk dilaksanakan, perintah untuk itu semestinya disampaikan tidak di hadapan khalayak yang cukup banyak untuk ukuran keamanan suatu perintah rahasia. Soekarno pasti tahu itu.

Namun sementara itu, perintah serupa yang disampaikan Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, 4 Agustus 1965, yang diketahui oleh sedikit orang saja, justru menggelinding. Penyampaian Soekarno kepada Untung ini sedikit tenggelam oleh ‘insiden’ pingsannya Soekarno pagi itu, tak begitu lama setelah pertemuan. Bahkan, fakta pingsannya Soekarno ini, di kemudian hari menimbulkan keraguan apakah betul Untung hari itu memang bertemu dan mendapat perintah dari Soekarno. Tetapi faktanya, segera setelah kepada Untung oleh Soekarno ditanyakan kesediaan dan kesiapannya untuk bertindak menghadapi para jenderal yang tidak loyal yang tergabung dalam apa yang dinamakan Dewan Jenderal, ia ini segera menghubungi Walujo dan menceritakan permintaan Soekarno kepadanya. Walujo, orang ketiga dalam Biro Khusus –Biro Chusus– PKI, lalu meneruskan perkembangan ini kepada Sjam orang pertama Biro Khusus.

Sjam Kamaruzzaman sendiri, setidaknya sejak bulan Agustus itu juga telah punya point-point mengenai situasi yang dihadapi, terkait dengan kepentingan partai dan sebagai hasil diskusinya dengan kalangan terbatas pimpinan partai. Khusus mengenai Letnan Kolonel Untung, baru bisa dibicarakan Sjam dengan Aidit, sepulangnya Ketua Umum CC PKI itu dari Peking. Dan rapat terbatas membahas munculnya sayap militer itu serta perkembangan terbaru sepulangnya Aidit dari Peking itu mulai dilakukan pada 9 Agustus.

Rapat pertama Biro Khusus PKI dengan Letnan Kolonel Untung, secara serius mulai dilakukan 6 September 1965 di Jakarta. Dari Biro Khusus hadir orang kesatu dan kedua, Sjam dan Pono. Sedang para perwira militer yang hadir selain Letnan Kolonel Untung, adalah Kolonel Abdul Latief, Mayor Inf Agus Sigit serta seorang perwira artileri Kapten Wahjudi –yang rumah kediamannya dijadikan tempat rapat malam itu– serta seorang perwira Angkatan Udara Mayor Sujono, komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusumah. Mendapat uraian dari Sjam Kamaruzzaman mengenai situasi terakhir negara, serta adanya sejumlah jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal  yang akan mengambilalih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno, para perwira menengah itu menyepakati suatu rencana gerakan penangkalan.

Seluruhnya, dengan berganti-ganti tempat, termasuk di kediaman Sjam di Salemba Tengah, hingga tanggal 29 September berlangsung sepuluh pertemuan. Hampir sepenuhnya pertemuan-pertemuan itu berisi rancangan gerakan militer, karena sejak awal mereka sepakat bahwa aspek politik dan ideologis ditangani oleh Sjam dan Pono saja. Rangkaian pertemuan itu pun praktis tak memiliki persentuhan yang nyata dengan PKI, terkecuali kehadiran Sjam dan Pono dari Biro Khusus. Secara berurutan, setelah pertemuan pertama 6 September, berlangsung pertemuan kedua 9 September, ketiga 13 September, keempat 15 September, kelima 17 September, keenam 19 september, ketujuh 22 September, kedelapan 24 September, kesembilan 26 September dan kesepuluh 29 September 1965.

Sampai pertemuan keempat di rumah Kolonel Latief, belum terkonfirmasikan dengan jelas pasukan-pasukan mana yang bisa diikutsertakan dalam gerakan. Barulah pada pertemuan kelima, juga di rumah Kolonel Latief, mulai tergambarkan dengan lebih jelas komposisi pasukan yang bisa diharapkan, yang seluruhnya menurut perhitungan Letnan Kolonel Untung, hampir setara dengan satu divisi. Disebutkan kekuatan yang akan dikerahkan terdiri dari Batalion 530 dari Divisi Brawijaya, Batalion 454 dari Divisi Diponegoro, satu batalion dari Brigif I Kodam Jaya yang dijanjikan Kolonel Latief, satu kompi dari satuan Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung sendiri, satu kompi di bawah Kapten Wahjudi serta 1000 orang sukarelawan yang telah dilatih oleh Mayor Sujono di daerah Lubang Buaya. Penetapan D-Day dipengaruhi oleh laporan Mayor Sujono bahwa 1000 sukarelawan yang dilatihnya masih memerlukan waktu setidaknya sepuluh hari agar mencapai tingkat combat ready. Faktor lain, karena Letnan Kolonel Untung merasa masih ada kekurangan, dan untuk itu ia mengharapkan adanya satu kesatuan kavaleri dengan 30 tank atau panser. Untung mengharapkan bantuan itu datang dari Divisi Siliwangi, setelah ia mendengar laporan Sjam tentang keberhasilan memperoleh ‘dukungan’ dari Brigjen Rukman, Kepala Staf Kodam Siliwangi.

Tanpa menyebutkan nama, pada pertemuan keenam di rumahnya, Sjam menyebutkan adanya dukungan seorang jenderal terhadap gerakan ini. Dan pada pertemuan ketujuh, 22 September, ditetapkan pembagian tugas per pasukan yang diberi penamaan Pasopati, Bhimasakti dan Gatotkaca. Tugas yang paling khusus, ‘penjemputan’ para jenderal target, diserahkan kepada Pasopati.

Penetapan rencana pembentukan Dewan Revolusi dilakukan dalam pertemuan kedelapan, 24 September, di rumah Sjam. Pertemuan yang terjadi tujuh hari sebelum 1 Oktober 1965 itu, termasuk pertemuan penting karena di situ perencanaan makar mencapai puncaknya dengan kehadiran lengkap seluruh pendukung gerakan dan tercapainya kesepakatan pembentukan Dewan Revolusi. Semula nama yang dipilih adalah Dewan Militer, tetapi menurut Sjam, Aidit berkeberatan dan mengusulkan penggunaan nama Dewan Revolusi agar cakupannya lebih luas, tidak terdiri dari kalangan militer saja. Semula, dalam Dewan Militer, selain nama para perwira pelaksana gerakan, disebutkan nama dua panglima angkatan, yakni Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Laksamana Madya Laut RE Martadinata. Itulah pertama kali nama Aidit  dikaitkan dengan gerakan, meskipun hanya melalui ucapan Sjam, tapi sejauh hingga saat itu, Aidit tak pernah hadir dalam pertemuan.

Berlanjut ke Bagian 4.

September 1965: Konspirasi dan Pertumpahan Darah (2)

“Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya”.

SEPANJANG September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo Sumpeno.

Malam hari tanggal 30 September 1965, Nasution memberi ceramah mengenai Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), tanpa point-point yang eksplosif secara politis. “Saya diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan Kolonel Isa Edris. Rupanya selama saya berceramah ada kelompok pemuda yang tidak dikenal yang terus mengawasi, sehingga terjadi bentrokan dengan para mahasiswa yang bertugas sebagai penjaga keamanan”. Pada malam yang sama, menurut Nasution, iparnya yang bernama Sunario Gondokusumo, melihat Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam Jaya, memeriksa penjagaan di rumah Jenderal Nasution. Tetapi secara umum, menurut kesan Nasution sendiri tentang keadaan sekitar kediamannya pada 30 September malam itu, tidak ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal dari Brigif I pun tidak melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka bergiliran tidur”. Waktu Nasution tiba di rumah dekat tengah malam, isterinya telah tidur bersama puterinya yang bungsu, Ade Irma. Sebagaimana biasanya pula, mereka tidur dengan jendela terbuka untuk mendapat hawa dingin dari luar. “Kelak saya mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel Ali Ebram”.

Pada pekan terakhir September Nasution banyak berlatih golf karena akan mengikuti pertandingan golf dalam rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober. Nasution sendiri menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan secara sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan show of force, dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga, GanefoGames of the New Emerging Forces– militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara sahabat yang tergolong sebagai Nefos. Tetapi ini tidak sempat lagi dilaksanakan karena alasan teknis dan keterbatasan waktu, meskipun sempat dilakukan sejumlah persiapan awal dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam kepanitiaan duduk antara lain Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.

Terlihat bahwa sepanjang September Jenderal Nasution banyak berkeliling ke berbagai daerah, namun tanpa mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang mengundang tanggapan. Sebaliknya, berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit banyak melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang bulan September. Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI sedang berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan terkesan ingin menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar pengaruhnya kelak dalam rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30 September 1965 malam dan pada masa-masa berikutnya segera setelah itu.

Laporan-laporan tentang kelompok jenderal yang tidak loyal. Seperti digambarkan Soebandrio, memang Soekarno menerima begitu banyak laporan tentang perkembangan terakhir. Ini terjadi boleh dikatakan hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya isu Dewan Jenderal– dan meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan adalah karena laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan prasangka tertentu kepada sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada suatu rencana ‘pembenahan’ yang untuk sebagian besar, beberapa waktu kemudian ternyata berkembang di luar kendalinya sendiri.

Ketika merayakan ulang tahunnya, 6 Juni 1965, di Istana Tampak Siring, Bali, isu mengenai adanya kelompok jenderal yang tidak loyal menjadi bahan pembicaraan. Bagaimana menghadapi kemungkinan makar dari para jenderal itu, Soekarno secara langsung memberikan petunjuk kepada beberapa orang diantara yang hadir. Waktu itu, hadir antara lain tiga Waperdam, yakni Dr Subandrio, Chairul Saleh dan Dr Johannes Leimena serta Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam. Selain mereka, hadir tiga pejabat teras yang berkedudukan di Denpasar, yakni Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian. Beberapa perwira keamanan dan ajudan juga hadir, yakni Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira korps komando. Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya.

Pada waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan keinginannya untuk melakukan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya. Menurut Nasution, Presiden Soekarno sering marah-marah bila menyebut nama jenderal-jenderal yang terkait dengan isu Dewan Jenderal atau jenderal-jenderal yang tidak loyal. Kerap terlontar istilah ‘jenderal brengsek’ dari Soekarno. Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan menerima sejumlah jenderal lain yang dianggapnya loyal sebagai imbangan terhadap para jenderal yang dianggapnya tidak loyal itu. Suatu ketika Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo Parman dan Soetojo Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya dimarahi habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya ‘musuh dari utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya. Jangan terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno, poros Jakarta-Peking.

Brigjen Sjafiuddin tidak memerlukan waktu yang lama untuk melapor kembali. Ia terlihat beberapa kali datang menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. Sjaifuddin menggambarkan adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima Tertinggi.  Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid. Pada kesempatan lain, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid tanpa pikir panjang langsung menyatakan kesediaannya.

Selain Sjaifuddin, Presiden Soekarno juga memerintahkan beberapa perwira lain untuk menyelidiki dan mengusut mengenai kelompok perwira yang tidak loyal itu. Dua diantara yang ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo. Keduanya juga membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Keduanya selalu kembali dengan laporan yang memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal, jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi.

Di bulan Agustus, tanggal 4, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada Untung ia bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam. Bahkan Sjam mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat. Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno sendiri pada akhirnya.

Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan, Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal. Pada 15 September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan Hardjo Wardojo. Lalu pada tanggal 23 September pagi, di serambi belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata harus dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen Tjakrabirawa itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”. Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu adalah  Dr Soebandrio, Chairul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.

Berlanjut ke Bagian 3