Tag Archives: Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono

SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (6)

“Jenderal, keluar Jenderal!” Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, baru pulang ke rumah lewat tengah malam, pada Kamis 30 September menuju Jumat 1 Oktober 1965. Ia baru menghadiri rapat mendiskusikan persiapan Hari ABRI 5 Oktober, yang menurutnya berlangsung berkepanjangan. Tak selang berapa lama, pada pukul 04.00, rumahnya diketuk berkali-kali disertai salam “Assalamu Alaikum”.

Pintu rumah dibukakan oleh Nyonya MT Harjono, yang menganggap tamu itu datang pada waktu yang tidak sewajarnya. “Ada apa”, tanyanya. Beberapa diantara tamu yang berseragam tentara itu, menjawab serempak, “Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga”. Sambil bergumam, “Kok pagi benar rapatnya”, nyonya rumah segera masuk dan pergi membangunkan suaminya, tetapi tentara-tentara itu ikut menerobos masuk rumah. Nyonya rumah yang kaget itu bergegas masuk kamar dan menguncinya. Ia lalu membangunkan suaminya dengan mengguncang-guncang tubuh sang suami, yang segera terbangun. ”Di luar ada tentara yang mengaku utusan Bung Karno. Mereka meminta agar Ayah ikut mereka. Ada rapat penting di istana”, ujar Nyonya Harjono.

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006)

Dengan wajah serius, MT Haryono berkata “Tak ada rapat di pagi buta seperti ini”, seraya menengok ke jam dinding. “Mereka tentu punya rencana lain”, ujarnya mengungkapkan kecurigaannya. Kepada isterinya ia berkata “Kamu harus segera pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Mereka sudah tahu letak kamar tidur kita. Kamu tidak aman jika tetap di sini. Pindahlah ke kamar depan bersama anak-anak”. Sang isteri bergegas melaksanakan perintah suaminya. Ada tiga kamar yang berderet, yang dihubungkan oleh pintu satu sama lain. MT Harjono menempati kamar paling belakang.

Ternyata betul, tentara-tentara itu berusaha masuk ke kamar tempat MT Harjono berada, seraya berteriak-teriak,”Jenderal, keluar jenderal ! Ada perintah dari istana supaya jenderal segera datang!”. Meski tak ada jawaban para tentara itu yakin bahwa yang mereka cari ada di dalam kamar. Kemudian terdengan rentetan tembakan. Mereka menembaki pintu kamar yang terkunci dan seluruh bagian rumah. Salah satu putera Mayjen Harjono yang kala itu berusia 14 tahun sempat menyaksikan dari kamar tengah, ketika gerombolan tentara itu berhasil menerobos masuk ke kamar ayahnya. Ia melihat sang ayah dalam kegelapan berusaha menerobos melewati dua orang penyerbu. Orang pertama berhasil dipukul jatuh, sedang yang kedua berhasil melepaskan diri dari sergapan MT Harjono dan melepaskan tembakan. Sang jenderal rubuh. Untuk meyakinkan bahwa sasaran tertembak mati, para tentara itu membakar koran untuk menerangi.

“Beberapa saat kemudian, tubuh ayah kami diseret keluar. Kala itu kami sangat bingung.” Dalam kebingungan anak-anak itu berteriak-teriak minta tolong, namun tak ada yang bisa diharapkan dari para tetangga. Gerombolan tentara itu membentak-bentak mereka agar diam dan mengacung-acungkan senjata dari sela-sela terali jendela kamar. “Terlihat oleh kami tubuh ayah dilempar ke dalam truk.Kami menyaksikan empat truk yang sedang parkir di depan rumah. Tak lama kemudian gerombolan itu berlalu.”

          Rombongan penculik Mayor Jenderal MT Harjono dari Resimen Tjakrabirawa, berkekuatan satu peleton dipimpin oleh Sersan Kepala bernama Bungkus. Dibagi atas tiga regu yang masing-masing dipimpin oleh Sersan Satu Arlan, Sersan Dua Tjarmun dan Sersan Dua Sjahnan.

          ISTERI Mayjen Soewondo Parman, tanggal 1 Oktober itu telah terbangun sejak pukul 03.00 subuh. Satu jam kemudian, seperti yang dituturkannya kemudian, di luar rumahnya terdengar ribut-ribut. Soewondo Parman yang juga sudah bangun saat itu semula menyangka ada pencurian di rumah tetangga. Dengan cepat ia keluar rumah, bermaksud untuk membantu, tetapi ia menemukan sejumlah orang yang berseragam Tjakrabirawa telah berada di halaman rumahnya. “Lho, kok Tjakra?,” ujarnya keheranan. “Ya pak, saya diperintah Panglima Tertinggi supaya mengambil bapak,” jawab seorang diantaranya. “Keadaan genting?”, Soewondo Parman balik bertanya. “Ya pak, genting sekali,” jawab mereka.

Soewondo Parman lalu masuk rumah untuk ganti pakaian, tetapi beberapa di antara anggota Tjakrabirawa itu mengikuti, bahkan sampai masuk kamar. Nyonya Soewondo Parman lalu menegur ketidaksopanan itu, namun tidak digubris. Kepada kurang lebih duapuluh orang bersenjata itu, isteri Soewondo Parman menanyakan apa ada surat perintah untuk mengambil Mayjen Soewondo Parman. Mendapat jawaban, ada, dibawa oleh yang bernama Yanto. Kemudian Nyonya Parman ditanyakan pula berapa Nrp Yanto dan apa pangkatnya. Dijawab bahwa Yanto berpangkat Letnan Dua seraya menyebutkan nomor register prajuritnya yang terdiri dari hanya empat angka. Ketika Nyonya Parman menyatakan keheranannya kenapa Nrp itu bukan lima angka, Soewondo Parman yang menjawab bahwa Nrp Tjakrabirawa memang hanya empat angka.

          Selesai berpakaian, Mayjen Soewondo Parman berpesan kepada isterinya agar melaporkan penjemputan dirinya kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani. Sesampai di halaman, Soewondo Parman melihat bahwa telpon rumahnya dibawa oleh salah seorang anggota Tjakrabirawa itu, sehingga ia berkata “Kok tilpon saya diambil ? Lho saya ini difitnah ?!”. Mendapat jawaban, “O, tidak pak”. Hingga sejauh itu, sebenarnya Nyonya Soewondo Parman, belum menaruh prasangka apapun. Tetapi, seperempat jam kemudian persoalan menjadi lebih jelas, ketika datang isteri Mayjen MT Harjono menanyakan Mayjen Soewondo Parman, seraya menceritakan apa yang terjadi di rumahnya pada dinihari itu.

          Kelompok yang menyerbu rumah Soewondo Parman, dipimpin oleh Sersan Mayor Sutar dari Tjakrabirawa, berkekuatan dua peleton. Kelompok pertama dari Tjakrabirawa dibawah pimpinan Sersan Mayor Sutar sendiri, dan kelompok kedua dari Batalion 530 Brawijaya yang dipimpin oleh Sersan Mayor Paat. (Bagian 7: Jenderal dilemparkan ke luar pagar/socio-politica)

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (5)

WAPERDAM (Wakil Perdana Menteri) I Laksamana Udara Tituler Dr Soebandrio, juga ‘menerima’ laporan tentang akan adanya gerakan internal Angkatan Darat pada tanggal 18 September 1965. Tapi sampai saatnya ia berkeliling ke beberapa daerah Indonesia Timur dan Jawa Timur, melakukan apa yang saat itu dikenal sebagai Turba (akronim untuk kegiatan ‘turun ke bawah’ meninjau daerah), tak ada kejadian apa pun. Soebandrio menuturkan, beberapa hari sebelum ia melakukan kunjungan serupa ke Sumatera tanggal 29 September, ada laporan dari empat orang sipil –Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU, serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang  dari IPKI– bahwa “pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta”.

Rapat itu membicarakan antara lain rencana pengesahan kabinet baru versi Dewan Jenderal. Muchlis, tutur Soebandrio, tak hanya bercerita tetapi juga membawa pita rekaman suara pembicaraan dalam rapat tersebut. Dalam rekaman itu ada suara Mayjen Soewondo Parman, “yang membacakan susunan kabinet”. Susunan kabinet versi rekaman itu, antara lain adalah Jenderal AH Nasution menjadi Perdana Menteri, sedang Letjen Ahmad Yani menempati posisi Waperdam I merangkap Menteri Pertahanan Keamanan. Posisi lainnya, Mayjen MT Harjono sebagai Menteri Luar Negeri, Mayjen Soeprapto sebagai Menteri Dalam Negeri, Mayjen Soewondo Parman sebagai Menteri Kehakiman dan Brigjen Ibnu Sutowo sebagai Menteri Pertambangan. “Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya”.

Mengenai keberadaan Dewan Jenderal ini, Soebandrio pertama kali mendengarnya dari wakilnya di BPI, Brigjen Sutarto. “Tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal angkatan darat yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap presiden”. Setelah melaporkannya kepada Presiden Soekarno, Soebandrio berusaha mencari tahu lebih dalam. “Saya bertanya langsung kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani tentang hal ini. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu dewan yang merancang kepangkatan di angkatan bersenjata dan bukan dewan yang akan melakukan kudeta”. Merasa tidak puas, Soebandrio bertanya pula kepada Brigjen Soepardjo, Pangkopur II dan mendapat jawaban, memang benar ada Dewan Jenderal dan bahkan sekarang sudah siap membentuk kabinet baru. Isu Dewan Jenderal ini sebenarnya terbuka kepada publik sejak awal April 1965 melalui pemberitaan ditemukannya ‘dokumen’ Gilchrist di villa seorang Amerika, Bill Palmer. Soebandrio menerima salinan dokumen itu melalui surat pos tanpa alamat pengirim pada tanggal 15 Mei 1965, dan melaporkannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei.

Kisah seorang perwira intel dan seorang mayor revolusioner

            Keberangkatan Soebandrio ke Sumatera 29 September, dimulai dengan kunjungan ke Lampung. Ikut bersama Soebandrio, Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Tapi saat Soebandrio menuju Medan, Sri Muljono Herlambang dan rombongan berpisah, menuju ke Bengkulu dan Padang. Soebandrio berada di Sumatera hingga 2 Oktober 1965.

SOKARNO TAHUN 1965-1966.“Dengan akumulasi laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi”, tulis Soebandrio dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’. Tetapi benarkah Soekarno saat itu sebegitu ‘awam’nya terhadap situasi terakhir, seperti yang dikesankan Soebandrio? (Karikatur Harjadi S)

Pada hari yang sama, tanggal 29 September pagi, Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani, menghadap Presiden Soekarno. Kepada Soekarno, ia melaporkan adanya sejumlah pasukan yang didatangkan dari daerah ke Jakarta. Kesatuan-kesatuan itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat, atas permintaan Panglima Kostrad. Dengan laporan Omar Dhani ini, makin terakumulasilah laporan-laporan tentang kegentingan situasi di kepala Presiden Soekarno. Beberapa waktu sebelumnya, Soebandrio yang membawahi Badan Pusat Intelijen juga menyampaikan ‘setumpuk’ laporan. Mengenai “adanya sekelompok perwira Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Presiden, yang menamakan diri Dewan Jenderal”. Soebandrio juga melaporkan apa yang disebutnya ‘bocoran’ rencana pembentukan kabinet baru. “Dengan akumulasi laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal  terjadi”, tulis Soebandrio dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’. Tetapi benarkah Soekarno saat itu sebegitu ‘awam’nya terhadap situasi terakhir, seperti yang dikesankan Soebandrio?

Laksamana Omar Dhani sendiri, di hari-hari terakhir bulan September 1965, terkesan tidak mengetahui gambaran situasi dengan jelas. Panglima Angkatan Udara ini, sudah tahu mengenai beberapa hal, setidaknya ia telah mendengar sejumlah rumour terkait Dewan Jenderal, yang santer pada hari-hari terakhir. Tetapi, tampaknya masih perlu mencari tahu lebih banyak untuk mendapat gambaran lengkap perkembangan terakhir tentang apa yang akan terjadi. Ia mengetahui adanya pasukan-pasukan yang didatangkan dari daerah. Katanya, untuk defile 5 Oktober, tetapi ada beberapa kesatuan yang dilengkapi peluru tajam. Ia juga tahu rencana kedatangan Soepardjo yang bertugas di Kalimantan Barat, tetapi apa tujuannya ia merasa masih serba samar. Apakah terkait dengan kabar adanya masalah internal Angkatan Darat? Maka ia menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo untuk menemui dan mencari tahu apa maksud kedatangan Soepardjo ke Jakarta. (Omar Dhani, wawancara).

Bagaimana sampai Heru Atmodjo mendapat tugas langsung dari Menteri Panglima Angkatan Udara, jalan ceritanya adalah seperti penuturan Heru sendiri, yang untuk sebagian dipaparkan kembali berikut ini (dalam bukunya ‘Gerakan 30 September 1965’, PEC-Hasta Mitra-Tride, 2004). Berdasarkan penuturan itu, terlihat betapa sebenarnya Heru Atmodjo yang saat itu menjabat sebagai Asisten Direktur Intelijen Udara pada Markas Besar Angkatan Udara, telah menemukan informasi amat berharga tentang apa yang akan terjadi dalam dua puluh empat jam ke depan. Tetapi adalah pula karena jejak langkahnya mengumpulkan informasi itu, dan karena pertemuannya dengan para pelaksana gerakan tanggal 30 September dalam perjalanan tugasnya tersebut, ia kemudian ditangkap dan diadili. Melalui rangkaian sidang-sidang Mahmillub tahun 1966 ia akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Apalagi, namanya tercantum dalam daftar nama Dewan Revolusi yang diumumkan Letnan Kolonel Untung pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi.

Sekitar jam sepuluh pagi, tanggal 30 September 1965, Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo menerima dua perwira tinggi, Komodor Suwondo, Komandan Pangkalan Udara Iswahyudi Madiun, dan Komodor Surjono, Inspektur Jenderal MBAU yang datang ke ruangannya. Kedua perwira itu menginformasikan tentang meningkatnya aksi-aksi demonstrasi massa PKI, dan sebaliknya meminta gambaran perkembangan situasi keamanan dan politik terbaru dari Heru Atmodjo. Setelah tamu-tamunya pergi, Heru menuju ke kantor Deputi Menteri Panglima Angkatan Udara, Komodor Dewanto. Sang komodor ternyata tak ada di tempat, karena berangkat mendadak bersama Menteri Panglima Angkatan Udara, “dengan tergesa-gesa”. Yang ada di kantor itu hanyalah perwira-perwira muda, di antaranya Letnan Dua Murdono. Ketika mendiskusikan perubahan situasi nasional dengan perwira muda itu, Heru tak memperoleh hal baru, kecuali saran untuk menemui Mayor Sujono yang dianggap kemungkinan tahu banyak perkembangan terbaru karena mempunyai hubungan dengan organisasi massa di luar AURI.

Sedikit berliku, Heru Atmodjo akhirnya berhasil bertemu Mayor Sujono di rumah salah satu isterinya di Pondok Gede, pukul 14.00 Kamis 30 September 1965. Perwira Menengah Angkatan Udara ini adalah Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan AURI yang bermarkas di daerah Kramat Jati, dekat Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, namun tak termasuk wilayah pangkalan tersebut. Dari sang Mayor, Letnan Kolonel Heru mendapat gambaran bahwa Dewan Djenderal akan melakukan kudeta bersamaan dengan peringatan Hari Angkatan Bersenjata RI 5 Oktober 1965. Maka, sejumlah perwira Angkatan Darat dibantu perwira dari angkatan lainnya –yang disebut Sujono sebagai perwira-perwira progressif revolusioner– akan melakukan pencegahan dengan menangkap para jenderal dari Dewan Djenderal itu. Sujono menyebutkan nama-nama Jenderal Abdul Harris Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto, Mayor Jenderal Soewondo Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo dan Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan.

Sujono juga mengungkapkan pasukan yang disiapkan: Brigade Infantri I yang dipimpin Kolonel A. Latief, Yon I Tjakrabirawa pimpinan Letnan Kolonel Untung, dibantu Yon Raiders 454 Diponegoro dan Yon Raiders 530 Brawidjaja. Selain pasukan tersebut, kata Sujono, juga akan ambil bagian para sukarelawan yang selama ini dilatihnya dekat Lubang Buaya Pondok Gede serta pasukan yang ada di bawah komandonya. Heru Atmodjo menghitung-hitung, akan ada pasukan yang berkekuatan kurang lebih satu divisi. Informasi terpenting yang diperoleh dari Sujono adalah bahwa mereka akan bergerak malam itu. Sujono juga menyebut bahwa Brigadir Jenderal Soepardjo sudah ada di Jakarta. Disebutnya nama Soepardjo membuat Heru tidak lagi menganggap informasi Sujono sebagai suatu klise –dan telah banyak didesas-desuskan– yang tidak dapat dijadikan sebagai elemen penting informasi menurut bahasa intelejen. “Tetapi ketika ia menyebut Brigjen Soepardjo, yang jenderal ini, yakni seorang Panglima Komando Tempur II di Kalimantan serta bawahan langsung Men/Pangau Laksamana Madya Omar Dhani, sebagai Panglima Komando Siaga; faktor ini menjadi amat penting untuk mendapat konfirmasi dari Men/Pangau sendiri”.

Mayor Sujono juga menyatakan kepada Heru Atmodjo, bahwa gerakan para perwira Angkatan Darat ini adalah masalah intern Angkatan Darat, “akan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan revolusi secara keseluruhan”. Dan untuk itu ia bergabung dengan mereka, ia akan membantu mereka dengan atau tanpa restu Menteri Panglima Angkatan Udara, atas tanggung jawab pribadi selaku seorang “insan revolusioner”. Sujono juga mengungkapkan bahwa gerakan akan menggunakan Gedung Penas sebagai Senko (Sentral Komando), serta akan menggunakan kendaraan dan senjata dari gudang milik AURI.

Berlanjut ke Bagian 6