Tag Archives: Sunario Gondokusumo

SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (4)

Penjemputan jenderal berubah jadi penculikan. Jumat dinihari 04.00, 1 Oktober 1965, dimulailah gerakan ‘penjemputan’ para jenderal. Tapi ternyata, apa yang semula direncanakan sebagai ‘penjemputan’ –untuk kemudian diperhadapkan kepada Presiden Soekarno setelah diinterogasi untuk memperoleh pengakuan akan melakukan kudeta– telah berubah menjadi peristiwa penculikan berdarah. Merenggut nyawa enam jenderal dan satu perwira pertama. Hanya Jenderal Abdul Harris Nasution yang lolos, dan Brigjen Soekendro yang namanya juga ada dalam taklimat, ternyata tak ‘dikunjungi’ Pasopati.

Kenapa ‘penjemputan’ berubah menjadi penculikan dengan kekerasan dan mengalirkan darah ? Ternyata, tanpa sepengetahuan Brigjen Soepardjo dan Kolonel Abdul Latief, dua perwira yang paling tinggi pangkatnya dalam gerakan, Letnan Kolonel Untung mengeluarkan perintah kepada Letnan Satu Doel Arief, untuk menangkap para jenderal target itu “hidup atau mati”. Letnan Kolonel Untung menegaskan, “Kalau melawan, tembak saja”. Dan Doel Arief meneruskan perintah itu kepada regu-regu penjemput dalam bentuk yang lebih keras. Dalam kamus militer, terminologi “hidup atau mati”, cenderung berarti izin membunuh, dan umumnya yang terjadi para pelaksana memilih alternatif ‘mati’ itu bagi targetnya. Apalagi bila yang akan ditangkap itu melakukan perlawanan, hampir dapat dipastikan bahwa yang dipilih adalah alternatif ‘mati’ tersebut.

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006)

Bilamana penjemputan para jenderal itu memang bertujuan menghadapkan mereka kepada Panglima Tertinggi, Presiden Soekarno, seperti misalnya yang dipahami dan dimaksudkan oleh Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief, maka tak perlu ada perintah “hidup atau mati”. Faktanya, semua yang dijemput, memang mati terbunuh di tempat maupun kemudian di Lubang Buaya.

Jalannya peristiwa penculikan, diangkat dari penuturan para putera-puteri dan keluarga korban, dalam buku ‘Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam’, penuturan Jenderal AH Nasution serta konfirmasi sumber lainnya. Berikut ini.

Menjelang pukul 04.00 dinihari 1 Oktober 1965, Jenderal Abdul Harris Nasution dan isterinya, Johana Sunarti, terbangun karena terganggu nyamuk-nyamuk yang terbang seliweran berdenging-denging. Bersenjatakan sapu lidi Menko Kasab itu berusaha mengusir nyamuk-nyamuk itu. Justru ketika itulah pula terdengar suara tembakan dari luar. Nyonya Sunarti yang sejak semalam dihinggapi firasat buruk, ditambah dengan pengetahuannya atas beberapa informasi perkembangan situasi terakhir dari suaminya, segera membuka pintu kamar sedikit. Ia kaget karena di depan pintu berdiri seorang prajurit berseragam Tjakrabirawa dengan senjata di tangan dalam posisi siap tembak.

Nyonya Sunarti Nasution segera menutup kembali pintu kamar, dengan rasa heran mengenai kehadiran pasukan Tjakrabirawa itu. Kepada suaminya ia berkata, “Jangan buka pintu ! Mereka akan membunuh kamu”. Tetapi Jenderal Nasution memaksa isterinya untuk membuka kembali pintu, karena ingin berbicara sendiri dengan tentara-tentara yang sudah masuk hingga ke depan kamarnya itu. Begitu pintu terbuka sedikit, dan Jenderal Nasution terlihat dari luar, senjata di tangan anggota Tjakrabirawa itu menyalak dua kali. Dengan sigap Jenderal Nasution menjatuhkan tubuh ke lantai menghindari rentetan tembakan berikutnya, sementara Nyonya Sunarti dengan cepat menutup pintu dan menguncinya. Tak mudah, karena Tjakrabirawa yang ada di luar juga mendorong pintu agar bisa masuk.

Di kamar yang lain, salah seorang anggota keluarga yang terbangun, Mardiah adik perempuan Abdul Harris Nasution, seraya menggendong salah seorang puteri Jenderal Nasution, membuka pintu kamar karena ingin tahu apa yang terjadi. Namun begitu pintu terbuka ia diberondong tembakan dari luar, dan beberapa diantaranya mengenai puteri bungsu Jenderal Nasution, Ade Irma. Nyonya Sunarti yang sudah berada di kamar itu –kamar-kamar itu punya pintu penghubung satu sama lain– kembali bertindak mengunci pintu kamar. Pintu itu dihujani peluru dari luar tapi beruntung tak ada peluru yang tepat mengena, kecuali satu menyerempet di bagian kepala dan memutuskan rambut serta satu lainnya menggores di bawah ketiak. Pintu yang berbahan kayu jati itu tak berhasil terbuka dan tak jebol oleh berondongan peluru.

Sang isteri lalu memaksa Jenderal Nasution untuk menyelamatkan diri dengan memanjat tembok belakang. Ia nyaris kembali turun dari tembok ketika mengetahui Ade Irma Surjani cedera, namun dicegah sang isteri. “Mereka datang untuk membunuh kamu. Pergilah, biar saya yang menghadapi mereka”, ujar Sunarti. “Selamatkan diri ! Selamatkan diri !”. Akhirnya Nasution meloncat juga dan bersembunyi beberapa jam di balik sebuah drum di bagian belakang pekarangan tetangga, sebuah rumah milik Kedubes Irak, sebelum akhirnya dijemput jam 07.00 pagi oleh Kolonel Hidajat dan Sunario Gondokusumo iparnya.

Setelah Nasution meloncat, Nyonya Sunarti seraya menggendong Ade Irma yang terluka, kembali ke ruang tengah untuk menelpon Brigjen Umar Wirahadikusumah, tapi saluran telpon telah diputus. Lima anggota Tjakrabirawa yang ada di sana membentak-bentak menanyakan “Nasution di mana?”, tanpa menyebutkan lagi pangkat jenderalnya. Sunarti Nasution menjawab, “Jenderal Nasution di Bandung. Sudah dua hari. Kalian kemari hanya untuk membunuh anak saya!”. Desakan lebih jauh tak sempat lagi dilakukan mereka karena kemudian terdengar suara peluit beberapa kali, yang agaknya menjadi tanda bahwa tenggat waktu sudah habis, dan sudah saatnya untuk meninggalkan tempat itu. Mereka gagal menemukan Jenderal Nasution. Tetapi pada waktu yang hampir bersamaan, di bagian lain rumah di Jalan Teuku Umar itu, terjadi drama lain.

Mendengar ribut-ribut kedatangan sepasukan tentara –sebagian berseragam Tjakrabirawa– ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Tendean, keluar dari paviliun. Ia berhadapan dengan sejumlah tentara bersenjata, yang segera menanyakan “Mana Nasution?”. Semula tampaknya, ada beberapa diantara penerobos yang tak mengenal Nasution dan menyangka Pierre Tendean lah Jenderal Nasution. Tapi kesalahan itu segera disadari. Namun Pierre Tendean tetap mereka bawa dengan tangan terikat dan dimasukkan ke kendaraan. Sementara itu, yang lainnya tetap menerobos masuk mencari Nasution, sampai tenggat waktu habis.

Satuan yang bertugas menculik Jenderal Abdul Harris Nasution ini dipimpin oleh seorang anggota Tjakrabirawa, Pembantu Letnan Dua Djuharub. Di dalam kelompoknya bergabung satu regu dari peleton Batalion 454 Diponegoro, satu peleton PGT (Pasukan Gerak Tjepat) AURI ditambah 1 peleton Sukarelawan yang diidentifikasi kemudian berasal dari Pemuda Rakjat (Bagian 5: “Bapak diminta menghadap Presiden……!”/socio-politica)

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (7)

PRAKTIS sepanjang September 1965, PKI menyerang secara agresif, lawan-lawan politiknya, terutama kelompok-kelompok tentara yang dikaitkan dengan Jenderal AH Nasution. Seraya menggambarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal kepada Soekarno, Harian Rakjat 4 September menulis bahwa para perwira tentara itu dalam pola maling teriak maling menuduh seakan-akan PKI mau melakukan kup. Tetapi sementara itu, pada tanggal 9 September adalah DN Aidit sendiri yang menggambarkan akan terjadinya sesuatu dengan mengatakan “Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar”. Ucapan ini diperkuat Anwar Sanusi. Lima hari kemudian, 14 September, di depan sidang nasional Sobsi Aidit mengatakan bahwa “yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota. Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi, kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara”. Akronim kapbir digunakan untuk kapitalis birokrat. Di depan karyawan BNI, 17 September, Aidit mengatakan “Kabinet sekarang belum Nasakom, hanya mambu Nasakom”. Lalu 21 September di depan Sarbupri, Aidit menyatakan “Jangan berjuang untuk satu ikan asin…. Jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam”. Seraya menggambarkan bahwa para menteri hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno, ia sebaliknya melukiskan “kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka”.

SOEKARNO DAN AIDIT. “…. Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI ‘ternyata menyeleweng’ dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan membubarkan HMI”.(Repro: applet.magic.com)

Paling agresif adalah ucapan-ucapan Aidit di depan Kongres III CGMI 29 September 1965, “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat. Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi berani”. Pada acara itu Aidit melancarkan serangan khusus kepada HMI yang beberapa waktu sebelumnya sempat dibela oleh Ahmad Yani. Bahkan sebenarnya Aidit malam itu seakan ‘melawan’ Soekarno ketika ia menanggapi pidato Waperdam II Leimena. Sang Waperdam yang berbicara sebelum Aidit, malam itu mengatakan bahwa sesuai sikap Presiden Soekarno, hendaknya HMI tak perlu lagi dipersoalkan lebih lanjut. Menurut Leimena, bukankah beberapa hari sebelumnya, 22 September, Presiden telah menyatakan penolakannya terhadap tuntutan pembubaran HMI yang disampaikan kepadanya? Namun Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI “ternyata menyeleweng” dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan membubarkan HMI.

Sesuatu yang ikut memberatkan PKI di belakang hari adalah editorial Harian Rakjat pada tanggal 30 September, yang berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil”. Editorial ini seakan membayangkan suatu pengetahuan tentang rencana PKI berkaitan dengan kematian para jenderal melalui suatu hukuman mati oleh rakyat atau kekuatan revolusioner. Akumulasi pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI, terutama Aidit, serta apa yang hitam putih termuat dalam Harian Rakjat, di belakang hari ibarat mozaik yang setelah disusun menjadi sebuah gambar, telah mendorong munculnya opini kuat tentang keterlibatan dan peran PKI sebagai otak gerakan makar tanggal 30 September 1965.

Jenderal Nasution yang pada bulan September itu banyak menjadi bulan-bulanan serangan kelompok politik kiri maupun Soekarno, lebih banyak berdiam diri, dalam arti tak banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan menanggapi serangan-serangan yang ditujukan pada dirinya. Bahkan serangan tentang keterlibatan isterinya dalam suatu kolusi bisnis yang memanfaatkan kekuasaan suami, juga didiamkan Nasution. Dalam suatu rapat raksasa 29 September –suatu model pengerahan massa pada masa itu– di lapangan Banteng yang dihadiri lebih dari seratus ribu orang, sebagian besar terdiri dari pelajar yang dikerahkan IPPI pimpinan Robby Sumolang, ada aksi tunjuk hidung terhadap kapbir, setan-setan kota dan kaum koruptor. Empat nama setan kota yang ditunjuk hidungnya adalah Hein Siwu, Pontoan, Kapten Iskandar dan seorang insinyur pemilik pabrik tekstil bernama Aminuddin, yang nama-namanya sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung Brigjen Sutardhio. Menurut Nasution, nama yang disebut terakhir, Ir Aminudin, bersama Hein Siwu, dikait-kaitkan dengan isterinya dalam urusan bisnis. Nasution memang pernah memenuhi undangan Aminuddin untuk meninjau pabrik tekstil milik Aminuddin yang terletak di daerah Cawang. Pabrik itu, “didesas-desuskan sebagai milik saya, yang diurus oleh Ir Aminuddin”. Kejadian sebenarnya dari hubungan itu, menurut Nasution adalah bahwa Hein Siwu dengan diantar oleh Kolonel Hein Victor Worang pernah datang untuk menyumbang kegiatan sosial Nyonya Sunarti Nasution.

Sepanjang September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo Sumpeno.

Malam hari tanggal 30 September 1965, Nasution memberi ceramah mengenai Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), tanpa point-point yang eksplosif secara politis. “Saya diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan Kolonel Isa Edris. Rupanya selama saya berceramah ada kelompok pemuda yang tidak dikenal yang terus mengawasi, sehingga terjadi bentrokan dengan para mahasiswa yang bertugas sebagai penjaga keamanan”. Pada malam yang sama, menurut Nasution, iparnya yang bernama Sunario Gondokusumo, melihat Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam Jaya, memeriksa penjagaan di rumah Jenderal Nasution. Tetapi secara umum, menurut kesan Nasution sendiri tentang keadaan sekitar kediamannya pada 30 September malam itu, tidak ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal dari Brigif I pun tidak melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka bergiliran tidur”. Waktu Nasution tiba di rumah dekat tengah malam, isterinya telah tidur bersama puterinya yang bungsu, Ade Irma. Sebagaimana biasanya pula, mereka tidur dengan jendela terbuka untuk mendapat hawa dingin dari luar. “Kelak saya mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel Ali Ebram”.

Pada pekan terakhir September Nasution banyak berlatih golf karena akan mengikuti pertandingan golf dalam rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober. Nasution sendiri menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan secara sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan show of force, dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga, GanefoGames of the New Emerging Forces– militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara sahabat yang tergolong sebagai Nefos. Tetapi ini tidak sempat lagi dilaksanakan karena alasan teknis dan keterbatasan waktu, meskipun sempat dilakukan sejumlah persiapan awal dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam kepanitiaan duduk antara lain Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.

Perjalanan keliling ke berbagai daerah sepanjang September dilakukan Jenderal Nasution tanpa mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang mengundang tanggapan. Sebaliknya, berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit banyak melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang bulan September. Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI sedang berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan terkesan ingin menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar pengaruhnya kelak dalam rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30 September 1965 malam dan pada masa-masa berikutnya segera setelah itu.

Seperti digambarkan Soebandrio, memang Soekarno menerima begitu banyak laporan tentang perkembangan terakhir. Ini terjadi boleh dikatakan hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya isu Dewan Jenderal– dan meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan adalah karena laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan prasangka tertentu kepada sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada suatu rencana ‘pembenahan’ yang untuk sebagian besar, beberapa waktu kemudian ternyata berkembang di luar kendalinya sendiri.

Berlanjut ke Bagian 8