Tag Archives: Wali Songo

Jenderal AH Nasution dan Peristiwa 17 Oktober 1952 (2)

DALAM uraian TB Simatupang –saat memberi ceramah di depan Group Diskusi UI, Agustus 1973– disampaikan bahwa kedudukan Angkatan Perang yang agak berdiri sendiri sebetulnya telah merupakan kenyataan sebelum Republik Indonesia ada. Unsur-unsur yang kemudian menjadi pendiri dan pimpinan Angkatan Perang adalah orang-orang yang mengambil peran mendorong agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Menurutnya, setelah Angkatan Perang dibentuk secara resmi, selama tahun-tahun perjuangan eksistensi dan pengembangan dirinya, Angkatan Perang itu tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. “Angkatan Perang tidak menganggap dirinya pertama-tama sebagai alat teknis di tangan Pemerintah, melainkan sebagai pendukung dan pembela kemerdekaan dan dasar-dasar negara”. Sejarah juga memang mencatat fakta bahwa ketika Presiden Soekarno dan sejumlah anggota kabinet dan pemimpin pemerintahan yang lain ditawan Belanda setelah serangan militer bulan Desember 1948, secara de facto Angkatan Perang mengambil peran meneruskan perjuangan melalui perang gerilya melawan tentara Belanda seraya mengambil fungsi-fungsi sebagai pimpinan aparat pemerintahan hingga tingkat desa dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan eksistensi teritorial pemerintahan negara.

ABDUL HARRIS NASUTION. “Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta….. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi”.

Pergolakan internal AD pasca Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata tak selesai begitu saja. Dalam masa kepemimpinan Kolonel Bambang Soegeng, gejolak perpecahan internal terus berlangsung hingga bulan pertama, bahkan sebenarnya sampai pertengahan tahun 1955. Para perwira militer ini mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) pada 21 hingga 25 Februari di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan ‘Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia’. 29 perwira senior dan berpengaruh dalam Angkatan Darat ikut menandatangani piagam tersebut. Dengan piagam tersebut, secara internal dianggap pertentangan di tubuh Angkatan Darat berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober 1952 telah selesai. Namun perbedaan pendapat antara para perwira itu dengan pemerintah tidak serta merta ikut berakhir, sehingga tak tercapai kesepakatan tentang penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952. Merasa terjepit, KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan Angkatan Darat kepada Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Kolonel bermarga Lubis ini masih terbilang sepupu Kolonel Nasution, namun kerapkali bersilang jalan dalam beberapa peristiwa karena berbeda pendapat dan sikap.

Pemerintah mengisi kekosongan jabatan KSAD itu dengan mengangkat Kolonel Bambang Utojo pada 27 Juni 1955, yang tadinya adalah Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Namun ketika Kolonel Bambang Utojo dilantik oleh Presiden Soekarno, tak seorangpun perwira teras dan pimpinan Angkatan Darat yang hadir, mengikuti apa yang diinstruksikan Wakil KSAD Zulkifli Lubis, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka –yang tadinya tidak digubris oleh pemerintah. Zulkifli Lubis sekaligus menolak melakukan serah terima jabatan KSAD dengan Bambang Utojo yang telah berpangkat Jenderal Mayor. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juni, yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan sipil Kabinet Ali-Wongso. Kabinet yang dipimpin oleh Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai Perdana Menteri dan Mr Wongsonegoro dari PIR (Persatuan Indonesia Raya) sebagai wakilnya, kala itu belum genap berusia dua tahun sejak dibentuk 1 Agustus 1953. Ali baru saja menjadi penyelenggara Konperensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April yang dianggap suatu keberhasilan internasional.

Masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat ini akhirnya diselesaikan oleh kabinet baru –koalisi Masjumi dengan beberapa partai, dengan PNI sebagai partai oposisi– yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang dilantik 12 Agustus 1955, hanya 38 hari sebelum Pemilihan Umum 1955 untuk DPR. Pada penyelesaian akhir, berdasarkan musyawarah para perwira senior dan pimpinan Angkatan Darat, diajukan enam calon KSAD, salah satunya adalah Kolonel Abdul Harris Nasution. Kabinet memilih Nasution. Soekarno ‘terpaksa’ mengangkat kembali Nasution sebagai KSAD dan melantiknya 7 Nopember 1955 dengan kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Jenderal Mayor. Pelantikan Nasution dengan demikian berlangsung di antara dua hari pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 1955 –yakni pemilihan 272 anggota DPR 29 September dan pemilihan 542 anggota Konstituante 15 Desember 1955. Anggota-anggota angkatan bersenjata turut serta dan memiliki hak suara dalam pemilihan umum yang diikuti puluhan partai berskala nasional maupun berskala lokal itu. Militer tidak ikut untuk dipilih, namun ada Partai IPKI yang dibentuk Nasution dan kawan-kawan yang dianggap membawakan aspirasi militer. IPKI dan kelompok sefraksinya di DPR hanya memperoleh 11 kursi (untuk IPKI sendiri hanya 4 kursi), suatu posisi yang secara kuantitatif amat minor. Sementara Fraksi Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia berada di DPR dengan 2 kursi perwakilan.

Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta. Pemilihan Umum 1955 di satu pihak memang menjadi contoh keberhasilan demokrasi, karena dilangsungkan dalam suasana bebas. Namun jumlah peserta pemilihan umum yang terlalu banyak, agaknya bagaimanapun pada sisi lain menjadi satu masalah tersendiri. Tapi bagaimanapun itu berkaitan pula dengan tingkat kematangan dan kesiapan rakyat dari suatu negara yang baru merdeka 8 tahun namun penuh pergolakan. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi.

Meneruskan pola jatuh bangun kabinet, sesudah pemilihan umum kebiasaan jatuh bangun juga berlanjut. Tetapi sebagai proses politik, semua itu selalu ada penjelasannya, dalam satu rangkaian pola sebab dan akibat, yang akarnya ada dalam budaya bangsa. Pemilihan Umum 1955, tidak menghasilkan –dan memang takkan mungkin dalam satu pola ideologis di negara yang plural seperti Indonesia– partai pemenang yang mayoritas yang dapat memerintah sendirian dalam suatu stabilitas politik. Kendati misalnya dikatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam, mencapai 90 persen, nyatanya partai-partai Islam secara bersama-sama bahkan tak mencapai separuh dari perolehan suara. Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam. Selain itu, pada pihak lain sebagian dari rakyat Indonesia yang resmi memeluk agama Islam, sesuai penelitian Clifford Geertz, sesungguhnya adalah kaum abangan. Pembagian masyarakat di pulau Jawa atas kaum santri di satu pihak dan kaum abangan di pihak lain yang dilontarkan Clifford Geertz ini paling banyak dirujuk dalam berbagai uraian sosiologis hingga kini. Penelitian Geertz itu sendiri dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dianggap berlaku untuk Indonesia.

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia juga punya kenyataan dan catatan tersendiri, tentang keanekaragaman persepsi, penafsiran dan realitas dalam masyarakat yang berhubungan erat dengan kultur Hindu dan kultur animistis yang telah berakar berabad-abad lamanya, sebelum Wali Songo menyebarluaskan Islam di Indonesia. Masjumi sebagai partai modern berbasis Islam hanya memperoleh 60 kursi DPR dari 272 kursi yang ada. NU memperoleh 47 kursi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) memperoleh 8 kursi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) 4 kursi. Bersama Masjumi jumlahnya hanyalah 119 yang tidak mencapai separuh dari 272. Sementara itu, harus pula dicatat fakta tentang rivalitas berkepanjangan yang terjadi antara Masjumi dan NU dengan suatu latar belakang historis dan perbedaan persepsi secara kualitatif di awal kelahiran mereka, termasuk dalam menyikapi masalah kekuasaan. Dan karena itulah para politisi Islam ini tak pernah padu dalam sepakterjang mereka sebagai satu kekuatan politik. Itulah pula sebabnya sebagian dari politisi Islam ini dalam menjalani political game, dalam perseteruannya dengan kekuatan politik lainnya kerapkali menggunakan faktor emosional yang terkait dengan agama sebagai senjata politik, tatkala kehabisan argumentasi rasional.

-Sumber: Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Kisah ‘Tumbal Darah’ Lintas Waktu dalam Sejarah Nusantara (4)

“Konsep raja sebagai wakil Tuhan di dunia ini sendiri sesungguhnya mengingkari hakikat ajaran Islam bahwa semua umat manusia memiliki persamaan di hadapan dan di mata Allah, serta terbedakan di hari akhir semata karena amal ibadahnya belaka”.

Kisah keenam. Surut ke pertengahan abad ke-15, pada masa awal berkembangnya Islam di Nusantara. Ini adalah kisah kontroversial tentang persaingan pengaruh antara Sultan Demak Bintoro (Raden Fatah) bersama Wali Songo yang mengamalkan Islam melalui pendekatan syariah di satu sisi dengan Sjeh Siti Djenar yang menjalankan pendekatan sufi pada sisi berseberangan. Sjeh Siti Djenar mengajarkan tentang ‘jalan kematian’ yang ‘filosofis’, bahwa hidup di alam dunia ini hanyalah fase singgah para manusia yang sesungguhnya hanyalah ‘mayat hidup’, sebelum menjalani kehidupan yang sejati dan abadi kelak pada fase sesudah ‘kematian’ di alam dunia ini. Barulah dalam kehidupan abadi setelah meninggalkan alam dunia, manusia terikat untuk sepenuhnya menjalankan syariat agama. Siti Djenar pun mengajarkan pantheism, yaitu konsep bersatunya Tuhan pada seisi alam termasuk dalam diri manusia, yang sesungguhnya tak asing dalam ajaran Hindu yang telah ada di pulau Jawa sebelum Islam masuk.

Sembilan wali yang menyebarkan Islam dengan pendekatan syariah di pulau Jawa itu umumnya berasal dari kalangan bangsawan yang menjadi bagian dari pemegang kendali kekuasaan di pulau Jawa. Sebagian terbesar dari mereka berdarah Arab dan disilsilahkan sebagai turunan lapis ketujuh, kedelapan dan kesembilan dari Siti Fatimah binti Muhammad (SAW) melalui garis Sayidina Husein –cucu Nabi Muhammad yang kematiannya yang syahid diratapi umat dan diperingati pada hari Asyura setiap 10 Muharram. Beberapa di antara para wali juga memiliki campuran darah Cina. Setidaknya, enam dari sembilan wali ini, terikat dalam satu pertalian darah. Salah satu wali yang merupakan keturunan bangsawan adalah Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel. Putera Maulana Ibrahim dan ibunya adalah Puteri Champa. Raden Rahmat ini adalah pula menantu Adipati Tuban, Ario Tedjo. Sunan Ampel merupakan salah seorang diantara yang merancang berdirinya Demak Bintara sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa ini dan mendorongkan Raden Patah – keturunan Raja Madjapahit terakhir, Sri Kertabumi, yang memerintah hanya empat tahun (1474-1478) –sebagai sultan pertama pada tahun 1478. Wali lainnya, adalah Maulana Makdum Ibrahim putera Sunan Ampel dan dikenal sebagai Sunan Bonang. Lalu ada Falatehan yang tak lain Sjarif Hidajatullah yang setelah wafat dalam usia amat lanjut digelari sebagai Sunan Gunung Jati. Falatehan sempat pula menjadi pemimpin pemerintahan, berkedudukan di wilayah Cirebon dan mengundurkan diri urusan duniawi itu di usia 95 tahun. Sjarif Hidajatullah inilah yang menyerbu ke arah barat menuju Jayakarta dan membebaskannya dari Portugis seraya meng-Islam-kan wilayah itu. Gelar Falatehan atau Fatahillah yang berasal dari bahasa Arab Fathullah bermakna ‘memperoleh kemenangan dari Allah’. Sjarif Hidajatullah adalah putera Maulana Ishak –adik Maulana Malik Ibrahim– beribukan seorang perempuan Arab keluarga Quraisyi, serta merupakan menantu Raden Patah. Berikutnya, Raden Mas Sjahid anak Bupati Tuban Ki Temenggung Wilatika, yang tak lain adalah Sunan Kalijaga. Putera Sunan Kalijaga, yang bernama Raden Umar Said, juga adalah satu dari Wali Songo dan digelari Sunan Muria karena mengajarkan Islam di wilayah sekitar Gunung Muria. Masih ada empat wali lain. Pertama, adalah Maulana Malik Ibrahim atau Sjeh Maghribi yang menurunkan tiga wali pada dua generasi. Kedua, Sunan Giri yang sebelumnya bernama Ainul Yakin, juga putera Maulana Ishak, sehingga bersaudara dengan Sjarif Hidajatullah namun dari lain ibu yakni puteri Adipati Blambangan. Ketiga, Sunan Drajat yang dikenal pula sebagai Raden Kasim, bersaudara dengan Sunan Bonang, dan keduanya putera Sunan Ampel. Yang keempat, Sunan Kudus. Dengan demikian, terlihat bahwa enam dari sembilan wali berasal dari satu rumpun keluarga, dari tiga generasi keturunan Siti Fatimah binti Muhammad (SAW), yakni Maulana Malik Ibrahim Sjeh Maghribi, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Djati, Sunan Bonang dan Sunan Dradjat. Sedang tiga lainnya juga punya pertalian darah dan kekerabatan. Sjeh Siti Djenar dalam pada itu, merupakan figur yang keberadaannya dalam sejarah Indonesia adalah antara ada dan tiada, bahkan ada yang menganggapnya tokoh mitos yang dihadirkan untuk merepresentasikan ‘keberadaan’ kaum sufi. Dalam strata kemasyarakatan, ia disebutkan berasal dari kalangan rakyat jelata, dari kasta sudra, meskipun adapula yang menyebutkannya berasal dari keluarga kalangan kekuasaan di sekitar Cirebon.

Bagi para wali yang sembilan itu –lima di antaranya amat dalam keterlibatannya pada kasus Siti Djenar– ajaran-ajaran Sjeh Siti Djenar adalah sesat, kendati pun juga bersumber pada Al Qur’an. Selain itu, Siti Djenar juga dianggap terlalu ‘terbuka’ dalam persentuhannya dengan rakyat lapisan bawah, dan mengajarkan ketidakpatuhan terhadap Sultan Demak Bintoro, padahal sang raja telah diposisikan sebagai ‘perwujudan’ kekuasaan Tuhan di muka bumi. Konsep raja sebagai wakil Tuhan di dunia ini sendiri sesungguhnya mengingkari hakikat ajaran Islam bahwa semua umat manusia memiliki persamaan di hadapan dan di mata Allah, serta terbedakan di hari akhir semata karena amal ibadahnya belaka. Penggambaran diri Nabi Muhammad SAW lebih rendah hati. Delapan belas hari sebelum wafat pada bulan Juni tahun 632, Nabi dalam suatu khutbah salat berjamaah, berkata tentang dirinya, “Sesungguhnya saya ini adalah Nabimu, pemberi nasehat dan penyeru manusia ke jalan Tuhan dengan izinNya belaka”. Lebih dari perbedaan tentang konsep posisi raja itu, ajaran Siti Djenar tentang ‘jalan kematian’ dianggap telah menyebabkan ‘kegilaan’ di kalangan rakyat bawah yang menghendaki kematian yang cepat di bumi dan tak segan membuat keonaran dan mengamuk untuk mencari mati. Untuk sebagian, tampaknya rakyat kalangan bawah tidak mudah mengerti dan karenanya tidak sepenuhnya memahami filosofi dasar ‘jalan kematian’ dari Sjeh Siti Djenar, kecuali keyakinan pintas bahwa makin cepat mereka memperoleh kematian adalah makin baik. Pada sisi lain, yang paling mendasar bagi Sultan Bintoro, yang menjadi sekutu duniawi strategis Wali Songo, adalah aspek perlawanan dan ketidakpatuhan yang ditimbulkan ajaran Siti Djenar sehingga merupakan ancaman nyata bagi kekuasaan. Pengertian kekuasaan kala itu adalah kekuasaan politik dan rohani yang dimiliki dalam satu sinergi antara raja dan para wali. Maka Sultan Demak meminta Wali Songo untuk menghukum mati Sjeh Siti Djenar bilamana tidak menyatakan penyesalan dan mohon ampun kepada Sultan Demak. Namun Sjeh Siti Djenar memilih kematian dengan jalannya sendiri, sehingga Wali Songo tak perlu memenggal kepala dan mengalirkan darahnya, seperti diperintahkan Sultan –dan dengan demikian tangan mereka bersih dari darah. Di hadapan lima wali yang datang membawa perintah Sultan Demak, Siti Djenar memegang bagian belakang lehernya sendiri, memusatkan pikiran guna menutup jalan nafas, lalu mati seketika. Demikian penggambaran tentang proses kematian Pangeran Siti Djenar.

Tetapi, yang lebih kontroversial dari kematian Siti Djenar yang diinginkan oleh kalangan kekuasaan kala itu, adalah konspirasi untuk menghancurkan nama Siti Djenar justru setelah kematiannya. Para wali yang membawa jenasahnya ke Mesjid Agung Demak, mengganti jenasah Siti yang ada dalam keranda dengan bangkai seekor anjing kudisan berbulu belang kusam. Suatu perbuatan duniawi yang tak suci dari antara orang-orang yang ‘suci’, kalau memang demikian jalan peristiwa sebenarnya. Namun ada versi lain menyebutkan bahwa lima wali utusan itu setengah gagal menjalankan tugas ‘kematian’ bagi Siti Djenar, dan dengan demikian tak mungkin membawa jenazah ‘musuh kerajaan’ yang telah menggoncangkan ‘stabilitas’ pulau Jawa itu, sehingga terpaksa menggantinya dengan bangkai anjing kudisan. Tapi, apapun kejadian sebenarnya, tatkala pada keesokan harinya di halaman mesjid, Sultan Bintoro menyuruh buka tutup keranda, ia terkejut. Sultan yang tak mengetahui detail rencana penggantian jenasah dengan bangkai itu, agaknya begitu takjub dalam ‘ketidaktahuan’nya itu pada fenomena tentang nasib orang yang menentang agama yang diajarkan Wali Songo: ‘Terbukti’ betapa sang murtad berubah ke dalam kehinaan tiada tara menjadi bangkai anjing kurus yang kudisan. Sultan memerintahkan mempertontonkan bangkai anjing itu kepada rakyat sebagai pelajaran tentang nasib mereka yang melawan ajaran agama yang disebarkan para wali yang suci. Bangkai itu digantung di tengah keramaian terlebih dahulu sebelum dikuburkan, dan untuk beberapa lama telah menciptakan opini yang meluas di tengah rakyat jelata mengenai kehinaan Sjeh Siti Djenar. Namun ketika konspirasi dan peristiwa sebenarnya terungkap, dan bertambah dengan cerita bahwa pada malam pertama sesungguhnya jenasah Siti Djenar mengeluarkan sinar bagaikan bulan purnama dan menebar bau harum, tercipta opini –yang merugikan kaum syariah– bahwa ajaran dan penafsiran Siti Djenar tentang Islam dan Al Qur’an tidaklah sesat melainkan suatu kebenaran, betapapun absurd ajaran Siti Djenar itu sebenarnya. Tercipta suatu pembelahan berkepanjangan dalam tubuh masyarakat, yang kadangkala pengaruhnya tetap terasa dari masa ke masa, bahkan hingga kini.

Berlanjut ke Bagian 5