BELAKANGAN ini, keberagaman yang dari waktu ke waktu memang merupakan realita sosial dan budaya Indonesia, kembali dibicarakan intens, dalam porsi tinggi dan seringkali dengan tensi tinggi. Khususnya saat ada peristiwa politik –yang beberapa di antaranya sebenarnya adalah peristiwa pelaksanaan demokrasi– semisal Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden serta Pemilihan Kepala Daerah. Paling sengit dan termasuk cukup aktual dari segi waktu adalah di seputar Pilkada DKI. Calon petahana, Ahok Basuki Tjahaja Purnama, sempat melontarkan kata-kata yang dianggap berkategori menista agama. Berakhir di Pengadilan dengan sebuah vonis hukuman penjara.
Usai Pilkada maupun usai proses peradilan Ahok, perang kata yang sarat dengan retorika berbau SARA dan penajaman keberagaman di berbagai media, terutama di media sosial online, tak ikut berakhir. Tetap berlanjut. Banyak yang tak berhasil move on, di sisi mana pun. Saling lontar ujaran kebencian tetap bertebaran membuat ruang sosial pengap. Pemerintah –tepatnya beberapa unsur dalam kekuasaan, terutama pihak kepolisian– banyak dikecam karena melakukan perpihakan kepada non Islam. Sebaliknya, tak sedikit yang melontarkan tuduhan bahwa lembaga judikatif tunduk kepada tekanan mayoritas masyarakat Islam.
KERETA KENCANA DI ISTANA, 17 AGUSTUS 2017. “Kehadiran kereta kencana misalnya, mengingatkan kepada masa kejayaan kaum feodal masa lampau.” (Foto Republika)
Di tengah-tengah perang kata yang sebenarnya bersumber dan tak lebih tak kurang merupakan bagian pertarungan kepentingan politik itu, ada sebagian orang yang kemudian melontarkan pernyataan bahwa keberagaman Indonesia sedang terancam. Sepertinya, terutama yang dimaksud sedang terancam adalah mereka yang berada dalam kompleks minoritas berdasar agama dan etnis –yang merupakan bagian dalam fakta keberagaman Indonesia. Pengutaraan keterancaman keberagaman tersebut tidak bisa tidak menjadi suatu penempatan posisi antitesa terhadap apa yang diidentifikasi sebagai kelompok masyarakat yang bersandar kepada ajaran agama mayoritas. Belum bisa diukur sebenarnya, berapa besar ancaman itu. Penyimpulan tak cukup bila semata-mata berdasarkan lontaran retorika dalam polemik yang terjadi di media sosial maupun di media mainstream. Bahkan tidak juga dengan adanya aksi-aksi damai 411 dan seterusnya.
Jangan-jangan situasi dramatis itu tercipta justru oleh sikap dan ucapan-ucapan para petinggi negara sendiri, yang menurut beberapa ahli dan akademisi, terlihat sedikit panik. Lalu ada sebagian orang sibuk dengan berbagai kegiatan yang menonjolkan keberagaman Indonesia. Sayangnya sebagian seakan-akan terperangkap menampilkan sikap keberagaman sekedar untuk keberagaman. Banyak lupanya tentang betapa pentingnya aspek persatuan di tengah realita keberagaman.
Sepertinya, lingkungan Istana tak menjadi pengecualian. Penonjolan keberagaman masuk ke dalam jantung acara kenegaraan pada hari-hari sekitar 17 Agustus 2017. Antara lain, berupa kehadiran para undangan dengan ‘keharusan’ menggunakan pakaian tradisional daerah yang beragam-ragam, dari Aceh sampai Papua. Di satu sisi menunjukkan kekayaan budaya dan cara berpakaian Nusantara, tapi pada sisi lain, menimbulkan juga beberapa tanda tanya.
Kehadiran suasana tradisional dalam segi tertentu tanpa sengaja juga bisa menghadirkan suasana feodalistik. Dimulai dengan sekedar berselancar dalam romantika masa feodalistik untuk akhirnya menjadi pola perilaku kekuasaan feodalistik. Kehadiran kereta kencana misalnya, mengingatkan kepada masa kejayaan kaum feodal masa lampau.
Suatu waktu soal-soal kebudayaan dan masalah feodalistik ini perlu juga dibahas lanjut. Dalam penjelasan UUD 1945 –yang sudah dihapuskan dalam rangkaian amandemen pasca Soeharto– kebudayaan disebutkan sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Diingatkan, usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusian bangsa Indonesia.
TERLEPAS dari itu, dalam realita keberagaman atau kemajemukan itu, diakui selalu terselip beberapa faktor desintegritas, yang selama ini diidentifikasi sebagai faktor SARA. Perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan. Sepanjang retorika keberagaman belakangan ini, samar-samar terkesan telah terjadi pendewaan mengenai keberagaman. Sangat terpicu melalui retorika tidak selektif akhir-akhir ini. Saat beberapa tokoh berbicara mengenai keberagaman, bisa terjadi sepuluh kali menyebut keberagaman, tapi belum tentu satu kali pun menyebut persatuan atau tunggal-ika.
Semestinya jangan juga lupa fakta sejarah. Tanpa topangan hasrat bersatu, keberagaman sempat menjadi ladang divide et impera. Pelaku divide et impera, bisa siapa saja. Bukan saja di masa kolonial lampau, oleh kaum kolonial dengan bantuan kaum feodal, tetapi juga di masa kini oleh bangsa sendiri dalam suatu model tirani baru. Dalam konteks ini, kita keberatan terhadap tirani mayoritas, tetapi kita pun tak menginginkan tirani minoritas. Kemajemukan Indonesia adalah realita, tetapi persatuan Indonesia tetap adalah realita ideal. (socio-politica.com)
DALAM momen yang berdekatan di bulan Oktober 2014 ini, terjadi dua ‘pesta’ yang semarak.
Pertama, 20 Oktober 2014, usai pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, berupa ‘kirab budaya’ yang diorganisir relawan Jokowi untuk mengantar sang Presiden dari Gedung MPR menuju Istana Merdeka. Ini juga tergambarkan sebagai semacam pesta rakyat. Sebuah kelompok relawan Jokowi yang dipimpin seorang pengusaha kelapa sawit, mengorganisir dana untuk konsumsi senilai 385 juta rupiah. Tentu itu bukan satu-satunya kontribusi, dan biaya keseluruhan mungkin saja tak hanya berskala ratusan juta rupiah. Apalagi pesta rakyat itu berlanjut dengan konser salam tiga jari hingga malam hari di kompleks Monumen Nasional.
JOKOWI DAN JUSUF KALLA DI ATAS KERETA KENCANA MENUJU ISTANA. “Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental.” (foto tribunnews)
Dan yang kedua, resepsi pernikahan satu pasangan selebriti dunia entertainmen di sebuah hotel di Bali, sehari sebelumnya, 19 Oktober yang disiarkan langsung oleh sebuah televisi swasta lengkap dengan iklan-iklan sponsor. Pesta yang konon berbiaya 15 milyar ini, dihadiri tak kurang dari 6000 tamu, yang sebagian terbesar tampil dengan busana ‘wah’ dan pasti mahal. Sebagai perbandingan, untuk Sidang MPR pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja, hanya disebarkan 1200 undangan. Maka, ada yang menyebut resepsi pernikahan selebrities ini sudah setara dan pantas disebut Royal Wedding. Kalau pesta di Bali ini diibaratkan sebuah etalase, maka ia berhasil menampilkan citra betapa makmur sejahtera sudah Indonesia ini. Salah satu kado untuk pernikahan ini, diserahkan Minggu siang. Sebuah mobil mewah, Lamborghini, yang menurut pengacara terkenal (dan kaya raya) Hotman Paris Hutapea pada acara penyerahan, berharga sekitar dua belas setengah milyar rupiah. Pemberi kado adalah klub para pemilik mobil mewah dengan merek tersebut.
Dua peristiwa semarak tersebut sebenarnya mewakili dua ‘dunia’ yang berbeda. Peristiwa pertama mewakili dunia politik dalam kaitannya dengan partisipasi dan apresiasi akar rumput yang ditampilkan dalam momen pergantian kepemimpinan nasional. Sedang peristiwa kedua, mewakili dunia entertainmen komersial sebagai salah satu sub sektor ekonomi bidang jasa. Dunia entertainmen itu merupakan salah satu ladang keberhasilan mencapai pendapatan besar oleh sebagian kecil anggota masyarakat berketrampilan entertainer yang berjaya menggali benefit yang semakin booming dari pasar masyarakat dalam negeri.
Kontras Laten. Tanpa sengaja, angka-angka rupiah dari dua peristiwa tersebut sekaligus mewakili suatu kontras laten dalam kehidupan bangsa ini, yaitu gap kaya-miskin, dalam konteks pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Dalam kontras itu, kurang lebih 20 persen golongan masyarakat makmur yang hidup berkelimpahan dalam satu ruang dan waktu bersama 80 persen yang hidup dalam serba keterbatasan karena belum berhasil terciprat rezeki pembangunan ekonomi. Kenyataan ini menjadi lebih memilukan, karena seperti metafora yang disebutkan penyair Taufiq Ismail dalam satu puisinya, uang telah menjadi berhala dan kerap diperlakukan seperti tuhan. Mereka yang menguasai akumulasi uang bisa mengendali kekuasaan negara dan kekuasaan sosial, sementara sebagian kalangan akar rumput yang ada dalam tekanan berat kehidupan ekonomi bisa terfaitaccompli untuk menggadaikan hak politik, hak sosial dan bahkan harkat-martabat dirinya.
Pembangunan ekonomi sesungguhnya bisa dipertemukan dengan pembangunan sosial dalam konteks sosial-ekonomi, melalui kebijakan politik yang diletakkan dengan baik. Namun, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, belum pernah ada kebijakan politik yang berhasil mempertemukan dengan baik pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial.
Dari waktu ke waktu menjadi pertanyaan begitu banyak orang: Sejauh manakah sudah keadilan sosial itu telah terwujud di Indonesia? Sub judul buku Revitalisasi Pancasila (Dr Midian Sirait, Kata Hasta Pustaka, 2008) dapat menjadi jawaban yang masih berlaku hingga kini. Bahwa Indonesia ini dihuni oleh “Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial”. Selanjutnya, beberapa penggambaran dalam buku tersebut masih akan dipinjam lebih jauh dalam tulisan ini dengan tambahan catatan lebih aktual.
Bangsa Indonesia berada dalam suatu posisi yang selain terjerat hutang luar negeri juga terjerat dengan angka kemiskinan yang besar dan bersamaan dengan itu memiliki angka pengangguran yang semakin tinggi. Hingga September 2014, hutang luar negeri berada pada angka 3000 triliun rupiah, dengan sekitar 70 persen di antaranya hutang swasta. Pemerintah sendiri telah mengambil dana masyarakat dalam negeri melalui surat berharga dengan nilai kurang lebih 1800 triliun rupiah.
Dari tahun ke tahun semakin banyak lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, tetapi sebagian besar tidak tertampung oleh lapangan perkerjaan yang tersedia. Semakin besar jumlah pengangguran ini, semakin besar pula tanggungan sosial yang harus dipikul. Dari sejak lima tahun yang lampau hingga kini, seorang yang bekerja harus menanggung biaya makan dan biaya hidup lainnya setidaknya untuk 6 orang dalam satu keluarga. Kesempatan bekerja semakin terbatas dengan terus bertambahnya manusia yang siap menjadi tenaga kerja. Dengan sendirinya, tingkat pendapatan juga semakin terbatas, sehingga kemiskinan pun akan bertambah, meskipun para pemerintah dari waktu ke waktu selalu menyebutkan adanya penurunan angka kemiskinan.
Sepintas kerapkali angka kemiskinan terlihat menurun, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah quasi miskin-tidak miskin. Banyak orang yang memiliki angka pendapatan yang bisa saja terlihat membaik, tetapi secara mendadak berkemampuan di bawah garis kelayakan dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya, pada tahun ajaran baru, atau saat terjadi gejolak harga komoditi yang menjadi kebutuhan pokok, entah harga cabai, minyak goreng, kelangkaan beras, kerumitan dan kenaikan tarif angkutan umum. Bila pemerintahan baru mendatang menurunkan subsidi BBM, yang esensinya berarti kenaikan harga BBM –dengan segala dampak non-ekonomisnya yang sebenarnya tidak rasional– untuk jangka waktu tertentu, banyak yang mendadak miskin kembali. Tak lain karena, mereka berada di perbatasan antara miskin dan tak miskin.
Tentang kemiskinan ini, menjelang akhir periode pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, tahun 2009, pemerintah pernah memberikan angka-angka yang menunjukkan menurunnya angka kemiskinan. Angka penurunan itu terjadi karena pengaruh bantuan langsung tunai (BLT) yang dibagi-bagikan pemerintah kepada rakyat miskin. Tetapi program itu hanya menurunkan angka kemiskinan untuk 2-3 bulan. Jadi bila dibuat statistik berdasarkan sensus pada 2-3 bulan setelah dibagikannya BLT, pasti angka kemiskinan itu menurun. Dan bila diteliti lagi 2-3 bulan sesudah itu, pasti akan menaik lagi, karena bantuan seperti itu takkan sempat digunakan secara produktif melainkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek menutup lubang akibat tekanan ekonomi yang berlangsung permanen. Menjadi semacam fatamorgana belaka.
Bagaimana caranya mengatasi kemiskinan itu? Pada tahun-tahun mendatang ini, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla akan menghadapi fakta persaingan yang makin ketat dengan negara-negara atau bangsa-bangsa lain. Bila terhadap kemajuan Cina dan India misalnya, kita tak mampu mengimbanginya, meskipun jumlah penduduk kita juga besar, kita akan makin terpuruk. Bangsa ini akan makin tertinggal.
Metoda Keadilan Sosial. Sebenarnya tersedia metoda yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan manusia Indonesia menghadapi persaingan, yakni keadilan sosial dari falsafah Pancasila. Ini bukan sekedar retorika, karena bisa dilaksanakan. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar seperempat miliar jangan sampai menjadi beban pembangunan, tetapi harus menjadi modal. Agar sumber daya manusia yang secara kuantitatif besar itu, bisa menjadi modal, maka kemampuan kualitatifnya harus bisa ditingkatkan.
Menurut keyakinan kaum sosial demokrat –istilah ini digunakan Dr Midian Sirait dalam buku itu– dengan membagi rata kemampuan pembangunan, maka akan makin meningkat pula pendapatan bangsa secara merata. PDIP yang menjadi tulang punggung utama pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, diakui atau tidak, semestinya tergolong kaum sosial-demokrat.
Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah menyebutkan rencana-rencana pembangunan infrastruktur yang akan dilaksanakan dengan cara padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Hal yang sama sebenarnya dijanjikan dalam kampanye-kampanye Jokowi-Jusuf Kalla maupun Prabowo-Hatta Rajasa. Dengan demikian, akan makin banyak orang memiliki pekerjaan. Pada masa mendatang ini yang harus diutamakan memang adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak yang mungkin bisa disediakan. Itu akan mengurangi angka kemiskinan. Barangkali, bila selama ini satu orang bekerja untuk menghidupi dan memberi makan enam orang dalam satu keluarga, maka nanti satu orang bekerja untuk menghidupi empat orang saja. Seterusnya meningkat untuk tiga orang saja, yakni untuk satu isteri dan satu anak.
Pencapaian seperti ini akan mengurangi ketegangan sosial di perbatasan gurun kemiskinan dengan oase kelompok kecil masyarakat kaya yang berkelimpahan secara ekonomis. Oase itu selama ini antara lain diisi para pemilik koleksi kendaraan mewah berharga miliaran rupiah, kaum bergaya hidup kelas tinggi dan pemilik pemukiman mewah berharga fantastis yang tak mungkin terjangkau kalangan akar rumput dalam angan-angan sekali pun.
Peningkatan harkat dan martabat manusia, dengan sendirinya juga mencipta solidaritas masyarakat karena kerja, sebagai bagian dari keadilan sosial. Kekuatan dari keadilan sosial akan memperkuat kemampuan manusia berproduksi. Kemampuan manusia itu bila dihubungkan dengan jumlah penduduk yang besar, akan membuat bangsa Indonesia survive. Karena itu, keadilan sosial sebagai bentuk peningkatan kemampuan bangsa, bukan hanya berarti membagi rata kekayaan republik. Tetapi, kekayaan republik, kekayaan alam dan tanah, dimanfaatkan untuk seluruh kegiatan demi meningkatkan kemampuan manusia, sekaligus meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Harkat dan martabat manusia serta kemampuan intelejensi bangsa ini, pada gilirannya akan lebih memperkuat lagi solidaritas satu sama lain sebagai satu bangsa.
Puisi dan Kereta Kencana. DALAM dunia retorika, yang dijejalkan para pemimpin selama 69 tahun Indonesia merdeka untuk ‘mengenyangkan’ batin rakyat di lapisan akar rumput, kehidupan Indonesia ini bisa indah bagai puisi. Dalam dunia akar rumput, angan-angan dan persuasi bernuansa dongeng kerapkali mampu menciptakan ekstase. Tokoh baru dalam kepemimpinan nasional, Joko Widodo, dipilih oleh separuh lebih rakyat pemilih sebagai antitesa gaya kepemimpinan elitis –yang mencitrakan diri dekat dengan rakyat tetapi sesungguhnya berjarak dalam kenyataan sehari-hari.
Tapi perlu meminjam Bung Hatta yang menyitir dalam bahasa Jerman, Zwischen Diechtung und Wahrheid, agar antara puisi dan kebenaran jangan terlalu jauh. Harus mendekatkan angan-angan dengan kenyataan, mendekatkan puisi dengan realita.
Prinsip keadilan sosial tentu tak hanya berarti pembagian-pembagian rezeki bagi masyarakat. Masyarakat juga harus dijamin kesehatannya, hari tuanya serta berbagai hal dasar lainnya, termasuk bidang pendidikan. Dua calon presiden dalam Pilpres yang baru lalu sama-sama menjanjikan hal-hal tersebut. Janji-janji jaminan sosial ini harus segera dibuktikan. Presiden yang bisa mengembangkan program dana sehat, dana pendidikan dan sebagainya dalam rangka jaminan-jaminan sosial, akan diingat sepanjang masa.
Di antara dua calon presiden yang ada, Jokowi yang terpilih. Tokoh yang kemunculannya bagaikan separuh dari dunia dongeng dan mitos Jawa ini –yang lahir dari kandungan wong cilik dan tersurat sebagai penyelamat negeri– ‘mengalahkan’ seorang tokoh atas yang lebih terbuka hitam-putih riwayatnya dalam catatan sejarah kontemporer Indonesia merdeka.
Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental. Dongeng dan mitos harus segera didekatkan dengan realita. (socio-politica.com)