“Ke dalam penafsiran manakah Megawati akan membawa dan memposisikan partainya dalam konteks partai ideologi? Dalam arti yang ‘terlalu sempit’ atau dalam arti yang ‘terlalu luas’? Pertanyaan lain, juga ditujukan kepada partai-partai politik lain yang ada di Indonesia sekarang ini: Apakah mereka partai-partai ideologis ataukah partai-partai program? Kerapkali tidak jelas. Dalam retorika politik saat mereka berkampanye, mereka berbicara –tepatnya, menyampaikan janji-janji– bagaikan partai program, dan betrsamaan dengan itu memperebutkan atau mempertengkarkan kekuasaan bagaikan partai ideologis di masa lampau”.
JIKA pemikiran-pemikiran baru yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara berakar pada penggalian nilai-nilai kebudayaan Indonesia sendiri, maka Mohammad Natsir yang pada dasarnya memiliki disiplin ilmu pengetahuan barat menambahkan dan menemukan pemikiran-pemikiran baru tentang Islam yang kemudian dikenal sebagai pemikiran modernisme Islam. Masih menurut Dr Alfian, sebagaimana pemikiran baru tentang kebudayaan, pemikiran modernisme Islam berusaha pula mencari relevansi baru dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama dengan tuntutan perubahan dan pembaharuan masyarakat.
Meski harus diakui bahwa pemikiran-pemikiran yang bersandar pada referensi barat, maupun yang dikembangkan dengan nilai-nilai dari akar budaya Indonesia, serta yang dikembangkan berdasar nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama, telah menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang orisinal, tetap saja ada perbenturan antar pemikiran baru itu yang kadangkala amat sulit dipertemukan. Salah satu penyebab utama adalah bahwa ideologi maupun ajaran-ajaran agama yang menjadi landasan dasarnya masing-masing memiliki sejumlah nilai dasar atau bahkan dogma yang tak dapat ditawar-tawar, sehingga sewaktu-waktu menyebabkan pencemaran dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Dalam pada itu, secara kultural atau pun dalam kebudayaan yang menjadi dasar tempat berpijak sebagai bangsa, terdapat benturan-benturan yang tak pernah berhasil dituntaskan. Sejumlah perbedaan sistim nilai yang terjadi secara horizontal di masyarakat tak berhasil dipertemukan melalui suatu dialog budaya yang bersungguh-sungguh dan dilakukan secara tekun. Padahal, para pemimpin masyarakat kala itu adalah tokoh-tokoh terbaik yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, memiliki kualitas integritas dan idealisme yang tak perlu disangsikan lagi. Berdasarkan pemikiran dan ideologi yang mereka yakini, masing-masing tokoh itu telah memiliki konsep untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Hanya persoalannya, menurut Drs Hatta Albanik Mpsi dar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, secara horizontal mereka gagal untuk mempertemukan gagasan-gagasan mereka yang berbeda satu dengan yang lainnya agar tercipta satu konsep bersama yang tuntas. Selain itu, agaknya di sana-sini secara vertikal juga terdapat kesulitan secara internal dalam kelompok-kelompok masyarakat, yakni antara para pemimpin dengan para pengikutnya, yang satu dan lain hal banyak terkait dengan adanya kesenjangan kualitas pemikiran akibat kesenjangan tingkat pendidikan antara elite pemimpin dengan rakyat pada umumnya. Kadangkala, sejumlah pemimpin ‘terpaksa’ mempergunakan pendekatan yang primordial baik berdasarkan keagamaan, etnis, feodalisme dan pemberian pemahaman ideologi dengan penekanan pada aspek loyalitas, yang pada mulanya dimaksudkan sebagai satu tindakan ‘taktis’ atau kompromi dengan massa yang bersifat sementara. Tetapi tatkala tindakan-tindakan taktis itu berlangsung terlalu lama, sehingga sadar atau tidak justru bekerja kembali secara kontra produktif dan menghalangi pendidikan politik yang sehat bagi rakyat, maka lama-kelamaan simpul-simpul sementaranya menjadi ketat dan bersifat menjerat.
Soekarno yang mempunyai referensi yang luas dari pemikir-pemikir barat, sekaligus disertai pendalaman filsafat timur, dan karenanya berhasil memperlihatkan warna lain dalam pemikiran-pemikirannya, bisa membaca dengan baik semua proses yang berlangsung dalam masyarakat itu. Dalam proses ‘pembacaan’ itu ia menemukan terdapatnya sejumlah potensi desintegratif di tengah masyarakat yang perlu penanganan dini. Khususnya pada masa pra proklamasi, Soekarno juga melihat gelagat mengkhawatirkan dari dinamika perkembangan berbagai aliran pemikiran yang tampak berjalan sendiri-sendiri secara terpisah-pisah yang mudah mengundang perselisihan faham dan pertentangan pendapat. Tetapi pada sisi lain, karena merasa sudah memahami betul dinamika berbagai aliran pemikiran yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat itu, maka Soekarno masih memiliki keyakinan yang cukup kuat tentang kemampuan bangsanya yang majemuk untuk membangun diri sendiri.
Pemikiran yang kemudian berkecamuk dalam kepala Soekarno adalah bagaimana caranya berbagai aliran pemikiran yang dilandasi oleh berbagai corak nilai bisa dipertemukan dalam suatu konsep pandangan hidup bersama tanpa menghilangkan dinamika yang sehat yang terkandung dalam diri masing-masing fihak. Dari situ Soekarno mulai membangun kerangka pemikirannya ke dalam suatu konsep baru pandangan hidup bersama yang menghimpun nilai-nilai dasar yang terkandung dalam berbagai aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat menjadi satu rangkaian yang tak terpisah-pisah. Kristalisasi dari pemikirannya, yang juga merupakan hasil pekerjaan menghimpun berbagai pemikiran yang hidup di masyarakat dan dalam pikiran sejumlah tokoh yang menjadi pendiri bangsa, dipaparkannya dalam pidato 1 Juli 1945, tentang Pancasila, yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Namun pada saat yang sama, Soekarno tidak pernah melakukan analisa dan penjelajahan pemikiran yang memadai tentang kebudayaan. Sehingga, sama dengan sejumlah tokoh lain yang menjadi pendiri bangsa ini, ia tidak begitu ‘mau’ mendalami fakta benturan kebudayaan, dan tak banyak berbuat untuk membangun dialog sebagai solusi menyelesaikan aneka konflik kebudayaan dan sistim nilai.
Satu dan lain hal, mungkin inilah pula kenapa Pancasila ini ternyata mengalami nasib yang penuh pasang surut dalam eksistensinya. Meminjam istilah Muhammad Yamin, suatu konsepsi akan menjadi sebatang kayu yang ditancapkan di tengah-tengah padang pasir, jikalau tidak untuk dilaksanakan atau dipergunakan, itulah yang kemudian dialami Pancasila. Padahal, seperti kata Muhammad Yamin lebih jauh, falsafah negara yang bernama Pancasila ideal sebagai dasar negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam fakta dan pengalaman empiris, khususnya dalam masa setelah proklamasi terutama setelah tahun 1950, kalau tidak dijadikan sekedar retorika, maka Pancasila disalahartikan, bahkan disalahgunakan, dan tak pernah mendapat kesempatan untuk memperoleh perumusan implementasi secara final dan menjadi suatu konsensus nasional dengan posisi sekuat misalnya nilai-nilai dalam rumusan Declaration of Independence di Amerika Serikat. Belum lagi, rentetan upaya yang tak habis-habisnya untuk meniadakan dan menggantikannya dengan ideologi lain dalam posisi sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa.
Ketidakberhasilan penuntasan rumusan implementasi dan kegagalan pencapaian konsensus nasional yang final mengenai posisi Pancasila sebagai ideologi negara, menyebabkan berbagai kekuatan politik di Indonesia tetap mendua dengan mempertahankan politik aliran mereka berdasar ideologi yang mereka anut sejak mula. Sebaliknya, sikap mendua itu pada gilirannya memperkuat kembali kadar kegagalan dalam menuntaskan implementasi dan konsensus mengenai Pancasila. Di masa kekuasaan Soekarno, khususnya 1959-1965, struktur politik Nasakom memperkuat dan menyuburkan pola kepartaian yang ideologistis. Suatu keadaan yang sudah mengakar dan terasa melajur melintasi waktu ke masa-masa kekuasaan berikutnya hingga kini, dengan segala kesulitan yang diakibatkannya. Partai-partai terbagi dalam tiga kelompok besar ideologi –nasionalisme yang terdiri atas berbagai aliran, ideologi-ideologi berdasar agama, baik Islam maupun Kristen-Katolik, serta komunisme– dan pada waktu yang sama masih hidup pula berbagai aliran sosialisme non komunis meskipun dalam kondisi yang sulit dan tertekan oleh kekuasaan dan PKI sebagai pemegang hegemoni kehidupan politik.
Apakah ideologi itu ? Kita perlu meminjam uraian mengenai ideologi menurut Encyclopaedia Politik (Rahman Tolleng, Mingguan Mahasiswa Indonesia, 1967). Berasal dari suatu kata Yunani, ideologi terdiri dari rangkaian kata eidos dan logos. Eidos berarti pandangan, pikiran atau idea (gagasan), sedangkan logos yang di sini berubah menjadi logia, berarti pengertian atau ilmu pengetahuan. Jadi ideologi berarti the science of idea atau “ilmu pengetahuan tentang gagasan”. Pembatasan ini masih terlalu sederhana. Ideologi adalah kesatuan dari banyak idea atau kompleks dari sejumlah idea, dan kesatuan ini diperoleh melalui dan di dalam logos. Pengertianlah yang mempersatukan kompleks idea tadi dalam satu rangkaian, dalam satu sistem. Kita berbicara tentang satu sistem, bila banyak hal dilihat sebagai satu totalitas (keseluruhan), di mana setiap bagian mempunyai tempat dan makna tertentu di dalam keseluruhan itu serta terhadap satu sama lain. Dan apakah yang dimaksud idea di sini ? Idea dalam suatu ideologi bukanlah sembarang idea, tetapi idea-idea yang (dianggap) mengandung nilai-nilai luhur, idea-idea yang azasi, yang fundamental. Dan idea-idea itu adalah pikiran tentang hidup, tentang manusia dan dunia.
Selanjutnya ideologi bisa dirumuskan sebagai “suatu kompleks idea-idea azasi tentang manusia dan dunia”. Pembatasan ini hampir sama dengan definisi yang umum terdapat, seperti yang dikutip Paul E. Sigmund Jr dalam bukunya The Ideologies of the Developing Countries, yaitu “a systematic scheme or coordinated body of ideas about human life or culture” – satu rencana sistematik atau badan yang dikoordinasikan dari idea-idea tentang kehidupan manusia dan kebudayaan. Menurut Sigmund, definisi seperti ini nampaknya menyamakan antara ideologi dengan filsafat atau teori sosial. Akan tetapi, dalam pemakaian yang lazim, istilah ideologi mengandung makna tambahan, yaitu adanya unsur commitment, emosional maupun intelektual, unsur action orientation (orientasi kegiatan) dan bahkan unsur distortion (pemutarbalikan) yang disengaja atau tidak disengaja atas fakta-fakta agar sesuai dengan suatu doktrin yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Di samping sebagai suatu pengertian, ideologi memang merupakan pula pedoman dan cita-cita. Sebagai pedoman, berarti bahwa ideologi itu dijadikan pola atau norma hidup. Sedangkan sebagai cita-cita, maka pelaksanaan dari ideologi itu dianggap suatu kebesaran atau keluhuran. Di sinilah terletak keterangan, mengapa dalam suatu ideologi terkandung pula unsur commitment dan action orientation, malahan demi mengejar keluhuran itu, para penganutnya sering cenderung untuk memutarbalikkan fakta supaya cocok dengan doktrin ideologinya. Hal ini terutama terlihat dalam ideologi-ideologi totaliter, seperti komunisme. Tidak terkecuali, kalau para penganut dari suatu ideologi sudah dimasuki pula dasar kepentingan, yaitu menganut ideologi karena menguntungkan. Baik buruknya suatu ideologi tergantung kepada isinya, apakah betul-betul mencerminkan realitas atau tidak. Tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa ideologi dianut karena adanya keyakinan bahwa ideologi itu ‘benar’. Adanya aspek kebenaran ini yang di sini diartikan secara relatif, adalah ciri-ciri dari ideologi. Begitu pula sebagai suatu cita-cita, ideologi didasarkan atas pandangan yang azasi, walaupun belum tentu bahwa apa yang dianggap azasi itu betul-betul azasi. Kaum Nazi di Jerman umpamanya, menganut Naziisme, karena adanya keyakinan mereka akan ‘kebenaran’ ideologinya, meskipun sejarah kemudian membuktikan betapa jahatnya ideologi ini. Karl Mannheim dalam bukunya Ideology and Utopia membedakan antara ideologi dan utopia. Menurut Mannheim, the process of thought atau proses berpikir adalah utopian, kalau menerima rangsangan tidak dari kekuatan langsung realita sosial, tetapi konsepsi-konsepsi, seperti simbol-simbol, khayalan dan lain sebagainya. Sedangkan ideologi bertolak pangkal kepada realita sosial itu.
Dalam konteks Indonesia, menurut Rahman Tolleng, sebagai akibat dari pertarungan-pertarungan antar golongan yang tidak sehat, maka pada beberapa tahun terakhir di akhir masa Soekarno dan awal masa Soeharto, apa yang disebut ‘ideologi’ kehilangan pamor di kalangan rakyat. Dikatakan, bahwa pola kepartaian harus dirombak dari ideologische-centris ke programma-centris. Agaknya di sini telah dipergunakan istilah ideologi yang di satu pihak terlalu sempit, tetapi di lain pihak adalah terlalu luas. Terlalu sempit, karena ideologi ditafsirkan dalam arti buruk, dan terlalu luas karena masih merupakan tandatanya apakah memang semua partai politik di Indonesia menganut suatu ideologi tertentu. “Dalam prakteknya, kita menyaksikan selama ini, bahwa banyak partai-partai ngawur dalam garis perjuangannya”.
Ke dalam penafsiran manakah Megawati akan membawa dan memposisikan partainya dalam konteks partai ideologi? Dalam arti yang ‘terlalu sempit’ atau dalam arti yang ‘terlalu luas’? Pertanyaan lain, juga ditujukan kepada partai-partai politik lain yang ada di Indonesia sekarang ini: Apakah mereka partai-partai ideologis ataukah partai-partai program? Kerapkali tidak jelas. Dalam retorika politik saat mereka berkampanye, mereka berbicara –tepatnya, menyampaikan janji-janji– bagaikan partai program, dan betrsamaan dengan itu memperebutkan atau mempertengkarkan kekuasaan bagaikan partai ideologis di masa lampau.
Berlanjut ke Bagian 3
Mantap nih infonya, jadi tambah ilmu lagi…. hehehe…
makasih ya….