SEHARUSNYA, begitu Adi Bing Slamet –selebriti, putera pelawak terkenal di masa lampau– ‘sadar’ telah dirugikan, dibodohi, atau entah ditipu bertahun-tahun lamanya oleh Eyang Subur, tindakan pertamanya mestilah menempuh jalur hukum. Bukannya malah mencari panggung publikasi. Tapi bisa jadi para selebrities memang lebih percaya –kalau bukan lebih suka– mencari ‘penyelesaian’ heboh melalui media (infotainmen) daripada melalui jalan hukum yang sering dipersepsi serba rumit dengan sampingan ‘macam-macam’.
Pilihan Adi Bing Slamet ‘memerangi’ Eyang Subur melalui media, ternyata berkembang sebagai polemik antar pihak yang juga mengundang keikutsertaan pihak ketiga, yang untuk sebagian terasa sangat vulgar. Sedemikian vulgar, sehingga banyak kalangan masyarakat yang meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meminta media, khususnya media televisi, menghentikan penayangan yang terkait dengan kasus itu. Tapi, dalam situasi itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru tergesa-gesa masuk ke tengah persoalan yang belum terlalu jelas ujung pangkalnya tersebut dan terkesan segera berpihak karena kepekaan alergisnya terhadap terminologi ‘sesat’.

Permintaan masyarakat itu cukup masuk akal. Di dalam ‘lajur frekuensi dan kolom’ yang digunakan media terdapat hak masyarakat. ‘Kolom’ dan ‘lajur’ itu tak bisa digunakan semena-mena dan seenaknya oleh para penyelenggara siaran. Tak layak untuk menjejalkan informasi-informasi sampah atau format-format komunikasi lainnya yang bersifat membodohkan, menyesatkan, tak beradab, saling mempermalukan secara tak pantas dan tak etis, atau bahkan sadistis.
Penyelenggara media menurut kriteria komunikasi maupun jurnalistik yang sehat, dalam konteks penghargaannya terhadap demokrasi, berkewajiban setidaknya secara moral, untuk melindungi masyarakat dari polusi pemberitaan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Memang tak perlu ada kekuasaan dan atau penguasa seperti halnya Departemen Penerangan dan Kopkamtib di masa lampau, yang merasa berhak dan berwenang menentukan mana yang pantas dan mana yang tak pantas disiarkan. Akan tetapi, bila media atau pers pada umumnya tak mampu menggunakan kebebasannya secara baik dan benar, termasuk dalam menentukan mana yang pantas dan mana yang tak pantas dilontarkan ke tengah masyarakat, pada waktunya akan muncul antitesa untuk menindakinya, entah dari kalangan kekuasaan, entah dari masyarakat yang jenuh dengan polusi yang disalurkan media.
Dan antitesa itu memang lahir juga di masyarakat, tapi dalam bentuk lain, gambar plesetan yang bersifat seloroh. Karena kasus perseteruan Eyang Subur dan Adi Bing Slamet merebak hampir bersamaan waktu dengan penyerangan LP Cebongan di Sleman oleh 11 personil Kopassus, entah mengapa, gambar Eyang ditampilkan berpakaian seragam kesatuan tersebut. Mungkin ada kandungan kritiknya juga. Tapi seloroh ini hendaknya diterima saja sebagai intermezzo untuk mengurangi ketegangan di dalam kepala kita semua.
TELEVISI swasta yang mengkhususkan diri sebagai televisi berita dan penyaji talking news, tvOne, Sabtu 20 April 2013, menampilkan 4 narasumber untuk membahas perkembangan terakhir perseteruan Eyang Subur-Adi Bing Slamet. Semua pihak, seakan terwakili dalam wawancara yang lebih mirip ajang pertengkaran ala pokrol bambu tersebut. Ada penasehat hukum Adi Bing Slamet, ada penasehat hukum Eyang Subur, ada seorang ustadz dari MUI dan seorang lainnya yang diperkenalkan sebagai pengamat. Kedua penasehat hukum tak hentinya saling melecehkan secara tak pantas dan sudah mengarah saling serang dan saling hina secara pribadi. Sang pengamat, terkesan tak kompeten, lebih mirip pembela dan pembenar bagi segala pendapat MUI. Sementara itu, ustadz yang ‘mewakili’ MUI di forum itu, meskipun berulang-ulang mengatakan MUI belum memberi kesimpulan tentang Eyang Subur, sudah mendahului institusinya untuk memberi kesimpulan pribadi bahwa Eyang Subur sesat dan karenanya harus mengaku bersalah dan bertobat.
‘Pertengkaran’ antara Eyang Subur dan Adi Bing Slamet, tak akan diulas banyak dalam tulisan ini. Toh kedua-duanya sudah mengadu ke mana-mana, termasuk ke kalangan penegak hukum. Jadi, biarkan masalahnya diselesaikan secara hukum, semoga dengan cara yang baik, benar dan masuk akal. Namun, campur tangan MUI barangkali perlu diberi beberapa catatan.
SEPANJANG yang disampaikan ustadz yang mewakili MUI dalam wawancara segi empat di tvOne itu, terkesan bahwa Eyang Subur telah diadili kedalaman keyakinan dan atau pengetahuan agamanya oleh MUI. Eyang Subur antara lain dites kemampuannya menghafal Surat Al Fatihah. Karena dianggap tak menghafal surat yang selalu dilafalkan ketika melakukan shalat 5 waktu itu, tampaknya muncul anggapan bahwa ke-Islam-an yang bersangkutan pantas diragukan, dan karenanya bisa dianggap sesat. Karena sesat, harus mengaku bersalah dan dengan demikian mesti melakukan pertobatan.
Apakah MUI tidak melangkah terlalu jauh? Mengadili pengetahuan agama dan keyakinan agama orang lain orang per orang? Dari mana MUI memperoleh hak untuk melakukan peradilan seperti itu? MUI jangan sampai tergelincir menjadi seperti organisasi kemasyarakatan tertentu yang berpretensi seolah-olah menjadi wakil Tuhan di dunia untuk mengadili moral maupun keyakinan agama orang lain. Lalu, dengan berani memutuskan seseorang atau sekelompok orang telah sesat dan ingkar kepadaNya, sekaligus melaksanakan eksekusinya.
Menurut konstruksi negara hukum yang kita anut, dalam batas tertentu beberapa masalah kesesatan keagamaan, dengan sangat berhati-hati bisa diadili oleh lembaga peradilan negara. Bilamana peradilan itu dilakukan juga, MUI hanya berposisi sebagai kelompok saksi ahli, katakanlah saksi ahli yang penting.
BAGAIMANA dan dengan apa kaum cerdik cendekiawan Islam sebaiknya menghadapi orang-orang yang dianggap tipis iman dan rasa keagamaannya, bahkan berbeda keyakinannya? Hanya satu, kearifan yang ditopang kecerdasan.
Sebagai catatan penutup, kita meminjam sepenggal kalimat dalam kata pengantar seorang anak muda, Taufiq Djamidin, dalam buku “Tragedi Pembunuhan 3 Khalifah – Awal Perpecahan Islam” (2009). Buku itu ditulis sang anak muda –yang lahir dan dibesarkan di sudut tenggara negara kita, Kupang– empat tahun lalu saat berusia 28 tahun.
“Bahwa Islam adalah bahasa persatuan, bahasa kedamaian, bahasa indah nan tegas, yang memperbaiki, bukan menghancurkan, merangkul dan bukan mencekik, bahasa yang tidak mengenal pihak lain sebagai musuh melainkan semata karena belum tahu.”
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)
harusnya si subur berterima kasih sm adi bing slamet,krn di hari tuanya ada yg mengingatkan,utk kembali ke jalan yg benar,kalau memang dia mengaku muslim.mungkin jalannya hrus begitu utk kembali ke jalan yg benar,semoga Allah SWT membuka mata dan hatinya,semua itu pasti ada hikmahnya
Ono-ono wae…Permusuhan dan kebencian diexpose besar-besaran..Ciri-ciri bangsa yang susah maju.
Infotainment itu kadang dilematis. Dia dibenci sebagian masyarakat, tapi sebenarnya disukai juga. Buktinya, infotainment –yang sering menampilkan berita-berita tidak penting itu– tetap eksis bertahun-tahun, bahkan menjamur di berbagai TV swasta. Penyebabnya tak lain adalah karena banyak disukai masyarakat (laku).
Kasus perseteruan Subur dan Adi yang gencar diberitakan infotainment diprotes masyarakat dan dilaporkan ke KPI. Pertanyaan saya: Apakah “masyarakat” yang melapor itu mewakili masyarakat? Kalo kita bicara “masyarakat”, kita bicara ratusan juta orang pemirsa infotainment, bukan segelintir orang. Fakta di lingkungan saya, ibu-ibu dan remaja putri penggemar infotainment, masih banyak yang menggemari kisah perseteruan Subur dan Adi. Dan pada dasarnya mereka memang fansnya infotainment (dan sinetron).
Saya setuju bahwa kasus perseteruan Subur dan Adi adalah kasus sampah yang tidak penting. Bahkan secara umum, sebagian besar yang diberitakan infotainment itu hal-hal yang tidak penting. Tapi dari sisi dagang, kasus ini menjual dan bisa jadi duit. Maraknya kasus ini di infotaintment, merupakan indikasi bahwa banyak masyarakat menyukai. Betul bahwa ada masyarakat yang protes, tapi seberapa banyak? Apakah mereka mewakili seluruh pemirsa infotainment?
Fenomena infotainment itu sebenernya bukan fenomena searah, tapi fenomena dua arah (timbal balik). Infotainment ada dan tetap eksis, karena banyak disukai. Sama kayak sinetron. Banyak sinetron di TV tidak bermutu, tapi mereka tetep ada bahkan bisa sampe beberapa jilid. Kenapa? Karena banyak disukai. Okelah, kita nggak suka nonton begituan. Itu kan “kita”, dan kita tidak mewakili pemirsa TV. Kita tidak suka karena bukan segmen acara begituan. Dan acara begituan memiliki segmen pemirsa sendiri.
Buat saya, eksploitasi kasus Subur dan Adi murni motivasi dagang. Sejauh tidak ada unsur pornografi, kekerasan, atau kata-kata yang kasar, saya pikir tidak perlu diprotes. Biarkan saja, nanti juga hilang sendiri pada waktunya. Infotainment, dari aspek dagang, punya positioning dan segmen audience sendiri. Perkara bahwa kita nggak suka, itu karena kita memang bukan target audience dari infotainment.
SALUT KEPADA DANJEN KOPASSUS, MAYJEND TNI SUBUR bin AMBURADUL