Tag Archives: Pansus

A Never Ending Story: Kisah Korupsi di Asia (3)

“Tatkala negara kecil Laos yang telah sekian lama menderita digerogoti oleh ekses ‘hak-hak istimewa’, pemerintah membentuk apa yang mereka sebut ‘Satgas Polisi Ekonomi’, tak perlu waktu lama sebelum anggota-anggota Satgas ini ‘menuntut’ pembagian rezeki dari pengusaha-pengusaha ‘nakal’ yang justru seharusnya diselidikinya”. “Satgas Parasit Ekonomi!”, ujar seorang pedagang di Vientiane dengan penuh marah. “Bentuk pemerasan dan penyuapan seperti inilah yang saya tidak mau membayarnya”.

MUANGTHAI sekitar 1966 adalah sebuah negeri yang ‘dimanjakan’ aliran dana Amerika Serikat yang seakan tak terbatas, karena posisimya yang strategis sebagai pangkalan militer AS menghadapi Vietnam Utara. Dengan senang hati para penghuni negeri itu menikmati gelimangan uang dalam libatan jalinan korupsi yang paling institusional di antara negara-negara di Asia pada umumnya.

Dwifungsi dan Pansus. Sejak dulu kala, para pejabat Muangthai telah meningkatkan penghasilan pribadi mereka melalui cara resmi dan dianggap sah dengan ‘menuai pajak’, yaitu dengan mengumpulkan secara terbuka sejumlah uang atau barang-barang dari para petani atau penduduk desa. Pada waktu itu, setiap orang berharap dapat menaikkan penghasilannya dengan mempergunakan pengaruh jabatannya secara cerdik. Seorang jenderal yang berdwifungsi menjalankan Organisasi Kepariwisataan milik pemerintah, misalnya, juga melayani tamu-tamu di meja pelayanan kantor Siam International Hotel milik pribadinya.

Di Udorn, di mana pesawat-pesawat jet Amerika Serikat lepas landas untuk membombardir Vietnam Utara, komandan pangkalan udara Muangthai memiliki perusahaan bus setempat. Di tempat lain, bernama Korat yang merupakan salah satu pusat operasional militer Amerika Serikat, tak seorangpun bisa membuka usaha night club tanpa ‘melukai’ kepentingan jenderal Panglima Tentara Kedua Kerajaan Thai.

Bagi orang-orang Thai pada umumnya, persoalan tidak atau masuk ke dalam korupsi hanyalah soal tahapan. “Ada perbedaan antara korupsi dan hak istimewa .”, kata seorang kalangan pendidik di negeri itu. “Tahap korupsi dicapai kalau seseorang menjadi serakah dan mengambil terlalu banyak”. Maka, ketika Perdana Menteri Sarit Thanarat masih hidup, tak ada orang yang ambil pusing tentang keuntungan-keuntungan yang nyata-nyata didapatkan olehnya dan oleh sanak saudaranya, dari kedudukannya. PM Sarit mendapatkan bagiannya melalui fasilitas-fasilitas yang diberikan pada perusahaan sutra miliknya. Sejumlah keponakan, paman-paman dan ipar-ipar menguasai 15 buah perusahaan dagang yang mendapat konsesi-konsesi pemerintah. Namun kematian Sarit Thanarat diikuti dengan kepahitan. Terungkap bahwa sebanyak 29 juta dollar AS dari dana pemerintah telah masuk ke sakunya. Sebagian dari uang itu antara lain digunakan untuk membiayai seratus orang ‘isteri muda’ atau gundiknya. Tak seorangpun bisa memungkiri ‘keahlian’nya  di bidang pemerintahan. Hanya persoalannya, ia terlalu banyak menggaji dirinya sendiri. Pemerintah yang menghadapi fakta tak menyenangkan itu membentuk Pansus (Panitia Khusus) untuk menyelidiki kekayaan Sarit Thanarat. Tetapi seperti lazimnya, hasil penyelidikan itu tak pernah diumumkan.

Dengan segala kejadian itu, kecenderungan orang Asia selama ini untuk menganggap penyelewengan sebagai suatu hal yang biasa, pada saat berikutnya sudah lebih disadari sebagai kesalahan yang merugikan. Raja Thai, Bumibol Adulyadej mengkontribusikan suaranya untuk meredakan kegelisahan publik yang makin membesar. “Saya sedang berusaha sekuat tenaga untuk mencari cara pemecahan soal korupsi ini”, ujarnya kepada sekelompok mahasiswa gerakan kritis. Mahasiswa menuntut diterapkan hukuman mati bagi para koruptor. Raja lalu menjawab sambil berseloroh, “Kalau kita memecahkan masalah korupsi itu dengan menjatuhkan hukuman mati, maka Muangthai hanya akan tinggal berpenduduk beberapa orang saja”.

Negeri-negeri Asia lainnya menunjukkan kegelisahan yang meningkat mengenai masalah korupsi. Untuk sebagian kegelisahan itu merupakan hasil persentuhan mereka dengan sistem nilai dan pengetahuan mereka tentang persepsi tata nilai susila Barat. Pada suatu saat di masa lampau tindakan mencuri dari pemerintah kolonial atau penguasa pendudukan militer asing, hampir sah merupakan tindakan yang sepenuhnya patriotik. Tetapi dalih dan persepsi itu kini sudah pudar. Yang tinggal adalah ‘ajaran’ kaum kolonial tentang jahatnya korupsi. Dan merupakan peringatan sehari-hari, bahwa dengan melakukan atau membiarkan korupsi, rakyat negeri bekas jajahan hanya akan merugikan dirinya sendiri.

Pada pertengahan tahun 1960-an, Pemerintah Malaysia mengorganisir ‘Bulan Kejujuran’ untuk meresapkan rasa tanggung jawab pada diri pegawai-pegawai pemerintah. Setelah dilakukan serangkaian ceraman intensif, untuk sementara terlihat adanya perbaikan yang cukup besar. Tetapi kampanye serupa di beberapa negara Asia lainnya, tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Tatkala negara kecil Laos yang telah sekian lama menderita digerogoti oleh ekses ‘hak-hak istimewa’ kalangan kekuasaan, pemerintah membentuk apa yang mereka sebut ‘Satgas Polisi Ekonomi’. Tapi, tak perlu waktu lama sebelum anggota-anggota Satgas ini ‘menuntut’ pembagian rezeki dari pengusaha-pengusaha ‘nakal’ yang justru seharusnya mereka selidiki. “Satgas Parasit Ekonomi!”, ujar seorang pedagang di Vientiane dengan penuh amarah. “Bentuk pemerasan dan penyuapan seperti inilah yang saya tidak mau membayarnya”.

Tahun 1965 rangkaian skandal ‘Kabut Hitam’ yang terjadi di Jepang –yang melibatkan sejumlah menteri kabinet– memicu begitu banyak kegaduhan di masyarakat. Di tengah hujan kecaman, PM Eisaku Sato dalam pidato pada Musyawarah Bahan Makanan ke-53, demi mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, berjanji untuk melakukan “penyelidikan intensif dan tindakan tegas”.

Berlanjut ke Bagian 4

Pemimpin Yang ‘Tak Pernah Salah’: Meski Musim Telah Berganti

“Meskipun musim telah berganti, sepanjang tingkat dan kadar kualitas para pelakunya yang sejauh ini pada hakekatnya masih lebih dipengaruhi oleh faktor emosional daripada sikap rasional, maka secara formal para pemimpin kekuasaan masih akan selalu ‘benar’ dalam kehidupan politik nyata saat ini”.

TAK HANYA sekali dua kali, tetapi sudah seringkali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ‘mengeluh’ –atau barangkali lebih tepat disebut menyampaikan kekesalan– terhadap berbagai kritik yang bernada menimpakan kesalahan atas dirinya. Beberapa di antara lontaran kecaman itu dianggapnya sebagai fitnah, seperti misalnya dalam kaitan kasus Bank Century.

Di masa lampau, sepanjang yang dapat dicatat dari pengalaman empiris Indonesia, para pemimpin –setidaknya yang sebagaimana yang dialami Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto– selalu ‘benar’, tak pernah ‘salah’. Selalu ada pembenaran bagi sang pemimpin dalam berbagai rentetan peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu pada masa kekuasaan mereka. Menjelang kejatuhan dan atau setelah jatuh dari kekuasaan, barulah mereka ‘salah’. Rupanya musim telah berganti. Kini, masih sedang berkuasa, Susilo Bambang Yudhoyono, seperti yang dikeluhkannya sendiri, sudah seringkali dipersalahkan, bahkan merasa senatiasa jadi sasaran ‘fitnah’.

SUASANA Indonesia masa lampau tatkala para pemimpin ‘tak pernah salah’ itu, tercermin dan tergambarkan dengan baik analogi psikologisnya dalam sebuah ‘esei’ tentang kekuasaan raja. Esai ini ditulis seorang cendekiawan muda, MT Zen, yang mengalami masa penuh pertarungan dan keresahan akibat politisasi di kampus perguruan tinggi era Nasakom di masa kekuasaan Soekarno. Tulisan tersebut berjudul ‘Kubunuh Baginda Raja’, dimuat Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, Juli 1966, dan pernah dikutip di blog ini. Tulisan ini, selain menjejak balik ke kurun beberapa tahun sebelumnya, bahkan juga mampu merentangkan benang merah analogi hingga ke masa-masa kekuasaan berikutnya dan mungkin terasa kebenaran maknanya hingga ‘kini’.

Kisah pijakannya diangkat dari peristiwa sejarah di Perancis pada tahun-tahun terakhir abad kedelapanbelas, dari zaman Romawi dan kisah kekuasaan abad-abad yang lebih baru, berikut ini. Dari seluruh pelosok pedalaman, dari perbukitan dan dataran tanah Perancis, angin membawakan jeritan dan keluhan yang menyayat hati: “…. if the King only knew ! ” – ….. jika Baginda Raja mengetahui. Demikian juga di Rusia lebih dari seratus tahun kemudian. Dari dataran steppe hingga ke padang salju Siberia, terdengar keluhan dan rintihan yang senada. “…. if the Czar only knew !”. Jadi nyatalah disini bahwa rakyat pada mulanya mempunyai kepercayaan sekiranya Baginda Raja mengetahui tentang nasib mereka, niscaya Raja akan menghukum para menteri yang bersalah serta menolong rakyat yang tertindas. “Bukankah Raja itu wakil dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ?”.

Tetapi sayang ! …. Sayang sekali ! Pertolongan yang dinantikan tak kunjung datang dari sang Raja. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa Baginda Raja telah melupakan mereka, telah meninggalkan mereka, telah meremehkan mereka dan telah mengkhianati mereka. Mereka tidak mengerti dan tidak mau mengerti bahwa Baginda Raja sendirilah yang terutama mengkhianati dan berdosa kepada mereka….. Baginda Raja dengan penuh kesadaran telah membiarkan para menteri dan para bangsawan menindas rakyat untuk kepentingan sang Raja, agar Baginda Raja senantiasa berdendang dan menari di atas jubin batu pualam dan diterangi oleh ribuan chandelier bersama seribu bidadari. “Sebagai akibat dari perkosaan terhadap rakyat maka terjadilah drama berdarah di Palace de la Revolution pada Senin pagi di tahun 1793. Darah rakyat ditebus dengan darah Raja”. Menurut logika, sesuai dengan kemajuan pengetahuan dan peradaban umat manusia, seharusnya Raja dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu Raja dengan kekuasaan absolut  tidak ada lagi dan tidak boleh ada. Raja dengan kekuasaan mutlak adalah kejahatan sejarah, bertentangan dengan azas-azas kemanusiaan dan harus disingkirkan.

“Sebenarnya kebencian manusia terhadap kekuasaan mutlak telah juga dicetuskan oleh orang-orang Romawi dan Yunani beberapa ribu tahun yang lalu. Contoh yang terbaik dari zaman Romawi adalah pembunuhan Julius Caesar oleh Marcus Brutus, anak angkat dan kesayangan Caesar sendiri. Satu-satunya motif yang diberikan oleh Brutus kenapa ia sampai hati untuk membunuh Caesar dapat dilihat dari pidato singkatnya sesudah terjadi pembunuhan tersebut. Sebagaimana dilukiskan oleh Sheakespeare, pidato tersebut berbunyi antara lain: “Sekiranya dari sekumpulan ini ada seorang teman dari Caesar, kuhendak berkata kepadanya bahwa cintaku terhadap Caesar tidak kurang dari cintanya kepada Caesar. Tetapi sekiranya ia akan menanyakan lagi kenapa sampai ku berontak terhadap Caesar, inilah jawabanku: Bukan karena aku kurang mencintai Caesar, tetapi karena ku lebih cinta kepada tanah air. Apakah kalian lebih senang pabila Caesar terus hidup dan kalian mati sebagai budak belian, daripada Caesar mati tetapi kalian akan hidup sebagai manusia bebas ?”.

“Nyatalah di sini bahwa kebencian manusia kepada kekuasaan mutlak dan pemerintahan sewenang-wenang bukan monopoli orang-orang revolusi Perancis ataupun orang dari abad kesembilanbelas. Kebencian terhadap kekuasaan mutlak adalah ciri khas dari rakyat dan bangsa yang beradab. Sedangkan pemujaan terhadap kekuasaan mutlak dan pemujaan perorangan adalah ciri khas dari bangsa barbar”. Tetapi yang mengherankan adalah kenyataan bahwa di dunia modern ini masih banyak manusia modern yang bersifat biadab. Karena kenyataannya ialah bahwa masih selalu timbul ‘Raja’ dalam bentuk Fuhrer (Hitler), Duche (Mussolini), Ketua Partai (Stalin) dan…. dalam bentuk Presiden dari suatu Republik.

“Semua warga Indonesia adalah pemilik syah dari Republik Indonesia, maka dari itu harus pula bertanggungjawab. Pakailah common sense dan kritik yang sehat agar hakmu tidak diperkosa oleh siapa pun juga, waspada lah dari sekarang selagi masih belum terlambat, agar jangan sampai pada suatu ketika engkau dipaksakan oleh sejarah untuk melakukan sesuatu yang membuat bangsamu yang kini dikenal sebagai ‘het zachtste volk teraarde’ –bangsa yang paling lembut di dunia– nanti dikenal sebagai bangsa yang tangannya  dinodai oleh darah Baginda Raja”. Demikian sebagian tulisan MT Zen.

Wujud kepercayaan kepada Raja yang dilahirkan melalui kalimat “if the King only knew”, kerap lahir dalam bentuk lain berupa anggapan yang terkandung dalam ungkapan yang pernah dikutip Harry Tjan Silalahi, “plus Royaliste que le Roi”, yang berarti bahwa “anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri”. Tapi sejarah menunjukkan pula, seringkali memang sang Raja –atau sang Pemimpin– sendiri lah yang merupakan sumber masalah dan bencana. Apalagi bilamana sikap feodal masih dominan melajur dalam kekuasaan dan masyarakat.

SAMPAI sekarangpun, sindrom ‘anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri’ masih menghinggapi banyak orang. Ketika buku George Junus Aditjondro ‘Membongkar Gurita Cikeas’ muncul, banyak pengikut SBY yang menunjukkan kemarahan lebih besar dari SBY sendiri. Dengan sengit mereka ‘menyerbu’ George Aditjondro, sampai-sampai ada yang merasa perlu mendatangi salah satu acara peluncuran buku tersebut. Junus Aditjondro rupanya lama-lama tak tahan juga, sehingga ia ‘menampar’ dengan buku pipi anggota DPR dari Partai Demokrat Ramadhan Pohan.

Apakah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Dr Budiono yang mengambil kebijakan bailout Bank Century tatkala Presiden sedang berada di Amerika Serikat, juga terhinggap gejala plus Royaliste que le Roi? Ketika berhadapan dengan Pansus Century di DPR, Sri Mulyani mengaku bertindak dengan sepengetahuan Presiden. Tetapi saat menyampaikan pidato 4 Maret 2010 malam di Istana Merdeka menyambut rekomendasi Pansus Century itu, Presiden menegaskan, “Sekali lagi, di saat pengambilan keputusan itu saya sedang berada di luar negeri. Saya memang tidak dimintai keputusan dan arahan. Saya juga tidak memberikan instruksi atas pengambilan kebijakan tentang ihwal itu, antara lain karena pengambilan keputusan KSSK berdasarkan Perpu No.4 Tahun 2008, memang tidak memerlukan keterlibatan Presiden”. Apakah Presiden sedang menjadi Pontius Pilatus yang mencuci tangan di cawan penyangkalan? Tidak juga langsung bisa dikatakan demikian. “Meskipun demikian, saya dapat memahami mengapa keputusan penyelamatan itu dilakukan. Tidak cukup hanya memahami saya pun membenarkan kebijakan penyelamatan Bank Century tersebut”. Lebih dari itu, Presiden bahkan menyatakan perlunya memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada “mereka yang dalam kondisi kritis telah berjasa dalam penyelamatan perekonomian nasional kita”.

Pidato Presiden 4 Maret ini dengan demikian telah mempermudah dan memperjelas dengan terang benderang sambungan-sambungan mata rantai pertanggungjawaban dalam kebijakan bailout Bank Century. Presiden menyatakan membenarkan kebijakan tersebut dan dengan demikian tentu saja bertanggungjawab atas kebijakan tersebut. Bila bisa dibuktikan bahwa kebijakan tersebut telah ‘memperkosa’ kepentingan rakyat banyak –semisal dan atau seandainya ada skandal dana politik di balik jalinan peristiwa, sesuatu yang dibantah oleh SBY– meminjam analogi dalam tulisan MT Zen, DPR semestinya dipaksakan oleh sejarah untuk bertindak. Akan tetapi sejak dini harus dikatakan bahwa suatu impeachment sebagai pertanggungjawaban ultima cenderung untuk mustahil dilakukan mengingat komposisi MPR-DPR saat ini dikaitkan dengan syarat persetujuan dan quorum yang berlaku.

Jadi, meskipun musim telah berganti, sepanjang tingkat dan kadar kualitas para pelakunya yang sejauh ini pada hakekatnya masih lebih dipengaruhi oleh faktor emosional daripada sikap rasional, maka secara formal para pemimpin kekuasaan masih akan selalu ‘benar’ dalam kehidupan politik nyata saat ini.