-Rangkaian tulisan socio-politica menjelang 84 Tahun Indonesia Merdeka
MESKIPUN belum sepenuhnya bebas dari tindak dan perilaku kecurangan di sana-sini, proses perubahan kekuasaan negara melalui dua pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden wakil presiden dalam sepuluh tahun terakhir ini, 2004 dan 2009, tidaklah merupakan perubahan yang berdarah-darah ataupun diiringi konflik berkadar tinggi. Perubahan extra-ordinary di tahun 1998 diiringi sejumlah peristiwa kekerasan berdarah yang antara lain mengambil korban jiwa mahasiswa, perkosaan lintas etnis, kerusuhan sosial, pembakaran dan berbagai bentuk perusakan lainnya. Perubahan melalui pemilihan umum 1999 diikuti oleh penggantian tokoh puncak kekuasaan di tengah jalan. Pemilihan Presiden-Wakil Presiden di tahun 2004 dan kemudian di tahun 2009 ini, sejauh yang tampak hingga kini, kendati juga cukup bergejolak, relatif berlangsung lebih ‘damai’. Walau belum juga dengan sendirinya berarti bahwa sistem demokrasi telah bekerja dengan baik. Sebenarnya, pemilihan-pemilihan umum masa orde baru –yang lebih banyak merupakan pembaharuan mandat kekuasaan 5 tahunan dari Soeharto– pun cenderung berjalan tanpa banyak gejolak, namun ‘kedamaian’ yang tercipta lebih karena kekuatan supresi dan bukan karena demokrasi.
Bagaimanapun, perubahan-perubahan dalam konteks rotasi kekuasaan saat ini, telah cukup jauh meninggalkan pengalaman buruk sejarah kekuasaan di masa lampau. Berikut ini adalah adaptasi dari beberapa bagian buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Kata Hasta Pustaka, 2006) mengenai tradisi tumbal darah dan kekerasan dalam perubahan kekuasaan Nusantara (Indonesia) dari waktu ke waktu. Catatan tentang masa lampau ini ini lebih dimaksudkan sebagai referensi.
CORAK warna yang dominan dalam sejarah Indonesia dari abad ke abad, adalah merah, karena darah. Menjadi satu dengan itu, adalah rangkaian pertarungan kekuasaan. Perilaku pemenuhan hasrat kekuasaan menjadi bagian utama karakter para pemuka kelompok masyarakat dalam tata feodalistik –yang senantiasa membutuhkan tumbal darah rakyat. Darah hanya berhenti mengalir bila rakyat pasrah dan mengalah kepada kekuasaan. Kekuasaan yang mana pun: Kekuasaan kolonial ataupun kelompok kekuasaan bangsa sendiri. Kekuasaan berdasar kepentingan duniawi maupun berdasar agama (yang semestinya lepas dari wujud kepentingan duniawi yang vulgar).
Hanya dalam keadaan tanpa adanya rakyat yang melawan, sejarah masa lampau mencatat Nusantara menjadi rangkaian kepulauan yang seakan damai, aman, tenteram yang mencipta legenda tentang keindahan dan kekayaan alam. Tanpa ada yang melawan, kehidupan rakyat Nusantara seakan memasuki perspektif keabadian – sub specie aeternitatis – yang mengutamakan keselarasan. Tak diperlukan perubahan yang cepat. Kehidupan berlangsung bagaikan ulat yang berenang di air – sangat lambat – dan rakyat dalam jiwanya bagaikan di antara tidur dan bangun[1]. Sejarah juga mencatat bahwa seluruh kelompok penguasa yang pernah ada di negeri kepulauan ini, telah menjadikan stabilitas sebagai keharusan bagi kepentingan kelanggengan kekuasaannya. Perubahan hanya mendapat toleransi begitu kecil di ruang yang sedemikian sempit. Kalaupun perubahan harus terjadi, harganya mahal. Apalagi bila perubahan itu menyangkut pergantian kekuasaan.
Dalam konsep ‘semu’ kehidupan yang mengutamakan harmoni dan keabadian, tak ada perubahan tanpa mengalirkan darah. Ini berlaku sebagai kesimpulan, sepanjang tak ada fakta yang menunjukkan lain di luar itu. Penguasa dan rakyat Nusantara sangat terikat dengan beberapa nilai masa lampau dan kepada konsep kekuasaan perkasa yang gaib. Kekuasaan duniawi yang ada juga diyakini selalu berlatarbelakang kekuatan gaib. Para raja masa lampau – bahkan juga sejumlah pemimpin Indonesia masa modern – berkecenderungan mengaitkan dirinya dengan dukungan kekuatan mitos tersembunyi yang berasal dari alam ‘gaib’, serta penggambaran sakral sebagai pemegang wahyu. Dalam konsep ‘gaib’ itu, bilamana hendak membangun sesuatu – istana, jalan, bahkan hingga bangunan keagamaan sekalipun – dibutuhkan bukan sekedar perhitungan dan penentuan ‘hari baik’, melainkan lebih dari itu, harus ada tumbal darah. Begitu pula untuk seremoni yang berkait dengan adat atau kepercayaan spiritual, dan juga bila ada pemimpin tinggi hingga kepala suku yang baru, selalu ada tumbal darah dan korban jiwa manusia karena ada bagian-bagian tubuh manusia kurban yang dibutuhkan untuk ritual pengesahan kekuasaan. Pada masa-masa terakhir, tumbal darah itu berangsur berubah menjadi kurban khewan – biasanya kerbau yang dipenggal untuk ditanam kepalanya di tempat yang akan dibangun. Akan tetapi dalam satu kurun waktu yang panjang sebelumnya, hingga setidaknya awal tahun 1960-an, yang dibutuhkan pada serangkaian acara ritual seperti itu memang adalah tumbal jiwa, kepala dan darah manusia. Ada beberapa kisah yang diketahui banyak orang, namun tak terungkapkan secara terbuka, apalagi masuk dalam catatan peristiwa hukum, tentang penggunaan tumbal darah manusia ini. Pengetahuan spiritual seperti itu mengikuti perjalanan waktu telah mengendap ke alam bawah sadar dan merembes turun temurun lintas generasi.
Berikut ini beberapa ‘kisah pembuka’ lintas waktu tentang tumbal darah Nusantara dan kisah lumuran darah lainnya, serta kematian melalui jalan kekerasan.
Kisah kesatu. Menjelang tahun 1960, di suatu daerah di luar Jawa – sebagai salah satu contoh untuk beberapa kisah serupa di berbagai wilayah Nusantara – beberapa bocah belasan tahun hilang dua hari sebelum peletakan batu pertama sebuah proyek bendungan untuk pengairan. Kedua peristiwa itu diyakini berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam konteks kepercayaan mistis tradisional, setidaknya dibutuhkan empat kepala manusia muda sebagai tumbal karena suatu ‘bangunan’ mempunyai empat sudut, dan alam memiliki empat penjuru angin utama. Beberapa waktu kemudian, tubuh-tubuh bocah itu ditemukan kembali tanpa kepala, dan bagian tubuh yang hilang itu tak pernah ditemukan. Kala itu luas diyakini kepala bocah-bocah itu tertanam rapi di bawah beton pondasi di sudut-sudut bendungan. Mereka adalah tumbal yang dipersembahkan kepada penguasa gaib, agar berkenan atas pembangunan bendungan dan tak ada marabahaya selanjutnya dalam penggunaannya kelak. Tentang penemuan tubuh-tubuh tanpa kepala itu, pemerintah daerah memberikan keterangan tidak resmi bahwa penculikan dan pemenggalan kepala dilakukan oleh pasukan pemberontak Darul Islam-Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan ringkasan DI-TII[2]. Nyatanya, meskipun telah diberi tumbal, proyek itu terlunta-lunta penyelesaiannya. Perekonomian dan keuangan negara di masa pemerintahan Soekarno kala itu, tak kuat untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek pembangunan seperti itu. Atau, dalam sudut pandang dan alam pikir mistis, ‘mungkin’ sang penguasa gaib tak berkenan terhadap sesuatu dalam pelaksanaan negosiasi darah itu. Kisah ini menunjukkan bahwa dalam konsep mistis, untuk pencapaian lebih besar, diperlukan pengorbanan ‘kecil’. Kalangan penguasa tak mungkin mengorbankan diri, maka korban lebih ‘layak’ dipilih dari antara rakyat yang lemah dan ‘kecil’ saja artinya dalam tatanan kekuasaan yang feodalistik.
–Berlanjut ke Bagian 2.
[1] Lihat juga, Rum Aly, ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’, Penerbit Buku Kompas, 2004.
[2] Berdasarkan catatan dan ingatan tahun 1950-an.