Kemurungan Indonesia Pasca-Demokrasi

Tulisan ini pernah disampaikan tepat setahun lalu dalam peluncuran buku ‘Kembalinya Politik’ bersamaan dengan 70 Tahun Rahman Tolleng, dan pernah pula dimuat sebagai artikel referensi dalam buku Dr Midian Sirait, ‘Revitalisasi Pancasila’, November 2008. Tulisan ini tepat disajikan kembali dalam suasana pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden Juli 2009 ini, sebagai bahan renungan mengenai kehidupan politik Indonesia.

A. Rahman Tolleng*

 

TIADA kata lain yang paling tidak disukai, dan mungkin dijauhi sekarang ini, selain kata politik. Politik, secara intrinsik, memang selalu tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun, suka atau tidak suka, tidak ada orang yang bisa membebaskan diri dari politik. Anda boleh mengasingkan diri ke suatu pulau. Tetapi di sana anda tidak mungkin bebas dari sengatan “global warming”, yang langsung atau tidak langsung merupakan produk politik dan hanya bisa “ditanggulangi” juga secara politik.

Sesungguhnya, di masa lalu, politik pernah menduduki tempat terhormat dalam masyarakat. Suatu waktu, politik merupakan istilah dengan sejumlah konotasi positif yang setidaknya dihubungkan dengan the common good atau kemaslahatan bersama. Di Athena klasik, pada zaman Plato dan Aristoteles, politik merupakan “ratu” dari ilmu-ilmu yang lain dan merupakan kegiatan manusia yang terpenting. Aristoteles sendiri merumuskan politik itu sebagai master science yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang excellent dan telah banyak makan asam garam kehidupan. Di zaman modern sekarang ini, sejalan dengan diferensiasi kehidupan masyarakat, the primacy of politics itu tidak lagi berlaku. Meskipun begitu, politik tetap saja penting dan tak dapat tiada dalam kehidupan bermasyarakat.

Sayang, bahwa politik yang sebenarnya indah dan mulia itu kini banyak dicemari oleh praktek yang tak bertanggung jawab. Dewasa ini, politik semakin merupakan istilah kotor yang sinonim dengan kemunafikan, korupsi dan barang dagangan yang menjijikkan. Pada demokrasi lama orang-orang kian membenci politik dan kehilangan kepercayaan terhadap kinerja institusi-institusi demokrasi. Partisipasi politik kian melemah. Turnout atau kehadiran dalam pemilihan hanya merupakan porsi yang terus mengecil dari keseluruhan pemilih. Partai-partai politikpun semakin kehilangan partisan sampai pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kemurungan yang sama berlangsung pula di Indonesia. Dalam beberapa hal, malah lebih intens dan banal. Demokrasi beserta hak-hak yang menyertainya yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata, begitu cepat menampilkan paradoks-paradoks yang mengerikan. Demonstrasi-demonstrasi dan konflik-konflik fisik tak henti-hentinya sepanjang tahun. Kelompok-kelompok vigilante bermunculan di beberapa kota. Atas nama agama, moral dan ketertiban umum, dengan menggunakan kekerasan, kelompok-kelompok itu dengan seenaknya “main hakim sendiri”. Walhasil, populisme vulgar – kalau bisa disebut begitu – seolah-olah menghadirkan diri sebagai alternatif demokrasi-perwakilan yang konstitusional. Sementara tindak kekerasan telah menegasikan prinsip bahwa hanya negaralah yang memiliki wewenang penggunaan koersi.

Setiap kali menjelang pemilihan umum, kita juga menyaksikan, bagaikan jamur di musim hujan, lahirnya banyak partai yang semakin sukar dibedakan satu sama lain – kecuali dalam hal tokoh yang memimpinnya. Kehadiran partai berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi politik warga. Belakangan ini kita tersentak oleh rendahnya turnout dalam Pilkada, khususnya Pilkada Jawa Tengah, yang mendekati angka 50 persen.

Suatu paradoks lain dari demokrasi Indonesia, pertengahan 2008 ini diangkat sebagai tema seminar di Yogyakarta yang disponsori oleh Komite Indonesia untuk Demokrasi. Paradoks itu dirumuskan sebagai hilangnya voluntarisme dalam perpolitikan di Indonesia. Dikatakan bahwa partisipasi politik, khususnya partisipasi dalam kegiatan partai, tidak lagi dilakukan secara suka rela dan tanpa pamrih melainkan telah bergeser menjadi kegiatan transaksional. Apa yang terjadi ?

Colin Crouch, seorang profesor sosiologi pada European University Institute, dalam bukunya Post-Democracy, mengetengahkan apa yang disebutnya sebagai the commercialization of citizenship. Yang ia maksudkan ialah komersialisasi hak-hak sosial warga, seperti pendidikan dan kesehatan. Praktek komersialisasi itu juga telah berlangsung di sini. Tetapi yang dihadapi di Indonesia jauh lebih dahsyat: hak-hak politik itu sendiri yang diperjualbelikan. Dan itu ditemui tidak hanya di lapisan bawah, melainkan juga pada tingkat elite di tubuh partai maupun dalam dewan-dewan perwakilan rakyat.

Bagi mereka yang terlibat, politik itu dipandang tidak lebih dari suatu jenis bisnis yang lain. Maka tak pelak lagi, arena politik telah didegradasikan sebagai semacam pasar, tempat bertemunya “pembeli” dan “penjual”. Dan harus segera ditambahkan di sini: pasar itu untuk sebagian besar merupakan pasar gelap, lengkap dengan makelar-makelarnya. Maka tak terelakkan, pada akhirnya hanya orang-orang berduit yang bisa bermain di dalamnya. Kita kini berada dalam era pasca-demokrasi yang disinyalir oleh Colin Crouch dalam bukunya yang disebutkan tadi.

Banyak faktor yang bisa disebut sebagai prima causa dari perkembangan buruk ini. Dapat disebutkan, diantaranya: Pertama, mencairnya semen ideologi, sementara partai tak dapat menawarkan platform sebagai alternatif. Kedua, biaya politik, khususnya biaya kampanye semakin eksesif. Ketiga, dampak negatif dari kemajuan (teknologi) media massa, khususnya media elektronik. Keempat, dampak negatif dari sistem presidensial dan pemilihan langsung kepala daerah yang pada gilirannya memperlemah cohesiveness atau daya rekat partai. Kelima, personalisasi politik di tengah-tengah masyarakat yang sudah dan kian teratomisasi atau terindividualisasi. Keenam, pada tingkat massa, kemiskinan sudah sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi yang dapat dijual kecuali hak-hak itu. Dan ketujuh, kita terlampau liberal (konvensional) dalam menerapkan demokrasi[1].

Demikianlah, sejumlah faktor pada dataran sosio-politik yang merupakan penyebab terpuruknya perpolitikan kita sekarang ini. Semua faktor, secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama ikut berperan. Dan terlampau penting untuk tidak dikemukakan di sini, pada dataran etis, sebagai resultante dari bekerjanya faktor-faktor tadi, bangsa ini menemukan dirinya dalam keadaan kekosongan nilai-nilai civic berupa hilangnya komitmen terhadap kehidupan bersama diantara para warganya. Dirumuskan secara lain, dengan menggunakan idiom republikanisme: The final cause adalah lunturnya patriotisme, lunturnya keutamaan civic dalam masyarakat.

Politik, pada dasarnya, bersangkut paut dengan bagaimana menghidupi, memelihara atau mempertahankan, kehidupan bersama. Oleh karena itu tantangan yang kita hadapi sekarang ini adalah memulihkan kembali kedudukan politik seperti itu yang kini dilanda krisis kepercayaan oleh warganya sendiri.

Bukan tempatnya di sini untuk berbicara mendetil tentang apa yang seharusnya dikerjakan. Tetapi setidak-tidaknya perlu disadari bahwa kita harus pandai memilah-milah antara konstanta dan variabel. Yang merupakan konstanta harus dijadikan kendala dengan menanggulangi ekses-eksesnya. Yang merupakan variabel perlu dipertimbangkan kembali, dan kalau terpaksa ditinggalkan sama sekali dengan menerapkan alternatif lain. Untuk menanggulangi hal-hal yang bersifat etis, tidak ada jalan lain kecuali melalui pendidikan, pendidikan dalam arti seluas-luasnya yang meliputi pendidikan civic di sekolah dan education by practicing dan by doing dalam masyarakat luas maupun dalam komunitas kecil.

Apakah kita tidak terlambat? Maurizio Viroli, dalam bukunya Republicanism, mengutip Alexis Tocquivelle yang mengatakan bahwa “bangsa tidak pernah menua seperti halnya dengan manusia”. Sebagai anak manusia, saya misalnya, sekarang sudah memasuki ujung masa senja dan niscaya pada waktunya akan meninggalkan gelanggang ini. Tetapi bangsa ini niscaya akan terus meremajakan dirinya dengan terus melahirkan generasi baru yang boleh jadi dapat merangkul kesadaran civic yang kuat demi mewujudkan Indonesia yang kokoh, Indonesia yang demokratis dan berkeadilan.

* A. Rahman Tolleng. Aktivis mahasiswa sejak tahun 1955 dan dekat dengan kehidupan politik Indonesia. Terlibat dalam gerakan kritis dalam masa kekuasaan Soekarno, dan pergerakan tahun 1966. Lebur dalam proses upaya pembaharuan struktur politik Indonesia pada masa-masa awal orde baru dan gerakan-gerakan pro demokrasi tatkala rezim Soeharto semakin ketat menjalankan kekuasaan. Sempat menjadi tahanan politik setelah Peristiwa 15 Januari 1974. Hingga kini, ia tetap ada dalam jalur kehidupan politik tanpa menjadi partisan, dengan sikap kritis yang tetap terpelihara. Sehingga ada yang menyebutnya, “ia yang berumah dalam politik”. Sementara itu, di mata sejumlah aktivis, dari masa ke masa, ia adalah seorang ‘guru politik’.


[1] Kaum liberal-konvensional sangat mementingkan hak-hak dan mengabaikan tugas kewajiban warga Negara. Bagi mereka, hak itu adalah milik anda dan terserah anda untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Kaum liberal-konvensional juga terlampau menekankan ancaman Negara terhadap kebebasan, sementara melupakan ancaman fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar yang bisa muncul dari dalam masyarakat.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s