Keadilan Setiap Hari, Obsesi Penegakan Hukum

Oleh Denny Kailimang

 

NILAI-NILAI kebenaran dan keadilan adalah inti etika transenden –yakni etika keilahian yang tak terjangkau pikiran manusia namun bisa dipahami sebagai etika transendental– yang melekat erat satu dengan yang lain. Kebenaran dan keadilan menjadi dasar esensial penegakan hukum dalam kehidupan bersama manusia, yaitu suatu cara menciptakan keteraturan dan untuk mendampingi kebebasan yang merupakan hak yang azasi dari setiap individu. Setiap masyarakat di dunia secara adil telah mendapat kesempatan pencerahan dari dan oleh etika transendental, sehingga dari manapun gagasan pembentukan aturan hukum, ia menjadi milik bersama karena kandungan nilai universalnya. Banyak bangsa menggunakan dengan baik peluang pencerahan dalam hidupnya untuk pencapaian lebih baik, meningkatkan harkat dan martabat. Di Indonesia, banyak momen masa merdeka telah disia-siakan. Tak terkecuali dalam pembangunan sistem hukum dan keadilan. Sebagai bangsa, kita belum berhasil merapat sedekat mungkin pada aspek keteraturan, kebenaran dan keadilan. Baik di awal kemerdekaan, maupun masa berikutnya di berbagai masa kekuasaan, hingga kini. Seluruh kurun waktu kekuasaan, menunjukkan kesamaan, menempatkan ‘sistem’ hukum sekedar  subordinasi ‘sistem’ politik dan kekuasaan.

Hakekat kebenaran dan keadilan dalam etika keilahian di posisi transenden –nun jauh di sana– memang tak mampu sepenuhnya dipahami manusia. Tetapi dengan akal budi, sebagai manusia kita bisa dari waktu ke waktu lebih mendekati pengertian kebenaran dan keadilan yang telah ditransformasikan sebagai etika transendental yang diterima universal itu. Masalahnya hanya, apakah kita mau menjadi manusia yang selamanya bebal, mengingkari keteraturan yang secara hakiki adalah sistem perlindungan kebebasan orang per orang? Secara empiris, ternyata nyaris tak ada perubahan signifikan dalam pemahaman, perilaku dan perlakuan manusia Indonesia terhadap dan atau di depan hukum, dari waktu ke waktu hingga kini. Elite tertentu dalam pemerintahan, politik dan masyarakat, terbuka atau terselubung cenderung menempatkan hukum sekedar alat kekuasaan. Para elite yang memiliki pengaruh politik dan kekuasaan, maupun mereka yang memiliki pengaruh kemasyarakatan dan keagamaan, bisa berbeda dalam banyak hal, namun bisa bersatu dalam kebersamaan perilaku korup dan penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan banyak anggota masyarakat yang kemarin menjadi korban ketidakadilan dan kriminal,  hari ini bisa berubah menjadi pelaku penginjak-injakan hukum saat ada peluang, sebagai individu ataupun dalam kerumunan massa.

Sepanjang 2008 hingga bulan-bulan awal 2009, kita mungkin bisa sedikit terhibur oleh berbagai gebrakan KPK yang kali ini terkesan lebih berani ke ‘atas’ dan merambah lebih ‘lebar’. Namun tanpa pretensi mengecilkan pencapaian KPK –dan tanpa mengaitkan dengan kasus hukum yang menimpa Ketua KPK Antasari Azhar SH– bila lebih cermat, kita akan melihat betapa rentetan penindakan KPK yang betapapun menarik perhatian publik, ternyata masih bagai riak kecil saja di lautan perilaku korup sepanjang yang diasumsikan publik dan indikasi kasat mata yang mungkin masih perlu ‘dibuktikan’ lanjut. Perilaku korupsi bisa terjadi di berbagai institusi pemerintahan, lembaga legislatif maupun judikatif, dunia usaha dan unsur masyarakat, sendiri-sendiri maupun dalam konspirasi kolektif. Keterlibatan penegak hukum pun, termasuk kalangan pengacara, banyak disebutkan dan digambarkan bekerja dalam satu jaringan kejahatan suap menyuap.

KPK boleh bekerja keras, begitupun Kejaksaan Agung yang belum lama ini berada dalam sorotan, tetapi dengan pengamatan lebih teliti bisa dianalisis, laju pemberantasan tetap kalah pesat oleh laju perilaku korupsi. Kehidupan politik kita sangat cepat memobilisasi rekrutmen pengisian berbagai posisi dalam kekuasaan baik di lembaga perwakilan maupun pemerintahan, terkait rangkaian pilkada yang berlangsung pekan demi pekan sepanjang tahun. Proses ini akan terhubung dengan terjadinya mutasi-mutasi posisi kekuasaan pada berbagai tingkat. Seakan berlaku adagium, posisi atau kekuasaan baru, akan berarti pula korupsi baru. ‘Pertarungan’ politik melalui pilkada memakan effort luar biasa, dengan angka rupiah yang cenderung fantastis dan deretan janji posisi dan balas jasa. Bagaimana pula nanti dalam pemilihan-pemilihan posisi tingkat nasional 2009? Bukan sekedar prasangka, tetapi secara akademis sudah bisa dibaca ke mana semua ini akan bermuara.

Sementara itu, sungguh mencemaskan bahwa penegakan hukum kita belum berhasil memasuki suatu perspektif pencegahan dan pemecahan di hulu masalah. Pencegahan memang bisa terjadi melalui contoh penindakan yang cepat dan tegas untuk menimbulkan efek jera dan rasa takut kepada mereka yang berpotensi melakukan korupsi baru dan kriminalitas lainnya karena melihat effort penegak hukum begitu kuat dan efektif. Tapi itu takkan cukup berarti bila tidak dilakukan massif dan sangat luar biasa. Selain itu, mungkin kita semua yang berkecimpung sebagai penegak hukum –hakim, jaksa, polisi dan pengacara– perlu mengundang akademisi berbagai disiplin ilmu yang bisa mengkontribusikan metodologi pemberantasan korupsi dan kejahatan pada umumnya dengan mengatasi akar-akarnya. Kontribusi akademis itu, untuk menyebut contoh, bisa dengan mengembangkan psikologi forensik, dan mengajak para sosiolog membantu menemukan akar-akar kecenderungan perilaku korup dan kriminalitas di masyarakat. Tak kalah penting, menyehatkan kehidupan politik sebagai salah satu sumber utama virus perilaku korup selama ini.

Untuk profesi pengacara, secara khusus perlu bertanya, di manakah tepatnya keberadaan para pengacara di tengah-tengah kancah semua problematika Indonesia itu? Sebagai bagian dari dinamika penegakan hukum, para pengacara seperti halnya dengan seluruh praktisi hukum lainnya, berada di atas jalan tugas yang sepenuhnya ideal dengan nilai transendental yang bersumber dari nilai-nilai keilahian: kebenaran dan keadilan. Penuh kemuliaan. Tetapi apakah kita mampu menyandang kemuliaan itu? Apakah kita tidak menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara kita, bila perlu dengan mengorbankan kebenaran dan keadilan? Apakah kita masih berpegang kepada prinsip untuk tetap menegakkan kebenaran dan keadilan walaupun langit runtuh, ataukah kita sungguh berhasrat menikmati ‘langit’ walaupun kebenaran dan keadilan harus runtuh? Apa yang lebih kita pentingkan, neraca keadilan atau neraca keuangan? Apakah kita juga telah cukup memperhatikan nasib rakyat kecil yang tertimpa musibah hukum, entah korban kekerasan, entah salah tangkap, entah salah tuduh, entah salah hukum, karena berlakunya ketidakbenaran dan ketidakadilan dalam pelaksanaan hukum? Dan untuk masalah-masalah internal dunia pengacara yang kita alami belakangan ini, mampukah kita sedikit menjinakkan arogansi kita masing-masing untuk mencapai kebersamaan yang lebih baik? Kita kerap berhasil menunjukkan kemampuan menyelesaikan persoalan orang lain, apakah tidak seharusnya kita mampu pula menyelesaikan masalah kita sendiri?

Demikian sekedar penyampaian dalam beberapa pertanyaan. Mungkin terasa lebih tertuju kepada kalangan pengacara, namun pada hakekatnya untuk sebagian besar berlaku pula bagi kalangan penegak hukum lainnya, hakim, jaksa dan polisi serta pelaksana pada komisi pemberantasan korupsi. Mari kita bersama mencoba membiarkan hati nurani berbicara memberi jawaban-jawaban. Sebagai penutup, sebuah pernyataan sederhana yang semoga bisa bermakna banyak: Penegakan hukum adalah kepentingan bersama. Dengannya kita bisa mendekati cita-cita –yang mungkin saja perlu menjadi obsesi bersama– keadilan dalam kebenaran, setiap hari, bagi semua. Dalam keteraturan hukum.

Denny Kailimang SH MH, praktisi hukum di Jakarta, berprofesi sebagai pengacara.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s