Kisah ‘Tumbal Darah’ Lintas Waktu dalam Sejarah Nusantara (6)

“Unsur utama pemujaan adalah pengurbanan nyawa manusia melalui kobaran api yang mendatangkan bau tersendiri dan bau itulah yang menimbulkan ekstase. Semakin memualkan ……….. semakin memberi ‘kenikmatan’. Mereka membandingkan bau tersebut dengan keharuman bunga yang mampu membebaskan seseorang dari inkarnasi baru dan saamsara.”

PENILAIAN awal yang romantis ketika Barat pertama kali ‘menjejakkan’ kaki dan mengenal Indonesia, senantiasa dikaitkan dengan keindahan alam negeri kepulauan ini lengkap dengan keramahan dan kelembutan bangsa yang menghuninya. Bahkan, para sosiolog Belanda – bangsa yang menjajah negeri ini 350 tahun lamanya – menyatakan bangsa Indonesia dalam kalimat membuai ‘het zachtste volk teraarde’, manusia yang paling lembut di dunia (MT Zen dalam ”Kubunuh Baginda Raja…”, Mingguan Mahasiswa Indonesia, Juli 1966). Dalam deskripsi romantik lainnya, Indonesia dinyatakan adalah bagaikan hamparan mandala dengan semerbak wewangian dari berpuluh juta kuntum bunga.

Namun, pada tampilan sisi kontras, direpresentasikan melalui patung satu sosok di antara para penguasa Nusantara yang berlatar belakang paham sinkretisme Hindu dan Budha, Adityawarman, yang mengerikan: Dengan sebilah pisau dan tengkorak pada kedua belah tangannya, ular-ular membelit pada sepasang pergelangan kaki, pada sepasang pergelangan tangan dan lengan, serta pada telinganya; berpijak di atas tubuh manusia yang duduk terkapar beralaskan susunan delapan tengkorak besar yang menyeringai – menurut penggambaran oleh Theodore Friend (dalam ‘Indonesian Destinies’, 2003). Adityawarman ini adalah panglima perang Majapahit yang memimpin penaklukan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan Melayu lainnya pada tahun 1340-1350 Masehi. Sebagai penguasa wakil Majapahit di daerah-daerah penaklukan itu, ia sekaligus menyebarkan Tantrisme Bhirawa, salah satu aliran dari Tantrisme – suatu paham yang merupakan sinkretisme Hindu dan Budha. Tantrisme yang mulai berkembang abad 13 ini terpecah ke pelbagai aliran, termasuk aliran sempalan yang melahirkan bentuk-bentuk yang demonic dalam peribadatan, seperti misalnya aliran Bhirawa yang dianut Adityawarman. Bhirawa mempunyai arti “seram dan mengerikan” yang terasosiasikan dalam praktek penyembahan Dewa Heruka yang dahsyat dan mengerikan. Sempalan Tantrisme Bhirawa ini bercorak demonic, karena pemujaan ditujukan kepada aspek kebengisan dan kedahsyatan dari Syiwa-Buddha. Menarik untuk meminjam uraian Braginsky (2004) tentang aliran Bhirawa ini, sebagaimana yang dicatatkan oleh Abdul Hadi WM[1], karena aroma dan ciri perilaku aliran ini kerap terasa ke masa-masa sesudahnya, tak terkecuali dalam peristiwa-peristiwa berdarah di Indonesia sekitar tahun 1965 hingga ke tahun-tahun berikutnya.

Salah satu upacara yang tercatat pernah terjadi, adalah di Sumatera yang dilakukan di Candi Padang Lawas, 100 kilometer dari Barus, kota pelabuhan di pantai barat Sumatera, dekat Sibolga, yang pada abad 13 dan 14 juga merupakan pusat kegiatan sufi dan penyebaran agama Islam. Di sinilah Hamzah Fansuri, seorang penyair sufi terkemuka abad 16-17 dilahirkan dan dibesarkan. Pemujaan terhadap Heruka dalam Tantrisme Bhirawa biasa dilakukan pada malam hari di tempat pembakaran mayat. Mayat yang dibakar dijadikan sajian sebagai persembahan kepada dewa mereka. Unsur utama pemujaan adalah pengurbanan nyawa manusia melalui kobaran api yang mendatangkan bau tersendiri dan bau itulah yang menimbulkan ekstase. Semakin memualkan bau daging manusia terbakar, semakin memberi ‘kenikmatan’. Mereka membandingkan bau tersebut dengan keharuman bunga yang mampu membebaskan seseorang dari inkarnasi baru dan saamsara. Mayat dari manusia yang dikorbankan diletakkan di tempat pemujaan dengan ditelentangkan, kaki dilipat di bawah paha, tangan terikat dan kepala didongakkan. Dengan demikian, isi perut mudah dikeluarkan. Pendeta membelah perut hingga ke rusuk bawah, lalu duduk di atasnya, merenggut jantung keluar dan memenuhi batok tengkorak manusia dengan darah. Beberapa teguk darah diminum dan dibayangkan sebagai anggur sorgawi yang lezat. Setelah itu, api unggun dinyalakan dan para penuntut aliran tenggelam dalam meditasi. Selama meditasi berlangsung, Heruka terbayang melalui kepulan asap. Ekstase dicapai saat tengah malam tiba. Pada saat demikian, mereka menari-nari mengitari api unggun dengan ‘kentongan’ yang dibuat dari tulang belulang manusia, sambil tertawa terbahak-bahak. Makin malam, dipercaya bahwa dewa Heruka akan makin senang memperoleh sesembahan dan korban seperti itu. Upacara berakhir dengan persetubuhan massal.


[1] Abdul Hadi WM, budayawan dan ahli kajian Islam. Kini mengajar di Universitas Paramadina.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s