“Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain dari kalangan masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya”.
Kisah ketujuh. Segera setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965, proses penghancuran PKI terjadi dengan cepat. Anggapan yang kuat bahwa peristiwa ini adalah pengkhianatan PKI untuk keduakalinya setelah Peristiwa Madiun 17 tahun sebelumnya, ditambah tumpukan kebencian yang tercipta akibat sepak terjang partai ini ketika berada di atas angin selama bertahun-tahun dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis, menjadi pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara luas. Bila pada awalnya, di wilayah perkotaan sasaran penghancuran hanyalah bangunan-bangunan fisik perkantoran partai dan organisasi mantelnya, pada proses selanjutnya di beberapa daerah dengan cepat berubah menjadi kekerasan yang mengalirkan darah dan melenyapkan nyawa. Ladang ‘pembantaian’ utama adalah daerah-daerah di Jawa Timur yang dilakukan terutama oleh massa NU (Nahdatul Ulama) dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Jawa Tengah dan Bali dengan penggerak utama dari kalangan PNI (Partai Nasional Indonesia) kendati di tingkat nasional PKI dan PNI adalah kawan sebarisan yang mendukung konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis) dan memiliki kedekatan yang sama dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Pembantaian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah seperti Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, juga di Jawa Barat serta secara sporadis dan insidental di berbagai wilayah Nusantara lainnya.
Tak ada angka yang betul-betul pasti mengenai jumlah korban, namun angka yang semula dianggap paling mendekati adalah jatuhnya sekitar 500.000 korban manusia,yang kemudian berkembang menjadi perkiraan dengan angka 1.000.000 – 3.000.000. Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa partai. Namun tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai, karena bersamaan dengan itu terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain dari kalangan masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya.
Peristiwa berdarah ini hingga kini menyisakan kontroversi penilaian, apakah ini merupakan sekedar peristiwa politik dengan segala risikonya, ataukah peristiwa sosiologis yang berupa kejahatan atas kemanusiaan – siapa pun pelaku maupun korban, dan apa pun alasannya. Di kemudian hari, untuk sebagian, peristiwa pembantaian tanpa rasa kemanusiaan tersebut, menjadi bagian dari pembenaran ‘teori’ tentang PKI sebagai korban konspirasi politik dan korban skenario kekuasaan militer (Angkatan Darat).
Tujuh kisah ini mewaliki benang merah dari ratusan atau bahkan ribuan peristiwa berdarah dan kematian, serta sejumlah tragedi lain, besar kecil, yang menunjukkan satu pola perilaku manusia Indonesia dalam menghadapi dan memaknai kekuasaan serta hasrat-hasrat manusiawi yang mengiringinya.
Berlanjut ke Bagian 6