Tag Archives: Machmud Madjid

Pemilihan Umum 2014: Too Good To Be Truth

ANGKA perolehan partai-partai dalam Pemilihan Umum Legislatif 9 April lalu, yang berdasarkan hasil quick count secara umum hampir merata, dari sudut tertentu bisa terasa terlalu ‘bagus’ sebagai suatu kenyataan. Hanya dua partai, PBB dan PKPI, yang mendadak jadi peserta pemilu di saat terakhir, terlewati dalam pemerataan itu. Fenomena pemerataan angka ini berkategori too good to be truth. Dari sudut pandang lain, ‘pemerataan’ suara itu pun bisa terasa sangat artifisial sekaligus tidak positif. Dan, kenyataan dua pemuncak –PDIP dan Golkar– memperoleh suara di bawah 20 persen, itu hanya memastikan bahwa mau tak mau tahap negosiasi untuk berkoalisi dalam menghadapi Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014 telah dimasuki. Tepatnya, gerbang pasar politik dagang sapi telah terbuka, langsung di jantung negara ibukota Jakarta. Perundingan-perundingan politik memang langsung terjadi di hari pertama setelah pelaksanaan pemilihan umum.

KARIKATUR INVESTOR DAILY: SEMUA PARPOL CURANG. "Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih."
KARIKATUR INVESTOR DAILY: SEMUA PARPOL CURANG. “Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih.”

            Terpukau oleh angka-angka perolehan suara yang relatif merata –dan sekaligus menciptakan begitu banyak variable seni kemungkinan dalam berdagang sapi– sejumlah pengamat maupun khalayak politik sedikit mengabaikan fakta lapangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Begitu banyak ‘salah kirim’ dan tertukarnya surat suara antar propinsi maupun antar kabupaten. Tak kurang banyaknya penemuan surat suara yang sudah tercoblos untuk keuntungan partai-partai tertentu, yang jumlahnya bisa mencapai ribuan di satu tempat. ‘Serangan fajar’ maupun bentuk praktek politik uang lainnya, ternyata masih luar biasa banyaknya. Pemilih ganda, entah bagaimana, masih juga bisa muncul ‘bekerja’ (Bagaimana caranya menghilangkan tanda celupan tinta di tangan?). Media juga menginformasikan bahwa sebelum pelaksanaan pemilihan umum, ada sejumlah penyelenggara di daerah menawarkan untuk ‘mengatur’ angka perolehan seorang caleg atau partai.

            Dan ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan praktek-praktek kecurangan ini. Sepanjang informasi yang ada, hingga sejauh ini, kuat tanda-tanda bahwa besar atau kecil, seluruh partai peserta pemilihan umum 20014 ini, minimal oknumnya, ikut terlibat. Meminjam ucapan Mahfud MD, tak ada partai yang betul-betul bersih.

            Sejumlah mantan aktivis masa lampau dan menjadi aktivis gerakan kritis hingga kini –seperti Chris Siner Keytimu, Judilherry Justam, Max Wayong, Indro Tjahyono, Machmud Madjid, Yusuf AR dan lain-lain– sampai menyerukan agar Pemilihan Umum ini harus dibatalkan dan diulang. Mereka melihat adanya kecurangan yang sudah struktural. “Sistem politik yang berjalan saat ini adalah pendukung dari demokrasi kriminal, yakni demokrasi yang dilaksanakan tanpa penegakan hukum.” Aktivis yang tergabung dalam Gerakan Nasional untuk Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial ini menyebutkan sejak awal sudah banyak dijumpai kecurangan dan tendensi untuk menyelewengkan aturan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2014.

COBLOS VERSI KPU BANGKA BARAT. "KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu."
COBLOS VERSI KPU BANGKA BARAT. “KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu.”

             PEMILIHAN UMUM 2014 ini mengingatkan kita kepada pemilihan umum pertama pasca Soeharto di tahun 1999. Meski dipuji sebagai pemilu yang bersih, toh belakangan makin terungkap bahwa kala itu 5 sampai 7 partai terlibat secara aktif maupun pasif dalam pengaturan angka perolehan suara sehingga menjadi deretan atas. Ada kelompok kekuatan tertentu sebagai invisible hand yang mengatur skenario. Waktu itu, tuduhan terarah kepada kelompok-kelompok tentara yang meskipun secara formal telah terlucuti ‘kekuasaan’nya di gelanggang polititik, tetapi masih bisa berperan di belakang layar.

            Pola pengaturan ini dilanjutkan dalam pemilihan-pemilihan umum berikutnya, 2004 dan 2009, dengan sedikit pergeseran pelaku. KPU dicurigai ‘memiliki’ oknum di tubuhnya untuk melakukan manipulasi penghitungan suara yang sebenarnya terjadi secara berjenjang mulai dari tingkat TPS. Setiap upaya pengungkapan dan pembuktian senantiasa terbentur, karena dominannya peserta perilaku kotor itu.

Menjadi tanda tanya, apakah praktek kotor yang ternyata sudah terlihat indikasinya terulang lagi sebagai suatu pola menetap dalam Pemilihan Umum 2014 ini, juga akan kembali terbentur dan terkubur?

Tanpa ada penelusuran dan penegakan hukum yang serius terhadap kriminalitas politik ini, demokrasi Indonesia ke depan akan berjalan penuh kesangsian. Baik terhadap mereka yang disebut sebagai wakil rakyat maupun mereka yang kemudian akan menjadi pimpinan nasional baru melalui Pemilihan Presiden 9 Juli 2014.

Apalagi, sejumlah muka lama yang sudah diketahui reputasi buruknya di DPR selama ini –entah karena ucapan-ucapannya yang tidak karuan, entah karena disebut-sebut namanya dalam berbagai skandal keuangan– tetap dipertahankan oleh partainya masing-masing dalam Pemilihan Umum 2014.

Begitu pula, terhadap mereka yang disebut-sebut sebagai calon Presiden-Wakil Presiden, banyak yang masih perlu dipertanyakan dan diperjelas rekam jejaknya di masa lampau maupun jejak barunya di masa kini. Sebutkan saja, Prabowo Subianto, Wiranto dan Abrurizal Bakrie. Atau, entah Pramono Edhie Wibowo, Endriartono Sutarto dan Djoko Suyanto atau siapa. Dan, andaikan pun pimpinan negara yang baru nanti adalah betul murni sesuai kehendak rakyat, cukup bersih, didukung dan dicintai –katakan misalnya Jokowi atau Mahfud MD– ia tetap berkemungkinan bermutasi menjadi monster oleh imbas ‘perimbangan’ politik yang tidak sehat di lembaga legislatif. Kita telah mengalaminya berkali-kali.

Siapa pendamping presiden sebagai wakil presiden –sebut Muhammad Jusuf Kalla, Suryadharma Ali, Muhaimin Iskandar, Hatta Rajasa, Sri Mulyani– juga menentukan arah masa depan, baik atau buruk. Seorang wakil presiden sewaktu-waktu bisa menjadi presiden, karena suatu kecelakaan politik di tengah perjalanan waktu. Kita mengalaminya dua kali, dengan BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputeri. Seorang wakil presiden juga bisa menjadi faktor negatif, bila ia terlibat masalah, entah dengan, entah tidak dengan sepengetahuan dan keterlibatan presiden. Bayangan peristiwa seperti itu sedang dialami Dr Susilo Bambang Yudhoyono dan Dr Budiono. KPK sedang menangani kasus tersebut.      

            KHUSUS mengenai pola rekayasa dalam pemilihan-pemilihan umum Indonesia dari masa ke masa, yang tampaknya sudah terstruktur secara permanen, diperlukan kesungguhan tersendiri untuk mengungkapnya. Terutama mengenai siapa kelompok-kelompok pelakunya, yang kelihatannya juga terpelihara dan terestafetkan pengorganisasiannya dari waktu ke waktu. Di sini terlibat invisible hand dengan kepentingan pengendalian kekuasaan politik dan ekonomi. Tapi tak perlu menjadi paranoid, namun cukup memiliki kesadaran dan akal sehat. Jangan terlalu percaya dan menaruh harapan kepada aparat dan institusi resmi untuk membongkarnya. Perlu inisiatif dari masyarakat, meskipun kita tahu sebagian tubuh masyarakat kita saat ini juga sedang menderita kesakitan secara sosiologis. (socio-politica.com)