BERKALI-KALI sudah negara ‘sahabat’ yang ‘seiman-seagama’, Kerajaan Arab Saudi, menyodorkan ‘si buah malakama’ kepada kita orang Indonesia. Menyangkut berbagai soal, mulai dari masalah penyelenggaraan ibadah haji, ‘ekspor’ semangat pertikaian sektarian dan sikap fanatisme-radikal-militan kaum fundamental dari sana maupun dari negara Arab lainnya di sekitarnya, sampai kepada sikap dan perilaku perbudakan kepada tenaga kerja yang mencari nafkah di negara kerajaan tersebut. Dilema ‘si buah malakama’ terbaru dari sana, adalah kasus hukum mati qishas –terhadap perempuan asal Ungaran Jawa Tengah bernama Satinah– dengan kesempatan pemaafan melalui pembayaran uang darah (diyat) kepada keluarga korban. Sedikit lebih ‘ringan’ dari pilihan hukuman mati had ghillah (mutlak) yang tak mengenal mekanisme pengampunan.

Sebelum kasus Satinah, ada kasus terbaru kedua, yakni kasus Dasem, yang bisa di’selamat’kan nyawanya dengan diyat senilai 4,7 milyar rupiah. Tetapi diyat kali ini untuk Satinah, menjadi lebih fantastis, sebesar 21 milyar rupiah lebih. Ada kecenderungan bahwa dari waktu ke waktu uang darah itu makin berdarah-darah, berjalan dalam satu kurva menanjak, sebagai perpaduan pelampiasan dendam dengan perilaku pemerasan dalam keserakahan.
Penegakan hukum di negara kerajaan itu, seperti kita ketahui bersama, dinyatakan adalah berdasarkan hukum Islam. Tapi kita mungkin harus lebih percaya bahwa banyak bagian dari penegakan hukum di kerajaan itu lebih mengakar pada tradisi kultur gurun Arabia jauh sebelum abad pertengahan. Ketentuan “mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa” misalnya, begitu pula dengan hukum potong tangan, mustahil bila dikatakan itu merupakan jiwa ajaran Islam yang sesungguhnya.
Cendekiawan Islam modern, memiliki penafsiran-penafsiran baru yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur dan tidak emosional, namun masih selalu kalah oleh penafsiran fundamental buta yang tak mampu membaca perjalanan zaman. Term ‘potong tangan’ misalnya, tidak harus ditafsirkan harafiah. Saat seorang manusia memohon kepadaNya, ia akan menadahkan tangan ke atas. Secara filosofis, dengan demikian, tangan menjadi simbol hubungan manusia denganNya saat memohon kerahimanNya. Manusia yang melakukan pencurian milik orang lain, berarti menyalahgunakan tangan itu. Maka mereka yang melakukan pencurian itu telah ‘kehilangan’ satu alat isyarat komunikasi penting denganNya yang berguna untuk menyampaikan permintaan pertolongan kepadaNya. Telah ‘terpotong’ tangannya di mata Allah.
KENAPA peristiwa-peristiwa semacam kasus Dasem dan Satinah menjadi ibarat ‘si buah malakama’ bagi kita?
Kalau memang Dasem dan Satinah betul-betul melakukan pencurian dan pembunuhan seperti yang dituduhkan dan dijatuhi hukuman oleh ‘pengadilan’ Kerajaan Arab Saudi, lalu kita semua di tanah air bersatu mengumpulkan uang untuk membayar diyat, berarti beramai-ramai kita membebaskan seorang pembunuh. Ada informasi, bahwa setidaknya masih ada 200 orang lebih WNI di Arab Saudi yang menunggu hukuman mati, baik had ghillah maupun qishas. Jadi, sejumlah ‘si buah malakama’ masih akan menggelinding kepada kita. Dan uang diyat juga semakin meninggi sejalan dengan meningkatnya hasrat pelampiasan dendam dengan keuntungan materil. Manusia-manusia di dalam masyarakat Arab di sana juga sedang mengalami perubahan nilai tentang korelasi kedukaan karena kematian anggota keluarga dan kesukacitaan materi yang bisa dihasilkan dari kematian itu.
Pada sisi lain, bila membiarkan seorang terhukum mati qishas, dieksekusi begitu saja, bisa muncul ‘perasaan bersalah’ pada diri beberapa di antara kita, karena membiarkan seorang warganegara kita dihilangkan nyawanya padahal kita bisa bersama mengumpulkan uang untuk penyelamatan. Rasa bersalah itu –tepatnya tanggungjawab– terutama (semestinya) ada dalam diri kalangan kekuasaan (pemerintah) yang selama ini menikmati manfaat devisa yang dihasilkan para TKI/TKW. Dan, para pengusaha pengerah tenaga kerja yang menarik benefit dan menjadi kaya raya dari bisnis yang mengarah sebagai ‘perbudakan manusia’ di zaman modern itu.
Pemerintah Indonesia sejauh ini, menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, menyediakan dana 12 milyar rupiah. Tetapi Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan pemerintah tak bisa membantu membayar diyat yang terlalu mahal itu. Selain itu, pemerintah berusaha menghargai proses hukum negara lain. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sementara itu, kembali menyurati Raja Arab Saudi untuk sekali lagi menunda eksekusi Satinah. Dalam rapat kabinet Rabu 26 Maret, Presiden menegaskan keliru besar bila dikatakan pemerintah tak peduli nasib Satinah. “Semua sudah bekerja habis-habisan.” Memang terlihat betapa sejumlah tokoh –politik maupun pemerintahan– gamang bila diajak berpendapat mengenai kasus Satinah. Sangat berhati-hati, tak mau melawan arus opini, karena takut untuk dianggap tak membela Satinah.
ARUS sikap yang tampaknya kuat di masyarakat –sepanjang yang ditampilkan dan digambarkan oleh berbagai media– adalah ‘benar atau salah, itu sedulur kita’. Bagaimanapun Satinah sesama bangsa, wajib dibela. Bila ada orang yang membunuh sesama bangsa di dalam negeri, apalagi dengan cara-cara yang keji, semua orang geram. Lihat betapa geramnya publik terhadap pembunuhan keji terhadap Sisca Yofie di Bandung. Publik bahkan juga geram terhadap pihak kepolisian yang dicurigai menutup-nutupi sebagian fakta, khususnya terkait dengan dalang pembunuhan di belakang layar. Tetapi, bila warga negara kita membunuh di negara lain, ada kesepakatan tak tertulis, bila dihukum mati harus dibela. Khususnya menyangkut TKW atau TKI. Karena, diasumsikan mereka pasti ditindas sehingga membunuh dan atau diadili secara curang. Untuk sebagian besar, data empiris memperlihatkan bahwa tidak sedikit tenaga kerja Indonesia, khususnya kaum perempuan, memang ditindas di negara-negara seperti Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan Hongkong. Ekses yang terlihat, kalau tidak menjadi korban kekerasan dan bahkan ada di antaranya sampai meninggal, sebaliknya akan menjadi pelaku kekerasan dan atau pembunuhan terhadap kalangan majikan.
Dimensi lain yang muncul dari sikap kesediaan membayar diyat, adalah bahwa kita sepakat untuk menjadi sasaran pemerasan oleh warganegara satu bangsa lain terhadap diri kita sebagai suatu bangsa. Besarnya uang diyat, ke depan bisa dipastikan akan makin tinggi dan makin tinggi. Dan itu akan terjadi terus, selama kita masih mengirim TKI/TKW dengan kualifikasi pendidikan rendah seperti selama ini. Kualifikasi rendah pendidikan tenaga kerja yang dikirim Indonesia tak bisa dihindari akan selalu berbenturan dengan sikap merata masyarakat Arab Saudi yang masih menganggap tenaga kerja itu adalah budak (khadam) yang telah mereka tebus dengan uang (beli) dari para pengerah tenaga kerja (‘pedagang budak’). Karena para pencari kerja dari Indonesia dianggap ‘budak’ –bukan kaum profesional yang harus dihargai– maka perlakuan terhadap mereka juga adalah perlakuan semena-mena sebagaimana lazimnya harus diterima para budak dari waktu ke waktu.
Satu dan lain hal, terkenalnya Indonesia sebagai pemasok tenaga kerja dengan kualitas dan strata bawah, yang di beberapa negara tujuan diperlakukan bagaikan budak saja, melahirkan sikap menghina. Bila diakumulasikan, melahirkan persepsi sebagai ‘bangsa budak’. Banyak dari kita, bila berkunjung ke negara-negara tujuan tenaga kerja kasar Indonesia, mengalami sikap meremehkan dan merendahkan dari masyarakat setempat. Di Malaysia, ada julukan indon. Di Singapura, anda hanya dihormati bila anda menjadi pembelanja di shopping centre. Di Arab Saudi, tak usah diceritakan. Sedang menunaikan ibadah haji atau umroh sekalipun, anda bisa diperlakukan tidak sopan oleh orang setempat.
Tapi menyangkut TKW, jangankan di luar negeri, bangsa sendiri tak kalah buruknya memperlakukan mereka. Saat menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, mulailah cerita panjang pemerasan terhadap mereka. Bukan semata dilakukan para ‘preman’ tetapi juga para oknum petugas dari berbaga instansi.
SEBENARNYA hanya ada satu jawaban untuk melepaskan bangsa dan negara ini dari dilema ‘si buah malakama’ yang nyaris kronis, yakni dengan menghapuskan ekspor tenaga kerja berkualitas rendah. Kementerian Tenaga Kerja bisa mulai lebih fokus mempersiapkan dan mengintensifkan ekspor tenaga kerja profesional seperti perawat, penyelia dan lain sebagainya. Sudah tiba saatnya kalangan pemerintahan Indonesia –khususnya yang akan tersusun nanti setelah Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014– untuk lebih memperhatikan sumber-sumber devisa lainnya daripada sekedar ekspor tenaga kerja kualitas rendah. Penumbuhan aneka jenis industri, terutama agro industri, dan penumbuhan berbagai sektor jasa, dibutuhkan untuk memberi lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih luas sebagai pengganti. Tapi, jangan lupa, bukan hal mudah untuk menghapuskan ekspor TKW/TKI, karena di dalam bisnis itu secara menahun telah bersarang kepentingan-kepentingan khusus yang sebenarnya bukan lagi kepentingan bangsa dan negara. (socio-politica.com)