Pemberantasan Korupsi: Sudah Tiba di Batas Akhir Pengharapan (?)

PEMBERANTASAN korupsi, tampaknya sudah tiba di batas akhir pengharapan. Tak perlu lagi mengharapkan terlalu banyak pada rezim pemerintahan ini, mengenai penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Bahkan mungkin juga akan demikian, terhadap rezim yang akan datang, karena sepanjang yang bisa diamati di antara tokoh-tokoh yang disebutkan namanya saat ini sebagai kandidat presiden berikutnya, tak ada yang betul-betul bebas dari percikan lumpur korupsi masa lampau. Dan hanya keajaiban yang bisa membukakan jalan bagi tokoh-tokoh bersih masuk memimpin negara. Tapi itupun masih penuh tanda tanya, karena secara tradisional pengelolaan negara dan politik sejauh ini terlanjur penuh dengan manusia yang terbiasa dengan permainan kotor.

MACAN LESU. “KPK bukan hanya tak mampu menghadapi gempuran eksternal, tetapi juga dirundung berbagai masalah internal (kuantitatif maupun kualitatif) yang membuat dirinya lemah dan berjalan beringsut bagai macan uzur. Dan macan yang sebenarnya belum terlalu tua tapi sudah berperilaku uzur ini hanya mampu menerkam ternak kampung, tidak bisa mengejar khewan-khewan korupsi yang gesit dan kuat berkelompok”. (download koprol.com)

Dua keputusan terakhir Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terhadap Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaiti, memperlihatkan indikasi betapa kuatnya usaha melokalisir perkara korupsi agar tidak bisa merambah seluas-luasnya ke pelaku-pelaku kejahatan yang lebih di atas. Majelis Hakim perkara Nazaruddin, merasa perlu membuat pagar pengaman bagi Anas Urbaningrum, meskipun namanya disebut-sebut oleh begitu banyak saksi. Sementara itu, Majelis Hakim perkara Nunun Nurbaiti, membatasi perkara menjadi masalah gratifikasi, bukan penyuapan yang ancaman hukumannya lebih tinggi. Para anggota DPR yang terlibat dan telah diadili sebelumnya –dengan hukuman yang serba ringan– agaknya secara bersama berhasil menyajikan kesaksian-kesaksian yang mematahkan tuduhan bahwa mereka disuap untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom dalam pemilihan DGS Bank Indonesia.

Tercatat bahwa sejak berdirinya KPK dan kemudian Pengadilan Tipikor, vonnis-vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa koruptor ringan-ringan saja, antara 1 tahun 3 bulan sampai 3 tahun. Rata-ratanya Cuma 2 tahun 6 bulan. Tetapi sekali-kali ada juga yang sedikit lebih tinggi, 4 sampai 5 tahun, sehingga malah menimbulkan ‘keheranan’ apa ada yang salah dalam negosiasi?

Secara menyeluruh, dalam ruang dan waktu yang sama, kita melihat betapa KPK yang sangat diharapkan masyarakat sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi, ternyata begitu kedodoran. KPK bukan hanya tak mampu menghadapi gempuran eksternal, tetapi juga dirundung berbagai masalah internal (kuantitatif maupun kualitatif) yang membuat dirinya lemah dan berjalan beringsut bagai macan uzur. Dan macan yang sebenarnya belum terlalu tua tapi sudah berperilaku uzur ini hanya mampu menerkam ternak kampung, tidak bisa mengejar khewan-khewan korupsi yang gesit dan kuat berkelompok. Kalaupun ada khewan korupsi yang berhasil diterkam, sang macan pun lamban mengunyah karena beberapa giginya agaknya sedang berproses menjadi ompong. KPK periode lalu sampai disebut ‘masuk angin’, karena adanya kasus Bibit-Chandra. Dan tampaknya ‘masuk angin’ itu belum usai dan masih menghinggapi KPK periode baru ini. Apakah ‘masuk angin’ ini ada hubungannya dengan deal tertentu saat berlangsungnya proses seleksi di DPR atau sebelumnya? Perlu diperiksa lebih jauh. Perilaku uzur, ompong dan masuk angin, adalah kombinasi yang mematikan.

ADA beberapa ciri yang bisa digambarkan mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pertama, bersifat pilih-pilih tebu. Mula-mula pilih-pilih tebunya berdasarkan apakah suatu perkara menjadi perhatian publik atau tidak. Tapi lama-kelamaan pilih-pilih tebu itu menjadi tidak jelas. Tampaknya, aspek negosiasi dan berbagai subjektivitas mulai menjadi faktor.

Kedua, hanya mata rantai terlemah dalam jaringan korupsi yang tersentuh. Nanti bilamana yang dikorbankan sendirian ini frustrasi lalu mulai ‘menyanyi’, sehingga muncul tekanan opini publik, barulah mata rantai berikut mulai disentuh dalam suatu proses yang berlama-lama. Dan bila kecelakaan seperti ini terjadi akibat yang dikorbankan menyanyi, bermunculan barisan penangkis (dan pembela) yang ramai-ramai mengeroyok dan mendiskreditkan sang ‘penyanyi’: Melakukan fitnah lah, punya track record buruk lah (yang dimunculkan segera untuk membungkam dan melumpuhkan, seperti yang dialami Susno Duadji dan Nazaruddin) dan sebagainya, yang bila perlu dengan memunculkan saksi-saksi palsu.

Ketiga, proses dilambatkan dan dilama-lamakan (kasus Miranda Swaray Goeltom), dibelok-belokkan (kasus Wisma Atlet dan Hambalang sebagai lanjutan pengungkapan Nazaruddin), kalau bisa sih dibekukan (rekening gendut perwira Polri, keterlibatan sejumlah perwira tinggi dalam penanganan salah atas kasus Gayus Tambunan).

Keempat, kebenaran sejati tak betul-betul dikejar dan digali (seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century, kasus Gayus Tambunan, siapa sumber dana sebenarnya dalam kasus Nunun Nurbaiti, maupun penjerumusan Antasari Azhar yang diyakini sedang menjalankan proses pengungkapan berbagai kasus besar yang melibatkan kalangan atas kekuasaan).

Kelima, terkesan BAP, tuntutan jaksa sampai dengan keputusan hakim, terpatron dalam satu desain, dan cenderung mengabaikan atau meminggirkan fakta-fakta di luar alur desain, baik dalam penyidikan, pemberkasan perkara maupun dalam proses persidangan.

Pertanyaannya sekarang, masih cukup pantaskah kita semua untuk tetap percaya kepada KPK, barisan jaksa tipikor dan pengadilan tipikor, yang seyogyanya menjadi jawaban bagi harapan terakhir publik dalam hal pemberantasan korupsi? Mereka dibentuk dan dilahirkan, karena menurunnya kepercayaan kepada aparat penegak hukum dan pelaksana keadilan konvensional yang ada, sehingga sungguh tragis bila mereka pada akhirnya menjadi sama tak dipercayanya dengan yang mereka gantikan. Apakah, sejarah kembali berulang? Lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia, dari waktu ke waktu, Operasi Budi, TPK, Komisi 4, Opstib (yang bertugas memberantas korupsi kecil-kecilan), yang untuk sebagian bersifat proforma dan bagai macan ompong, senantiasa tewas. Apakah KPK yang superbody juga akan tewas pada akhirnya? Kelihatannya pemberantasan korupsi kini pun sudah tiba di batas akhir pengharapan, karena ternyata barisan dan jaringan kaum korupsi memang lebih kuat.

APAKAH DPR yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat, bisa diharapkan ikut mengatasi persoalan dan mungkin akan melontarkan gagasan baru dalam rangka pemberantasan korupsi? Tampaknya tidak, karena mereka justru adalah bagian dari masalah saat ini, seperti halnya kalangan eksekutif dan judikatif. Dan menurut analisis berdasarkan berbagai data empiris, justru induk mereka, partai-partai politik menjadi salah satu lembaga sumber perilaku korupsi dalam konteks politik uang yang dominan dalam perpolitikan kita beberapa tahun terakhir ini. Apalagi, kebanyakan anggota DPR sering punya kesibukan tersendiri yang tak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat yang katanya diwakilinya.

Sebagai penutup, kita kutipkan humor yang banyak beredar belakangan ini melalui SMS (pesan singkat) ataupun media sosial lainnya, semacam satire tentang anggota DPR, berikut ini.

Seorang yang saleh dan bersih selama hidupnya di dunia, meninggal dan masuk ke surga. Di sana, ia cukup terheran-heran, melihat begitu banyak anggota DPR yang di’kenal’nya semasa hidup di dunia, termasuk yang banyak disorot media, juga berada di surga. Penasaran ia bertanya kepada seorang malaikat penjaga, “Mereka juga penghuni surga….?”. Malaikat menjawab, “Oh tidak… Mereka di sini sedang berkunjung untuk melakukan studi banding. Besok, mereka akan kembali ke neraka…”.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s