Basis umat mengambang yang diperebutkan
DENGAN mengambangnya massa NU setelah kembali ke khittah, karena tak lagi menjadi partai politik yang mengikat, massa (jami’yat) NU terpecah menjadi pendukung berbagai partai. Terutama sekali mereka berada di PPP dan Golkar, dan saling bersaing keras untuk memenangkan partai (baru)nya masing-masing. Pada kampanye 1999, misalnya, di Pekalongan terjadi perselisihan berdarah antara pendukung PKB dengan PPP yang sebenarnya sama-sama warga NU (Suara Hidayatullah, 04/XIV/Agustus 2001). Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I PPP yang lalu (21/2) diadakan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, pesantren salaf yang dipimpin oleh KH A Idris Marzuqi (Kompas, 22 Februari 2012). “Orientasi politik umat NU sudah berubah. Untuk urusan keagamaan, mereka masih sami’na wa atha’na(mendengar dan patuh) kepada kiai. Tetapi untuk politik, tingkat kepatuhannya sangat longgar”, kata Kacung Marijan, Guru Besar FISIP Unair, Surabaya kepada sebuah media ibukota (Kompas, 17 Januari 2012).

Bilamana ingin menentukan berapa besar massa NU tersebut, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmi pun yang bisa dirujuk untuk itu. Ini terjadi tak lain karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. “Titik lemah NU adalah aspek organisasi. Banyak tokoh NU bergurau mengatakan bukan NU kalau organisasinya baik,” tulis Salahuddin Wahid dalam sebuah artikelnya “Ke Mana NU Menuju?” (Kompas, 14 Februari 2012)
Namun, apabila dilihat dalam konteks pendukung atau simpatisan, dari segi politik besaran kuantitatif itu bisa dilihat dari angka perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKB, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP dan Golkar. Sedangkan dari segi paham keagamaan, bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham keagamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48 persen dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham keagamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan basis budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, banyak penduduk NU di desa yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat ini di sektor buruh di perkotaan juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister itu belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan.
Masalahnya, bertambahnya jumlah tamatan pesantren yang belajar ke luar negeri, terutama negara Barat, mengakibatkan munculnya perbedaan penafsiran terhadap ajaran ahlus sunnah waljama’ah di kalangan NU. Muncul keinginan memperoleh ruang lebih besar bagi kekebasan berpikir. Paling bebas adalah mereka yang bergabung di dalam “Jaringan Islam Liberal”. Selain itu, berkembang pula paham radikal di kalangan NU akar rumput, sebagai sisi ektrim yang lain. Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab, misalnya, menegaskan bahwa organisasinya merupakan bagian dari Nahdlatul Ulama. “NU adalah rumahnya FPI, Alhamdulillah. Diakui atau tidak, kita bagian dari NU,” kata Habib Rizieq, dalam acara Maulid Akbar NU di Jalan Talang 3, Jakarta, Minggu (27/2/2011). “Islam sangat menghargai perbedaan, keragaman dan kemajemukan. Kita bisa duduk bertetangga dan bergaul dengan umat agama lain di republik ini. Itulah pluralitas dalam Islam,” ujarnya. Namun dirinya mengingatkan, walaupun Islam menghargai keberagaman dan menerima agama lain tetapi ada yang dilarang oleh Islam. “Jangan coba-coba melakukan penodaan agama,” tukasnya. (http: //www.tribunnews.com/2011/02/27…h-rumahnya-fpi).
Selain itu, keikutsertaan pimpinan NU dalam politik praktis, mengakibatkan basis umat terlupakan, sehingga bisa dimasuki oleh kelompok radikal yang memang menjadi musuh sejati NU. Ansyad Mbai, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) –dalam sebuah diskusi “Dari Radikalisme ke Terorisme: Memperluas Agenda Deradikalisme dan Memperkuat Implementasi Empat Pilar NKRI”, yang diselenggarakan Setara Institute di Jakarta, Rabu (25/1)– mencontohkan, sebuah masjid di Pamulang, Tanggerang Selatan, mulanya diurus NU, tetapi kemudian dikuasai kelompok radikal (Kompas, 26 Januari 2012).
Jauh sebelumnya, sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam telah berani dengan serampangan mengambilalih masjid-masjid milik warga NU dengan alasan bid’ah dan beraliran sesat. “Saya mendapat laporan, masjid-masjid milik warga NU, terutama di daerah-daerah banyak yang diambilalih oleh kelompok yang mengklaim dirinya paling Islam. Alasannya, karena NU dianggap ahli bid’ah dan beraliran sesat,” demikian diungkapkan Ketua PBNU Masdar F Mas’udi kepada wartawan di Kantor Wahid Institute, Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta, Rabu (24/5/2007). Pengambilahan tersebut berupa penggantian para takmir masjid yang selama ini diisi oleh warga nahdliiyin. Demikian juga dengan pelarangan tradisi-tradisi ritual keagamaan khas NU, seperti adzan dua kali dalam shalat Jum’at, shalat qabliyah Jum’at, tahlilan, maulid nabi, dan penggantian tradisi NU lainnya (NU Online, 29/12/2010 jam 08:52).
Tidak heran bila genderang perang mulai ditabuh NU untuk menghadapi gerakan dari kelompok Islam garis keras yang muncul tersebut. Pada Sabtu (25/2) lalu, Pimpinan Pusat (PP) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) mengeluarkan maklumat tentang peneguhan kembali ajaran dan amaliyah ahlussunnah wal jamaah yang selama ini dijalankan oleh warga nahdliyin. Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu siap melayani ‘tantangan’ kelompok Islam radikal yang sudah sangat meresahkan warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU) itu (NU Online, Jakarta, 27 Ferbruari 2007 20:02).
Kembali ke basis pembinaan umat
Bagaimanapun perubahan lambat laun mengusik kemapanan tradisi. Kekuatan posisi ulama pada masa lalu karena kedekatan dengan warga yang diayominya, sekarang mulai berkurang karena menjauhnya sebagian ulama akibat kesibukan mereka dalam masalah pragmatis, seperti persaingan politik, organisasi dan bisnis. Terutama menjelang pemilu, para politisi rajin mengunjungi para ulama minta restu yang ujung-ujungnya adalah untuk memanen suara dari jamaah sang ulama.
Karena itu pesantren menjadi sasaran para praktisi sekarang ini, terutama dari kelompok radikal yang sedang mengumpulkan kekuatan. Masalahnya, pesantren akrab dengan NU, sehingga pesantren radikal akan dianggap sebagai kelompok NU yang radikal. Pada hal banyak sekali bermunculan pesantren-pesantren “dadakan” yang eksklusif. “Kehadiran pesantren jenis ini tampaknya tengah menggempur kota hingga desa. Militansi yang berlebihan dari kelompok Muslim dengan dalih ‘dakwah’ telah menjadikan pesantren bercitra menakutkan. Padahal, selama ini pesantren mempunyai citra teduh dan santun dalam mengembleng santri memahami ajaran Islam”, tulis Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU (“Kembali ke Pesantren”, Kompas, 10 Februari 2012). Dalam suasana merebaknya radikalisme agama, wajar bila NU mengambil sikap “siaga satu” menghadapi perubahan yang dipaksakan kelompok lain.
Mungkin masalah yang lebih mendasar bagi NU adalah semakin langkanya tokoh-tokoh sekaliber pimpinan NU era awal yang terbina dengan keras, karena yang nampak sekarang adalah kecenderungan munculnya kader-kader muda yang ingin cepat berkibar melalui jalur pintas keluarga.
*Tulisan ini disusun untuk sociopolitica olehSyamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’. Namun, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
mohon maaf saudaraku marilah kita bersatu jangan suka berdebat di depan umum (televisi) tentang agama kita ini (malu “””” malu rasanya) agama kita sering dilecehkan karena kepintarankita hobi kita debat di depan umatnya sendiri yuk bersatu malu malu (kurangi sahwat merasa benar dan pintar sendiri. mohon maaaf sekali lagi