SEBUAH cerita belakang layar yang menarik muncul melalui The Sydney Morning Herald, Australia (25/6), tentang di’sembunyikan’nya hasil survey keunggulan elektabilitas Prabowo Subianto di masa-masa injury time saat ini menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014. “Former military strongman Prabowo Subianto has for the first time pulled level or even slightly ahead of the previous favourite, Joko Widodo, in the Indonesian presidential race, credible polling apparently shows,” demikian dituliskan. “But in a twist, one or more of those polls has been witheld from publication, apparently for fear of dishearting the Joko camp and shifting more votes to Mr Prabowo.” Satu atau lebih dari hasil jajak pendapat tidak dipublikasikan, karena kuatir mengecewakan kubu Jokowi di satu pihak, dan pada pihak lain bisa lebih memacu naik elektabilitas Prabowo Subianto.

But in a twist, one or more of those polls has been witheld from publication, apparently for fear of dishearting the Joko camp and shifting more votes to Mr Prabowo.
A number of source contacted by Fairfax Media have confirmed that three credible polling organisations have now measured the gap between the two candidates at either within the margin of error, or with Mr Prabowo in the lead.
It’s a remarkable turnaround. Until the campaign began, Mr Joko, the popular Jakarta governor, have a double-digit lead.
But Mr Joko has been flat-footed by his opponent’s populist rhetoric, bolstered by a big-spending advertising campaign, blanket media coverage from TV stations owned by Mr Prabowo’s allies, and a successful “black” campaign of racial and religious smears against Mr Joko.
In early June the Indonesian Survey Institute said his lead had narrowed to 6.3 per cent –down from over 20 per cent earlier in the year. And on Monday, another (less credible) polling company, the Indonesia Survey Institute, showed Mr Prabowo with 51.2 per cent compared to Mr Joko’s 48.8 per cent.
But Lowy Institute research fellow Aaron Connelly wrote on Tuesday that Indonesia’s most credible pollsters –the international group CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting, and Indikator– had now judged the race to be neck and neck.
“Prabowo Subianto must now be considered the favourite to win the July 9 presidential election, a result that was unthinkable just a month ago,” Mr Connely wrote.
Fairfax Media has now confirmed with a number of sources that CSIS finalised a poll on June 15 showing a negligible gap between the two campaigns, but has refused for 10 days to release it.
Sources says that reason may be because all three have a foot –either financial or philosophical– in the Joko camp. CSIS executive director Rizal Sukma, a respected international relations expert, briefed Mr Joko for his presidential debate last Sunday.
They fear that publishing the information may prompt even more support to flow to Mr Prabowo in a country where analysts belive a strong “back the winner” mentality exists.
Neither Mr Rizal nor Burhanuddin Muhtadi, of Indikator responded to calls or texts on the subject, and Saiful Mujani of Saiful Mujani Research and Consulting was in hospital, according to a spokesman. (gambar reuters)
Michael Bachelard, koresponden Fairfax Media di Jakarta, mengutip Aaron Connelly dari Lowy Institute yang menyebutkan lembaga jajak pendapat terkemuka di Indonesia –CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting dan Indikator– menyimpulkan bahwa persaingan antara dua kandidat presiden makin ketat. “Prabowo Subianto must now be considered the favourite to win the July 9 presidential election, a result that was unthinkable just a month ago,” kata Connelly. Prabowo kini diperhitungkan sebagai favorit yang akan memenangi pemilihan presiden 9 Juli mendatang, sesuatu yang sebulan lalu takkan terpikirkan.
Kenapa lembaga-lembaga jajak pendapat itu masih ‘menyembunyikan’ hasil survey mereka? Michael Bachelard mengutip beberapa sumber, bahwa yang menjadi alasan, mungkin karena tiga lembaga survey tersebut memiliki pijakan kaki di kubu Jokowi, baik karena masalah finansial maupun keterkaitan persamaan pandangan.
Dalam hal ini, tidak perlu menjadi pendukung Prabowo Subianto lebih dulu, untuk mencela sikap lembaga-lembaga survey yang menyembunyikan hasil survey atau jajak pendapat dari publik. Begitu pun sebaliknya. Manipulasi hasil jajak pendapat atau hasil survey, merupakan kejahatan. Bila dilakukan karena uang, atau interest lainnya, ia berkategori prostitusi intelektual. Tiga lembaga yang disebut namanya oleh Connelly dalam berita The Sydney Morning Herald, tentu perlu memberi penjelasan terbuka kepada publik. Ke depan, perlu menjaga agar lembaga-lembaga survey tetap berjalan di atas jalur dan metode yang seharusnya.
Kampanye hitam sebagai kambing hitam. Koran Tempo, Jumat 27 Juni, menurunkan laporan “Pemilih Jokowi Lari”. Menurut Fitri Hari dari Lingkaran Survey Indonesia seperti yang dikutip Tempo, “elektabilitas Jokowi-Kalla terus terkejar terutama karena kampanye hitam yang mendera pasangan nomor urut dua tersebut.” Dalam berita yang sama disebutkan, Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud MD, membantah kalau Jokowi yang paling dirugikan akibat kampanye hitam. Mahfud mengatakan, Prabowo juga dirugikan oleh kampanye hitam dari kubu lawan. Maka Mahfud meminta polisi bertindak mengusut semua kampanye hitam. “Biar diselesaikan secara hukum.”
Sebenarnya, tak sepenuhnya tepat bila kampanye hitam terus menerus dikambing-hitamkan sebagai penyebab mandeg atau menurunnya elektabilitas pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Banyak faktor yang bila dianalisis dengan cermat, ikut berbicara sebagai faktor ketersendatan popularitas Jokowi. Dengan berjalannya waktu, publik bisa mulai melihat beberapa kekurangan Joko Widodo dalam konteks standar kualitas presidensi. Selama ini Jokowi mengapung dalam pencitraan berdasar rekam jejak sentimentil yang disajikan lebih mirip dongeng 1001 malam. Kekurangan-kekurangan Jokowi banyak muncul di arena debat Capres. Berbicara terlalu banyak mengenai masalah-masalah mikro, padahal dari seorang presiden lebih dibutuhkan penguasaan masalah makro dan kemampuan memproyeksi masa depan sebagai seorang pemimpin. Jokowi selalu mengatakan, yang terpenting adalah pengambilan keputusan di lapangan. Ini bisa menimbulkan salah paham, apakah ia tidak menganggap penting perencanaan yang selalu akan merupakan hasil kerja kolektif dalam kepemimpinan. Dan, apakah dengan menekankan pemecahan masalah dengan pengambilan keputusan oleh pemimpin di lapangan, berarti ia akan lebih banyak melakukan solo run menjalankan single decision making?
Setidaknya, dalam dua debat terakhir –khususnya dalam masalah internasional dan pertahanan keamanan, 22 Juni malam– secara objektif harus diakui Jokowi secara kualitatif tampil kurang mengesankan. Penguasaan masalah yang dimilikinya ternyata tidak memadai. Misalnya, saat harus menjawab masalah penggunaan drone dan satelit, ia tak mampu memberi keyakinan bahwa ia menguasai dengan baik aspek teknologis dari apa yang menjadi gagasannya. Terkesan sekedar ‘snob’. Ia pun agaknya tak begitu mampu membaca masalah Laut Cina Selatan dengan segala potensi konflik antar negara yang mengitarinya, yang bisa mengganggu stabilitas kawasan. Sementara itu, Kepulauan Natuna milik Indonesia yang kaya gas alam persis ada di tepi selatan Laut Cina Selatan.
Ia pun menjadi serba salah tatkala harus menjawab mengenai beban masa lampau tentang penjualan Indosat di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri. Mungkin ada benarnya apa yang pernah dikatakan Guruh Soekarnoputera bahwa Jokowi baru siap lima tahun mendatang, yakni setelah merampungkan tugas dan pembuktian diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Maka benar juga pandangan Jusuf Kalla, hampir dua tahun lalu, bahwa berbahaya bila pencalonan presiden dilakukan dengan cara coba-coba.
Bumerang. Tak kalah pentingnya, harus dicatat bahwa kubu Jokowi-Jusuf Kalla, sadar atau tidak sadar ternyata banyak melakukan serangan yang terkesan penganiayaan politik tatkala terlalu banyak mengungkit ‘dosa’ masa lalu atau stigma pelanggar HAM terhadap Prabowo Subianto. Harus mawas diri dan jangan tergelincir meluncurkan bumerang yang sewaktu-waktu bisa memukul balik diri sendiri. Dalam pemilihan presiden yang lalu, ketika Megawati Soekarnoputeri tampil sebagai calon presiden didampingi Prabowo Subianto, Mega dan partainya membela Prabowo tidak terlibat pelanggaran HAM. Kini, mereka mati-matian menggempur Prabowo dengan isu yang sama dari arah yang terbalik.
Kesan penganiayaan politik menguat terutama ketika sejumlah jenderal purnawirawan di kubu Jokowi ramai-ramai menyerang Prabowo dengan senjata Peristiwa 1998. Padahal, para jenderal purnawirawan itu sendiri sama-sama penyandang stigma Peristiwa 1998, dan perlu dipertanyakan juga peran buruknya dalam kancah kekuasaan di masa itu, selain diketahui punya sejarah rivalitas dengan Prabowo Subianto. Jangan-jangan mereka menutupi dosa mereka sendiri dengan menumpahkan dosa 1998 itu ke bahu Prabowo Subianto seorang.
Ini bukan pembelaan untuk Prabowo Subianto. Pada waktunya, bila suatu Komisi Kebenaran pada akhirnya bisa terwujud, dan kebenaran sejati peristiwa sekitar tahun itu terungkap, semua dosa akan menjadi jelas, siapa pun dia sang penyandang dosa. Prabowo Subianto maupun Wiranto dan para jenderal purnawirawan lainnya atau tokoh sipil yang pernah terlibat dosa masa lampau menjadi jelas posisinya dalam kerangka peristiwa. Tangan mencencang, bahu memikul. Tak ada pilih-pilih tebu. (socio-politica.com)