Tag Archives: Qoyum Tjandranegara

Pada Wilayah Kesenjangan Sosial Ekonomi: Peristiwa 10 Mei 1963 (2)

Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya”.

Peristiwa telah berkembang mengagetkan. “Akan tetapi, yang lebih mengherankan lagi di luar kampus ITB telah berkumpul banyak sekali mahasiswa, pelajar dan pemuda”. Massa campuran ini kemudian bergerak ke arah Bandung bagian bawah melalui Jalan Dago (kini Jalan Ir H. Juanda), ke Jalan Braga yang merupakan daerah pertokoan dan berbelok ke Asia Afrika. Bagian Barat jalan ini, setelah Alun-alun Bandung, penuh dengan pertokoan hingga ke Jalan Raya Barat (kini Jalan Jenderal Sudirman) dan berpotongan dengan Jalan Otto Iskandardinata yang juga adalah daerah pertokoan. Toko-toko yang diketahui milik etnis china dirusak, lebih dari seratus mobil dibakar, dan lebih banyak lagi sepeda motor. Beberapa bagian lain kota Bandung juga terjalar kerusuhan. Bahkan, rentetan peristiwa serupa merambat ke sejumlah kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang dan Tasikmalaya di arah Timur Bandung dan Cianjur serta Sukabumi di arah Barat Bandung. Cirebon, yang terletak di pantai Utara Jawa Barat, kembali mengalami kerusuhan, padahal pada 27 Maret sebelumnya suatu kerusuhan rasial yang menimpa etnis china di sana telah pecah lebih dulu.

Peristiwa di Cirebon inilah, sepanjang pengakuan beberapa mahasiswa asal Cirebon, seperti Dedi Krishna dan Tari Pradeksa, yang menjadi pemacu mereka untuk dengan cepat mengambil peranan dalam Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung itu. Menjalar dan membesarnya peristiwa yang semula direncanakan oleh aktivis kampus yang apolitis, tak terlepas dari peran aktivis seperti Soeripto dan kawan-kawan dari Gemsos, serta aktivis anti komunis dan anti Soekarno seperti Rahman Tolleng –yang sebenarnya adalah seorang pengecam sikap dan perilaku rasialis sebagaimana yang terlihat kelak dalam berbagai sepak terjang politiknya.

Mereka inilah yang menambahkan dimensi politik ke dalam peristiwa, sehingga membesar, meluas dan bermakna politis yang mengusik kekuasaan Soekarno. Secara politis, peristiwa ini mendapat sofistikasi sebagai gerakan penolakan masyarakat terhadap peranan politik Baperki yang bergandengan dengan PKI dan serangan terhadap kedekatan politik Soekarno dengan Peking (kini, ditulis Beijing). Kelompok inilah yang juga menyebarkan psywar tentang keterlibatan Guntur Soekarnoputera dalam peristiwa, yang isunya dengan cepat merambat, sehingga sempat muncul semacam keraguan bertindak di kalangan aparat. Namun selang beberapa waktu kemudian, isu keterlibatan Guntur itu berputar balik dan tiba ke telinga para penyebar awal isu tersebut dan sempat mereka percayai kebenarannya tanpa menyadari bahwa isu itu tak lain adalah pengembangan dari isu yang mereka lontarkan sebelumnya. Tetapi terlepas dari itu, tampaknya memang sejumlah perwira di Kodam Siliwangi memang sedikit membiarkan peristiwa terjadi dan membesar. Bahkan beberapa penggerak peristiwa kemudian hari mengungkapkan adanya jaminan takkan ada penangkapan yang disampaikan oleh beberapa perwira sebelum terjadinya peristiwa.

Di wilayah abu-abu

Peristiwa 10 Mei 1963 ini memang ada di wilayah abu-abu. Ia adalah satu peristiwa politik dengan beberapa tujuan politik dari sebagian para pelakunya. Sekaligus ia adalah pula satu peristiwa yang bagaimana pun termasuk sebagai suatu kerusuhan berdasar rasial, yang menunjukkan betapa pada waktu itu secara objektif sentimen ras memang kuat adanya di tengah masyarakat. Sebagian pelakunya, dengan terus terang mengakui bahwa sentimen ras lah yang telah memicu keterlibatan mereka, seperti Siswono misalnya, karena sebagai anggota GMNI yang mengidolakan tokoh Soekarno, tak mungkin ia bermaksud melakukan kegiatan politik menentang Soekarno. Namun tak urung Siswono mendapat sorotan juga dari internal organisasinya, GMNI, atas keterlibatannya dalam peristiwa tersebut. Dan adapun Soekarno, memang menunjukkan kemarahannya terhadap peristiwa di Bandung ini dan menyebutnya sebagai gerakan subversif yang dilakukan oleh kaum kontra revolusi. PKI menuduh eks PSI dan eks Masjumi berada di belakang peristiwa ini.

Tuduhan-tuduhan serupa pun berseliweran melalui beberapa organisasi mahasiswa ekstra universiter berhaluan kiri, termasuk dari GMNI. Di tengah arus kecaman, muncul satu nada pembelaan atas keterlibatan sejumlah mahasiswa dalam peristiwa itu, melalui pernyataan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung yang ditandatangani oleh Ketua Awan Karmawan Burhan dan Sekretaris FX Djoko Sudibyo. Awan adalah tokoh mahasiswa yang juga adalah Ketua CSB (Corpus Studiosorum Bandungense), sedang Djoko Sudibjo –mahasiswa ITB asli Jawa yang sering dianggap beretnis Cina karena penampilannya yang mirip– adalah dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dua organisasi rival bagi organisasi ekstra kelompok kiri yang bergabung dalam PPMI. Hanya sehari sesudahnya, muncul pernyataan tandingan, juga mengatasnamakan PPMI, namun tanpa tandatangan, yang isinya mengutuk Peristiwa 10 Mei dan keterlibatan mahasiswa kontrev dalam peristiwa tersebut.

Dalam tempo yang tak lama pula, menyusul tindakan pimpinan pusat PPMI di Jakarta, Bambang Kusnohadi yang juga adalah Ketua Umum GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), membekukan PPMI Konsulat Bandung. Tindakan ini dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Indonesia atau Mapemi. Ke dalam Mapemi bergabung PPMI Konsulat Bandung dan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) Konsulat Bandung. Mahasiswa ITB, pimpinan Imaba (Ikatan Mahasiswa Bandung) yang juga adalah seorang perwira cadangan AD jalur Wamil (Wajib Militer) berpangkat Letnan Dua, Mangaradja Odjak Edward Siagian, dipilih sebagai Ketua Mapemi. MMI adalah sebuah wadah nasional yang menghimpun institusi-institusi student government intra kampus seperti dewan-dewan mahasiswa dan senat-senat mahasiswa. Sehingga, dengan penggabungan itu, Mapemi menjadi organisasi pertama dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia yang menghimpun organisasi-organisasi mahasiswa intra dan organisasi-organisasi ekstra. Pola ini dipakai pula kelak dalam pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di tahun 1966.

Sepuluh tahun setelah Peristiwa 10 Mei 1963, di Bandung terjadi lagi satu peristiwa bias politik yang juga terpacu oleh aspek rasial yang berpadu dengan fakta kesenjangan sosial akibat kegagalan penanganan penguasa terhadap aspek sosial dan ekonomi, yakni Peristiwa 5 Agustus 1973. Setiap kali ada ketidakpuasan dalam masyarakat dan penguasa gagal mengelolanya, hanya bertindak sebatas membendung dan meredam sindrom belaka, akan terjadi penyaluran ketidakpuasan dengan mendobrak beberapa mata rantai sosial yang terlemah yaitu sentimen berdasar perbedaan ras, agama dan kesukuan. Kelompok etnis yang berada paling depan dalam sentimen-sentimen itu, adalah keturunan china, karena faktor historis sejak masa kolonial dan beberapa hal yang melekat, yakni perbedaan ras itu sendiri, dan biasanya pula mereka menganut agama-agama yang berbeda dengan mayoritas anggota masyarakat. Ini semua lebih diperkuat lagi karena kesan keunggulan mereka dalam peranan-peranan ekonomi, dan dengan demikian mereka pun lalu berada di hadapan jurang perbedaan sosial. Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini, tercatat betapa kesenjangan sosial ekonomi ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan. Berita-berita terakhir menunjukkan betapa di tengah retorika tentang apa yang disebut keberhasilan pembangunan ekonomi, ternyata masih terdapat kalangan akar rumput yang masih morat-marit hidupnya dan harus memasukkan nasi aking ke dalam menu sehari-harinya. Terdapat masih begitu banyaknya orang yang tak berkemampuan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Sebagian lainnya lagi masih menghuni gubuk-gubuk liar di tanah negara, untuk menyambung hidup sementara yang lainnya lagi mencari nafkah sebagai pedagang kaki lima di lapak terlarang dan harus sewaktu-waktu ‘bertempur’ melawan Pasukan Satpol PP yang akan menggusurnya.

Akhir dari Peristiwa 10 Mei 1963 bagi para pencetus awalnya di kampus dan kemudian perluasannya di luar kampus adalah proses peradilan dan penjatuhan hukuman penjara. Secara khusus, Soekarno menginstruksikan kepada Jaksa Agung, agar para mahasiswa pelaku Peristiwa 10 Mei itu dituntut dengan hukuman tinggi. Dedi Krishna, tokoh PMB, yang peranannya menjadi sorotan utama dalam pers kala itu, dijatuhi hukuman penjara paling berat, yaitu 6 tahun. Selain peranannya, salah satu sebab yang membuat Dedi Krishna menjadi pusat perhatian, adalah namanya yang terasosiasikan dengan nama seorang tokoh pewayangan, paman para Pandawa lima. Pada masa Soekarno, analogi dengan dunia pewayangan selalu menimbulkan minat khas di tengah masyarakat. Selain itu, profil tubuhnya yang cukup tinggi besar, sepertinya dianggap ‘memenuhi’ syarat sebagai pemimpin gerakan massa. Terlibatnya nama kampus ternama ITB, sebagai titik cetus awal peristiwa, juga menjadi faktor penting lainnya.  Di urutan ketiga dengan hukuman 3 tahun penjara adalah Siswono Judohusodo, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, Djoko Santoso, Tari Pradeksa, Theo Pieterz. Soeripto yang menjadi salah satu matarantai peristiwa merambat ke luar pagar kampus, ada di level kedua, dengan hukuman 4 tahun penjara. Iwan Zoechra dalam pada itu, dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Rahman Tolleng, yang sudah berstatus buronan sebelum peristiwa terjadi, tercium keterlibatannya namun tak tertangkap dan memperpanjang masa buronannya sampai ia kemudian muncul ke permukaan setelah Peristiwa 30 September 1965. Beberapa nama itu kelak dikenal lebih luas karena peranannya baik dalam pergerakan 1966 maupun sesudahnya, di dalam ataupun di luar kekuasaan pemerintahan.

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (6)

“Apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini dengan sadar ‘melakukan’ pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian posisi politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan ‘fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan kawan-kawan, serta Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi ‘melawan’ terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke dalam kekuasaan pasca Soeharto atau dunia kepartaian…”.

SIKAP Soeharto kemudian berubah menjadi sangat taktis dan kompromistis terhadap Soekarno, justru setelah ia menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret dan meningkat dengan pengukuhan suatu Tap MPRS. Ini mengecewakan sejumlah aktifis generasi muda yang sejak Januari 1966 –bahkan sejak Oktober 1965– sampai Maret 1966 sebenarnya menjadi ujung tombak pergerakan yang sengaja atau tidak telah menciptakan begitu banyak kesempatan kekuasaan bagi Soeharto.

Namun ada situasi mendua, tepatnya pembelahan, di dalam tubuh aktivis pergerakan generasi muda setelah 11 Maret 1966. Sebagian mulai terlibat ancang-ancang masuk dalam barisan Soeharto –terutama melalui sejumlah jenderal atau jenderal politisi maupun politisi sipil di lingkungan Soeharto– untuk turut serta dalam kekuasaan praktis, baik itu masih berupa sharing dengan Soekarno maupun kemudian pada waktunya sepenuhnya tanpa Soekarno lagi. Mungkin dalam kelompok ini dapat dimasukkan aktivis-aktivis seperti dua bersaudara Liem Bian Koen dan Liem Bian Kie yang punya kedekatan khusus dengan Ali Moertopo dan kawan-kawan yang sejak awal berada di lingkaran Soeharto. Belakangan akan bergabung nama-nama seperti Cosmas Batubara –tokoh KAMI yang paling legendaris di tahun 1966– dan Abdul Gafur. Ini semua bisa dihubungkan dengan fakta bahwa ketika Soeharto memilih untuk bersikap lebih taktis, secara diam-diam seperti yang digambarkan John Maxwell (2001), Soeharto mengambil langkah-langkah di balik layar untuk melakukan tugas yang sulit, yaitu merehabilitasi perekonomian Indonesia yang sekarat dan mengganti kebijaksanaan luar negeri Soekarno yang penuh petualangan dengan mengakhiri kampanye konfrontasi.

Untuk tujuan yang lebih pragmatis, “pada saat yang sama, Soeharto segera bergerak menggalang dukungan politik di dalam dan di luar tubuh militer”. Pembersihan dilakukan di dalam tubuh angkatan bersenjata, khususnya di tubuh Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian yang paling kuat mendukung Soekarno. Proses yang sama dilakukan di semua tingkat birokrasi pemerintahan di bawah pengawasan aparat sosial politik tentara. Dalam rangka konsolidasi di tubuh angkatan bersenjata, ada yang dirangkul ada yang diringkus, atau dirangkul dulu lalu diringkus. Brigjen Soedirgo, Komandan Korps Polisi Militer, adalah salah satu contoh dari pola ‘dirangkul lalu diringkus’. Soedirgo yang sebelum peristiwa tanggal 30 September 1965, pernah mendapat perintah Soekarno untuk menindaki jenderal-jenderal yang tidak loyal, sempat diberi posisi puncak di pos intelijen selama beberapa lama, sebelum akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan di tahun 1968.

Kelompok yang paling cepat meluncur kepada fase mengakhiri kekuasaan Soekarno dengan segera adalah terutama kelompok mahasiswa di Bandung pada umumnya, yang sejak awal terjadinya Peristiwa 30 September, menunjukkan sikap anti Soekarno, bukan sekedar anti komunis, yang makin menguat hanya dalam tempo enam bulan hingga Maret 1966. Secara historis, sikap anti Soekarno ini bahkan sudah ada bibitnya masih pada zaman Nasakom. Kekuatan mahasiswa Bandung terutama ada pada organisasi-organisasi intra kampus, dengan tiga kampus utama sebagai basis, yakni ITB dan Universitas Padjadjaran lalu Universitas Parahyangan. Dan satu lagi, yang berbeda dengan kampus utama lainnya, yakni IKIP, yang secara tradisional student government-nya tanpa jedah didominasi oleh HMI.

Sementara itu di luar kampus, terdapat kelompok-kelompok mahasiswa yang mempunyai peranan dalam pergerakan mahasiswa. Tetapi yang khas adalah bahwa mereka, meskipun kerap bergerak di luar pagar kampus, tetap mempunyai aspirasi yang sama dan bahkan memperkuat aspirasi intra kampus. Banyak dari mereka, selain bergerak di luar malahan juga adalah aktivis intra kampus, namun tidak membawa-bawa nama kelompoknya di luar dalam kegiatannya di kampus sehingga tidak menghadapi resistensi di kampus. Salah satu kelompok yang terkenal adalah kelompok Bangbayang. Lainnya adalah kelompok Kasbah dan kelompok Masjid Salman ITB. Di luar itu, ada Rahman Tolleng dan kawan-kawan yang kemudian setelah terbitnya Mingguan Mahasiswa Indonesia (mulanya sebagai edisi Jawa Barat) 19 Juni 1966 menjelma menjadi satu kelompok politik tangguh dan dikenal sebagai Kelompok Tamblong Dalam sesuai nama jalan tempat kantor mingguan itu berada. Pada kelompok Tamblong ini bergabung sejumlah tokoh mahasiswa intra kampus maupun ekstra kampus, mulai dari organisasi-organisasi yang tergabung dalam Somal, Damas (Daya Mahasiswa Sunda), Mapantjas, PMKRI sampai GMNI Osa Usep, serta aktivis mahasiswa independen lainnya. Aktivis dari HMI dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiah) hanya satu-dua yang terselip di sini.

Dalam kelompok Bangbayang terdapat ‘campuran’ aktivis dengan catatan sepak terjang yang beraneka ragam dengan keterlibatan dalam beberapa peristiwa politik penting. Ada tokoh-tokoh seperti Dedi Krishna, Tari Pradeksa, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, yang terlibat Peristiwa 10 Mei 1963 dan berbagai peristiwa di ITB dan sebagainya. Nama lain dalam kelompok ini yang umumnya adalah mahasiswa ITB adalah Roedianto Ramelan, Anhar Tusin, Fred Hehuwat, Riswanto Ramelan, Santoso Ramelan, Zainal Arifin, Indra Abidin, Bernard Mangunsong, Irwan Rizal, Utaryo Suwanto, Andi Sjahrandi dan lain-lain. Yang dari Universitas Padjadjaran adalah Parwito Pradotokusumo serta beberapa nama lain. Sampai bertahun-tahun kemudian kelompok Bangbayang ini masih ada dengan nama Persaudaraan Bangbayang dengan ratusan ‘anggota’ yang masih kerap berkomunikasi satu sama lain.

Kelompok ini, melalui beberapa ‘anggota’nya, memiliki persinggungan dengan berbagai kelompok politik, seperti kelompok PSI (Jalan Tanjung), kelompok perwira militer idealis yang berperan pada masa peralihan Orde Lama-Orde Baru, juga dengan intelijens AD, serta kelompok politik Islam dari Masjumi. Namun dengan segala persentuhan itu, Bangbayang tetap termasuk dalam kelompok mahasiswa independen. Melalui Muslimin Nasution, Bangbayang memiliki titik singgung dengan kelompok (Islam) Masjid Salman (dan HMI). Dan karena kebersamaan dalam Peristiwa 10 Mei 1963, mempunyai titik singgung dengan mahasiswa GMNI Ali-Surachman, Siswono Judohusodo (Barisan Soekarno Bandung, 1966). Secara ‘geografis’ Bangbayang bertetangga dengan kelompok mahasiswa Islam ‘Kasbah’. Anggota kelompok Kasbah ini, umumnya adalah mahasiswa berketurunan Arab –seperti Ridho, mahasiswa Universitas Padjadjaran– dan karena itu mendapat nama Kasbah, suatu wilayah tersohor di ibukota Marokko. Kebanyakan dari mereka adalah anggota HMI dari ‘garis keras’, berbeda dengan aktivis Salman ITB yang adalah Islam ‘independen’ atau anggota HMI beraliran moderat.

Sebagai barisan mahasiswa pergerakan 1966, Bangbayang memiliki berbagai akses kemudahan. Di situ ada Aburizal Bakrie putera Achmad Bakrie (pengusaha yang banyak berkontribusi kepada gerakan mahasiswa 1966), ada keponakan tokoh militer konseptor AD (Seminar AD I/II) Mayjen Soewarto, ada putera Mayjen Kemal Idris, ada kedekatan dengan Soedarpo dan sebagainya. Hal yang menarik dari kelompok Bangbayang ini adalah terdapatnya semacam pembagian tugas tidak resmi secara internal, yakni kelompok pemikir yang terdiri dari tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa senior dan kelompok pelaksana lapangan yang bisa bergerak bagaikan pasukan tempur yang umumnya terdiri dari kalangan mahasiswa yang lebih junior. Selain itu ada pula istilah ‘baduy dalam’ dan ‘baduy luar’, seperti yang dituturkan Utaryo Suwanto. Baduy dalam adalah untuk mereka yang tinggal bersama dalam satu rumah di Jalan Bangbayang yang kepemilikannya ada hubungannya dengan orangtua Roedianto Ramelan. Sedang istilah baduy luar dikenakan terhadap mereka yang sehari-hari dalam kegiatan bergabung dengan kelompok tersebut, namun bermukim di luar ‘rumah bersama’ di Bangbayang.

Pasca Soekarno, pada masa awal Orde Baru, Bangbayang berbeda sikap dengan kelompok mahasiswa (independen) Bandung lainnya (Tamblong Dalam) mengenai masuknya wakil mahasiswa ke parlemen (yang ingin melakukan ‘struggle from within’). Kelompok Bangbayang ini –setidaknya yang terlihat pada permukaan– memilih untuk lebih cepat meninggalkan kancah politik praktis pasca 1966 dan masuk ke dunia profesional. Mereka antara lain mengintrodusir proyek padi unggul Sukasono di Garut. Cepat mendorong ‘anggota’nya back to campus untuk menyelesaikan kuliah, dan segera terjun ke bidang profesional seperti dunia bisnis dan pemerintahan. Muslimin Nasution masuk Bulog dan Departemen Koperasi, beberapa lainnya masuk ke berbagai departemen bidang profesional seperti Pertambangan, Perindustrian, Perbankan dan beberapa BUMN atau perusahaan-perusahaan swasta dan kelak menduduki posisi-posisi cukup penting dan mencapai sukses di tempat-tempat tersebut. Kelompok Tamblong sementara itu, memilih untuk lebih dalam menerjunkan diri ke medan politik praktis, baik di DPR maupun organisasi politik seperti Golkar. Sedikit perkecualian dari Bangbayang adalah Rudianto Ramelan yang banyak bersinergi dengan kelompok Tamblong dan untuk beberapa waktu melakukan ‘struggle from within’.

Barangkali apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini dengan sadar ‘melakukan’ pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian posisi politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan ‘fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan kawan-kawan, serta Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi ‘melawan’ terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke dalam kekuasaan pasca Soeharto atau dunia kepartaian seperti yang dilakukan Sjahrir.

Sikap yang serupa –mengenai Soekarno pasca 11 Maret 1966– dengan kelompok-kelompok mahasiswa Bandung itu, di kalangan mahasiswa dan aktivis Jakarta, selain oleh Marsilam Simanjuntak dan kawan-kawan, juga ditunjukkan misalnya oleh orang-orang seperti Soe-Hokgie, Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution. Dalam skala politis yang lebih terkait dengan aspek kepartaian, sikap kritis terhadap Soekarno itu sejak dini juga telah terlihat pada tokoh-tokoh seperti Harry Tjan dari Partai Katolik dan Subchan Zaenuri Erfan dari Partai Nahdatul Ulama.

Kontingen Mahasiswa Bandung yang telah berada di Jakarta sejak 25 Pebruari, mengakhiri keberadaannya di Jakarta dan kembali ke Bandung 23 Maret 1966. Tetapi antara 12 Maret hingga saat kepulangannya ke Bandung, mahasiswa-mahasiswa Bandung sempat ikut serta dalam beberapa aksi bersama mahasiswa Jakarta yang waktu itu terfokus kepada pembersihan lanjutan terhadap Kabinet Dwikora yang disempurnakan, setelah penangkapan 16 Menteri. Meski tak selalu menyebutkan nama Soekarno secara langsung banyak ‘serangan’ yang dilakukan mereka tertuju kepada berbagai tindakan politik Soekarno. Salah satu kegiatan Kontingen Bandung ini yang menonjol adalah membangun Radio Ampera, yang dilaksanakan oleh Anhar Tusin, Santoso Ramelan dan kawan-kawan yang berasal dari group Bangbayang. Lokasi pemancar ini semula di kampus UI Salemba tempat Kontingen Bandung berada selama di Jakarta. Namun ketika ada isu kampus UI akan diserbu 25 Pebruari, pemancar itu di bawa ke rumah Ir Omar Tusin –kakak Anhar– selama dua hari untuk kemudian dipindahkan ke rumah Mashuri SH yang letaknya tak jauh dari kediaman Soeharto di Jalan H. Agus Salim.  Keikutsertaan Soe-Hokgie dan kakaknya Soe-Hokdjin –belakangan dikenal dengan nama barunya, Arief Budiman– menyajikan naskah bagi Radio Ampera yang  sasarannya tajam tertuju kepada Soekarno, telah memberi warna tersendiri dalam pergerakan mahasiswa di Jakarta.

Kegiatan Radio Ampera ini, sejak pertengahan Maret berangsur-angsur dipindahkan ke Jawa Tengah (Magelang dan sekitarnya), karena menganggap daerah itu perlu mendapat penjelasan-penjelasan mengenai kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan pemerintahan Soekarno sehingga diperlukan koreksi-koreksi. Belakangan, suatu pemancar radio serupa yang lebih kecil disimpan di Surabaya yang dititipkan pengelolaannya ke beberapa aktivis KAMI Surabaya, Buchori Nasution dan kawan-kawan. Pemancar yang ditempatkan di Jawa Tengah disumbangkan oleh RPKAD, berkekuatan 400 watt yang bisa menjangkau ke barat ke arah Sumatera dan ke timur hingga pulau Bali. Sejumlah aktivis eks Kontingen Bandung bergantian menyelenggarakan siaran di Magelang hingga 31 Desember 1966, seperti Thojib Iskandar, Arifin Panigoro, Bernard Mangunsong dan kawan-kawan. ‘Penjaga’ tetap pemancar di Magelang ini adalah Tari Pradeksa.

Sementara itu di Bandung terdapat sejumlah pemancar radio yang didirikan dan dikelola oleh para mahasiswa. Ada Radio ITB yang dikelola para mahasiswa ITB. Ada pula Radio Mara yang amat terkenal pada masa-masa pergerakan mahasiswa di tahun 1966 dan berfungsi sebagai penghibur sekaligus pemberi spirit bagi pergerakan mahasiswa. Radio Mara didirikan dan diasuh oleh kelompok mahasiswa seperti Mohammad S. Hidajat, Bawono, Atang Juarsa, Harkat Somantri dan kawan-kawan. Beberapa perwira Siliwangi, termasuk Mayjen HR Dharsono, kerapkali ikut melakukan siaran dengan menggunakan nama samaran Bang Kalong. Radio itu sampai sekarang masih eksis.

Berlanjut ke Bagian 7