“Dalam kultur Jawa masa lampau –yang mungkin saja masih berlaku hingga kini– adalah saru bila seorang Bupati apalagi seorang Raja tidak punya harta benda yang cukup, selain wanito yang ‘cantik’, kukila yang bersuara bagus dan curiga yang bertuah”. “Karena itu, untuk sementara ini masih bisa dianggap cukup ‘aneh’, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya kekayaan hanya sekitar sepersepuluh dari isi rekening-rekening Gayus Tambunan. Untung beliau masih punya rumah yang cukup besar di Puri Cikeas”.
MENCUATNYA kasus Mafia Perpajakan Gayus Tambunan yang bermula dari pengungkapan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tentang adanya Makelar Kasus beroperasi di tubuh Kepolisian RI, menjadi contoh terbaru betapa rawannya kekuasaan –besar atau kecil– untuk disalahgunakan. Dan ini bukan situasi baru, sudah mewaris dari satu satu rezim kekuasaan ke rezim kekuasaan lainnya, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Dalam situasi seperti itu, penderita akhir selalu adalah lapisan akar rumput dalam strata sosial, karena suasana korup di kalangan kekuasaan, dari yang terkecil hingga yang ada di lapisan puncak, akan selalu mengalirkan ke bawah sikap penelantaran kepentingan rakyat banyak.
Sebagai antitese terhadap arus dari atas ke bawah itu, muncul sejumlah arus balik. Mulai dari sikap pasrah dan nrimo, apatis, penolakan terhadap kehadiran kekuasaan hingga kepada pembangkangan dalam berbagai bentuk. Tetapi terselip juga kemunculan ‘sintese’ berupa menguatnya hasrat dari kalangan akar rumput itu untuk masuk ke dalam kekuasaan dalam aneka bentuk maupun pemahaman. Apakah Gayus Tambunan dapat dijadikan salah satu figur contoh? Mungkin. Sepanjang yang bisa dilihat dari penggambaran media massa tentang masa lampaunya, Gayus bukan berasal dari lapisan atas secara ekonomis sampai lima tahun yang lampau. Tetapi keluarganya masih cukup untuk membuatnya memperoleh pendidikan yang minimal layak, bisa menyelesaikan pendidikan di sebuah lembaga pendidikan milik negara, STAN, dan karenanya bisa masuk menjadi pegawai di instansi perpajakan. Dengan hanya ‘sedikit’ kekuasaan yang dimilikinya di sebuah lembaga yang sangat penting dalam kaitan penggalian salah satu sumber pendapatan negara yang terbesar untuk saat, ia sudah bisa ‘merubah’ nasibnya hanya dalam lima tahun bagaikan sulapan.
Tetapi di dalam memori publik, fenomena ala Gayus ini bukan keajaiban besar. Justru yang aneh adalah kalau menemukan pegawai pajak yang hidup melarat, meskipun tentu saja tidak tepat untuk apriori menyatakan seluruh pegawai pajak adalah para pesulap, karena banyak juga yang mampu berperilaku normal dan mencukupkan diri dengan gaji yang relatif memang lebih baik dari pegawai negeri lainnya. Mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo yang kini menjadi Ketua BPK mencantumkan dalam daftar kekayaannya nominal sekitar 38 milyar, pun dihebohkan hanya dalam dua-tiga hari, apalagi beliau menjelaskan bahwa 80 persen dari kekayaannya itu berasal dari hibah keluarga atau warisan. Juga, akan aneh bila misalnya mantan Menteri Keuangan zaman Soeharto yang sebelumnya menjadi Dirjen Pajak, Fuad Bawazier, tidak punya rumah bagus, tidak punya mobil bagus lebih dari satu, tidak punya uang yang banyak. Kalau beliau di masa lampau, saat berada dalam kekuasaan, ikutan melakukan korupsi, mana mungkin kini beliau berani bersuara vokal dan tajam melontarkan kritik, termasuk mengenai masalah korupsi? Sama anehnya, bila kekayaan Wapres kita sekarang, Dr Boediono, hanya 1-2 milyar, dan bukannya 20-an milyar, padahal beliau pernah menjadi menteri perekonomian, Gubernur BI, dan sebagainya. Karena itu, untuk sementara ini masih bisa dianggap cukup ‘aneh’, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya kekayaan hanya sekitar sepersepuluh dari isi rekening-rekening Gayus Tambunan. Untung beliau masih punya rumah yang cukup besar di Puri Cikeas. Dalam kultur Jawa masa lampau –yang mungkin saja masih berlaku hingga kini– adalah saru bila seorang Bupati apalagi seorang Raja tidak punya harta benda yang cukup, selain wanito yang ‘cantik’, kukila yang bersuara bagus dan curiga yang bertuah.
FENOMENA penggunaan kekuasaan dalam skala kecil terjadi pada aparat penertiban berbagai Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kotamadya, yang dikenal sebagai Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) atau Kamtib (Keamanan Ketertiban) atau Tibum (Ketertiban Umum). Anggota-anggota satuan ketertiban ini umumnya direkrut dari kalangan akar rumput dengan pendidikan menengah. Sebelum menjadi Satpol PP, mereka adalah anggota masyarakat biasa, yang mungkin saja suatu kali pernah kena tindas. Tetapi begitu mereka melakukan aksi penindakan atas dasar kuasa yang bersandar pada berbagai Perda (Peraturan Daerah) –seperti yang kerap kita saksikan langsung maupun melalui tayangan televisi– keganasannya bisa luar biasa mencengangkan. Mereka bisa mengejar para waria, wanita jalanan, anak-anak jalanan dan sebagainya, sampai tercemplung ke sungai berair kotor, dan beberapa dari kejaran itu lalu mati terbenam. Mereka bisa ganas mengobrak-abrik dagangan pedagang kaki lima, menendang para pedagang kaki lima, menjungkirbalikkan gerobak pedagang bakso, tanpa mengingat bahwa yang sedang dihancur-leburkan itu adalah hidup kaum senen-kemis. Merobohkan tanpa ampun gubuk-gubuk di bantaran kali (sungai) atau di tanah-tanah negara dengan wajah beringas.
Tak mengherankan bahwa kini muncul semacam Komite masyarakat menuntut pembubaran Satpol PP atau Kamtib ini, yang dianggap menjalankan tugas Kepolisian dengan cara lebih ganas dari Polisi betulan. Selain itu, tak jarang terjadi perlawanan terbuka secara fisik dari mereka yang merasa tertindas dan tak diberi peluang hak hidup di negerinya sendiri. Benturan ini melahirkan satu situasi anarkis. Tapi tentu saja, penanggungjawab dari semua keganasan ini terutama adalah para penentu dan pengendali kebijakan, yang bila ditarik secara hirarkis ke atas, adalah para walikota, bupati dan gubernur. Di Jakarta misalnya, pada hari-hari belakangan ini berlangsung begitu banyak penertiban yang galak, dalam rangka menyongsong pemilihan Anugerah Adipura bagi kota yang tercantik dan bersih.
Pada saat melakukan apa yang disebut penertiban, semisal ingin mencapai prestasi merebut Adipura, kehadiran pemerintah sebagai penguasa sangat terasa kehadirannya. Kehadiran itu tampil dalam wujud razia penertiban besar-besaran. Namun ketika akar rumput berjuang sehari-hari untuk kehidupannya, kehadiran itu nyaris tak terasa. Bagi para pedagang kaki lima misalnya, kehadiran pemerintah sehari-hari hanya diketahui dari munculnya petugas-petugas pemungut uang kontribusi.
SEBENARNYA ini semua bukan cerita baru. Berikut ini penuturan kembali cerita dari fenomena tahun 1970-an.
Semangat mempercantik dan memperindah kota yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia di tahun 1970-an, tak kurang ‘memakan’ korban kalangan masyarakat kecil, seperti misalnya pedagang kaki lima. Memang betul seringkali para pedagang kaki lima itu sangat tidak tertib, tetapi dalam beberapa kasus penindakan para petugas sangat di luar batas manusiawi. Romo YB Mangunwijaya almarhum, seorang insinyur yang mengajar di Arsitektur di Universitas Gajah Mada, mengomentari penyelesaian pedagang kaki lima dengan mengatakan “Mereka harus ditertibkan dan diberi konsekuensi tapi jangan diusir. Pengusiran terhadap mereka biasanya bahkan mendorong adanya anarki”.
Mengamati gejala di berbagai kota, sebuah media generasi muda menulis, bahwa berbalikan dengan ucapan-ucapan bagus yang dilontarkan para penguasa, tujuan ‘membersihkan’ kota dari mereka yang kerap dikategorikan sampah masyarakat, lebih dominan dari hasrat memberikan mereka kesempatan hidup yang lebih layak. Yang dimaksud di sini tak lain adalah para pedagang kaki lima, pedagang kecil di pasar-pasar, gelandangan dan tuna susila. Dalam beberapa segi, kalangan penguasa ibukota atau kota-kota besar lainnya di Indonesia masih bisa dianggap benar, bahwa pedagang-pedagang kaki lima mengganggu kebersihan kota dan bahkan kelancaran lalu lintas di bagian-bagian kota yang tertentu. Bahwa gelandangan, wanita tuna susila kelas murah, tidak baik untuk dipertontonkan. Bahwa pasar-pasar kota yang jorok, kotor dan sebagainya, harus dipermodern menuju gaya metropolitan, menjadi pasar-pasar bertingkat. Tapi apa daya, yang dilakukan adalah justru melikuidir manusianya, bukannya sumber-sumber keterbelakangan sosial ekonominya. Para pedagang kaki lima lebih kerap sekedar diusir dan tak diberi penampungan berupa lapangan nafkah baru. Daerah Bebas Becak diterapkan begitu saja tanpa persiapan yang matang tentang nasib selanjutnya dari mereka yang dipojokkan. Pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar yang dipermodern pada prakteknya takkan mengecap kembali pasar modern yang selesai dibangun karena modal mereka memang belum sepadan dengan standar pasar modern itu. Gelandangan dan wanita tuna susila kelas murah diperlakukan bagai sampah, yaitu dijaring lalu dimasukkan ‘bak sampah’ yang berupa tempat-tempat penampungan dengan jaminan makan minum yang amat minim. Memang ada kenaikan GNP (Gross National Product) karena beberapa jenis ekspor meningkat kala itu. Tapi apa yang telah dicapai itu tak meresap dikenyam oleh mayoritas rakyat. “Salah satu sebabnya ialah bahwa tak sedikit kebijaksanaan elitis dijalankan oleh pemerintah yang lebih menguntungkan golongan berpunya daripada kebijakan yang berorientasi pemerataan kepada golongan terjepit”.
Berlanjut ke Bagian 2