Kaum Ahmadiyah dan Politik Menteri Agama (2)

NAMUN, pergerakan Ahmadiyah sebagai pembaruan kehidupan beragama di India yang terus berkembang, memang mengagumkan seperti yang diakui Bung Karno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi. Secara demografis, pergerakan Jemaat Ahmadiyah (aliran Qadian) telah menyebar ke beberapa negara. Ahmadiyah mengaku memiliki cabang di 174 negara yang tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan,Asia,Australia, dan Eropa. Dalam situs Ahmadiyah tertulis, saat ini jumlah anggota mereka di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. Jemaat ini membangun proyek-proyek sosial, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, penerbitan literatur-literatur Islam, dan pembangunan masjid-masjid.

MIRZA GHULAM AHMAD DAN KELOMPOKNYA. “Kehadiran Ahmadiyah aliran Qadian ini kemudian menjadi polemik, yang dimulai dari pendapat Buya Hamka, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) waktu itu, yang mengatakan jemaat itu adalah di luar Islam”. (foto download)

Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih, dan saling pengertian di antara para pengikut agama yang berbeda. Menurut Ahmadiyah, gerakan ini sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran Al Quran: “Tidak ada paksaan dalam agama” (2:257) serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apa pun untuk alasan apa pun. Pergerakan ini menawarkan nilai-nilai Islami, falsafah, moral dan spiritual yang diperoleh dari Al Quran dan sunnah Nabi Suci Islam, Muhammad SAW. Beberapa orang Ahmadi, seperti almarhum Sir Muhammad Zafrullah Khan (Menteri Luar Negeri pertama dariPakistan; Presiden Majelis Umum UNO yang ke-17; Presiden dan Hakim di Mahkamah Internasional di Hague), dan Dr Abdus Salam (peraih hadiah Nobel Fisika tahun 1979), telah dikenal karena prestasi dan jasa-jasanya oleh masyarakat dunia.

Bersalahkah warga Ahmadiyah? Dan yang mana?

Sebelum tahun 1980-an di Indonesia, Ahmadiyah, yang dari semula memang dianggap sebagai mazhab yang berbeda, dapat hidup rukun berdampingan dengan umat Islam. Awalnya, yang datang adalah Ahmadiyah Lahore sejak tahun 1927, dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, dan berbadan hukum sejak tahun 1929. Setelah itu, muncul Ahmadiyah Qadian, dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Bogor, dan diakui Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Kehakiman Republik Indonesia pula dengan badan hukum pada tahun 1953. Hal itu tercantum dalam ketetapan menteri tertanggal 13 Maret 1953, nomor JA.5/23/13 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 22 tanggal 31 Maret 1953. Ketetapan ini kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara Nomor 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara Nomor 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan itu diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama RI tertanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia yang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya telah disahkan secara resmi oleh Menteri Kehakiman sebagai badan hukum.

Kehadiran Ahmadiyah aliran Qadian ini kemudian menjadi polemik, yang dimulai dari pendapat Buya Hamka, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) waktu itu, yang mengatakan  jemaat itu adalah di luar Islam. Dalam Musyawarah Nasional II MUI yang berlangsung di Jakarta(26 Mei1 Juni 1980) dikeluarkan fatwa yang menegaskan, bahwa Ahmadiyah aliran Qadian adalah jema’at (kelompok) di luar Islam, sesat, dan menyesatkan. Sampai sekarang, Ahmadiyah aliran Qadian ini masih belum diakui eksistensinya oleh MUI. Kemudian, menurut KH Amidhan, Ketua MUI, pada  Munas MUI 2005 ditegaskan lagi bahwaAhmadiyah itu sesat dan menyesatkan dan di luar Islam. “Pada 2009, Muhammadiyah mengatakan Ahmadiyah itu kafir. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1985 menyatakan, Ahmadiyah menyimpang. Di dunia internasional, Rabitah Alam Islami lebih dulu menyatakan Ahmadiyah tidak masuk dalam Islam. Makanya para pengikutnya tidak boleh masuk Tanah Suci, tidak boleh naik haji. Kemudian Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan hal yang sama, melarang. Jadi bukan karena fatwa MUI saja”, katanya (http://www.republika.co.id/ berita/breaking-news/nasional/11/02/18/164743-ahmadiyah-juga-anggap-kita-kafir).

Sikap MUI tersebut, menurut pandangan Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI), bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundangan yang lain, dan juga dengan pidato dan pengarahan dari Presiden RI, Menteri Agama RI, dan para pejabat pemerintahan. Sementara itu, larangan tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena di dalam pasal 29 ayat 1 ditegaskan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dalam ayat 2 juga ditegaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk me-meluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Ahmadiyah juga mendasarkan pendapatnya itu pada penjelasan pasal 29 ayat 2 bahwa kebebasan beragama merupakan hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia lainnya.

Pada saatIndonesiaberada di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), situasi pun berubah. Suatu hal yang dinilai positif dalam pemerintahan Gus Dur adalah komitmennya terhadap hak seseorang untuk beragama. Gus Dur memberi peluang secara terbuka kepada aliran-aliran keagamaan yang sebelumnya dinyatakan terlarang. Djohan Efendi, Sekretaris Negara era pemerintahan Gus Dur dan mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI, menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid adalah seorang pluralis sehingga ia memberikan iklim yang lebih terbuka dan demokratis. Selain itu, Djohan juga berpendapat bahwa bentuk pemahaman seseorang terhadap agama ataupun yang lainnya tidak dapat dilarang pemerintah.

Meski demikian, K.H. Irfan Zidny, Ketua Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta yang juga menjabat sebagai pengurus Lembaga Kajian dan Konsultasi Syari’ah Islam MUI, masih tetap mengharapkan agar umat Islam Indonesia mewaspadai aliran Ahmadiyah tersebut. Sementara Dawam Rahardjo, direktur International Forum on Islamic Studies (IFIS) dan salah seorang ketua Muhammadiyah, justru berpendapat bahwa Ahmadiyah merupakan contoh organisasi keagamaan yang baik. Organisasi itu ditata secara baik dan mandiri. Mereka menjaga diri dari hiruk pikuk kehidupan politik, tetapi bukan tidak peka terhadap politik. Lebih lanjut ia menyatakan, “Kita mestinya bisa bekerja sama dengan organisasi ini dan memiliki apresiasi yang besar terhadapnya”. (http://www.jevuska.com /2011/02/13/gerakan-ahmadiyah-indonesia-dan-mui).

Namun, situasi pun berubah kembali dengan pergantian pemerintah. Dengan alasan utamanya mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin pada rapat dengan Komisi VIII DPR, Kamis (17/2/2011), mengatakan Ahmadiyah adalah ajaran agama yang menyimpang, serta sesat. “Ahmadiyah menyimpang dari hukum dan standar cara berpikir,” jelasnya. Untuk itulah, MUI mengusulkan kepada pemerintah agar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dibubarkan. Ditambahkannya pula, bahwa tidak hanya MUI yang mengecamnya sebagai sesat, tapi seluruh dunia mulai dari OKI dan sebagainya.

Ma’ruf juga menilai, bahwa Ahmadiyah harus dikategorikan sebagai kelompok non muslim, yang melanggar Undang-undang Penodaan Agama. “Ahmadiyah harus dinyatakan sebagai kelompok non-muslim, sehingga ada penyelesaian tidak ngambang terus,” jelasnya (Tribunnews.com, Jakarta, Jumat, 18 Februari 2011 21:31 WIB). Masalahnya, ada dua kelompok Ahmadiyah. Salah satu di antaranya adalah Ahmadiyah Qadian, dengan organisasi JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia), yang terbukti mengakui adanya Nabi setelah Nabi Muhammad seperti dituduhkan. Sedangkan Ahmadiyah Lahore hanya menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaru) yang seharusnya bebas dari hujatan. Dalam UU Penodaan Agama khususnya pasal 2 ayat 2 disebutkan, apabila ada penodaan agama dilakukan oleh organisasi, maka pembubaran bisa dilakukan setelah ada pertimbangan Menteri Agama dan Presiden.

Berlanjut ke Bagian 3

-Tulisan ini disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru. Sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, namun tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s