BUKAN sesuatu yang di luar dugaan, sebenarnya, bahwa RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU-KKG) yang sedang diluncurkan di DPR akan segera berhadapan dengan para penentang dari kalangan ‘fundamentalis’ agama, khususnya di antara penganut Islam. Berpegang kepada dogma tradisional yang dianut turun temurun selama ini, tanpa pernah ada upaya yang kuat untuk memperbaharui penafsiran ajaran-ajaran agama, RUU KKG dengan cepat mendapat judgement sebagai bertentangan dengan aqidah, melanggar hukum tertinggi yakni hukum Allah.

Meminjam kesimpulan Rhea Febriani Tritami dalam skripsinya untuk mencapai gelar S-1 di Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM (Desember 2011), setidaknya ada dua sistem nilai dan atau dua bentuk kekuasaan yang secara objektif merupakan sumber faktor hambatan terbesar bagi kesetaraan gender di Indonesia, dan salah satunya adalah doktrin agama. Faktor lainnya adalah sistem kekuasaan negara, yang dibangun berdasarkan konsep, pikiran dan pemahaman yang tidak tepat. Kedua bentuk kekuasaan itu, faktanya dari waktu ke waktu berada dan terjadi dalam patriarki yang terbangun oleh maskulinitas hegemonik.
Adopsi nilai-nilai dari ajaran tradisional Islam di Indonesia yang berlangsung turun temurun hingga kini di pulau-pulau Nusantara ini, telah mewujudkan ketidakadilan mulai dari satuan terkecil masyarakat, yaitu keluarga, hingga pada ketidakadilan dalam kehidupan sosial maupun ketidakadilan dalam kehidupan politik dan kehidupan bernegara pada umumnya. Ketidakadilan mewujud dalam berbagai bentuk yang merugikan dan membuat menderita kaum perempuan, melalui praktek poligami yang membentur UU Perkawinan, hak waris yang tak sama berdasarkan perbedaan gender, nikah siri yang menihilkan hak hukum perempuan, nikah mu’thah, kawin ‘paksa’ terhadap perempuan di bawah umur, pengaturan berlebihan cara berpakaian kaum perempuan “berdasarkan penafsiran yang tak tepat tentang dogma menutup aurat, pemutlakan posisi hegemoni suami terhadap isteri dan sebagainya”.
Karena sumber persoalan adalah penafsiran yang tidak tepat, maka ditawarkan jawaban yang berupa pembaharuan penafsiran. “Dalam kaitan ini, bila kaum cendekiawan –khususnya dan terutama di kalangan penganut agama itu sendiri– ingin melakukan pencerahan, diperlukan pemahaman ulang dan penafsiran baru yang lebih rasional terhadap dalil-dalil agama”. Tetapi ini bukan suatu hal yang mudah, untuk tidak mengatakan bahwa alih-alih pembaharuan pemikiran, kerapkali situasi justru menjadi lebih rumit dengan terjadinya pengerasan kulit kerang fanatisme saat merasa terjadi penguatan serangan nilai-nilai dari luar Islam. Kemajuan teknologi serta kemajuan ekonomi barat dan dunia non Islam pada umumnya, memperbesar kecemasan (dan syak wasangka) akan pengepungan dan penghancuran dunia Islam yang penuh kemiskinan manusia. Seakan-akan Perang Salib belum selesai, sehingga diperlukan pasukan-pasukan Saracen baru untuk membela dunia Islam. Namun dalam pada itu, sejumlah negara-negara Arab yang kaya raya, tenang-tenang saja dalam kenikmatan limpah ruah rezekinya tanpa terlalu bersungguh-sungguh membantu kaum miskin dunia. Upaya mereka untuk memajukan Islam –dalam pengertian melepaskan umat dari kemiskinan dan kebodohan– pun masih dalam tanda tanya, karena pada saat yang sama mereka sendiri kerap tidak adil terhadap rakyat di negerinya sendiri, baik dalam kesetaraan ekonomi, kesetaraan pencerdasan apalagi kesetaraan hak, harkat dan martabat.
Indonesia adalah peserta dalam ketidakadilan dunia. Mulai dari ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum dan politik, hingga berbagai ketidakadilan sosial lainnya, termasuk dalam kaitan gender yang sebetulnya adalah masalah paling mendasar dalam relasi kehidupan sebagai manusia dalam satu bangsa. Penerapan ketidaksetaraan gender dalam konteks Indonesia modern, masih meminjam kesimpulan Rhea, “secara ironis menjadi lebih terlembagakan dalam kehidupan politik, melalui partai-partai yang mengatasnamakan ajaran agama, yang menyebabkan penolakan kehadiran kepemimpinan perempuan dan keengganan terhadap kebijakan afirmatif kuota minimal 30 persen perwakilan di parlemen untuk kaum perempuan”.
Masalah prinsipil lainnya, adalah kegagalan laten para pelaksana kekuasaan dan negara –eksekutif, legislatif dan judikatif– dalam pencapaian yang bermakna bagi kesetaraan gender. “Padahal, kesetaraan bagi siapa pun, merupakan bagian yang tak terpisahkan dan harus melekat dalam proses demokratisasi yang menjadi kesepakatan bersama sebagai bangsa dalam perjalanan ke depan”. Secara bersama lembaga-lembaga kekuasaan negara itu, sengaja atau tidak, masih menjadi sumber ketidakadilan bagi kaum perempuan maupun bagi rakyat secara keseluruhan, baik sebagai produk yang berupa undang-undang yang keliru, maupun dalam pelaksanaan dan penegakan hukumnya.
“Masalah pokok terbesar yang kita hadapi saat ini dalam konteks pencapaian kesetaraan gender, adalah realitas bahwa para pelaku dalam kekuasaan agama dan kekuasaan negara kita saat ini, sebagai suatu kesatuan pada dasarnya masih merupakan patriarkis sejati. Mereka berkuasa karena patriarki, maka untuk jangka waktu tertentu mereka belum akan membiarkan patriarki diruntuhkan demi demokrasi sekalipun”.
SUNGGUH menarik, bahwa menjelang 21 April 2012 –saat biasanya hari kelahiran salah seorang pelopor emansipasi perempuan, R.A. Kartini, diperingati– bergulir polemik mengenai isu kesetaraan gender terkait dengan sedang dibahasnya RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender di DPR-RI. Kartini, perlu dicatat, adalah perempuan yang bersuara untuk mendobrak ‘belenggu’ feodalisme dan tradisi tertentu dalam agama yang mengungkung perempuan pada zamannya. Suara keras menentang kelahiran UU itu terutama disampaikan oleh kelompok-kelompok yang berpikiran tradisional, yang mungkin bisa disebutkan sebagai sikap fundamentalistik. RUU itu antara lain dikatakan sebagai konsep sekuler dan berasal dari luar Islam, western oriented, sehingga harus ditolak.
Tentu saja, sikap pro-kontra atas suatu masalah dalam kehidupan demokrasi, adalah sesuatu yang wajar. Namun ketika sikap pro-kontra itu dibawa terlalu jauh dengan membangkitkan sentimen agama, ia menjadi berlebih-lebihan. Bisa dicatat dalam kaitan ini setidaknya ada dua pandangan berkategori berlebih-lebihan melebihi konteks persoalan, yang disampaikan dua tokoh ‘muda’ islami, yakni Dr Adian Husaini dan penulis novel Habiburrahman El Shirazy.
Adian Husaini memberi peringatan, “jika RUU ini melanggar aturan Allah SWT, pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT”. Habiburrahman sementara itu mengeluarkan ayat-ayat seruan untuk “berjuang menyelamatkan agama Allah” sehingga insyaallah “kita akan diselamatkan Allah kelak di hari perhitungan”. Ia mengajak bergerak “untuk membela hukum Allah”.
Terhadap seruan-seruan seperti ini, kita hanya ingin mengatakan, jangan terlalu berlebih-lebihan. Jangan sampai ceroboh membangkitkan sentimen agama. Jangan bermain api dengan mengobarkan sentimen agama itu.
SUNGGUH mencengangkan sebenarnya melihat ‘keberanian’ sebagian manusia yang hanyalah juga insan biasa ciptaanNya, namun tergesa-gesa memberikan judgement terhadap pandangan orang lain –sesama manusia dan untuk sebagian besar juga adalah sesama umat– sebagai melanggar aturan Allah sehingga akan dimurkai Allah. Berpretensi sebagai penyelamat agama Allah atau membela hukum Allah. Apalagi bila kemudian bertindak menghakimi moral dan kepercayaan orang lain, seakan-akan dirinya adalah wakil Tuhan di dunia. Berani menghakimi manusia lain dengan lidah dan tangannya sendiri seraya mengesankan bahwa itu adalah tanganNya. Padahal, Muhammad SAW sendiri dengan rendah hati senantiasa mengatakan bahwa dirinya hanyalah pemberi nasehat dan penyampai pesanNya, yang menyeru manusia ke jalan Tuhan dengan izinNya.
Kita perlu merenungkan, bagaimana kira-kira di hari penghitungan akhir nanti Dia yang mahabesar, maha mengetahui dan maha adil akan menilai kita manusia-manusia saat kita terlalu ‘berani’ –atau mungkin saja ‘lancang’– mengatasnamakan diriNya? Hanya Dia pula yang maha mengetahui.